02 |

Dewangga

Bagiku, seorang lelaki tidak boleh berpikir terlalu lama soal memantapkan pilihan. Ikuti kata hati sembari menyesuaikan dengan kemampuan, baik kemampuan finansial mau pun mental. Seperti keputusanku untuk pindah dari Malang ke Surabaya demi membuka bisnis dan opportunity baru.

Jadi gini ... semua berawal dari aku yang merasa sudah terlalu lama mendekam di kota ini.

Kuliah pun keterima di Brawijaya mengambil jurusan kedokteran hewan. Sambil kuliah, aku iseng join klub fotografi. Niatnya cuma usir kebosanan sekalian isi waktu. Mana sangka malah banyak teman minta tolong difotoin pada momen-momen penting mereka. Dari yang awalnya sukarela jadi mematok harga.

Dari situ aku sadar dunia fotografi ternyata asik juga. Profesi itu juga challenging. Dan yang paling penting, uangnya lumayan. Aku juga sering keluar masuk tempat bagus yang sudah dibayarkan oleh klien. Kemudian puncak dari titik balik dalam hidupku adalah ketika aku mampu membeli kamera Leica yang menjadi impian para fotografer. Yes, exactly! Kamera buatan Jerman yang itu. Aku beli sendiri dari hasil tabungan sebagai fotografer lepas.

So, sudah ada bayangan, kan, berapa penghasilanku sebagai fotografer? Banyak.

Akhirnya aku mantap memilih menekuni dunia fotografi, ketimbang serius mau jadi dokter hewan. Kuakui, memang aku sangat mudah membelokkan passion. Biar saja. Kesempatan tak datang dua kali dan minatku lebih condong ke fotografi. Lagian, jadi dokter hewan bukan mimpiku. Itu maunya ibu karena ibu senang sama binatang. Saking sayangnya, ibu sampai buka shelter bagi hewan terlantar; khususnya anjing dan kucing.

"Bu, aku nggak ambil coass selepas wisuda nanti." Kataku kala itu.

"Kenapa, Wa? Tinggal selangkah lagi untuk mendapatkan gelar drh., lho!" Aku masih ingat raut ibu yang bingung setengah mati.

"Sepertinya aku urung menjadi dokter hewan, Bu. Maaf, tapi ... aku pengen serius jadi fotografer."

Soal perubahan profesiku, ibu ngaku kecewa. Dia cuma minta aku menyelesaikan kuliahku sampai lulus. Tanggung karena sudah masuk semester akhir. Meski agak gusar, ibu sama sekali tidak menentang. Dia adalah tipikal orang yang jarang menuntut anak-anaknya demi obsesi pribadi. Sama seperti ayah; menurut ayah, profesi apa pun bagus kalau ditekuni secara serius. Apa lagi mereka sudah melihat sendiri kegigihanku untuk belajar fotografi dari nol. Saat teman sekelas sibuk meneliti anatomi pada kadaver alias bangkai hewan yang diawetkan, aku justru bolos demi mengikuti workshop fotografi dan videografi.

DAN alasan paling utama mereka setuju karena sudah lihat hasil nyata dari kerjaanku. Apa lagi kalau bukan uang alias cuan.

Dulu aku nggak ngerti kenapa teman atau kenalanku yang (terhitung) tajir memilih menggunakan jasaku alih-alih fotografer pro kenamaan. Setelah kutanya, kata mereka hasil bidikanku terlihat hidup. Aku pintar menangkap momentum. Aku juga tahu angle terbaik dari klien-klienku. Nggak ada, tuh, potret candid yang berujung failed. Semua perfect.

Oleh karena respon positif dari klien-klienku tadi, aku mulai berani pasang jasaku di media sosial. VisualDewa namanya.

Aku menyebar portofolio ke kantor-kantor jasa penyelenggara acara atau EO. Tujuannya untuk mengajak kerja sama, banyak EO yang sistemnya paketan. Mereka menyediakan catering, fotografer, sekaligus dekor. Kalau dapat event besar, aku selalu minta bantuan sesama fotografer lepas di klub fotografi tempatku bergabung.

Usaha merintisku pun tergolong mulus.

Setelah lulus dan mendapat gelar S.K.H alias Sarjana Kedokteran Hewan, aku betul-betul tidak melanjutkan ke pendidikan profesi. Aku sibuk membangun bisnis dan relasi.

