10 |
• Ileana •
"Matamu kenapa, Lei?" Soraya menelisik wajahku secara saksama. Sudah seminggu lebih aku hilang dari peredaran bumi.
"He he ..." Aku menyengir getir.
"Kamu abis nangis?" Soraya meletakkan kotak tupperware berukuran jumbo ke atas meja makan.
"Nggak. Kebanyakan tidur aja," bantahku.
"Bohong," tukas Soraya. "Nangisin siapa? Raihan meninggal, ta?" Ia terkekeh sendiri.
Aku terdiam.
Bibirku gemetar dan mataku mulai memanas. Padahal cuma dengar nama Raihan disebut tapi hatiku sudah mellow bukan main.
"Lho? Lei?!" Soraya melotot gelagapan. "Kok nangis? Emang dia beneran meninggal apa?" Ia pun memelukku. "Cup ... Cup, Sayang."
Aku terisak hebat. Air mata kembali meluncur deras padahal sudah kutahan mati-matian.
"Aku memang nangisin Raihan, Ya," seduku sesak. "Mungkin sudah kekumpul satu liter air mataku gara-gara dia."
"Memangnya Raihan kenapa, Lei?" tanya Soraya. "Dia ngehubungi kamu buat maksa balikan lagi, ya?"
Aku menggeleng.
"Justru dia nggak hubungi aku," sahutku. "Dia hapus semua fotoku dari feeds-nya. Dia mungkin sudah punya pacar lain."
Soraya mendesah berat. Ia mengusap punggungku menggunakan jemarinya. Sentuhan kasih sayang yang menyebabkan tangisku menggebu sejadi-jadinya. Soraya memberikanku waktu untuk menuntaskan emosi. Ketika aku sudah lebih tenang, ia pun melonggarkan dekapan.
"Aku bawa lasagna, Lei," ujar Soraya. "Kamu sudah makan?"
Aku mengangguk. "Sudah," kilahku.
"Makan apa?" selidik Soraya.
"Apel," jawabku berlinang air mata.
Soraya mundur selangkah dengan mata melotot hampir keluar. Ngeri sekali — kukira dia kesurupan.
"Jangan bilang beberapa hari ini kamu cuma makan apel?!" bentak Soraya.
"Memangnya kenapa? Apel juga makanan dan mengenyangkanku," kataku.
"Ariadne Ileana!" Kalau sudah memanggilku dengan nama lengkap, itu berarti Soraya sedang murka berat.
Perlakuan Soraya padaku seperti ibu memperlakukan anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Soraya bahkan lebih care ketimbang orang tua kandungku. Ia lantas memaksaku duduk di kursi makan, diambilnya satu piring pada rak di dekat sink.
Dengan penuh emosi, Soraya membuka tutup tupperware dan memotong potongan besar lasagna. Ia kemudian meletakkannya di piring untukku
"Makan!" titah Soraya.
"Aku masih kenyang," tolakku.
Soraya mendengkus. "Kamu nggak kepikiran jadi Biksu di Thailand, huh?!"
"Biksu?" Kuseka sisa air mata pada pipiku.
"Kamu sering banget puasa tahan lapar! Padahal kamu bisa, lho, beli atau order makanan," geram Soraya.
"Aku, kan, tadi udah bilang kalau aku kenyang. Aku sudah makan apel," terangku. Aku lantas tersenyum jail. "By the way, cewek boleh jadi Biksu, Ya? Mau deh aku. Dibayar, nggak?"
Mata Soraya yang bulat sontak membeliak. Ia kesal oleh candaanku. "Kubilang makan!"
Aku mau tidak mau menurut. Kujejalkan potongan kecil lasagna ke dalam mulut. Aku tahu penyebab Soraya marah. Dia tidak suka pola makanku yang berantakan.
Aku dan Soraya kompak membisu.
Dia mengawasi makanku dengan saksama - memastikan aku menghabiskan lasagnaku. Setelah tersisa kurang dari separuh, Soraya pun mengembuskan napas berat.
"Kamu mau menyiksa diri sendiri, padahal Raihan menjalani hidup tenang-tenang aja?" tukas Soraya. "Kalau dia bisa baik-baik aja tanpa kamu, kenapa kamu nggak balas melakukan hal yang sama? Kamu cantik, Lei. Model pula. Banyak cowok antri diluaran sana."
"Banyak tapi kalau bukan dokter kayak Raihan, buat apa?" ketusku.
"Apa hebatnya, sih, kalau dia dokter? Terlepas dari pekerjaannya -- dia cuma cowok mesum yang mengkhianatimu. Dia nggak menjaga komitmen pertunangan kalian. Kok kamu mau-maunya sama lelaki macam dia?"
"Mungkin dia sudah menyesal, Ya," bantahku.
"Kalau gitu sana balik lagi sama Raihan. Jalanilah hidup penuh kecurigaan karena waswas kalau nanti dia bakal selingkuh lagi. Selingkuh itu penyakit," dumal Soraya.
