Episode 7 Karma
"Oh My God! Dari mana kamu tahu aku suka nonton tengah malam?" pekikku saat kami tiba di tempat tujuan.
Alis lelaki itu terangkat. "Bukannya kamu yang bilang sendiri?"
Oh, ya. Benar. Ivo. Kami memang suka nonton tengah malam, saat tak banyak orang bisa mengenaliku, serta suasana bioskop yang cukup tenang dan sepi, membuatku leluasa menikmati akting aktor dan aktris favoritku. Aku hanya heran, mengapa Ivo mengatakan dia juga suka nonton tengah malam? Setahuku dia hanya ingin makan di kafenya. Dan makanan di bioskop yang kami datangi sekarang, yang cabangnya di mana-mana, memang sangat enak.
Aku sangat gembira ketika melangkah masuk ke dalam. Aku sudah lupa dengan kegerahanku, yang memakai pakaian dari tadi pagi. Jasper terkekeh melihatku melompat-lompat, seperti anak kecil yang dijanjikan mainan favoritnya.
Jasper memesan Nachos dan Cappucino, serta menu yang cukup berat, Soto Mie Bogor. Favoritku tentu saja Sistagor, Java Tea, dan berondongnya yang legendaris. Namun karena aku kelaparan karena saat menuju Bandung aku tak menyantap apa pun, aku hendak memesan Spaghetti Aglio Olio.
"Plus Nasi Goreng Ijo Kemangi ya," ujar Jasper seraya tersenyum manis padaku. Aku menatapnya kebingungan. "Itu menu favoritmu, kan?"
Ah, lagi-lagi aku lupa. Ivo selalu memesan Nasi Goreng Kemangi saat ke bioskop, sementara aku suka mencoba menu yang berbeda setiap kami nonton. Aku sedikit tercekat, seraya menggaruk hidung, serba salah. Aku ingin mengatakan bahwa aku benci kemangi, tetapi lelaki ini tahunya makanan itu adalah favoritku. Kami pun duduk seraya menanti makanan kami datang. Film masih akan dimulai dua jam lagi, jadi aku tak terlalu terburu-buru. Sayangnya, membayangkan diriku menelan daun mungil yang rasa dan aromanya wangi itu, membuatku gelisah.
Kami pun mulai mengobrol, ketika satu persatu pesanan kami datang. Beberapa kali aku sempat keceplosan mengatakan sesuatu yang berbeda dengan ingatan Jasper tentang Bawang Merah yang dikenalnya. Untung saja lelaki itu tak terlalu menyadari. Saat sosis dan kentang gorengku datang, aku menyambutnya dengan antusias. Aku bahkan menghabiskannya dalam waktu singkat, lalu bermaksud untuk memesannya lagi saat kami nonton film nanti.
Ketika akhirnya Soto Mie Bogor dan Nasi Goreng Ijo Kemangi pesanan kami datang, aku sedikit mengembuskan napas. Tenang, Roxy. Telan saja tanpa dikunyah. Anggap kamu sedang berakting. Berkali-kali kukuatkan diriku sendiri untuk menikmati tantangan ini. Anggap saja ini karma yang harus kuterima karena sedang menggoda cowok kakakku. You deserved that, B*tch.
Demi mengalihkan perhatian Jasper, aku sengaja mengajaknya bercerita tentang pekerjaannya.
"Tapi, aku sudah mengatakannya jutaan kali. Aku takut membuatmu bosan." Lelaki itu mencicipi kuah Sotonya dan matanya terbelalak. Sepertinya makanan itu menggugah seleranya.
Aku tersenyum mencoba memberinya semangat. "Ayolah. Aku benar-benar penasaran. Lagipula, aku ... suka mendengarkan ceritamu, Jasper." Plus sebenarnya, aku belum pernah mendengarnya, imbuhku dalam hati. Aku benar-benar merasa iri kepada Ivo yang beruntung sekali bisa bertemu dengan lelaki sebaik dan sekeren Jasper. Aku hanya berharap apa yang kulakukan sekarang tidak menjadi hal yang kusesali di kemudian hari. Ah, tidak. Ivo pantas mendapatkan ini.