Dan setahun kemudian aku sudah bisa sewa ruko untuk dijadikan kantor. Aku punya tiga staf fotografer yang bekerja denganku. Ketiganya kuajari dan didik langsung di lapangan. Mereka sudah paham seleraku, sudah hafal gaya jepretanku. Mereka juga tahu aku ini perfeksionis dan saklek. Aku nggak mau ciri khas dari bidikanku sampai berubah. Aku sudah wanti-wanti, kalau mereka ingin punya style sendiri, silakan resign.

Selain perfeksionis dan saklek, aku ini nggak gampang puas. Aku melebarkan sayap dengan cara mendalami keterampilan lain - sinematografi. Sinematografi membuka peluang baru untuk menambah pundi penghasilanku. Aku mulai merambah proyek film pendek, atau join sama agensi advertising.

Gara-gara ini juga aku nggak sengaja dipertemukan dengan bidadari cantik bernama Soraya Ivona atau Aya.

Orang tua Aya adalah pebisnis; maminya punya klinik kecantikan di Malang, dan menyewa jasaku untuk bikin konten promosi. Di situ aku ketemu Aya. Si mungil itu memilih menetap di Surabaya untuk menjalankan cabang klinik kecantikan maminya. Semula aku tidak tertarik pada Aya, lebih tepatnya pada semua perempuan. No, aku bukan pisang makan pisang. Tapi menurutku cari duit lebih penting dari pada percintaan. Namun kehadiran Aya mengubah persepsiku.

Dia seperti dunia fotografi yang membelokkan niatanku untuk menjadi seorang dokter hewan. Dia adalah turning point-ku.

Aku yakin sikap ceria Ayalah yang membuatku meleleh. Wanita itu tidak pernah kapok mengajakku ngobrol meski kutanggapi dingin. Dia juga baik hati dan perhatian. Selalu bawain makan siang buat semua karyawan ketika proses pembuatan konten. Kalau dipikir lagi, harga diriku ternyata cuma senilai nasi bakmoy yang sering Aya bawa. Tapi kayaknya bukan karena nasinya, melainkan siapa yang kasih. Ya itulah Soraya Ivona. Malaikat cantik yang berhasil menjajah hatiku.

Aya juga yang membuatku serius ingin pindah ke Surabaya. Aku mau buka tempat foto berkonsep self photo studio. Lagian aku nggak kuat menahan rindu gara-gara LDR. Memang jarak Malang - Surabaya termasuk dekat. Cuman kalau pulang - pergi tiap hari, lama-lama tipes juga. Bener kata Iqbaal Ramadhan, rindu emang berat, kamu enggak akan sanggup.

Modal punya, restu ayah dan ibu perkara hijrahku pun telah kukantongi. Tidak ada lagi yang buat aku ragu. Kantorku di Malang juga sudah bisa kutinggal, ada orang-orang yang kupercaya di sana.

Respon Aya antusias banget waktu aku bilang mau pindah ke Kota Pahlawan. Saking senangnya kami sampai 'main' tiga ronde. Aya bahkan mengajakku tinggal di apartemennya. Tapi segera kutolak secara halus. Apa nanti kata orang tua kami? Meski pun sangat mau, aku masih sadar kalau kita memegang budaya timur. Hal-hal seperti itu tentu tabu bagi ayah dan ibu, juga mami papinya si Aya.

"Kenapa nggak tinggal di building yang sama denganku, sih, Beb?" Aya memandangku melalui bola matanya yang bulat mirip anak kucing. "Denger-denger unit di lantai bawah ada yang kosong."

"Kalau sewaktu-waktu orang tua kita datang, mereka bakalan berpikiran negatif tentang kita. Tinggal di kompleks apartemen yang sama, sama aja seperti tinggal dalam satu atap," jelasku.

"Tapi, kan, enak kalau kita tinggal bareng. Kayak temanku Ileana," kata Aya. "Dia tinggal serumah sama tunangannya."

"Kita nggak harus sama seperti temanmu, kan?" Aku berjongkok di hadapan Aya yang duduk pada ranjang. "Aku ingin dipandang baik sama mami papi kamu. Dinilai pantas buat mendampingi anak si mata wayangnya ini."

