12 |

Ileana

Aku berulang kali menggulir foto-foto baru yang diunggah Raihan setelah kami putus. Kubaca satu per satu komentar-komentarnya, kutelaah macam penelitian studi kasus. Pengirim komentar rata-rata wanita. Dan mereka semua luar biasa cantik sekaligus sukses.

Dari situ aku bisa menarik kesimpulan, Raihan baik-baik saja tanpaku.

Bukankah ia adalah lelaki yang kucampakkan? Akan tetapi mengapa justru aku yang menderita dalam kesepian dan patah hati luar biasa? Rindu segala tentangnya. Rindu masa bahagia kala kami bersama.

"Kamu cantik, but that's it."

"... Kemudian selanjutnya mereka bakal melupakanmu. Karena nggak ada pancaran aura yang kuat padamu."

Aku pun menatap pantulan diriku pada cermin, entah apa maksud perkataan Dewa. Aku lebih suka dia mengejekku buruk rupa ketimbang memujiku cantik tetapi mudah dilupakan.

Mudah dilupakan?

Apakah itu alasan Raihan baik-baik saja meski hubungan kami kandas? Sebab Raihan mudah melenyapkanku dari pikirannya. Aku hanyalah cameo dalam kehidupan main character seperti Raihan. Cuma numpang lewat, kebagian dialog saja tidak.

Apa yang Dewa jabarkan tepat sasaran mengenai egoku. Seakan Dewa menggoreskan belati tajam pada jantungku. Menyakitkan.

Apa yang salah padaku? Apakah karena payudaraku kurang besar? Mungkin sebaiknya aku melakukan breast implant supaya lebih menarik. Atau filler pada bibir agar sensual seperti Angelina Jolie.

"Berengsek."

Aku mengumpat sendiri. Melempar ponsel ke atas kasur dan meringkuk di depan cermin. Jangan mimpi melakukan breast implant, cicilan mobil saja belum lunas.

Aku bukan Miley Cyrus yang bisa membeli bunga-nya sendiri. I'm broke AF.

Toktoktok.

Aku tersentak. Damn it, saat seperti ini aku sangat enggan menerima tamu. Tak bisakah setidaknya aku menikmati patah hatiku dengan tenang?

Toktoktok. Ketukan itu kembali terdengar; memaksaku bangkit sejenak dari tangisan, buru-buru menghapus sisa-sisa air mata yang membuat pipiku basah.

Semoga saja cuma tetangga yang nganterin nasi kotak.

"Ya?" Aku membuka pintu sambil menampakkan senyum lebar. Akan tetapi garis melengkung itu sirna ketika melihat Dewa sudah berdiri di hadapanku.

Dewa menggariskan tawa kecil. "Hei," sapanya sok asyik.

Mau apa anak buah Dajjal ini datang menemuiku? Apa untuk menyiksaku lagi dengan semua caciannya? Semua yang keluar dari mulut Dewa bagaikan fitnah akhir zaman, kejam dan mengakibatkan petaka.

"Ada apa, Tuan Belalai?" sahutku sinis.

Dewa mendeham. Ia lantas menyodorkan kantong plastik transparan berisi kotak makanan.

"Ehm, aku tadi order bubur ayam, sekalian beli dua supaya dapat promo. Buatmu satu," kata Dewa.

Aku menyambar pemberiannya. "Oke. Thanks." Aku bergegas menutup pintu.

"Hei, Ileana." Dewa menahan daun pintuku agar tak tertutup. "Aku sebenarnya mau minta maaf soal tadi."

Rautku masih datar. Untuk sepersekian detik, mata kami saling beradu.

"Soraya yang memaksamu melakukan ini, bukan?" tebakku.

"Nggak. Ini inisiatifku sendiri," aku Dewa. Ia lalu mendengkus seraya memutar bola matanya ke atas. "Baiklah, memang Aya yang memaksaku melakukan ini."

Aku lantas mendorong pintuku lebih kuat untuk mengakhiri pembicaraan unfaedah kami. Namun, Dewa menyelipkan kakinya pada sela pintu demi menahanku pergi.

