01 |
Ileana
Aku tidak tahu apa yang membuatku terus mematung di balik partisi kamar. Raihan jelas-jelas sedang menyetubuhi wanita asing yang tak kukenal. Wanita itu mengerang cukup keras hingga meredam suara pintu yang kubuka.
Kedua matanya tertutup blinfold yang biasa kukenakan. Begitu pula dengan pergelangan tangan yang terborgol ke sandaran besi ranjang - handcuff yang biasa kukenakan juga. Dasar brengsek.
"Make me cum again, Master."
"You can't command me," sentak Raihan.
Again? Maksudnya wanita itu sudah klimaks sebelumnya? Jadi mereka bukan sedang khilaf semata? Tapi melakukannya secara concern, sadar, dan suka sama suka.
Ya jelaslah, Ileana.
Aku ini tolol atau apa? Raihan jelas-jelas sudah menyiapkan semua. Mulai dari sisa steak di atas meja makan, bekas wine dari stem glass, hingga perlengkapan bondage yang sekarang digunakan si wanita. Mereka seratus persen sengaja. Dan dari apa yang kulihat ... Raihan menikmati persetubuhan itu.
Aku bisa saja melempar barbel tiga kilo yang biasa Raihan pakai untuk berolahraga ke belakang kepalanya. Sekalian ke kepala wanita sundal itu juga. Tapi entah - aku memilih tak melakukannya.
Alih-alih marah, aku justru berbalik pelan dan membiarkan mereka menuntaskan birahi sampai selesai. Secara hati-hati, aku berjingkat keluar dari kamar, lalu berjalan cepat menuju pintu utama. Niat hati memberikan surprise, malah aku yang mendapatkan kejutan. Datang secara rahasia, pulang pun diam-diam. Hampir mirip dengan semboyan jelangkung.
Raihan tak boleh tahu aku pulang.
Seperti tak terjadi apa-apa, aku masuk ke dalam mobil dan segera tancap gas. Ah sial, sia-sia aku mengenakan lingerie seksi di balik coat-ku. Raihan tak sempat melihat betapa cantik dan pantasnya busana transparan ini membalut tubuhku. Bukan tak sempat - lebih tepatnya ia tidak akan pernah lagi melihat tubuhku.
Dalam kamusku, tiada maaf bagi peselingkuh.
***
Akhirnya aku menginjakkan kaki di rumah yang sudah tidak kutempati setahun belakangan ini.
Rumah peninggalan mama setelah dia memutuskan menikah lagi dan hijrah ke Makassar. Sementara papa ...? Entahlah. Aku tidak terlalu peduli. Dari dulu hubunganku dengan papa tidak harmonis. Dia lebih sering mabuk dan main perempuan ketimbang bersamaku. Punya orang tua sama-sama labil bukanlah hal yang kubanggakan. Setelah bertahun-tahun bertahan dalam pernikahan penuh pertengkaran, mama dan papa akhirnya bercerai. Papa pergi begitu saja tanpa meninggalkan apa pun. Dan setelah bercerai, mama juga jadi jarang pulang. Sibuk bekerja dan menjalin kasih dengan beragam lelaki. Sampai akhirnya tiba-tiba menikah dan ikut suaminya ke Makassar. Aku memilih bertahan di sini. Buat apa tinggal dengan keluarga baru yang sama sekali asing bagiku. Beruntung, gaji sebagai model bisa mencukupi kebutuhan sehari-hariku. Jadi aku tidak harus bergantung pada mama atau papa.
Aku pikir aku tidak akan pernah kembali ke rumah tua ini. Semenjak memutuskan bertunangan, aku dan Raihan hidup bersama dalam satu atap. Kebahagiaanku sedang di puncak-puncaknya; semua terasa sempurna, terlalu indah. Siapa, sih, wanita yang tidak senang memiliki calon suami seorang dokter? Yes, Raihan adalah seorang dokter. Dokter spesialis anak.
Dibalik senyum hangat dan pembawaan ramahnya, Raihan adalah seorang maniak. Dia menyukai hubungan seksual non-konvensional. Dalam permainan, Raihan selalu berperan sebagai Dominant, sedangkan aku adalah budaknya atau si Submissive.