Aku membuang muka. "Bukankah kamu juga punya banyak pacar, Ya. Baru sekarang aja kamu mutusin serius sama Dewa. Kemaren-kemaren gimana?" serangku.
Soraya terperangah. Ia membalas tatapanku dengan sorot penuh amarah.
"Pacar-pacarku nggak ada yang sampai tunangan. Beda sama kamu dan Raihan. Kalian udah mau merid! Lagian, setelah menemukan yang benar-benar pas, kuputusin semua cowok-cowokku dan memilih setia pada Dewa. Cara pandangku soal hubungan sudah berubah. Sekarang, aku menghargai arti kesetiaan.
"Sama aja, kan? Bagaimana kalau aku juga mengubah cara pandang Raihan tentang kesetiaan? Bagaimana kalau wanita-wanita itu cuma mainan Raihan aja, sementara aku yang dia pilih untuk diseriusin!" Aku ngotot.
"Kalau kamu kehausan, nggak berarti kamu harus minum racun, Lei," pungkas Soraya.
Aku mendengkus.
"Jangan nyamain Raihan sama racun. Aku juga salah dalam hubungan kami. Raihan sudah lama memintaku berhenti jadi model. Soalnya dia nggak suka aku berdandan demi orang lain. Bisa saja karena hal tersebut Raihan sebal dan cari pelarian! Akhir-akhir ini aku juga jarang tampil cantik kalau di rumah. Mungkin Raihan jengah lihat penampilanku yang selalu gembel."
"Heh!" sentak Soraya bengis. "Masalah bukan ada di kamu. Secantik apapun pasangannya, kalau dia nggak respect, sia-sia aja. Dalam suatu hubungan, tanggung jawab dan respect itu penting!" ujarnya.
Aku mengernyit. Sejak kapan Soraya begini bijak? "Itu bukan kata-katamu, kan?" cemoohku. "Ngutip di mana?"
Soraya refleks cengengesan. Perubahan ekspresinya mencairkan ketegangan antara kami berdua.
"Kok kamu tahu aja, sih?" kekeh Soraya. "Itu omongannya Dewa."
Tawaku memudar. Dewangga Satya lagi. Menurutku dia juga bukan lelaki baik - sombong dan sok.
"Oh," gumamku.
"Sorry kalau omonganku ada yang nyakitin kamu. Nggak seharusnya aku ketus padahal suasana hatimu sedang buruk." Soraya melempar senyum lembut padaku.
"Nggak apa-apa. Aku juga salah, kamu memang benar soal Raihan. Aku memang begitu merindukannya, tetapi kembali padanya bukanlah jalan keluar," ujarku.
Soraya menggenggam tanganku. "Mungkin kamu hanya perlu mencari lelaki baru, Lei. Atau paling nggak, kita hangout buat jernihkan pikiran."
Aku mengangguk.
"Dari pada lelaki baru, aku lebih butuh cari orang yang mau beli mobilku," kataku.
"Mobilmu?" selidik Soraya.
"Kurasa aku nggak sanggup bayar cicilannya. Itu sangat membebani. Dulu biaya hidup ditanggung Raihan, sekarang sejak nggak sama dia, aku harus kembali mandiri secara finansial," terangku.
Soraya memandangku iba. "Gimana dengan gajimu sebagai model?"
"Itu nggak cukup, Ya. Kamu, kan, tahu aku bukan model kenamaan. Honorku belum gede, lagian akhir-akhir ini aku lagi sepi job," beberku.
Aya terdiam. "Lei, ngomong-ngomong — aku lagi cari model buat produk dan treatment klinik. Kamu mau ambil? Bayarannya lumayan."
Aku sontak menggeleng. "Aku udah bilang, kan, jangan campur adukkan persahabatan dengan bisnis," sanggahku.
"Nggak tuh!" elak Soraya. "Ini pure profesionalitas. Kamu yang paling cocok buat jadi muka klinik kami."
"Pakai selebgram atau model yang udah famous, dong. Klinik kamu salah satu klinik kecantikan gede, masa pakai model ecek-ecek kayak aku." Aku sadar diri. Aku tahu Soraya mencoba membantuku, tapi apa yang ia lakukan terlalu berlebihan.
"Bagiku kamu pantas merepresentasikan brand-ku. Aku sudah lama mau nawarin kamu, tetapi kendalanya aku sungkan sama Raihan. Dia selalu bilang kalau nggak suka kamu jadi model. Niatku jadi urung. Nah, sekarang, kan kalian sudah putus, jadi kurasa ini saat yang tepat." Soraya bersikukuh.
"Ini kehormatan buatku, Ya. Tapi juga beban besar," akuku.
Soraya menatapku lekat. Seutas tarikan muncul pada bibirnya yang tipis. "Kamu hanya perlu melakukan tugasmu sebagai model, Lei. Kamu mau nerima tawaranku, kan?" bujuknya.
"Aku ..." Mataku terpesona oleh iris bulat kecokelatan milik Soraya. Dia seakan menghipnotisku. "Aku akan menerimanya, Ya. Dengan senang hati."
