14 |
• Ileana •
"Jadi kamu baikan apa balikan, sih?"
Soraya memasukkan bakpia kukus ke dalam mulut, ia lantas mengunyahnya rakus. Kemudian mengambil sebungkus lagi karena telah menghabiskan yang sebelumnya.
"Baikan," sahutku.
Soraya mengernyih. "Baikan itu balikan? Pacaran lagi? Tunangan lagi?" selidiknya.
"Nggak tahu." Aku mengedikkan bahu.
Aku memang benar-benar tidak punya jawabannya. Ketimbang memikirkan soal kepastian hubunganku dan Raihan, aku lebih concern menghitung berapa bungkus bakpia kukus yang sudah Soraya makan. Dia bilang itu oleh-oleh untukku dari Yogyakarta. Soraya bawa satu kardus, padahal dia tahu aku nggak doyan makanan manis. Tapi pada akhirnya, bukan aku yang menikmati, tapi Soraya sendiri.
"Kok bisa nggak tahu?" protes Soraya.
Setelah Raihan pergi, aku tidak berinisiatif untuk menghubunginya kembali. Dia juga sama. Mungkin kami berdua sama-sama menarik-ulur. Bedanya kali ini tidak ada yang mau mengalah.
"Heh," sungut Dewa melabrak kedamaianku dan Soraya. "Ini sebenarnya rumahnya siapa? Kok malah aku yang ngerjain semua?" Ia merengut - wajah Dewa judes sekali - mirip kakek tua di animasi UP.
"Sorry, Beb. Aku dan Ileana lagi istirahat," dalih Soraya.
Tatapan Dewa melunak pada Soraya, namun saat melirikku ia kembali melotot.
"Aku nggak marahin kamu, Sayang," sanggah Dewa. "Tapi kamu!"
"Lhah? Kok aku?" Aku mengernyit.
Dua hari setelah pemotretan di studio dan klinik beres, Dewa mengomeliku habis-habisan soal kutu di badan Sultan. Aku sendiri sama sekali tidak sadar kalau Sultan sering garuk-garuk badan.
Dewa bilang kutu kucing adalah parasit yang sulit dibasmi. Meneteskan obat kutu belum cukup efektif untuk membasmi kutu karena mereka berkembang biak pada lingkungan tempat tinggal inangnya. Oleh karena itu, Dewa memintaku ... ehm lebih tepatnya ... memaksaku bersih-bersih akbar pada setiap penjuru rumah. Kemudian menyemprotkan cairan disinfektan untuk membunuh kutu beserta telur-telurnya.
"Rumah ini, kan, tempat tinggalmu dan Sultan. Jadi kenapa malah aku yang harus membersihkan semua?" dumal Dewa. Ia menyandarkan penyedot debu pada dinding. Kemudian melepaskan sarung tangan lateks yang ia kenakan. Dewa dari tadi memang sibuk mengepel lantai, dia juga menyedot semua karpet dan kursi-kursi di rumahku.
"Aku nggak niat bebersih, yang maksa itu kamu," sahutku tak acuh.
"Percuma membasmi kutu yang ada di badan kucing kalau di lingkungan tinggalnya masih banyak kutu yang bersembunyi. Nanti kutu-kutu itu akan naik lagi ke badan Sultan dan kembali berkembang biak. Apa kamu nggak dengerin apa yang kujelasin?"
Aku mendengkus. "Aku denger." Tapi memilih tidak peduli. "Ya, kalau mereka balik, aku tinggal kasih Sultan obat kutu lagi. Beres, kan?" Aku menggaruk-garuk punggung kakiku yang gatal. Perasaan masih siang, kok sudah banyak nyamuk, sih?
"Kamu sama sekali nggak dengerin aku, Ileana." Dewa menyeringai. "Kutu-kutu itu zoonosis, alias menularkan penyakit dari hewan ke manusia. Dan mereka juga makan darah manusia."
"Huh?"
"Coba kamu lihat bentol-bentol di kakimu, itu ulah kutu kucing," ujar Dewa.
"Nggak, ini nyamuk!" sulutku.
"Karakter khas gigitan mereka berbentuk bundar sempurna, keras, dan berwarna sangat merah. Gatalnya juga bisa tahan berminggu-minggu dengan bekas kehitaman yang sulit hilang di kulit," jabar Dewa.
Soraya sontak bangkit dari sofa ruang tamuku. "Hih! Rumahmu sudah dikutuk, Lei! Aku ke sebelah ajalah."
"Ayaaaa!?" panggilku.
Dewa membiarkan Soraya terbirit-birit keluar. "Nanti aku susul, Ya," serunya. Ia lalu beralih memandangku. "Gimana? Masih mau menyepelekan?"
