Episode 9 Reality bites
"Dari mana kamu?" Sambutan Ivo yang galak dan tegas kuterima saat aku baru saja masuk ke dalam rumah.
"Liburan." Kutaruh tas baruku, beserta pakaian kotor yang kupakai saat berlibur di Singapura. Aku selalu membawa paspor ke mana pun aku pergi di dompet, sehingga aku bisa saja berangkat mendadak tanpa rencana.
"Kenapa nggak ngasih tahu aku?" tuntutnya seraya mengikuti langkahku yang hendak ke kamar mandi membersihkan diri.
"Nggak ada urusan sama kerjaan," jawabku santai. Kemudian aku berbalik dan menatap matanya. "Betewe, aku udah deal sama Pak Sahni. Urus kontraknya, ya!"
Ivo terbelalak. Pasti berita itu mengejutkan baginya. "Pak Sahni? Itu jan genrenya komedi romantis, bukan horor. Nggak bisa, aku mesti baca dulu ...,"
"Aku udah baca. Aku setuju." Aku berusaha memasang wajah datar.
Ivo masih mengomel tentang kontrak, serta persetujuan, tetapi kuabaikan. Aku bersenandung riang ketika memasuki kamar mandi, lalu menutup pintunya dengan kaki.
*****
"Roxy!"
Ah, aku sampai lupa pada orang ini. Aku melirik dari balik kaca, melihat seorang lelaki yang berjalan dengan langkah tergesa menghampiriku. Tanganku meraih ponsel, lalu membuka laman media sosialku, tak berminat meladeni orang tersebut.
"Roxy, kenapa kamu nggak pernah menghubungiku?" tanya lelaki itu segera setelah ia berhasil mendekatiku. Para asistenku serta penata rias yang sedari tadi sedang menyiapkanku untuk menghadiri acara variety show musik, tanpa disuruh beringsut-ingsut menyingkir.
Aku mengerling ke arahnya dengan malas. "Untuk apa?"
Lelaki itu tercengang, matanya terbelalak. "Untuk apa? Kamu sudah janji!"
Suara tawa sinis segera menyembur dari mulutku, membuat lelaki itu semakin salah tingkah. "Aku tak pernah menjanjikan apa-apa padamu, Johan." Aku mengangkat bahu, kemudian kembali berkutat pada ponselku.
Tangan lelaki itu kuat mencengkeram bahuku, membuatku mengernyit. "Aku udah putusin Lexy demi kamu!"
Matanya yang melotot, tampak memerah. Aku menarik napas panjang, sebelum berusaha melepaskan tangannya dariku. Aku sudah terlatih untuk mengatasi hal ini. Tak sia-sia aku menekuni bela diri sejak kelas enam SD.
"Itu bukan urusanku. Aku juga nggak pernah janjiin apa-apa sama kamu!" balasku berteriak. Kudorong lelaki itu sekuat tenaga, sehingga ia terhuyung ke belakang dan jatuh ke lantai.
Johan bangkit berdiri, kemudian mengeluarkan segala sumpah serapah. "Beraninya kamu mencampakkanku, Roxy! Apa kamu sudah menemukan lelaki lain, hah?"
Aku bergeming. Omongan lelaki ini sama sekali tak ada mutunya. Kami bertemu saat sedang syuting sinetron sebelumnya, dan dia berpacaran dengan lawan mainnya waktu itu, Alexandra atau yang lebih akrab dipanggil Lexy. Waktu itu aku hanya bermain-main saja dengannya, tidak lebih. Namun rupanya lelaki ini teramat baper, sehingga menganggap aku benar-benar mencintainya.
Aku menatap bayanganku di kaca, membetulkan sehelai rambut yang mencuat, sementara Johan masih di sana berteriak.
"Awas kau, Roxy! Akan kupastikan kamu ikut hancur bersamaku!" seru lelaki itu terakhir kali sebelum keluar dengan wajah merah.
Aku mendengkus.
🖤🖤🖤
"Siapa lelaki yang mendatangimu tadi? Bukan Johan, kan?" Ivo membisikkan pertanyaan itu saat aku sedang istirahat dari pengambilan gambar.
"Kukira kita sedang perang dingin?" Aku berkata acuh tak acuh. Setelah aku pulang dari Singapura, Ivo mogok bicara padaku, sehingga aku mengurus segala sesuatunya sendiri. Aku bahkan menandatangani kontrak untuk film pak Sahni yang terbaru, tanpa memedulikan izinnya.
Ivo memutar bola mata dan berjalan menjauh. Gadis itu tampak bersungut-sungut, seraya mengentakkan kakinya. Kemudian ia menoleh ke arahku, melemparkan tatapan penuh permusuhan dan pergi.
🖤🖤🖤
Kesibukanku semakin padat. Rupanya syuting film dan sinetron itu berbeda. Ada banyak rangkaian yang harus dijalani sebelum pengambilan gambar, yang menguras tenagaku. Meski pun ada Reni dan Sinta, para asisten yang siap membantuku, tetapi aku selalu saja pulang saat menjelang tengah malam, ambruk di atas ranjang.