Tidak terhitung berapa banyak mainan dewasa sudah pernah masuk ke dalam onderdilku. Dan tidak terhitung pula macam-macam posisi nyeleneh yang kami lakukan tiap bercinta. Semua rela kulakukan demi menyenangkan hati Raihan. Tapi sekarang apa yang kudapat? Memergokinya bersenggama dengan wanita lain.
Jangan dikira aku suka tiap kali Raihan memukul bokongku hingga memerah. Jangan pula berpikir kalau aku menikmati semua jamahan dari toys yang menhunjam liangku. Meski tak nyaman, aku setia berpura-pura birahi. Aku bahkan sering mengaku klimaks dua sampai tiga kali demi menjaga ego Raihan. Padahal jangankan dua kali, satu kali saja belum tentu karena apa yang dia lakukan terlalu kasar.
Semua pengorbananku sia-sia karena Raihan ternyata melanggar komitmen di belakangku.
Salahku juga yang mengabaikan segala pertanda betapa toxic-nya dia. Aku dibutakan oleh paras rupawan Raihan; senyum menawan yang menampakkan deretan gigi seputih mutiara, dan rambut tebal lurus yang selalu ia sugar ke belakang. Belum lagi profesi dokter yang membuat Raihan Argantara menjadi sosok sempurna tiada bandingan. Aku sadar, Raihan memang sedikit narsis. Ehm bukan sedikit lagi ... tapi kurasa dia memang mengidap narcissistic personality disorder atau NPD.
Tiada sehari pun bagi Raihan tidak membicarakan dirinya sendiri. Betapa populernya dia di rumah sakit dan betapa banyaknya orang tua pasien yang rela mengantri demi menemuinya.
Bodohnya aku, ajang pamer Raihan justru semakin membuatku mengaguminya. Aku beruntung memiliki calon suami seperti Raihan. Begitu pikirku.
Kasihan Raihan, dia pasti sudah sangat kebelet menggarap ladang di tempat lain. Buktinya belum genap dua jam aku pergi, Raihan sudah asyik membajak sawah wanita lain. Seorang aplha male dengan NPD seperti Raihan mana betah bertahan pada satu wanita? Dia pasti ngempet sekuat tenaga selama ini.
Sepengetahuan Raihan aku seharusnya terbang ke Bandung untuk pemotretan clothing brand. Ternyata jadwalku di re-schedule karena masalah internal store.
Aku kira pulang tanpa pemberitahuan bakal mengejutkan Raihan. Ternyata, malah aku yang hampir serangan jantung.
Pantas saja Raihan menitipkan Sultan di petshop, alasannya dia bakalan sibuk selama aku tidak ada. Jadi ini 'sibuk' yang Raihan maksud - ngentot. By the way, Sultan itu nama kucing tabby peliharaan kami. Hadiah ulang tahun yang Raihan berikan padaku dua tahun lalu.
"Hah!"
Aku merebahkan tubuh ke atas kasur. Mencoba tertidur demi menghilangkan sakit dan pedih. Akan tetapi bayangan peristiwa tadi malah mengendap dalam otakku.
Ingatanku akan pinggul Raihan yang menggenjot binal selingkuhannya berkelindan jelas. Dan hati ini mendadak sembilu ketika melihat cincin bermata berlian yang melingkar pada jemari manisku. Cincin tunangan dari Raihan - cincin yang sekarang sudah kehilangan makna sakralnya bagiku.
Kupikir aku tidak bakal menangis. Prediksiku salah.
Air mata mendadak memenuhi pelupukku, lalu meluncur bebas membasahi pipi. Tak lama, isak ini berubah menjadi sedu sedan yang sulit untuk kutahan. Maka dalam kesunyian, aku pun mengamuk sejadi-jadinya.
***
"Langsung naik saja, Mbak."
Pak Adi, security yang menjaga gedung apartemen tempat Soraya tinggal mempersilakanku masuk ke dalam elevator. Ia juga membantuku mengakses ke lantai unit tujuanku.
"Makasi, ya, Pak," sahutku tersenyum.
"Sama-sama. Tadi Mbak Soraya sudah pesan, kok, kalau Mbak Ileana bakalan datang."
