Episode 6 I did something bad

"Hai, Sistah! Cuma mau mastiin, seminggu ini aku dapat jatah libur kan?" Aku segera memberondongnya dengan kata-kataku sebelum ia sempat mengatakan halo.

"Iya. Mau apa kamu?" tanya Ivo di seberang sana dengan curiga.

"Nggak papa. Aku nggak pulang ya. Diajak temenku liburan. Don't worry, aku pasti balik on time," ucapku seraya memberi kode kepada supirku untuk menepi. Asisten pribadi yang duduk di sebelahku menatapku kebingungan.

"Heh, jangan macem-macem kamu ya! Just don't messed up with another bad guys! I warned you!" Ancaman Ivo hanya seperti angin sepoi-sepoi bagiku. Segera kututup panggilan tersebut, tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

Aku meminta supir dan para asistenku pulang terlebih dulu. Mereka awalnya takut kena marah Ivo karena berani meninggalkanku sendirian. Membuatku semakin keki karena itu berarti mereka lebih takut pada Ivo ketimbang padaku.

"Aku yang bayar gaji kalian. Kalau kalian lebih nurut Ivo, kalian dipecat!" Aku menggertak, seraya melotot agar terlihat galak. Kukira aku sudah terlalu lama bersikap lembut. Saatnya menunjukkan taring.

Begitu kakiku melangkah keluar, mobil yang tadinya hendak membawaku pulang segera melesat ke jalan. Aku mengembuskan napas, sebelum memasukkan tangan ke dalam tas, mencari sesuatu yang kuharap masih ada.

Ketemu. Sebuah kertas tipis, bertuliskan deretan angka, yang ragu-ragu kusimpan saat bertemu Jasper. Ini nomer teleponnya. Dia memberiku ini seraya mengharapkan aku berubah pikiran. Dan ya, aku berubah pikiran.

Rupanya saat berkomunikasi via Tinder, Ivo tak mau bertukar nomer, dengan alasan menjaga privasi. Entah alasan logis macam apa itu. Mereka hanya bertukar percakapan melalui aplikasi tersebut. Karena itulah, Jasper kemarin mendesakku, agar mau menyimpan nomernya.

Tanpa ragu aku segera memencet nomer tersebut, lalu menunggu. Jantungku berlompatan seiring dengan nada sambung yang berbunyi. Apakah nomer ini benar? Apakah Jasper menipuku? Atau dia terlanjur kecewa sehingga memutuskan untuk kembali ke tanah airnya?

"Hello?" Suara itu membuatku terkesiap. Astaga, Roxanne. Tahan harga dirimu! Aku merasa seperti kembali ke masa SMP, yang berdebar saat menelepon gebetan. Sigh.

"Jasper Lee?" tanyaku dengan gugup. Berulangkali kugigit bibir hingga nyaris lecet. Panas terik mentari menyengatku hingga ubun-ubun, membuatku menyesal karena meminta turun begitu saja, tanpa tahu ini di daerah mana. Segera kakiku melangkah mencari tempat yang lebih teduh.

"Wait a minute. It can't be ... Roxy?" Suara lelaki itu terdengar antusias. Wow.

Setelah berbincang selama kurang lebih dua menit, kututup telepon tersebut. Kemudian ibu jariku sigap menekan aplikasi ojek online, memesan kendaraan. Tak butuh waktu lama mobil pesananku datang, membawaku ke suatu tempat. Ada rasa berdebar yang sudah lama tak kualami. Adrenalin yang terpacu kencang karena menjalani sebuah tantangan.

Kukenakan kacamata Fendi kesayanganku, kemudian masuk ke dalam mobil. Sang pengendara mengenaliku dan tampak bersemangat mengantarku ke tujuan. Saat dalam perjalanan menyusuri kemacetan kota Jakarta, sebuah notifikasi pesan masuk menyentakkanku dari lamunan. Dari Ivo. Segera saja, ibu jariku mengusap layar, membuka pesan tersebut.

[I really warn you! Don't mess up with another bad boy!]

Sudut bibir kiriku terangkat, sama sekali tak merasa gentar dengan ancaman kakakku. Dia? Ngancem aku? Ha ha ha, bercanda. Bisa apa dia tanpa aku?

"Don't worry, Sista. I don't mess up with bad boy. I mess up with your boy."

Mobil terus membelah jalanan Jakarta, semakin jauh meninggalkan rumah. Ah, benar-benar menyenangkan. Padahal aku tahu aku melakukan perbuatan jahat. Tapi rasanya sangat menyenangkan. 

🖤🖤🖤

Bandung, malam hari

"Kamu benar-benar kemari. Aku nggak nyangka." Jasper tersenyum menunjukkan deretan giginya yang rapi dan bersih. "Supplierku sedang di Bandung, makanya aku tak jadi ke Lampung kemarin. Tapi rupanya kota ini sangat menyenangkan."