"Apa, sih, Dewa?!" ketusku.

"Aya memang memaksaku, tetapi aku pribadi juga ingin minta maaf padamu." Dewa memandang langsung pada bola mataku. Sorotnya mengiba, menanti reaksi dariku dengan frustrasi. "I'm so sorry, Ileana. Aku nggak sadar underware-ku nge-distract fokusmu."

Aku membeliak.

"Jadi kamu pikir celana dalam berbelalaimu adalah pokok permasalahan utama kita?"

Dewa mengangguk. "Emang apa lagi?"

"Pernah nggak kamu mikir kalau omonganmu itu selalu bikin aku sakit hati?" geramku.

Dewa berkernyit. "Omonganku? Masa? Yang mana?"

Sialan. Mataku kembali memburam dan memanas. Harga diriku terluka hebat akibat ucapannya, tetapi Dewa justru melupakan semua dengan mudah.

"Enak banget kamu bilang lupa padahal omonganmu berhasil buat aku insecure!" sentakku. Air mata mengalir turun tanpa bisa kubendung. Pertahananku runtuh.

"Lho, kok ...?" Melihatku menangis, Dewa kikuk sendiri.

"Kamu memberiku jawaban pahit kenapa Raihan selingkuh di belakangku, dan kenapa Raihan baik-baik saja selepas kami putus." Aku berusaha menyeka mata dan mengatur napas.

"Raihan?"

"Aku adalah wanita yang mudah dilupakan," kataku getir. "Kamu menyampaikannya dengan sangat baik Dewa."

Kedua pundak Dewa lunglai ke bawah. Ia mendesah berat seraya menampilkan raut bersalah.

"Oh, soal itu ..." gumamnya.

"Aku akhirnya paham kenapa Raihan tidak berusaha mendapatkanku lagi, bahkan untuk sekedar membuat perhitungan denganku setelah kugunduli rambutnya saja ia enggan," ujarku pahit. Tenggorokanku lagi-lagi tercekat. Teringat kalau bukan Raihan saja yang mudah mencampakkanku, mama dan papa pun sama.

"Wait, what? Kamu menggunduli rambut orang?" sergah Dewa.

Aku mendengkus. "Anyway," alihku. "Thanks makanannya. Kamu bisa pergi, maaf aku ngomong ngaco."

"Ileana!" tahan Dewa. "Aku tidak akan ikut campur soal gundul-menggunduli tadi. Tapi, aku benar-benar minta maaf karena sudah berkata ketus padamu. Mulutku memang terkadang tanpa filter, bahkan ibuku sendiri sering menasehatiku soal itu." Ia meringis sendiri. "Tidak hanya kamu, bahkan aku dan adik-adikku juga sering bertengkar gara-gara tersinggung oleh omonganku. Intinya, aku sama sekali nggak ada maksud buat bikin kamu insecure."

"But, you're right, Dewa. Aku memang wanita yang mudah untuk dilupakan orang lain. Dan kamu juga benar ketika mengatakan bahwa aku tidak memiliki kepercayaan diri. Ya, aku memang nggak PD dengan diriku," sergahku.

Dewa mengusap dahinya. "Poinku mengatakan itu agar kamu lebih percaya diri, Ileana. Bukan bermaksud merendahkanmu. Kamu seharusnya bangga karena punya wajah cantik, bukannya malah minder."

"Kamu sebaiknya tidak perlu membesarkan hatiku dengan mengatakanku cantik. Aku tahu aku bukanlah wanita cantik seperti yang kamu katakan. Jika aku memang cantik, tunanganku tak mungkin akan berselingkuh!"

"Pernah mikir kenapa agensimu menerimamu jadi modelnya?" Dewa bersikukuh.

"Karena aku tinggi dan kurus," sahutku.

"Irina Shayk, Jennifer Aniston, Lady Diana, kamu pikir mereka kurang cantik?"

"Apa?" Aku mengernyit. "Maksudmu, aku sekelas sama mereka?"

"Nggak, sih," tukas Dewa tanpa pikir panjang.

Aku sontak melotot karena makin kesal. "Terus ngapain kamu jabarin mereka?"