Jasper terus menghubungiku, entah menanyakan kabar atau menceritakan tentang kafenya yang sebentar lagi akan buka di Indonesia. Tak urung saat membaca pesan darinya, aku tanpa sadar tersenyum sendiri, tanpa memedulikan orang di sekitarku. Aku menyimpan kontaknya atas nama J, sehingga tak ada seorang pun tahu dengan siapa aku berkirim pesan.
Perang dinginku masih berlangsung dengan Ivo, apalagi aku sama sekali tak berminat mengakhirinya. Aku masih kesal padanya karena kontrak layar lebar yang terlepas dari genggaman. Apalagi ternyata untuk judul film yang akan kubintangi ini, "Balikan Yuk!", Ivo telah menolaknya mentah-mentah pada saat penawaran pertama. Dia nggak bilang apa pun padaku mengenai itu. Benar-benar rubah licik.
Sebuah notifikasi masuk, membangunkanku dari tidur sesaat. Astaga. Kepalaku seperti dihantam oleh palu godam.
J
[Are you home?]
Dengan tenaga yang masih tersisa, aku mencoba mengetik pesan balasan. Namun, rupanya sang pengirim pesan sudah terlalu tak sabar sehingga ia meneleponku.
"Halo?" gumamku dengan nada lelah.
"Kamu sudah tidur?" tanya lelaki itu dengan sedikit cemas.
"Hampir. Aku lelah sekali. Sampai aku tak sempat makan."
Hanya itu kalimat terakhir yang kuingat sempat kuucapkan, sebelum jatuh tertidur tanpa sempat mematikan panggilan. Keesokan paginya, aku terbangun dengan mata yang masih menyipit. Namun, bel pintuku yang terus menerus berdering, membuatku berjalan terhuyung untuk menuju pintu depan rumah.
Sejak dua tahun yang lalu, aku tinggal sendirian di rumah yang kubeli sendiri dari pendapatanku. Sedangkan Ivo tinggal di rumah orang tua kami, kadang-kadang jika sedang sibuk sekali ia akan menginap di rumahku. Aku tak terlalu suka tinggal dengan banyak orang, sehingga aku lebih sering sendirian. Hanya pada saat tertentu, aku akan memanggil orang untuk membersihkan rumahku, dua hari sekali. Aku tidak suka ada orang lain yang mengotori dapurku, jadi aku lebih sering memasak sendiri. Atau membeli makanan di luar.
"Kiriman untuk Nona Roxanne." Sesosok laki-laki berperawakan kecil menyodorkan sebuah kotak kardus berwarna kuning cerah. Aku sedikit sangsi, karena aku sering mendapatkan kiriman kado dari penggemar dan pembenciku yang aneh-aneh.
"Apa ini, Pak?" tanyaku dengan nada curiga.
"Paket sarapan sehat, dipesan atas nama Nona Roxanne. Sudah dibayar." Lelaki itu tersenyum kecil.
Aku mengambil kotak itu dan mengucapkan terima kasih, sebelum menutup pintu. Segera kubawa kotak itu ke dapur dan kubuka. Kotak kardus tersebut berisi kotak makan di dalamnya. Begitu kubuka kotak tersebut, aroma makanannya segera menyerbu indera penciumanku, begitu menggugah selera. Nasi merah dengan potongan dada ayam panggang, tumis sayuran segar serta susu rendah kalori. Siapa gerangan yang mengirimkan aku makanan pagi-pagi?
Bergegas aku naik ke kamar tidurku dan mencari ponsel. Di sana, telah terdapat sebuah pesan masuk dari Jasper.
[Morning. Enjoy your breakfast. Mulai sekarang akan kupastikan kamu selalu makan tepat waktu.]
Bibirku mengembang membentuk senyuman. Segera kuketik pesan balasan, sembari kakiku melangkah kembali menuju dapur. Aku sudah tak sabar menyantap makanan itu karena perutku sudah kelaparan sejak semalam.
[Thanks. Tahu aja aku lagi diet.]
Setelah ibu jariku menekan tombol kirim, aku segera mengambil sendok dan menyantap makanan itu. Selama sarapan, aku bertukar pesan dengan Jasper. Hanya perhatian sekecil itu darinya, sudah mampu membuat hatiku berbunga.
Dalam waktu singkat, menu yang sehat tetapi sangat nikmat itu kutandaskan tanpa sisa. Kemudian ponselku bergetar, menandakan ada pesan masuk. Mataku mengerling, membaca nama pengirimnya.
Mama
[Nanti malam, pulang ya. Mama masak kesukaanmu.]
Aku menghela napas. Pasti gara-gara Ivo. Tak mungkin mama menyuruhku pulang jika gadis itu tak mengadu padanya. Belum sempat kubalas pesan tersebut, sebuah pesan lain masuk.
Mama
[Kalo sibuk, biar kami yang ke rumahmu.]
Astaga. Aku bisa apa kalo begini?
Menurut kalian siapa yang salah di sini? Roxy atau Ivo?
Lalu apakah perbuatan Roxy membalas dendam ini sudah bener?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top