Aku mempertahankan sunggingan sampai pintu lift akhirnya tertutup sempurna. Sementara, tanganku sibuk menenteng paperbag berisi aneka sushi dan sashimi dari restoran Jepang langganan.
Ting.
Begitu elevator terbuka, aku bergegas keluar dan berbelok kiri. Sudah hafal mau ke mana saking seringnya berkunjung ke sini. Sampai pada akhirnya aku sampai pada unit milik Soraya tinggal. Dia adalah sahabatku satu-satunya semenjak SMA. Ini memang sudah larut, tetapi berdiam diri di rumah sendirian bisa membuatku makin depresi. Lagi pula aku dan Soraya terbiasa begadang bersama kalau lagi senggang. Entah untuk maraton drama Korea atau sekedar gibah para artis Ibu Kota. Jadi aku yakin, dia pasti belum berniat untuk tidur.
Kuketuk daun pintu di depanku. Tidak lama, seorang wanita bertubuh mungil nan langsing pun menyambutku. Kedua sudut bibirnya tertarik lebar, menampakkan kawat gigi yang justru memberikan tampilan cute pada wajahnya.
"Masuk," ajak Soraya. "Tumben ke sininya dadakan? Biasanya chat dulu dari kemaren-kemaren."
Aku menyengir tipis. "Ganggu, ta?" tanyaku. Aku mengekori Soraya yang berjalan duluan di depan. Netraku lalu terpatri ke arah dua koper besar yang tergeletak sembarangan di ruang tengah. "Ada tamu, Ya?"
"Ada pacarku," jawab Soraya mesem.
"Kok tadi nggak bilang ada pacarmu? Aku balik aja, deh," kataku canggung.
Soraya menahan lenganku dan menyambar kantong yang kubawa. "Dih, ngapain, sih? Santai ajalah, Lei," cegahnya. "Wih, sushi ..." Mata Soraya berbinar. Ia mengeluarkan kotak demi kotak dan meletakkannya ke meja makan.
Aku mengembuskan napas panjang. Gagal sudah sesi curhatku.
Aku menyusul Soraya dan menarik salah satu kursi makan. "Pacar yang mana, nih?" ledekku setengah membisik.
Soraya memang jarang cerita detail tentang pacar-pacarnya - yes, lebih dari satu pacar. Kecil-kecil begini Soraya punya banyak kekasih yang tersebar di seluruh kota-kota besar di Indonesia.
"Pacarku yang paling serius," jawab Soraya mengulum senyum.
Mataku membeliak. "Huh? Beneran?" selidikku kepo.
Soraya mengangguk. Kedua pipinya yang mulus bak porselen bersemu merah muda. Dari raut Soraya, aku bisa menduga kalau dia sungguh berkomitmen kali ini.
"Beneran," kata Soraya tersipu. "Karena dia, aku mutusin semua pacar-pacarku yang lain. Sekarang cowokku cuman dia aja." Intonasinya pelan, tapi masih sanggup didengar oleh runguku.
"Wah ..." gumamku takjub. Ini pertama kali aku melihat Soraya sebucin sekarang. Syukurlah ...
"Akhirnya aku bisa ngerasain apa yang kamu dan Raihan miliki, Lei. Jujur aja, aku kadang iri kalau lihat pasangan kekasih yang berkomitmen. Jauh dalam lubuk hati, aku juga pengen jalin hubungan serius, tapi kamu tahu sendiri belum ada yang bikin aku click. Kecuali dia ini," ujar Soraya bersungguh-sungguh.
Aku tersenyum getir. Soraya belum tahu saja. Apa yang aku dan Raihan miliki ternyata cuma kepalsuan belaka.
"Ya, aku sama Raihan ..."
"Beeeebbbb ...!" teriak Soraya memutus kalimatku. "Ada sushi, nih! Kita makan sama-sama, yuk."
Aku mendeham. Sepertinya malam ini bukan saat yang tepat untuk menceritakan kisah apes-ku pada Soraya.
"Beeeeebbbbbyyy ...!" panggil Soraya melengking. Akan tetapi lelaki yang Soraya panggil 'Baby' itu tak kunjung muncul juga. Ia pun mendecih. "Pasti udah tidur. Ih, dia kalau tidur kayak mati. Nggak denger apa-apa."
"Oh ..." Aku kembali nyengir canggung.