Aku tersenyum dan tersipu, sesuatu yang kupelajari dari pengalaman berkencan dengan para playboy dan pengalaman berakting. Tidak terlalu sulit.

"Aku hanya ingin memastikan liburanmu di sini menyenangkan, sebagai tuan rumah yang baik." Kukibaskan rambut panjangku hanya untuk menggoda, bukan karena benar-benar gerah. Dengan sistem pendingin ruangan yang ada di lobby hotel ini, mustahil merasakan gerah, meski pun Bandung tak sesejuk dulu.

Jasper memutar tangan kanannya kemudian menaruh tangannya di dada. "My pleasure."

Aku tersenyum, merasa tersanjung dengan perhatiannya. Kemudian aku memesan kamar di hotel yang sama dengan Jasper menginap. Sepanjang kebersamaan kami, wajah lelaki itu tak henti-hentinya menunjukkan senyuman. Benar-benar seperti orang mabuk kepayang. Tapi, tunggu deh. Dia nggak benar-benar jatuh cinta padaku, kan? Kami baru bertemu satu kali!

Oh ya, lupa. Dia sudah bertemu dengan "diriku" di Tinder selama satu tahun. Damn.

"Jadi apa yang ingin kamu lakukan besok pagi? Apa kamu masih ada urusan bisnis?" tanyaku setelah mendapat kunci kamar. Kukira aku bisa beristirahat sebentar, sebelum memikirkan destinasi mana saja yang ingin kudatangi, baik bersama Jasper atau sendirian. Toh, aku juga ingin berlibur setelah sekian lama.

Ponselku berdering, sebelum Jasper sempat menjawab. Kulirik identitas pemanggil yang muncul di layar. Ivo. Segera kumatikan ponselku, lalu memasukkannya ke dalam tas.

"Kamu nggak ingin angkat teleponnya?" tanya Jasper dengan wajah ingin tahu.

"Nggak penting. Yang penting sekarang, aku ingin mengajakmu bersenang-senang. Jika urusanmu sudah selesai, tentu saja." Aku berusaha menampilkan citra sebagai cewek manis dan tidak agresif. Meski pun dengan mendatanginya sekarang, sudah pasti berkebalikan dengan citra tersebut.

"Don't worry, Roxy. Now, you are my business," ujar Jasper seraya mengedipkan mata. "Tapi, kulihat kamu nggak bawa banyak barang."

Tentu saja. Kepergianku ke Bandung sangat mendadak. Teramat sangat mendadak. Sebuah keputusan tergesa yang kuambil tanpa berpikir panjang.

"Ah, ya. Nggak masalah. Aku bisa beli baju saat nanti jalan-jalan." Aku mengelak dengan taktis, seraya tetap menampilkan ekspresi tenang.

Kemudian Jasper mengantarkanku ke kamar, mempersilakanku untuk membersihkan diri dari perjalanan sebelumnya. Lelaki itu akan mengajakku makan malam, yang sebenarnya sudah cukup terlambat. Namun, mengingat dia bersedia menungguku sejak kutelepon empat jam yang lalu, hal itu cukup masuk akal. Aku jadi tersentuh karena dia sampai harus menunda makan malamnya.

Saat aku menemuinya di lobby, lelaki itu sudah berganti pakaian dengan jas dan loafer. Wow. Sementara aku masih harus mengenakan baju yang tadi kupakai saat perjalanan. Cukup gerah juga sebenarnya, tapi mau apa lagi. Aku bergegas ke Bandung, tanpa sempat membeli pakaian.

"Maaf, aku tak membawa baju ganti," ujarku dengan nada menyesal.

"It's okey. Kedatanganmu kemari sudah membuatku senang," katanya dengan lirih. "Harusnya tadi kamu bilang, tidak membawa baju ganti. Aku bisa menyiapkannya untukmu selagi menunggu."

Aku mengungkapkan penyesalanku sekali lagi. Lelaki itu kemudian segera mengajakku keluar hotel. Aku sedikit bingung ketika mengikuti langkahnya. Memang kami mau kemana? Kukira kami akan makan malam di hotel ini.

Sebuah sedan berwarna hitam, menunggu kami di depan. Aku ternganga tak percaya. Ini... sebuah kemewahan yang biasa untukku, tetapi aku tak menduga bahwa diaーseorang barista bisa menggunakan hal-hal ini. Bukan aku meremehkan pekerjaannya, hanya saja dari mana dia bisa mendapatkan akomodasi seperti ini? Aku sendiri tak meminta banyak. Bahkan kalau pun nanti kami hanya berjalan kaki atau naik ojek. Aku nggak masalah, kok.

Lelaki itu membimbingku masuk ke bagian belakang mobilnya, sebelum menyusul duduk di sebelahku.

"Kita mau ke mana?" tanyaku seraya mengangkat alis.

"Bersenang-senang."

Siapa di sini yang dukung Roxy?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top