Episode 5 Kesempatan

Aku termangu di dalam mobil yang membawaku pulang ke rumah. Rasanya pertemuan tadi seperti mimpi. Dan belum sehari kami berpisah, aku sudah merasa kehilangan.

Lelaki itu benar-benar pendengar sekaligus pencerita yang andal. Kau akan terhanyut saat ia bicara, tetapi juga akan tersentuh ketika ia menunjukkan perhatian penuh saat aku bicara. Dia banyak bertanya tentang berakting di depan kamera, sesuatu yang menurutnya tak bisa ia lakukan. Walaupun ada beberapa cerita yang ia tanyakan datang dari versi Ivo yang menjelma menjadi Bawang Merah, tetapi aku masih bisa mengimbanginya. Untunglah setiap saat kegiatanku dan Ivo nyaris sama, sehingga aku tak banyak berimprovisasi.

Dan jujur saja, ajakannya berlibur bersama ke Sumatera sangatlah menggoda. Karena, dia memiliki sesuatu yang membuatmu penasaran, ingin mendengar ceritanya lagi dan lagi. Aku bahkan jadi ingin memiliki mesin kopi di rumah, setelah Jasper menjelaskan perbedaan antara kopi instan dan kopi yang dibuat sendiri.

Di pangkuanku terdapat hadiah perpisahan dari Jasper, sebuah kenang-kenangan agar aku bisa selalu mengingatnya. Lebih tepatnya untuk Ivo, Sang Bawang Merah. Sebuah gelang yang dibuat khusus, berbentuk biji kopi dan bawang merah di atasnya. Aku sedikit merasa aneh dengan perpaduan ikon ini, tetapi menatap gelang yang ada di pangkuanku sekarang, aku mengakui benda itu cantik sekali.

Jasper. Aku mengulang namanya dalam hati. Terima kasih atas pertemuan yang menyenangkan, selamat tinggal.

🖤🖤🖤

Jadwalku selama satu bulan ini rupanya tak terlalu padat setelah sinetron terbaruku usai. Aku masih belum memutuskan proyek terbaru yang akan kulakoni, mengingat semua tawaran yang datang padaku adalah karakter antagonis. Aku tak habis pikir, apakah para produser ini tak bosan melihatku di layar dengan peran perempuan jahat yang tak masuk akal? Mengingat adeganku yang selama ini melibatkan racun, senjata tajam, kecelakaan mobil dan rangkaian fitnah yang tak kunjung usaiーtentu saja lama-lama orang akan berpikir aku benar-benar seperti karakter yang kuperankan. Sekarang aku jadi maklum terhadap ibu-ibu yang menyerangku.

"Roxy, abis ini kita touch up lagi ya! Setnya bentar lagi siap!" Asisten fotografer yang hari ini akan memotretku memberiku konsep yang akan kulakukan siang ini. Aku menatap ke arah layar tablet yang dia berikan, sesekali menggeser layarnya, seraya mengucapkan terima kasih.

Hari ini Ivo tak mendampingiku karena ia akan meeting dengan produser yang menawariku naskah film. Aku sendiri tak masalah dengan absennya kakakku, karena sudah sering aku melakukan aktivitasku sendiri tanpa dirinya. Toh pekerjaannya bukan mendampingiku, ada asisten pribadi yang sigap membantuku jika ada apa-apa. Sejak pertemuan ku dengan Jasper usai, Ivo tak lagi merecekokiku. Isu pelakor itu pun terhempas oleh kasus lainーadu mulut antara Nikita Mirzani dan selebritis lain. Lagipula kasusku nyaris tak ada bukti kongkrit sama sekali, sehingga bisa dibilang selesai sampai di sini.

"Hei, Roxy, My Girl!" sapa seseorang dari belakangku, membuatku tersentak dan menoleh. Rupanya Mr. Sahni, produser kenamaan di Indonesia yang berasal dari India.