Kedua sudut bibir Aya tertarik ke atas. Ini dia! Aku sangat tergila-gila pada senyumnya. Manis sekali.

"Alright, Baby. Tapi janji kalau aku kangen kamu, kamu harus secepat kilat meluncur ke sini." Aya mengalungkan lengan pada leherku.

"Ya, aku janji." Aku memandang Aya lekat.

Mata kami saling beradu dan Aya semakin condong mendekatiku. Aku sudah bisa menebak ke arah mana kegiatan ini bakal berujung. Soal seksualitas, Aya tergolong menggebu-gebu. Kadang kala, aku hampir kewalahan dalam mengimbangi permainannya. Sesi bercinta kami bisa sampai berjam-jam. Buat Aya, keluar satu kali belum cukup.

Sekuat tenaga aku menahan diri jangan sampai keluar sebelum dia puas. Aya bahkan pernah memintaku beli tisu magic di supermarket. Katanya biar tahan lama. Masih teringat jelas betapa tengsinnya aku waktu bayar di kasir. Ujungnya adikku jadi kebas pakai itu. Lumayan membantu, sih. Cuman apa enaknya bercinta kalau nggak kerasa apa-apa.

Well, kalau dipikir-pikir aku memang kurang pengalaman. Aya adalah wanita pertama yang kuajak bercinta dan aku harap dia juga yang terakhir.

"Beb ..." Aya memagut bibirku dengan cara yang sensual. Ia membimbing tanganku agar bertengger di dadanya.

Aku pun tak tinggal diam.

Bercinta bukan sekedar pelampiasan birahi. Bagiku, itu adalah momen terintimku dengan Aya. Aku mau dia merahasakan euforia, kebahagiaan, dan kepuasan secara bersamaan. Aku juga mau dia tahu kalau dia bisa menjadi dirinya saat bersamaku. Aku mau dia percaya padaku. Bahwa aku mencintai dia, bakal melindungi dia, juga siap menjadi tempatnya bersandar.

Ketimbang melakukan yang aku suka, aku lebih concern ke apa yang Aya mau. Biasanya aku bakal tanya,

"Suka?" kataku memandangi Aya lekat. "Gini, Sayang?"

Aku memijat lembut kedua bongkahan Aya yang kenyal. Kemudian menunduk untuk melumat pucuknya. Netraku pun melirik, Aya mendesah geli dengan mata terpejam. Dia paling suka kalau puncak dadanya kumainkan; baik dengan jari, atau dengan lidahku.

Saat sedang mencumbu tubuh Aya yang mulus tanpa cela, aku bisa mencium wangi lotionnya yang manis. Seperti cokelat.

"Ehm, Dewa ..." Aya membaringkan badan ke atas matras. Kedua tangannya pasrah terjuntai di atas kepala.

Aku semakin bergairah jika raut Aya terlihat puas seperti ini.

Maka, aku pun melucuti kaos dan celana jeans yang kukenakan. Sementara Aya menyeringai seraya menelisik keseluruhan dari tubuh polosku. Bola mata Aya kemudian terpatri fokus ke arah batangku yang sudah teracung.

"F*ck me, Beb. Harder," bisik Aya nakal.

Aku lantas menyingkap mini dress yang Aya pakai. Ia menggeliat seraya melepaskan string-nya.

Aya luar biasa menggoda. Tubuh wanita ini begitu mulus tanpa noda setitik pun. Proporsional. Kalau di dalam dunia fotografi, tidak ada foto yang sempurna. Beauty is in the eye of beholder. Persepsi keindahan itu subjektif. Namun, jika Soraya Ivona adalah sebuah tangkapan lensa kamera, maka dia merupakan komposisi dari lighting, exposure, matering yang pas.

Kedua kaki Aya terbuka lebar untuk membiarkan aku bermain di sana. Dalam jilatan lidahku, aku menyapu kulit lembut nan merah yang mulai menghangat. Ketika cumbuanku lebih dalam, aku juga bisa merasakan denyut dalam mimpitan bagian sensitif Aya. Denyut itu makin intens tatkala aku mengisap titik mungil bernama klitoris.

Aya mengerang. Ia menarikku agar menyudahi pekerjaan di bawah sana. Secara liar, Aya berpindah ke atas pinggangku dan menuntun milikku untuk menusuk miliknya.

"Tunggu, aku pakai kondom dulu," cegahku.