"Jadi ini bakalan susah hilang?" Aku mengecek setiap inci kakiku. Sialan, sudah ada tiga bentol bersarang di sana.
"Sulit. Apa lagi kalau sering digaruk, bekas lukanya akan semakin dalam. Kamu bisa memudarkannya dengan laser treatment," jelas Dewa.
Aku melotot. "Laser?! Sesulit itu buat ilanginnya?"
Dewa mengangguk.
"Untuk meredakan sensasi panas dan gatalnya coba beli Cetirizine sama Eryra Forte, sementara salep kulit pakai Betazon-n 5 gram."
Aku termangu sejenak seraya memandangi Dewa. Kedua alisku saling bertautan. "Sok jadi dokter kamu?" ledekku.
"Aku dulu ambil jurusan kedokteran hewan. Jadi sedikit banyak tahu, kalau nggak mau dibilangin ya udah." Dewa menyerahkan botol sprai berisi disinfektan padaku.
"Kamu dokter hewan tapi malah milih jadi fotografer?" buruku.
"Belum sampai jadi dokter hewan. Aku nggak lanjut coass," terang Dewa.
"Oh ..." gumamku.
Seketika relungku seolah diremas. Ini benar-benar aneh karena aku merasa Dewa mirip dengan papa. Konyol memang — tapi papa membuang gelar arsiteknya karena ingin mendalami seni. Bagiku hal itu merupakan tindakan paling tidak bertanggung jawab. Mengingat papa hanya memikirkan tentang mimpinya, bukan aku atau mama.
Aku pun melengos pergi menjauhi Dewa. Enggan menengok wajahnya.
"Sana balik ke rumahmu. Kasian Soraya sendirian," tolehku.
Dewa bergeming. Ada seutas tanda tanya tersirat pada rautnya akibat perubahan sikapku. Akan tetapi ia akhirnya melenggang menuju pintu keluar tanpa mengucap sepatah kata pun.
Aku heran kenapa ingatan mengerikan justru awet bersembunyi dalam ingatan. Kilas memori itu seperti menunggu saat yang tepat untuk kembali menghantui; menerorku agar tersakiti. Aku juga tidak mengerti kenapa ada anak-anak yang terlahir memiliki keluarga sempurna, sementara yang lain terperangkap bersama orang tua durjana.
Bukankah itu tidak adil?
Sontak bayangan masa lalu membeliak dalam otakku. Alasan mengapa aku begitu membenci rumah sialan ini. Membenci papa, bahkan mama sekali pun. Andaikan aku memiliki kuasa — aku ingin membakar tempatku berpijak sekarang. Mungkin saja sisa-sisa abunya akan melenyapkan sedikit pedih batinku.
Ketika aku berpikir aku telah menemukan tiket keluar, nasib lagi-lagi membawaku ke mari. Seakan-akan rumah ini dan diriku merupakan jodoh abadi.
Aku ingat siang itu matahari terasa lebih menyengat dari biasa. Aku pulang berjalan selangkah demi selangkah dari sekolah dasar. Seharusnya papa menjemputku, tetapi sekian jam melamun sosoknya tak kunjung muncul. Tubuh cekingku pun berinisiatif pulang sendiri dengan berjalan kaki. Pada usia sepuluh tahun aku sudah merasa mandiri. Aku merasa berani. Toh, jarak antara sekolah dan rumah tak terlalu jauh, pikirku kala itu.
Tapi pada akhirnya aku justru menangis di tengah jalan. Aku lelah.
Selama ini papa selalu mengantar jemputku menggunakan motor, pantas aku menganggap jaraknya dekat. Namun, setelah menempuhnya dengan kedua kakiku sendiri, kelelahan serta merta mendera.
Meski menangis dan sesekali terseok, aku tetap meneruskan langkah. Aku masih ingat kala itu kepalaku mendadak berdenyut. Mungkin tak tahan oleh teriknya panas.
Hatiku sibuk bertanya, apa alasan papa luput menjemputku? Mungkin rumah kami kebakaran. Mungkin papa terpeleset di kamar mandi sampai pingsan. Atau mungkin papa mati. Beragam imajinasi polosku merebak. Takut, panik, kesal, jadi satu. Yang bisa kulakukan hanya terus berjalan dan berjalan.
Hingga pada akhirnya — aku sampai di rumah.
Motor papa terparkir di halaman. Pintu depan juga terbuka lebar hingga musik dari radio milik papa terdengar hingga depan teras. Dengan gesit aku melepaskan sepatu; senyumku merekah, tidak sabar memamerkan keberhasilanku pulang sendiri. Well, sebagai anak-anak normal ... aku mengharapkan sebuah pujian.
"Pa ...?" Kakiku melesak buru-buru mengecek setiap penjuru rumah.