Lelaki itu segera bercerita mengenai biji-biji kopi, bagaimana aroma mereka saat digoreng, serta proses membuat kopi agar bisa memunculkan rasanya yang maksimal. Dan yah, sungguh. Caranya bercerita yang disertai ekspresi wajah yang tampak bersungguh-sungguh, dan mata yang berbinar sungguh membuatku terpesona. Dia seorang pencerita yang ulung. Aku bahkan bisa menghabiskan sepiring nasi goreng itu tanpa terasa, hanya karena mendengar perkataannya. Minus daun kemangi yang kusisihkan di tepian piring. Untuk yang satu itu, mohon maaf, aku tak sanggup menelannya sekali pun Jasper telah menyedotku ke dalam dunianya.
Setelahnya kami menonton, dengan ditemani seember besar berondong dan soda. Aku tertawa dengan lelucon yang dilemparkan lelaki itu ketika ada adegan yang konyol, serta bertukar pendapat mengenai filmnya ketika kaki kami melangkah keluar dari gedung.
Sungguh, ini adalah pengalaman kencan yang luar biasa. Meski pun hanya makan malam dan menonton film, berbeda dengan kencan-kencanku selama ini yang melibatkan berjemur di pantai di Maldives, atau kelab malam di luar negeri. Sudah lama aku tak merasakan perasaan yang mendebarkan sekaligus menyenangkan seperti ini. Lelaki itu pun tak pernah mendaratkan tangannya di bagian manapun dari tubuhkuーyang membuatku kagum. Ia hanya memegang tanganku satu kali, karena aku tak sengaja tersandung dan terjatuh, sehingga ia mengulurkan tangan untuk membantuku.
Di hotel, Jasper mengantarkanku tepat di depan kamar, mengucapkan selamat malam dengan lembut lalu menantikan aku masuk ke dalam sebelum ia pergi. Biasanya di film-film, para pemeran utama akan bertukar pelukan atau sebuah kecupan yang manis sebelum berpisah. Namun kami tidak. Namun, perasaanku sudah melambung tinggi, melayang hingga ke awan, ketika senyuman manis lelaki itu menghilang saat kututup pintu kamar.
"Good night, Jasper."
🖤🖤🖤🖤
Sekali lagi, aku berada di situasi ini. Sialan. Mungkin mulutku sudah lama tidak memaki orang sehingga Tuhan memberiku kejadian yang nyaris terulang setiap minggunya. Atau mungkin, kebohongan yang kurencanakan, tidak direstui oleh-Nya.
Kukira setelah episode terakhir sinetron yang kubintangi, serangan dan hujatan yang kuterima akan mereda. Ternyata tidak. Karena baru saja aku kembali dari butik untuk membeli baju ganti serta perlengkapan selama aku berada di sini, entah dari mana asalnya, ada tiga orang ibu-ibu yang menghampiriku dan menjambak rambutku.
"Tuh kan bener! Ini si Vero yang nggak tahu malu itu! Hih kebangetan kamu ya, dasar pelakor!" seru salah satu ibu dengan gemas seraya mencubit pipi dan lenganku.
Aku bahkan tak bisa berkutik. Bahkan untuk membela diri pun tak bisa. Apalagi aku sedang tanpa pengawalan, tanpa Ivo dan para asisten atau pengawal yang akan menjadi tameng ketika aku diserang. Aku mengaduh saat rambutku ditarik kencang, hingga sudut netraku nyaris meneteskan air mata. Tak hanya jambakan dan cubitan, mereka juga melempariku dengan telur mentah dan makananーentah apa.
Petugas keamanan hotel sigap melerai, tetapi ibu-ibu itu kian ganas.
"Biar, Mas. Nggak usah belain cewek nggak tahu malu kayak dia! Jangan-jangan Mas nanti jadi korban rayuannya!" Salah seorang ibu itu ikut menyerang sang petugas.
Aku hanya bisa berteriak minta tolong, serta berdoa di dalam hati agar keganasan ibu-ibu ini cepat mereda. Sampai kurasakan tanganku ditarik entah oleh siapa. Aku tak sempat melihat siapa yang menolongku, tetapi dia dengan cepat menyelubungiku dengan pakaian dan mengajakku berlari menjauh. Aku masih bisa mendengar teriakan ibu-ibu itu semakin jauh, sampai kami berhenti di sebuah mobil. Penolongku segera mendorongku masuk, dan setelahnya ia ikut menyusulku ke dalam.