Aya menggeleng. "Keluarin di luar aja," katanya tidak sabar.

Aku pun hanya bisa pasrah karena Aya mulai menggenjot di atas sana. Otot-otot pada tubuhku serasa menegang oleh nikmat. Ada gejolak mirip aliran listrik menyetrum tiap persendianku.

Napasku dan Aya sama-sama memburu. Sementara kedua tanganku mencengkeram pinggang Aya yang langsing kuat-kuat. Gerakan Aya makin tak terkontrol, batangku terjepit ketat dalam liangnya. Berada di bawah merupakan gaya yang tak menguntungkan bagiku. Aku tak bisa mengontrol tempo mau pun kecepatan hunjaman. Jika diteruskan, kenikmatan membabi buta ini akan membuat adikku muntah. Jika sudah klimaks, butuh waktu bagiku memulihkan diri dan membuatnya tegang lagi. I'm just an ordinary man, who hasn't super dick as pornstar.

"Sayang ..." geramku.

Penyatuan kami kian beringas dan tiba-tiba semua buyar ketika Aya mendengar suara ketukan pada pintu utama apartemen.

"Itu pasti Ileana." Aya melepaskan batangku dari dalam miliknya.

Aku mengerang. Kejantananku terasa ngilu karena kesenangannya dihentikan mendadak.

"Ileana?" tanyaku menegakkan badan.

Aya mengangguk. Ia tunggang langgang berlari ke arah bathroom yang ada di dalam kamar.

"Dia bilang mau ke sini," jelas Aya dari dalam kamar mandi. "Aaaauuuhhh!" Ia tiba-tiba menjerit.

"Ada apa?" Dengan panik aku menghampiri Aya ke dalam bathroom. Ia terlihat meringis perih sambil memegang telapak tangan.

"Aku lupa kalau pemanas air di bathroom kamarku lagi bermasalah," ujar Aya.

"Air dinginnya nggak berfungsi?" selidikku.

"Air dinginnya nggak keluar, sementara air yang seharusnya hangat malah jadi air panas mendidih. Aku sudah telepon bagian engineering, mereka sebenarnya mau perbaiki hari ini juga. Tapi aku suruh besok karena ingin berduaan saja sama kamu," terang Aya. Ia lalu berjalan sambil memakai kembali pakaiannya. "Untuk sementara pakai kamar mandi di ruang tengah aja, ya, Sayang."

"Alright," sahutku.

Toktoktok.

Aya membeliak. "Astaga! Ileana pasti nunggu lama!" Ia lantas berlari terbirit-birit meninggalkanku.

Aku terpaksa ikhlas saat Aya memutuskan menghentikan penyatuan biologis kami. Itu bisa dilanjutkan nanti. Sepeninggalnya, mataku justru sibuk menyapu pandangan ke sekeliling kamar. Untuk ukuran wanita cantik - kamar Aya mirip sarang penyamun. Banyak gumpalan tisu bekas pada setiap pojokan ruangan. Meja rias Aya juga berantakan seperti habis diacak-acak maling. Sebagai lelaki yang terbiasa memiliki standarisasi ketat, jiwaku meronta-ronta. Baik pekerjaan atau pun lingkungan tinggal, aku suka yang rapi dan sistematis.

Berada dalam tempat yang seolah habis dilanda Tornado membuatku gelisah.

Maka aku pun bergegas berpakaian dan memungut semua sampah yang berserakan. Aku mengumpulkan bekas tisu, kertas, dan kapas menjadi satu, lalu memasukkannya dalam kantung plastik. Setelah itu, aku beralih merapikan seprai kasur dan mengatur bedcover-nya pada tempat seharusnya. Saat melakukan itu, telapak kakiku menginjak tekstur remah pada ubin. Aku lantas berjongkok untuk mencari sumber dari serpihan mirip pasir itu. Kupanjangkan tanganku untuk merogoh bagian dalam bawah ranjang. Namun betapa terkejutnya ketika sekujur kulit jemariku digerayangi ratusan serangga.

"Astaga, Aya!" decihku pelan.

Aku baru sadar Aya tidak sendirian di kamarnya, ia memelihara seluruh koloni semut.

"Beeeebbbb ...!"

Aku mendengar panggilan dari Aya.

"Ada sushi, nih! Kita makan sama-sama, yuk."