"Gini-gini ...," jelas Dewa. "Sebaik dan secantik apa pun seorang wanita, dia akan tetap kurang bagi orang yang salah. Akan tetapi sebanyak apa pun kekuranganmu, kamu akan tetap sempurna bagi orang yang tepat. Pernah mikir kalau Raihan mungkin bukan pasangan yang tepat untukmu?"

Aku tertegun.

"Maaf kalau aku bilang kamu tipikal wanita yang mudah dilupakan. Aku mengatakan itu buat mendongkrak kepercayaan dirimu. Aku sama sekali tidak bermaksud menyinggung soal mantanmu. In fact, aku nggak kenal dengan mantanmu, Ileana. Lebih tepatnya, aku nggak peduli," imbuh Dewa.

Jadi aku bukan cameo melainkan tokoh utama pada ceritaku sendiri? Aku dan Raihan cuma berada dalam kisah yang berbeda.

"Jadi masalahnya mungkin bukan padaku?" tanyaku berkaca-kaca.

"Bisa jadi. Yang terpenting adalah berhentilah meratap dan move on?" ujar Dewa.

"Move on?"

Dewa mengangguk. "Kamu tahu, Aya sangat mencemaskanmu. Tidak ada hari tanpa membicarakan betapa khawatirnya dia padamu. Please, jangan manfaatkan kebaikannya untuk terus menerus memelihara kerapuhanmu."

"Aku tidak memanfaatkan Aya," elakku.

"Oh ya? Lalu kamu sebut apa sikap tidak bertanggung jawab tadi siang? Pergi begitu saja saat pemotretan belum selesai. Andai bukan Aya yang mempekerjakanmu, apa kamu berani melakukan itu? Kamu tahu Aya tidak akan tega memberimu penalti."

Aku tertunduk. Aku memang bersikap seenaknya karena Soraya adalah sahabatku. Aku bahkan berniat membatalkan kontrakku tadi.

"Ya, kamu benar," desahku.

"Jadi kamu besok akan kembali ke studio?" tanya Dewa.

Aku mengangguk pelan. "Kamu akan menutup risletingmu dengan benar, kan?"

"Pasti!" Dewa membenamkan wajahnya dalam tangkupan telapak tangan. "Kalau perlu aku akan pakai celana training." Ia terkekeh.

Ini kali pertamaku melihat Dewa tertawa, tersenyum padaku. Tidak ada lagi ekspresi sombong mau pun aura merendahkan darinya.

Mungkin aku terbiasa mendengarkan gombalan dan segala rayuan Raihan selama bertahun-tahun. Aku terjebak dalam belenggu semu yang Raihan bangun terlalu lama. Sehingga semua perkataan jujur Dewa terdengar menyakitkan bagiku. Aku sudah terlalu lama dimanjakan oleh kebohongan.

"Itu kucingmu?" Dewa menunjuk menggunakan dagunya.

"Ya, dia Sultan."

Dewa berjongkok dan menjentikkan jari ke arah Sultan. "Sini, Pus." Ia tersenyum ramah sekali. Sungguh aneh karena dia lebih santun terhadap hewan ketimbang pada sesama manusia.

Sultan mendekat seraya mengusap-usap tubuhnya pada Dewa. Kucing itu juga mendadak caper dan berlaku baik.

"Biasanya dia jutek sama aku," ujarku.

Dewa mengelus Sultan dengan lembut. "Mungkin kalau kamu lebih sering membersihkan litter box-nya dia akan lebih manis padamu." Ia melirik kotak toilet Sultan yang terletak di sudut rumah.

"Pernah kepikiran buat OCD-checking?" sungutku.

Dewa menyeringai. "Pernah kepikiran kalau kamu mungkin mengidap Clutter?" Ia balik menyerangku.
(*gangguan psikologis suka menimbun barang / menumpuk sampah)

Aku dan Dewa saling beradu pandang, sejurus kemudian tawa kami pun kompak meledak. Sungguh aneh karena ejekannya tak lagi mengusik hatiku. Bahkan jika dipikir-pikir lagi, aku suka dengan balasan yang ia kelakarkan.