Begitu kubuka pakaian yang rupanya adalah jas pria, aku terkejut mendapati wajah ramah Jasper dalam jarak pandangku.
"Jasper? Bukannya kamu bilang harus ketemu klien bosku pagi ini?" tanyaku keheranan. Kami sempat bertukar pesan pagi tadi, sebelum aku memutuskan untuk belanja sendiri.
Lelaki itu menatapku dengan mata yang sayu. "Ada yang tertinggal, jadi aku kembali. Kamu bagaimana? Kamu terlihat ... berantakan."
Aku tertunduk. Penampilanku tentu sangat berantakan sekarang. Aku hanya menghela napas dan menutup wajah, tak ingin lelaki ini melihatku dalam keadaan rapuh.
Jasper mengambil sebuah kotak tisu dan menyodorkannya padaku. Awalnya dia bermaksud membantuku membersihkan kotoran di wajahku tetapi aku menolak.
"Please, Jasper. Don't look at me like this," bisikku lirih. Dari kencan kami selama beberapa hari ini, aku tak mau meninggalkan kesan yang buruk di matanya. Aku sudah berusaha berakting sebagai Bawang Merah sekali pun dengan banyak improvisasi, tetapi malah dia melihatku dalam kondisi seperti ini.
"Why? Kamu nggak pernah bercerita tentang ini? Seberapa sering kamu harus mengalami ini?" tanya lelaki itu dengan nada menuntut.
Aku berusaha untuk tidak tampak lemah. Selama ini aku selalu terlihat cuek dan tak peduli. Namun, entah mengapa, karena tatapan lelaki ini, air mataku mengalir begitu saja tanpa dicegah. Tanpa diduga, lelaki itu membawaku ke dalam pelukannya. Tanpa peduli bajunya terkena noda telur atau makanan yang menempel di bajukuーyang kubeli baru saja di butik dan kupakai langsung di sana.
Entah berapa lama aku menangis. Lelaki itu pun tidak melepaskan pelukannya. Padahal tentu aku tidak secantik yang ia lihat dari foto atau layar televisi. Namun, ketika aku berhasil menguasai diriku dan menatap wajahnya, lelaki itu tidak tampak risih atau jijik. Matanya berkaca-kaca, karena ... amarah? Aku tidak tahu.
"Roxy, jujurlah padaku. Seberapa sering kamu diserang seperti ini?" Suara lelaki itu sangat lembut, seperti berusaha menenangkanku.
Aku menggeleng lemah. "Cukup sering. Seminggu sekali. Yang ini ... masih mending," akuku seraya menatap ke luar jendela mobil. Tanganku berusaha membersihkan semua cairan lengket itu meski butuh banyak tisu.
Jasper menghela napas berat. "Dan kamu tak pernah memberitahuku sekali pun?"
Aku terkejut. Tetapi aku menyadari bahwa hal ini, bukan masalah bagi Ivo. Meski pun ia juga yang harus turun tangan saat ia berada di tempat kejadian. Bukan dia yang menjadi targetnya.
"Buat apa?" balasku dengan suara serak. Kali ini aku tak tahu Ivo akan menjawab apa. Dia masih gigih menghubungiku, yang segera saja kutolak.
"Roxy, kukira kita berteman. I've told you everything. Dan kukira, kamu juga akan berlaku sama. Apakah aku tak cukup berharga untuk mendengar ceritamu? Adakah hal lain yang belum kuketahui?" Suara Jasper terdengar sedih dan kecewa. Dan kini, ia menuntut kebenaran.
Aku menelan ludah. Aku cukup yakin Jasper adalah lelaki yang baik, mengingat perilakunya kemarin. Berulang kali aku terjerat oleh pesonanya, meski pun aku harus menarik diriku agar tidak tersesat terlalu lama. Aku hanya ingin balas dendam kepada Ivo. Namun sepertinya aku sendiri yang mendapat karmanya.
Aku telah jatuh hati kepada lelaki ini, tetapi semuanya berlangsung dengan cara yang salah. Kutatap kedua matanya, yang menyiratkan tuntutan. Apakah aku bisa mengatakan yang sejujurnya? Mampukah aku?
"Roxy, tolong katakan sejujurnya. Adalah hal tentangmu yang belum kuketahui? I need to know."
Apakah Roxy bakal ngaku? Hmm. Hmmmm.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top