Soraya pun mengambil tempat di sebelahku. Dia menyodorkan sekotak sashimi salmon ke arahku. "Kita aja yang makan," tawarnya. Ia lalu mengambil sepotong besar dan memasukkannya ke mulut. "Tadi kamu mau ngomong apa, Lei?"
"Nggak ada." Aku menggeleng.
Soraya memandangiku lekat. Dua mata belo'nya seakan-akan sedang memindai isi otakku.
"Bohong," decih Soraya.
"Bohong apa, sih, Ya?" sanggahku.
"Pasti ada something wrong sampai kamu ke sini malem-malem gini. Ada apa?"
Persahabatan bertahun-tahun memang tidak sia-sia. Soraya peka juga.
"Aku ..." gumamku ragu. "Aku harusnya di Bandung hari ini."
"Oh ya! Kamu kapan hari cerita mau ke Bandung buat pemotretan, kan?" sahut Soraya.
Aku mengangguk. "Tapi di-cancel. Diganti minggu depan," jelasku. "Dan pas pulang, aku mergokin Raihan lagi ngewe sama cewek lain."
Sumpit yang bertengger di jemari Soraya jatuh begitu saja. Ia melotot dengan mulut setengah menganga. Andai kata aku bisa merekam ekspresi Soraya saat ini, dia pasti lolos casting buat jadi pemain sinetron.
"Ha ...?" suara Soraya lirih mirip tikus kejepit. Mungkin dia terlalu syok sampai tenggorokannya tercekat. Atau mungkin masih ada sisa daging salmon nyangkut di kerongkongannya.
"Mereka nggak tahu aku pulang. Mereka bahkan nggak tahu aku nonton porno gratis selama beberapa menit," terangku.
"Terus?" Soraya masih kelihatan terpukul.
"Ya terus aku tinggal aja. Aku pulang ke rumahku dan main ke sini. He ... He ..." Aku menyelipkan tawa kecil supaya tidak terkesan kasihan-kasihan amat.
BRAK! Soraya mendadak menggebrak meja makan. Ulahnya membuat aku tersentak kaget.
"Asu!" maki Soraya. "Kamu pulang gitu aja dan nggak marah, Lei? Bangsat si Raihan itu! Setan! Binatang dia!"
"Aya ...?" Aku lumayan terkejut. Amarah Soraya lebih membara dariku yang merupakan korban sesungguhnya.
"Kamu kok diem aja digituin, Lei? Kalian sudah pacaran hampir lima tahun! Bangsat dia! Terus kamu beneran pulang gitu aja? Nggak ngelabrak apa gimana gitu?" buru Soraya mengintrogasiku.
Aku menggeleng.
Ya, aku akui aku memang aneh. Seseorang yang sulit mengekspresikan perasaan; baik marah, sedih, senang, atau kesal, mukaku tetap sama. Datar. Mungkin terlalu banyak menyaksikan kedua orang tuaku bertengkar membuatku jadi pribadi tertutup. Aku masih ingat jelas ketika aku menangis kencang saat mama dan papa pertama kali bertengkar, kemudian, papa membentakku keras.
"Diam! Jangan nangis, Ileana!"
Hardikan papa kala itu seolah mematikan tombol on/off kebebasanku dalam menyampaikan emosi.
"Buat apa aku bentak-bentak mereka, Ya? Yang ada situasi jadi makin kacau. Aku terpaksa berdebat dengan Raihan di depan cewek yang nggak aku kenal. Aku juga mikirin betapa malunya mereka nanti kalau aku tiba-tiba motong permainan mereka. Aku nggak mau bikin orang lain trauma," sahutku.
Soraya menggeleng penuh ketidak-percayaan.
"Gila kamu, Lei! Tunangan kamu selingkuh di depan mata, dan kamu seolah nggak terjadi apa-apa. Kalian udah mau nikah, lho, Lei!"
"Aku tahu ..." Aku memalingkan muka.
Rautku memang tidak berubah. Namun dadaku sesak bukan main. Soraya menyadarkanku betapa jauhnya hubunganku dan Raihan. Kami bahkan sudah mencari-cari gedung resepsi dan melihat-lihat gaun pengantin.
Tiba-tiba mataku kembali memanas.