***
Tiga orang make up artist mengelilingiku, satu dari mereka mengikat jalinan rambut sparkling ginger-ku tinggi. Sementara dua yang lain memulas riasan natural pada wajahku. Ruang ganti yang kudiami cukup dingin; aku yang cuma memakai dress kemben pun sedikit menggigil. Center point-nya memang wajahku, jadi rambut dan pakaiannya tidak boleh lebih mencolok.
Hari ini agendanya pemotretan, dan kalau lancar besok akan lanjut syuting video.
Wajahku akan terpampang di majalah klinik, brosur, dan halaman sosial media mereka. Begitu pula pada billboard yang dipasang pada titik-titik jalan utama kota. Sungguh pengalaman mendebarkan dan berhasil membuatku bersemangat.
Hanya saja, aku masih merasa tidak cukup pantas. Andaikan Soraya bukan sahabatku — apakah mungkin tawaran ini diberikan untukku?
"Sudah, Kak. Kita ke sebelah, yuk!" MUA memintaku berpindah lokasi.
Aku mengangguk.
Sebelum meninggalkan ruang rias, aku memeriksa penampilanku pada cermin. Lumayan okelah. Kutarik napas dalam-dalam demi menghalau gugup.
"Mari, Mbak," ajak MUA lagi.
"Iya." Aku mengikuti.
Di luar sudah banyak crew yang menanti. Studio fotonya lebar dan luas, seluruh dinding di dominasi warna putih. Pencahayaan ruangan juga bagus karena jendela besar berderet menghadap persis ke arah matahari. Di bagian tengah, terdapat area khusus pemotretan yang dipasangi background putih; alat-alat lighting berdiri tegak mengelilingi, semua sudah siap.
"Kita tunggu fotografernya dulu, ya, Kak. Sudah datang kok, tapi tadi keluar sebentar," jelas salah satu crew.
"Okay." Aku mengangguk paham.
Semenit — dua menit berlalu. Aku masih sabar menunggu. Tapi, berjalan sampai sepuluh menit dan si fotografer belum muncul batang hidungnya. Kalau begini make up-ku bisa luntur. Tidak hanya aku yang gelisah, semua orang di ruangan itu juga tampak cemas. Di lain sisi, salah satu crew foto berbaju serba hitam mondar-mandir sambil menempelkan ponsel pada telinga.
"Nggak diangkat," decihnya.
Aku yang mencuri dengar spontan emosi. Cih. Siapa, sih, fotografer ngaret yang Soraya pekerjakan? Tumben aku menunggu photoshoot sebegini lama. Awas aja kalau hasil jepretannya nanti nggak oke.
"Sorry, sorry!"
Aku otomatis menengok ke asal suara. Namun, mataku melotot lebar karena sosok Dewangga Satya berjalan memasuki studio.
Dia fotografernya?!
Pantas waktu kutanya siapa fotografernya, Soraya diam saja. Ternyata aku sedang dijebak! Soraya tahu aku nggak suka sama Dewa. Dia tahu aku bakalan nolak job ini kalau harus kerja sama sama pacarnya! Soraya, awas kamu!
"Yuk, kita mulai." Dewa mengambil kamera dan mengkode crew lain untuk bersiap.
Mereka pun menyalakan lighting. Sambil berjalan mendekat. Mataku melirik Dewa sinis. Dia nggak sadar karena sedang fokus mengutak- atik kamera. Ia sempat melirikku sekelebat. Tetapi Dewa sama sekali tak menyapaku, atau sekedar melempar senyum ramah. Bener-bener sombong!
"Agak pucet make up-nya, ya?" celetuk Dewa.
Si MUA menimpali, "Mbak Soraya minta yang natural, Mas."
"Oh," gumam Dewa. Ia lantas menengadah untuk menyorot wajahku lekat. Matanya tajam terkesan mengintimidasiku.
Napasku tertahan tatkala Dewa menelisik penampilanku. Entah kenapa ada gugup bercampur salah tingkah menyergap dadaku.
Iris noir Dewa membingkaiku tanpa kata. Kedua alis hitamnya sedikit berkernyit seakan menangkap keganjilan pada parasku. Bibir tipisnya terkatup - nyaris tanpa senyum. "Bisa kasih pewarna bibirnya yang lebih gelap? Muka dia terlalu pucat, warna itu bikin dia mirip mayat. Nggak fresh."
Aku melotot.
Pucat mirip mayat, dia bilang? Apa yang meluncur dari bibirnya selalu bikin kupingku panas. Kenapa Dewangga Satya suka sekali menghinaku, sih?!
Hai, Darls!
Buat yang mau baca di KK atau Besto, bisa buka mulai bab 08, ya!
Perbab aslinya panjang-panjang, tapi di Wattpad aku potong dan bagi jadi 2/3 bagian.
Thank you uda baca, kalau suka bisa bantu Ayana dengan vote, komen, dan share karya ini di sosial media kalian. It's mean a lot fo me 🖤🖤🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top