"Hello, Mr. Sahni! Long time no see!" Aku tersenyum lebar dan bangkit untuk menyapanya. Lelaki itu memelukku erat, sebelum akhirnya membiarkanku kembali duduk. Sania, asisten pribadiku, segera menyiapkan kursi agar produser itu bisa duduk di sisiku.

"Ya ampun, nemuin kamu itu susahnya minta ampun. Aku sampai harus kemari biar bisa ketemu langsung!" Mr. Sahni menunjukkan deretan giginya yang putih bersinar, kontras dengan kulitnya yang gelap.

Aku tersenyum menunjukkan keramahan, seraya berujar, "Ah, tak perlu repot, Mr. Sahni. Mr. tinggal telepon saja, saya pasti datang." Aku sangat berterima kasih kepada produser yang telah memilihkan peran Bawang Merah itu untukku, sehingga aku bisa seterkenal sekarang.

Lelaki itu tampak mengerutkan bibir. "Masak? Aku sampai membujuk manajermu itu buat terima project dari aku, tapi dia bilang kamu masih ada beberapa project lain. Padahal aku nemu naskah bagus banget. Melodrama keluarga sih. Dan aku yakin perannya cocok banget buat kamu." Mr. Sahni menjelaskan dengan berapi-api.

Aku merasa heran, karena aku belum mengiyakan proyek mana pun saat ini. Namun aku menimpali nya dengan tersenyum, "Ah, ya. Maaf sekali, Mr. Tetapi sekarang saya masih free kok. Proyek baru masih tahun depan dan masih dalam pembicaraan."

Wajah lelaki itu tampak sumringah, lalu meraih tanganku. "Wah, kebetulan banget. Tahun kemarin itu aku mau nawarin kamu project Keris Pusaka, pas si Asvin itu kerjasama sama aku. Soalnya secara karakter aku tahu, kamu pasti bisa kerjain ini. Sayangnya kamu bilang kamu mau fokus ke peran antagonis dulu sebelum berkarir ke layar lebar. Padahal itu kesempatan bagus, lho."

Aku tersentak. Tanganku bahkan membeku dalam genggaman tangan sangat produser. Keris Pusaka itu film horor misteri yang tahun ini mendapat nominasi piala Citra sebagai film terbaik. Dan aku telah melewatkan kesempatan itu tanpa sepengetahuanku? 

🖤🖤🖤

Aku mencoba mengingat kesibukan apa yang kujalani sewaktu Mr. Sahni "katanya" menghubungiku. Aku bahkan belum tandatangan kontrak untuk sinetron yang akan syuting pada tahun tersebut. Aku menghela napas panjang. Aku tak tahu apa yang terjadi. Tetapi rasanya ada yang sangat salah di sini.

Sisa pemotretan kujalani dengan pikiran yang berkecamuk. Aku sungguh ingin marah terhadap diriku sendiri. Bagaimana bisa aku melewatkan kesempatan yang kuinginkan? Setelah menjalani dua tahun sebagai figuran, lalu empat tahun menjadi pemeran antagonis, aku ingin ada peningkatan karir dalam akting. Tak melulu berperan sebagai maniak yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan lelaki impiannya.

Apakah Ivo yang menolak peran itu? Tetapi mengapa? Atas dasar apa dia melakukannya? Aku mengetuk kaki ke lantai dengan tak sabar.

Penata rias sedang menyapukan kuasnya ke seluruh wajahku, hingga sang fotografer mendekatiku.

"Roxy, ini kan konsepnya semi-formal, semisal kita bikin riasannya agak nude gitu, kamu keberatan nggak?" Lelaki itu bahkan sedikit gentar saat menatapku. "Iya aku tahu kemarin perjanjiannya kamu nggak suka dengan riasan itu, tapi dengan konsep busananya sekarang, agak aneh kalo harus pake riasan kamu biasanya."