Penuh cairan menggenang. Serbuan air mata yang berebut ingin tumpah. Aku sangat benci menangis. Apa lagi menangis di depan orang. Bagiku itu memalukan. Melukai harga diriku.
"Lei ..." Soraya mendekatkan badannya. Jemari lentiknya kemudian mengusap lembut lengan dan punggungku.
"Sorry." Aku buru-buru menyeka air mataku dengan tangan. Sial. Sentuhan Soraya justru membuat pertahananku makin runtuh.
"Ngapain kamu minta maaf sama aku? Kamu nggak ada salah," kata Soraya berempati.
Aku tertunduk.
Sekuat tenaga kutelan lagi isakan yang hampir meledak.
"Aku takut balik ke rumah Raihan, Ya," ucapku. "Aku takut cewek itu masih ada dan aku terpaksa melihat lagi mereka bermesraan. Menyaksikan dia berbaring di kasur yang sama denganku, memakai barang-barang pribadiku, bahkan minum di gelas yang kubeli bersama Raihan. Itu menyakitkan, Ya."
"Brengsek memang si Raihan," umpat Soraya lirih.
"Makanya, aku akan menemui Raihan sesuai jadwal kepulanganku dari Bandung. Supaya cewek itu sudah nggak ada di rumah kami. Supaya aku dan Raihan bisa ngomong dengan kepala dingin," terangku.
"Kamu nggak berpikir akan melanjutkan hubungan dengan Setan itu, kan?" selidik Soraya.
"Nggak. We're done, Ya."
"Eh'ehm."
Tepat setelah aku menyelesaikan kalimatku, terdengar suara dehaman dari ambang pintu kamar Soraya. Seorang lelaki bertubuh jangkung sudah berdiri di sana. Menatap lurus ke arahku dan Soraya melalui sorotnya yang dingin dan setajam busur panah. Kedua alis tebal lelaki itu bertautan seolah gusar. Sedangkan hidung lancip bertulang tinggi miliknya sedikit mendengus. Wajah lelaki itu semakin bengis karena bakal janggut yang memenuhi atas bibir, sisi rahang, dan dagunya.
"Eh, Beb, kukirain kamu tidur." Soraya menghampiri sumringah. "Ini Ileana, sahabat yang sering kuceritain."
Duh, mati aku.
Aku sudah bilang, bukan, kalau aku anti menangis di depan orang lain. Sekarang wajah sembabku justru harus dilihat lelaki yang sama sekali nggak aku kenal!
"Oh ..." respon lelaki itu sangat irit.
"Lei, kenalin ini Dewa, pacarku," terang Soraya.
Aku berusaha mengulas senyum. Sementara tangan kananku menjulur untuk bersalaman. "Halo, aku-"
"Aku cuman mau minum. Kalian lanjutin aja," timpal Dewa tak acuh. Ia bahkan tidak mengindahkan jabatan tanganku. Tubuh tingginya lalu berjalan ke dispenser dan menuang air ke dalam gelas. Setelah meneguk air secara impulsif, ia pergi begitu saja meninggalkanku dan Soraya.
Spechless - aku menurunkan tanganku pelan-pelan.
Soraya terkekeh. "Dewa orangnya emang gitu. Nggak banyak ngomong, apa lagi basa-basi."
Aku terdiam. Masih mencerna efek dari kemunculan Dewa yang bak hantu. Tiada kesan ramah dari lelaki itu. Apa lagi perkenalan yang proper di antara kami. Seharusnya dia tidak sesombong itu, kan? Memang Soraya tidak cerita kalau aku ini sahabat baiknya? Cih. Sekedar menyambut salamku saja dia ogah? Apa dikiranya telapakku jembatan pasukan kuman? Mana memandang mataku saja, Dewa seakan tidak sudi.
Soraya mesti berpikir ulang jika ingin menjalin hubungan serius dengan tipikal lelaki modelan Dewa. Dasar, lelaki tengil sok kegantengan!
Baca MR. VANILLA jalur cepat di Karyakarsa.
Akan update di wattpad tiap selasa, pukul 21.00 wib 🖤 berikan vote dan komen sebagai apresiasi. Akan diunpublish jika sambutan di wattpad kurang hangat 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top