***

Gemuruh petir saling sambar menyambar ketika aku sampai di lantai lobi. Hujan tiba-tiba turun deras saat pemotretan di klinik rampung. Mana sangka cuaca lembab tadi sore merupakan tanda badai malam ini.

Aku melanjutkan langkah sambil merapatkan outer.

"Mau balik, Mbak Ileana?" sapa security yang berdiri di depan pintu masuk.

Aku membalas senyumannya. "Iya, Pak. Udah malam."

"Sudah beres, to, pemotretannya?"

Aku mengangguk. "Udah, Pak. Tapi besok ke sini lagi. Lanjut buat videonya."

"Oh iya, sudah dikasih tahu tadi sama crew-nya. Besok saya juga kebagian disorot, lho, Mbak. Adegan bukain pintu buat Mbak Ileana." Security itu mesem.

"Wih, asyik. Masuk tipi," ledekku. "Yawes, Pak. Aku balik, ya."

"Eh, Mbak, masih deras ujannya. Parkir di mana? Ayo saya antar pakai payung, biar tidak masuk angin," tawar Pak Sarwo.

Aku menggeleng. "Jangan, Pak. Ini, kan, mau closing, nanti Bapak dicariin sama bagian resepsionis. Nggak apa-apa, tuh mobilku kelihatan dari sini, kok."

"Beneran, Mbak? Deres banget ini," katanya sambil nyalang ke arah langit.

"Nggak apa-apa, Pak. Biar deres juga nggak bakal kehujanan karena naik mobil. Amanlah!" Melihatku melanjutkan langkah, si security sigap membukakan pintu. "Duluan, ya, Pak. Sampai besok," pamitku.

Hari ini semua berjalan lancar. Dewa berhasil mendapatkan foto-foto yang ia inginkan di studio. Oleh karena itu, kami bisa berpindah photoshoot di klinik kecantikan milik Soraya. Meski harus bekerja hampir 12 jam, aku tidak terlalu merasa lelah. Kalau lancar, besok merupakan agenda terakhir bagi kami; yakni membuat klip video untuk kebutuhan promosi, menjabarkan rangkaian treatment sekaligus produknya.

"Iya, Mbak Ileana. Ati-ati."

Aku pun bergegas keluar dari klinik. Mataku sedikit menyipit akibat cipratan air hujan yang terbawa angin kencang. Namun, langkahku terhenti ketika memergoki Dewa sedang berdiri di depan pintu keluar. Ia meneduh sambil melamun galau. Bibir Dewa yang tipis menggaris lurus cemberut. Belum pulang nih anak Dajjal?

"Kok, belum pulang?" tegurku.

Dewa menoleh. "Oh, Ileana." Ia lalu melirik sinis. "Ujan. Gimana lagi, aku ke sini, kan, bawa motor."

Bener juga. Si Dewa ke mana-mana naik Benelli Motobi-nya. Kulihat dia nggak ada mobil.

"Bareng, ta?" tawarku.

"Motorku gimana?" sungut Dewa ketus.

Eh ini anak ...! Sudah ditawarin baik-baik malah bikin keki. Apa Dewa memang selalu sengak macam singa birahi, ya?

"Taruh sini aja. Aman, kok. Nanti di masukin halaman belakang sama Pak Sarwo," kataku.

"Pak Sarwo siapa?" tanya Dewa.

Aku menunjuk ke dalam lobi. "Pak Sarwo, security klinik."

Dewa kelihatan sangsi.

"Besok aku berangkat kerjanya gimana?" tanyanya lagi.

"Ya, besok bareng lagi. Tujuan kita, kan, sama!" sahutku meninggi. "Buruan, mau nggak? Dingin ini." Aku merapatkan outer demi menghalau udara malam.

"Ya udah. Bentar, aku kasih kunci motor ke Pak Sarwo dulu." Dewa melengos masuk ke dalam.

Aku lantas menunggunya. Sesekali kutoleh sosok Dewa yang sedang berbicara dengan security di dalam. Lama sekali semprul itu. Nyesal aku nawari dia balik bareng. Apa yang diomongin, sih? Tinggal nitip kunci lama bener. Apa dia tidak khawatir aku masuk angin di sini?