Akan tetapi, tarikan bibirku memudar kala netraku terpaksa menyaksikan pergumulan papa dengan seorang wanita yang tak kukenal. Wanita itu berada di atas pangkuan papa - tanpa busana. Mereka berdua saling melumat bibir seperti orang kelaparan. Sementara pinggul si wanita tak berhenti menggoyang liar.
Persendianku kaku.
Telapak kakiku seolah-olah tertancap pada ubin hingga mematung cukup lama di sana.
"Ileana!?" Papa tersentak menyadari kehadiranku. "Kenapa kamu sudah pulang?" Ia melotot seraya mendorong si wanita dari pangkuan.
Aku pun membisu. Terlalu bingung mencerna apa yang telah terjadi.
Papa mencengkeram bahuku erat. "Awas kalau kamu berani ngadu ke mama!" gertaknya.
Di sini, tepat di sini.
Sudut inilah tempat di mana aku memergoki papa bersetubuh dengan pelacurnya.
Aku pun menjatuhkan spray bottle pada genggaman. Kemudian berjongkok meringkuk dalam isakan. Pantas, aku santai saja kala menangkap basah Raihan bersenggama di depanku. Mungkin aku sudah terbiasa oleh hal-hal semacam itu.
Terbiasa — bukan berarti tanpa rasa.
Sakitnya masih luar biasa. Pedihnya masih berkecamuk hebat dalam inti selku. Satu pertanyaan keramat yang sampai sekarang belum kutemukan jawabannya pun lagi-lagi datang menghantui.
Dulu papa, lalu sekarang Raihan.
Kenapa mereka tega melakukannya?
"Ileana?!"
Aku tersentak. "Ngapain kamu balik lagi?" Buru-buru kuhapus air mata yang mengotori wajah sambil kembali berdiri tegak.
"Kenapa kamu?" tanya Dewa keheranan.
"Ngapain kamu balik lagi?" ulangku meninggi.
"Aku khawatir kamu pusing sama bau disinfektan ini. Makanya aku ngecek sekalian ajak kamu ngungsi ke sebelah," ujar Dewa. "Kamu kenapa nangis?"
Aku membuang muka. "Nggak kenapa-kenapa," elakku.
Dewa setia pada tempatnya. Ia lantas berjongkok untuk memungut botol sprai yang kubuang tadi.
"Kenapa?" selidik Dewa. "Kamu sakit hati lagi padaku gara-gara aku suruh membersihkan rumah?"
"Nggak," sahutku.
"Terakhir kali kamu nangis gini karena sakit hati oleh perkataanku, kan? Jadi apa tadi ada omonganku yang bikin kamu tersinggung?" buru Dewa.
Aku mendecak kesal. "Nggak," sungutku. "Udah sana balik ke rumahmu. Aku mau istirahat."
"Ada apa, Ileana?" Dewa menghadang jalanku.
"Sudah kubilang nggak ada apa-apa, kok!" ketusku.
"Nggak ada apa-apa, kenapa nangis? Bilang aja kalau memang aku ada salah. Aku nggak mau berantem sama Aya gara-gara buat kamu kesal," sergahnya. "Bilang apa yang salah dariku."
Aku melenggok ke arah berlawanan, tetapi Dewa kembali memblokade jalanku.
Dewa menyorotku dalam. "Aku nggak ada maksud bikin kamu sakit hati."
"Aku nggak marah sama kamu," tegasku.
Dewa masih ngotot. "Jujur ajalah," desaknya. "Aku minta maaf kalau ada salah kata."
"Minggir, Dewa!" sungutku kesal.
Dewa bersikukuh memasang badan untuk mencegatku. "Apa salahku?" burunya.
"Nggak ada!"
"Apa, Ileana?"
"Nggak ada!"
"Ileana?!"
"Karena kamu nggak jadi dokter hewan!" pekikku.
Kami sontak saling pandang. Iris hitam Dewa memantulkan bayanganku secara samar. Alis tebalnya saling bertemu karena kernyitan. Aku mampu menangkap ekspresi kebingungan yang tersirat pada raut Dewa.
"Karena aku nggak jadi dokter hewan?" tanya Dewa.
Aku pun menarik napas dalam. Dewa tak lagi menghalangi jalanku. Aku lantas melangkah keluar dan duduk pada undakan teras. Mataku nyalang memandangi halamanku yang tandus.
Dewa menyusulku. "Maksud kamu?" Ia mengambil tempat di sebelahku.
"Aku baru tahu kalau selain neat freak, kamu ternyata cerewet," ledekku.
Dewa tetap datar. Ia terus saja menatapku lamat. Dewa menungguku mengurai jawaban pada dirinya.