Aku menelengkan kepala terkejut. "Lho, saya nggak masalah kok. Riasannya disesuaikan aja dengan konsepnya. Makanya saya heran kok riasannya harus yang bold kayak gini!"

Giliran lelaki itu yang membelalakkan mata. "Tapi, ini kan permintaan kamu juga, manajermu yang bilang. Cuma tadi aku agak nggak sreg, makanya aku coba minta penyesuaian dari kamu."

Sekali lagi, seperti ada sesuatu yang salah di sini. Aku menghela napas. "It's okey, Mas. Tapi kalo ngubah riasan, butuh waktu lagi, Masnya nggak papa, kan? Soalnya ini mendadak juga. Coba kalo Masnya ngomong dari kemarin. Maaf, ya. " Kukembangkan senyum untuk sedikit mencairkan suasana.

Dan lelaki itu berjengit ketika mendengar permintaan maaf dari bibirku. "Oh, nggak papa, Roxy. Biar si Mindy yang ngatur. Aku yang minta maaf, jadinya bakal molor sedikit selesainya."

"Oh, nggak masalah kok, Mas. Saya minta jeda buat minum sebentar ya. Nanti kita bisa mulai lagi riasannya." Aku melambai ke arah asistenku, yang bergegas mendekat.

Sang fotografer mulai menyampaikan arahannya kepada penata riasnya, untuk mengubah riasanku. Beberapa kali mata fotografer itu, Mas Rio namanya, terarah padaku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman, seraya meneguk air dari botol yang disediakan asistenku.

"Ternyata si Roxy asik juga ya. Nggak segalak yang diceritakan Ivo," komentar Mas Rio yang tanpa sengaja kudengar ketika kami memulai sesi pemotretan yang terakhir.

Aku sempat tersentak mendengar perkataannya, tetapi aku segera tersadar dan berlaku seperti tak ada apa-apa. Namun, instingku seakan menyala, memperingatkan aku untuk waspada. Segalak apa aku dalam versi Ivo? Memangnya apa yang dia ceritakan? Apakah itu sebabnya setiap orang yang bekerja padaku tampak segan dan takut? Tapi mengapa?

Usai pemotretan, Mindy mulai membersihkan riasanku, kali ini ia mencoba mengajakku ngobrol. Ini bukan pertama kalinya kami bekerja sama, tetapi biasanya ia hanya diam ketika menunaikan tugasnya. Jadi aku pun banyak bermain ponsel, bukannya berakrab ria dengan para staf. Dan Mindy tampak sumringah ketika aku menanggapi pertanyaannya dengan ramah.

"Ternyata Mbak Roxy ramah ya. Kirain galak kayak di sinetron. Di sini semua pada takut lho sama Mbak. Apalagi kata Mbak Ivo, Mbak Roxy nggak suka diajak ngobrol." Mindy terus nyerocos tanpa henti.

Aku semakin tak nyaman dengan situasi ini, apalagi ketika beberapa ingatan di mana ada staf yang langsung menangis saat tak sengaja menumpahkan air di bajuku. Padahal saat itu aku tak berkata apa-apa.

Jadi Ivo yang selama ini membuat imejku tampak buruk? Tapi untuk apa? Dia sudah banyak membantuku selama ini. Jangan salah, aku tak terlalu peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Jadi aku selalu bersikap cuek dan acuh tak acuh. Namun kali ini, aku merasa dicurangi. Apalagi Ivo menyabotase peranku di film Mr. Sahni. Ini sesuatu yang tak termaafkan.

Saat bersiap untuk pulang, aku menunggu asistenku menyiapkan mobil. Sambil membunuh waktu, aku membuka akun media sosialku, kemudian muncullah iklan yang menampilkan foto sebuah kedai kopi di bilangan Jakarta Timur. Ingatanku segera terpantik pada lelaki yang hangat dan ramah, yang kemudian memenuhi benakku.

Tanganku menimang ponsel dengan bimbang. Beranikah? 

Kira-kira Roxy mau ngapain ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top