07 |
• Dewangga •
[ Penasaran Aya dan Dewa ngapain? Baca di Bestory / Karyakarsa bab 06 ]
"Pakai bajumu, Sayang," kataku.
Aya terkikik. "Kenapa, sih? Buru-buru amat?" tanyanya.
"Nanti Ileana lihat kita." Aku melepaskan dekapan Aya dan menyambar pakaianku. Kuraih kotak tisu dan memberikannya pada Aya. "Yuk," ajakku.
Aya menerima pemberianku dan menarik beberapa lembar untuk membersihkan diri. Ia tidak beranjak justru menjatuhkan kepala ke atas bantal.
"Aya?" tanyaku bingung.
"Aku ngantuk. Mau tidur sampai Ileana pulang." Aya melirikku sambil menepuk-tepuk kasur. "Mau join?"
Aku menggeleng cepat. "Ngawur," tolakku. "Apa kata temanmu kalau melihat kita berdua tidur telanjang di kamarnya?"
"Santai aja, Beb. Aku dan Ilei sudah sobatan sejak lama. Dia nggak akan marah," kekeh Aya.
Aku kembali menggeleng. Mereka mungkin sudah mengenal sejak lama — tetapi tidak dengan aku.
"Baiknya aku balik ke rumah," sahutku menaikkan jeans. "Seenggaknya pakai bajumu, Ya." Aku memberikan pakaian Aya yang berserakan di lantai.
Aya mengangguk dan mengenakan pakaiannya secara sembarangan. Aku pun mengecup pelipisnya dengan penuh kasih sayang. Aya memeluk guling erat dan memejamkan mata nyaman.
"Aku pergi, ya."
"Hmm." Aya menggumam. "Bangun tidur, aku langsung balik, ya. Mau mampir ke klinik soalnya."
"Ya." Aku pun melangkah menuju pintu, tetapi kakiku mendadak tersandung oleh seonggok kain. "Astaga ..." desisku. "Ini punya kamu, Ya?"
Aya berkernyit karena aku membangunkan sesi tidurnya. "Bukan. Punya Ileana itu." Ia melirik sekelebat.
Bener-bener berantakan!
Aku baru sadar kalau ruangan ini sangat kacau balau. Banyak pakaian berhamburan di lantai. Ternyata bukan Aya saja yang tidak suka bersih-bersih, sahabatnya sama saja.
"Aku taruh di mana?" tanyaku.
"Kembalikan aja ke lemari," jawab Aya sedikit kesal. Ia menunjuk lemari pakaian yang ada di sebelah ranjang.
Aku lantas membawa pakaian Ileana dan melangkah menuju almari. Kutarik pegangan material kayu untuk meletakkan baju itu kembali ke asal. Namun begitu lemari terbuka, tumpukan baju di dalam mendadak jatuh menimpaku. Seperti tanah longsor.
"Haissh!" gerutuku sebal.
Bagaimana bisa Ileana menumpuk lipatan bajunya secara sembarangan seperti ini? Lihatlah akibatnya, semua pakaian di lemari akhirnya semakin berantakan tidak karuan.
"Ya? Gimana, ini?" Aku menoleh pada Aya frustrasi.
Aya membalikkan badannya memunggungiku. "Please, Beb. Jangan cerewet. Aku ngantuk berat!" Ia mendengkus. "Udah tinggal aja. Biarin kayak gitu."
Aku mengembuskan napas berat. Untuk waktu cukup lama, aku hanya tertegun memandangi gunung pakaian yang berceceran. Sialan.
Seharusnya aku menuruti perkataan Aya untuk tidak mengacuhkannya. Tapi jiwa neat freak-ku memang kurang ajar! Aku justru menjatuhkan bokong ke ubin dan melipat baju-baju Ileana satu per satu. Mana bisa aku membiarkan ketidak-rapian mengganggu mataku. Pada akhirnya, aku urung pergi dan terjebak dalam pusara busana tak berkesudahan.
***
Langit berwarna semburat oranye kemerah-merahan saat aku kembali ke rumahku sendiri. Jika sesuai rencana, bersih-bersihku pasti sudah selesai sejak tadi. Namun semua meleset gara-gara merapikan rumah Ileana. Yup. Aku merapikan hampir semua sudut rumah Ileana karena tidak mampu mengendalikan jiwaku sendiri. Hasrat untuk membersihkan kulkas Ileana berujung pada tumpukan peralatan makan yang menumpuk di sink. Dari dapur, aku malah belok mengumpulkan sampah di tiap penjuru ruangan. Merembet mengelap seluruh furnitur serta menyapu dan mengepel lantai marmernya.
Kini tenagaku sudah habis. Tidak ada lagi gairah untuk merapikan kediamanku sendiri. Toh, rumah yang sudah lama kosong ini masih lebih rapi ketimbang rumah Ileana tadi.
Aku pun menjatuhkan badan letihku ke atas sofa kuning ngejreng. Melampiaskan lelah sesaat sebelum mulai masak untuk makan malam. Tadi Aya sudah memenuhi kulkasku dengan pasokan bahan pangan yang cukup sampai seminggu. Aya tahu kebiasaanku; dari pada beli di luar, aku lebih suka masak sendiri.