Sushi? Apa Aya lupa kalau aku tidak suka sushi. Aku heran kenapa ada orang mau makan daging ikan mentah bercampur nasi yang minim bumbu. Apa mereka tidak memperkirakan kemungkinan bakteri dan cacing di dalamnya? Aku pun memilih tidak menjawab. Lagi pula canggung menemui teman si Aya dalam kondisi saat ini. Tanganku gatal bercampur perih oleh gigitan semut.

"Beeeeeeeebbbyyyy!"

Teriakan Aya mengencang. Aku sontak mendecih seraya mencari-cari tisu basah. Sepertinya aku memang harus keluar sebelum Aya marah. Sial, apa yang aku cari tak kunjung kutemukan. Sebaliknya, aku justru tanpa sengaja memegang patahan batang lipstik Aya yang tercecer di meja rias.

"Ya ampun ..." dumalku bicara sendiri.

Aku segera masuk bathroom untuk membasuh tangan. Kuputar keran dan SHIT! Guyuran air mendidih membasahi tanganku yang malang. Setiap inci kulit telapakku serasa melepuh. Aku lupa kalau pancuran Aya sedang bermasalah. Bodoh!

Kurasa ini hari sialku.

Sambil meniup tangan yang melepuh, aku berjalan gontai keluar dari kamar. Aku pun berhenti sesaat pada ambang pintu. Netraku terpaksa menyaksikan seorang wanita berambut panjang yang sedang menangis. Oh, aku sungguh benci berada di antara situasi dilematis seperti ini. Aku tidak pandai berbasa-basi. Sekedar menanggapi percakapan regular saja aku bingung. Apa lagi harus berkomentar dalam pembicaan emosional antara Aya dan temannya itu.

Lagi pula, kenapa dia menangis?

Bulu mata lentiknya terlihat basah dan terkulai layu. Aku bisa merasakan pancaran kesenduan dari pergerakan bibirnya saat bicara. Sedikit gemetar karena menahan diri. Tidak seperti Aya yang kulihat sangat ekspresif. Wanita ini justru lebih datar, meski air matanya terus saja menetes deras.

"Eh ehm," aku berdeham agar mereka menyadari kehadiranku.

"Eh, Beb, kukirain kamu tidur." Aya tersenyum seraya berjalan mendekatiku. "Ini Ileana, sahabat yang sering kuceritain."

"Oh ..." sahutku canggung.

"Lei, kenalin ini Dewa, pacarku." Aya memperkenalkan kami.

Wanita sendu itu berdiri dari duduk. Ia memaksakan senyum dibalik raut getirnya. Sungguh, sebagai fotografer yang terbiasa menangkap jeli makna dari tiap ekspresi, aku yakin dia sedang sangat terpuruk. Matanya memancarkan kesedihan.

Aku merasa bersalah karena muncul di sikon tak tepat. Dia tampak tidak nyaman dengan kehadiranku. Seharusnya aku diam saja di kamar. Memberikan waktu bagi Aya dan sahabatnya untuk bicara berdua.

"Halo, aku-" Dia mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Aku cuman mau minum. Kalian lanjutin aja." Aku melengos menuju kitchen bar untuk menuang air. Tanganku kotor. Selain itu rasanya masih nyeri karena melepuh. Sebaiknya kami tidak perlu berjabat tangan. Ia pasti ingin aku cepat pergi demi melanjutkan obrolan dengan Aya.

"Kalian ada rencana tinggal serumah?" celetuk si wanita bermata sendu pada Aya.

Aya terkekeh. "Nggak. Dia nggak mau tinggal sama aku."

"Aya ..." sanggahku.

"Dewa sudah disediain rumah kontrakan sama orang tuanya," kata Aya. Ia beralih memandangku. "Di mana, Beb? Aku lupa."

"Melati Regency," jawabku.

"Hah? Melati Regency?" Teman Aya sontak melotot.

Aya mendadak tersenyum lebar. "Jadi kalian bakalan tetanggaan, dong? Ileana tinggal di situ juga."

Baca MR. VANILLA jalur cepat di Karyakarsa.

Akan update di wattpad tiap selasa, pukul 21.00 wib 🖤 berikan vote dan komen sebagai apresiasi. Akan diunpublish jika sambutan di wattpad kurang hangat 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top