Hmm ... kayaknya nggak, sih.

"Lama bener?!" semprotku saat Dewa akhirnya datang menyusul. Dia membawa payung klinik dalam genggamannya.

"Lama apanya?" sungut Dewa. "Yang sabar jadi orang."

Aku pun menyerahkan kunci kontakku pada Dewa. "Kamu yang nyetir. Jangan enak-enak jadi juragan."

"Iya," jawab Dewa singkat. Ia pun membuka payung yang ia pinjam.

Belum sempat aku ikut berlindung di sampingnya, Dewa ngacir begitu saja menerobos derasnya badai. Kukira dia bawa payung buat dipakai bareng, ternyata Bedebah itu ngeluyur begitu saja meninggalkanku.

"Huh!" Aku pun berlari menembus hujan sambil menutup kepala dengan telapak. Sementara tangan satunya mengapit tas Celine Trapeze-ku. Dengan penuh emosi, aku membuka pintu mobil di samping kursi kemudi. Mataku melotot mengarah pada Dewa yang sudah duduk manis seraya menyalakan mesin. "Dewa!" bentakku.

"Apa?" tanya Dewa tanpa dosa.

"Bawa payung dipakai sendiri! Nggak lihat aku basah gini?" protesku.

"O ... sorry, nggak tahu," jawab Dewa santai. Ia menengok ke kaca spion tengah untuk memundurkan mobil.

"Peka dikit jadi cowok. Sama Soraya kamu juga gini? Cuek?" sungutku.

Dewa menyeringai. "Nggak dong. Sama Aya bedalah. Spesial istimewa."

"Dih!" decakku.

"Kamu bukan pacarku jadi sorry kalau aku nggak peka. Aku tipikal orang yang agak males menerka-nerka kemauan orang. Jadi kalau kamu tadi mau nebeng payung, harusnya bilang," ujar Dewa.

Bagus juga, sih. Soalnya Dewa bukan lelaki genit yang doyan tebar perhatian sana-sini. Cuman aku, kan, bestie pacarnya, agak baik dikit, kek.

"Gimana mau bilang, orang kamu udah ngibrit aja kayak jambret!" dumalku.

Dewa hanya menoleh padaku sekelebat. "He-he," ringisnya.

Selama di jalan, aku dan Dewa tidak terlalu banyak bicara. Kami khusyuk mendengarkan lagu-lagu Barat di radio. Sesekali aku bersenandung pelan mengikuti lirik lagu. Sementara, Dewa lebih sering menirukan instrumen musiknya. Entah suara tabuhan drum atau betotan bass yang terdengar pada fill in tiap-tiap lagu.

'I just wanna live in this moment forever ...' Suara catchy Troye Sivan mengalun lembut.

"Teww ... tew ... tewww ..." dendang Dewa mengikuti irama.

Aku seketika mengernyih. Emang agak lain kutengok ini anak.

Perjalanan kurang dari sejam memberikanku insight baru mengenai Dewangga Satya. Dia adalah golongan lelaki idealis yang punya watak super perfeksionis menyangkut pekerjaan. Meski begitu, Dewa juga punya kebiasaan aneh yang melunturkan citra karismatiknya, pertama dia neat freak dan kedua dia payah dalam menirukan ritme.

Hujan yang semula membabi buta perlahan mereda menyisakan rintik. Dewa memperlambat laju kendaraan karena tujuan kami hanya tinggal beberapa blok lagi.

"Eh," tegur Dewa. "Mobil siapa itu di depan gerbangmu."

Aku menajamkan pandangan. Seketika netraku terbelalak diiringi degup jantung berdebum kencang.

"Itu ... Raihan ..."

Hai, Darls!

MR. VANILLA sudah hampir tamat pada apl. Karyakarsa. Yuk, baca jalur cepat di sana. Sekalian, bisa traktir Ayana jajan mixue!

Salam sayang 🖤🖤🖤

Jangan sombong² dan follow sosmed Ayana juga 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top