Semakin lama, mataku mulai berat. Aku sontak terpejam karena dikuasai kantuk teramat sangat.
"Orang tuanya sudah bercerai."
"Kupikir Raihan bakal membahagiakannya, tapi dia malah berselingkuh!"
"... Dibayar 50 ribu buat jadi model toko pakaian di Facebook."
"Uangnya sering dirampas papanya ..."
"Dia tuh nggak jaga pola makan."
Ah, sial. Kenapa cerita Aya tentang Ileana terbayang-bayang dalam benakku. Sekarang aku jadi kasihan sama nasib itu anak. Padahal, apa peduliku, coba?
Entah kenapa aku spontan menyamakan Ileana dengan kucing di shelter ibu. Nggak semua hewan mendapatkan kesejahteraan dan kasih sayang. Sama seperti Ileana yang kurang beruntung, baik keluarga mau pun percintaan. Aku lantas menegakkan badan, lalu melangkah menuju dapur.
Aku mengurungkan niat untuk tidur — sebaiknya aku bergegas menyiapkan makan malam.
***
"Brengsek!"
Aku mendengar suara umpatan Ileana saat kebetulan berjalan keluar. Kedua tanganku membawa sepiring teriyaki ayam bikinan sendiri, rencananya akan kubagi dengan Ileana. Namun sumpah serapah wanita itu membuat langkahku terhenti. Aku pun menengok lewat pembatas dinding rumah, Ileana sedang menendang sesuatu dengan penuh emosi.
"Ini gimana, sih?!" Ileana kembali memaki.
Aku akhirnya sadar dia sedang merakit kandang untuk kucing. Ukuran kurungan besi itu memang lumayan besar, pantas dia kesusahan.
"Eh'ehm." Aku berdeham.
Ileana sontak menoleh. Matanya melotot begitu sadar aku mengintip sedari tadi.
"Oh, Dewangga," sapa Ileana.
Aku menjulurkan piring melalui sekat dinding rumah. "Ayam teriyaki," kataku.
Ileana menatap pemberianku cukup lama. Tanganku sampai kram karena dia tidak segera menerima apa yang kusodorkan.
"Buatku?" tanya Ileana.
"Ya buat siapa lagi?" sahutku.
"O, makasi." Ileana mengambilnya.
"Kembalikan piringnya besok aja," kataku seraya berlalu darinya.
Ia tidak menjawab. Sementara aku bergegas masuk lagi ke dalam rumah. Aku seketika penasaran ... apa Ileana bisa menyelesaikan merakit kandang itu? Sudahlah. Bodo amat.
"Ileana itu kuat nahan lapar, ujungnya maag-nya kumat."
Langkahku terhenti. Sialan. Sialan. Sepertinya Aya berhasil mencuci otakku. Akibat propagandanya, aku jadi punya empati besar sama si Ileana itu. Betul-betul sialan!
Aku pun berbalik badan dan kembali menengok Ileana. Ia masih berkutat pada pekerjaannya. Sementara teriyaki pemberianku ia letakkan sembarangan di lantai teras. Benar kata Aya, Ileana memang nggak hobi makan. Pantas badannya kurus begitu. Shit. Aku jadi makin simpati sama ini anak. Bayanganku dia kurus karena nggak bisa makan, padahal profesinya model, bukan? Bisa jadi dia kurus karena emang sengaja diet.
"Hei," tegurku.
Ileana tersentak. "Dewa?" sahutnya gelagapan. "Kenapa lagi?" Ia memandangku lekat.
"Kamu lagi ngapain?" selidikku.
"Nggak lihat kalau aku lagi ngerakit kandang kucing," jawab Ileana ketus.
Cih. Jutek sekali.
Tapi biasanya kucing-kucing rescue di shelter juga galak-galak dan agresif. Sikap itu karena mereka sudah lama disakiti oleh manusia, serta mengalami kehidupan yang berat di luaran sana. Kesalku karena bentakan Ileana mendadak hilang. Aku jadi kasihan lagi sama ini anak.
Cih. Agak aneh juga, sih, karena aku menyamakan dia sama kucing liar.
"Kenapa kucingmu dikandangin?" Aku kembali bertanya.
Ileana mendengkus. "Besok aku ada kerjaan dan harus ninggal rumah, Sultan suka kencing sembarangan," terangnya.
Ia membuang muka dan melanjutkan kesibukan. Namun aku tak melihat progress apa pun dari pekerjaannya. Ileana berkali-kali mengaitkan pengait kandang ke tempat yang salah.
Aku pun menghela napas panjang.
"Mau kubantuin?" tawarku pada Ileana.
Dear, Sugar
Baca MR. VANILLA jalur cepat pada aplikasi Bestory dan Karyakarsa, yuk. Bantu Ayana ngumpulin duit buat beli tahu bulat.
Salam sayang 🖤 Pacarnya Brian Domani —
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top