Sebelum melanjutkan bicara, aku berkali-kali berdeham. Tenggorokanku terasa kering. Selain itu, setelah mendengar penjelasanku, Dewa pasti akan menganggapku cengeng. Aku harus mempersiapkan diri dari ejekkannya nanti.
"Papaku adalah seorang arsitek — tadinya," terangku. "Lalu dia memutuskan untuk menjadi seniman pengangguran."
"Terus?"
"Aku lupa kapan terakhir kali melihat papa bekerja dan menafkahi keluarga. Seingatku ia selalu diam di rumah, melukis, atau mabuk. Sementara mama mengambil alih peran sebagai penopang hidup," ungkapku.
Dewa mendengarkan dengan saksama.
Aku kembali melanjutkan, "Padahal, kalau papa mau, dia bisa tetap melukis di sela-sela libur bekerja. Namun papa malah membuang gelar arsitekturnya demi menjadi sampah masyarakat. Atau kalau ia memang ingin di rumah, tidak bisakah setidaknya dia bersikap selayaknya ayah yang baik?"
"Ileana," ucap Dewa. "Ikut campur dalam masalah keluarga seseorang bukan hobiku. Tapi ... apakah kamu menyamakanku dengan papamu?"
Aku mengangguk pelan. "Maaf, aku tahu kalian jelas berbeda. Kamu masih muda, punya banyak waktu untuk menemukan karier yang tepat. Hanya saja aku menganggap itu sedikit tak bertanggung jawab."
"Aku beralih menjadi fotografer bukan karena tidak bertanggung jawab," sanggah Dewa. "Tapi setelah kutimbang-timbang, profesi ini bisa memberiku lebih banyak uang. Selain sebagai panggilan jiwa, aku juga ingin punya banyak tabungan. Asal kamu tahu, aku ini mata duitan." Ia terkekeh.
"Baguslah." Aku ikut meringis.
Dewa masih memandangiku.
"Alasanmu nangis cuma gara-gara itu?" selidiknya.
"Teringat akan papaku otomatis membawaku kembali pada pengalaman pahit bersamanya. Jujur saja, aku sangat membenci tempat ini. Tapi untuk menjualnya pun aku tak bisa karena masih atas nama papa," akuku.
Dewa berpaling dan ikut menatap lurus ke arah kebun.
"Kamu tidak harus membenci tempat ini, Ileana. Kamu hanya perlu menjalani hidup yang berbeda dari orang tuamu," kata Dewa.
"Hidup yang berbeda?"
"Ya, mengganti semua memori kelam dengan hal-hal menyenangkan." Dewa lalu menoleh padaku sambil tersungging. "Jadikan tempat ini sebagai istana milikmu sendiri."
Senyuman Dewa membekukan pandanganku. Torehan bibirnya mengakibatkan debaran aneh yang menggelitik jantungku.
"Kita nggak bisa melupakan masa lalu, tetapi kita bisa menciptakan kenangan baru agar menempatkan segala memori pahit terdesak di tempat paling dasar," lanjut Dewa. "Dan aku dengan senang hati menawarkan bantuan jika kamu membutuhkan seseorang untuk merenovasi tempat ini."
Aku gesit membuang muka.
Wajahku memanas oleh rona. Sungguh jin apa yang sudah menempel pada tubuhku. Mana boleh aku berdebar oleh kekasih temanku. Selain itu, Dewa bukan tipikal lelaki idamanku.
"Betewe, maaf karena aku menyamakanmu dengan orang tidak bertanggung jawab seperti papaku," alihku.
"It's okay," sahut Dewa.
Saat suasana mulai kurasa canggung, kepala Soraya melongok dari dinding pembatas. "Hei, kalian ngobrolin apa?" tegurnya.
Syukurlah Soraya muncul.
"Nih, temenmu lagi mental breakdown." Dewa bangun dari duduk seraya melirikku.
Soraya menatapku lekat. Segaris lengkungan lantas terukir pada bibir tipisnya.
"Tahu, nggak, Lei. Aku ada ide biar kamu nggak galau lagi!" cetusnya.
"Aku nggak lagi mikirin Raihan," elakku.
Soraya merenggut. "Mau mikirin atau nggak, kurasa udah saatnya kamu kenal orang baru," desaknya. "Dan aku punya kandidat tepat buatmu. Seseorang yang jauh lebih baik dari Raihan!"
Hai, Darls!
Finally — MR. VANILLA tamat di Karyakarsa! Baca jalur cepat di sana yuk! Maratonan mumpung besok weekend.
Cari link-nya di papan percakapan Ayana, ya!
Jangan lupa bagi vote dan komen kalian. Follow juga akun ini supaya nggak ketinggalan karya²ku yang lain. Salam sayang 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top