Episode 4 Brokenhearted
"Ini sudah yang ketiga dalam minggu ini. Padahal sudah hampir tamat." Aku menekankan kata per kata kepada Ivo yang saat ini sedang menempelkan es batu ke pipiku.
Kakakku hanya menghela napas. Sementara tangannya telaten membenahi baju atau merawat tubuhku yang tergores. Yah, wajah dan tubuhku adalah aset. Apalagi dia manajerku. Dia harus melindunginya semaksimal mungkin. Kadang kalau kami berjalan bersama, perbedaan kami tampak seperti bumi dan langit.
Selama mendampingiku, Ivo hanya mengenakan kaus atau kemeja polos dengan celana jins. Itu pun bukan yang bermerek ternama, sehingga ia tampak sangat simpel. Rambutnya yang lebih sering dicepol begitu saja, juga wajahnya yang jarang terpulas riasan, semakin menambah kesan sederhana dalam dirinya.
Padahal aku ingat pada saat debut, kaki berdua sama-sama membintangi judul sinetron yang sama : Lara Hati Bawang Putih. Kami mengikuti casting dan menjadi pemeran utama. Ivo menjadi Bawang Putih, sementara akuーkarena memiliki wajah judesーdianggap cocok memerankan Bawang Merah. Sinetron itu membuatku mendapatkan penghargaan sebagai artis pendatang baru terbaik, juga sebagai artis pemeran antagonis terbaik. Karena prestasiku itu, Ivo memutuskan berhenti dari seni peran dan menjadi manajerku. Saat kutanya alasannya, dia bilang hanya ingin bekerja di balik layar.
"Ivo," panggilku untuk yang kesekian kalinya karena sedari tadi mulutnya bungkam. Perbedaan usia yang terpaut satu tahun, membuatku sering lupa memanggilnya Kakak. Dia toh tidak keberatan. "Ivo!" ulangku sekali lagi dengan nada tinggi.
"Dengar, Roxy. Aku juga tak bisa menghentikan serangan emak-emak itu. Ini sudah empat tahun, bukankah harusnya kamu sudah biasa?" Kakakku mengatakan itu seraya melotot. Mungkin ia sama jengkelnya seperti aku. "Lagipula, bukankah kamu selalu bilang, bahwa itu pertanda bagus karena aktingmu sangat menjiwai? Jangan khawatir, begitu mereka melihat di episode terakhir kamu dipenjara, serangan mereka akan reda."
Aku mendengkus. "Yeah. Di awal-awal itu sangat lucu. Sangat fun. Aku masih bisa menoleransinya. Tapi sekarang? Sudah empat tahun aku berakting sebagai antagonis dan orang-orang itu masih menganggapku karakter nyata? Aku sudah capek, Ivo. Beneran, deh. Setiap hari selalu saja ada serangan emak-emak barbar. Look, I'm already old now, jadi mari kita move on ke proyek lain yang lebih menantang. Film, webseries, atau apa aja. Peran kecil juga boleh. Asal bukan antagonis."
Kakakku hanya mengangkat bahu lalu duduk di sebelahku di sofa. "Aku harus mengurus skandalmu dulu. Mungkin karena inilah kamu nggak pernah dapat peran protagonis."
Aku memutar bola mata, seraya memainkan ponsel di tangan. Embusan hawa dingin dari pendingin ruangan membuatku sedikit lebih tenang. Aku sudah terlambat setengah jam dari jadwal spaku, tapi aku tak peduli. Serangan emak-emak ini membuatku keki setengah mati.
🖤🖤🖤
"Kurasa ... ada kesalahpahaman di sini, Jasper. Kukira ... aku tak bisa menemanimu berlibur."
Terima kasih untuk empat tahun pengalaman akting, aku jadi bisa menjaga nada suaraku tetap tenang. Bahkan aku berusaha menampilkan mimik muka menyesal yang biasa kulakukan saat syuting. Semoga lelaki itu bisa melihat ketulusanku.
Wajah lelaki itu tampak kecewa, sudut bibirnya melengkung ke bawah sesaat setelah aku mengatakannya. "Ah ya. Kamu artis yang sangat sibuk. Aku mengerti. Hanya saja aku berharap mungkin kita bisa bertemu saat kamu luang. Itu kalau kamu bersedia," ujar Jasper dengan menampilkan senyum khasnya.
Tidak. Tidak untuk sejuta tahun yang akan datang. Namun, aku harus menampilkan sisi baik "Bawang Merah" yang telah dibangun oleh Ivo, sehingga aku memulas senyum terbaikku dan berkata, "Tentu. Jika aku ada waktu, aku akan menghubungimu. Tapi tolong jangan terlalu berharap lebih. Maaf."
Lelaki itu menggeleng dan mengatakan ia sangat mengerti. "Bertemu sekarang saja sudah seperti mimpi yang menjadi nyata."
Aku sempat menahan napas. Aku tidak tahu apa itu, tetapi pujian yang dilontarkan lelaki itu benar-benar terdengar tulus. Perasaanku melambung hingga ke awang-awang. Padahal aku sudah mendengarnya jutaan kali dari lelaki perayu yang lihai mempermainkan perasaan perempuan. Aku sama sekali tak terpengaruh. Namun, satu kata yang keluar dari bibir Jasper seperti endorfin yang membiusku untuk merasa nyaman. Aku bahkan bisa mendengar gema alarm dalam hatiku, bahwa lelaki ini bahaya untukku. Benar-benar sinyal bahaya.
🖤🖤🖤
Percakapan kami bergulir cukup akrab. Aku mengerti Ivo sangat menyukai lelaki ini karena dia teman ngobrol yang bisa membuat dirimu nyaman. Dengan makanan yang cukup enak, atmosfer yang menyenangkan, aku jadi merasa seperti mengalami kencan pertama. Mendebarkan sekaligus menggairahkan.
"Ivーkau bilang kau seorang barista. Aku jadi penasaran bagaimana kau bekerja. Aku selalu kagum dengan lelaki yang mampu ... kau tahuーmeracik sesuatu hingga tampil indah di mata dan enak di lidah." Aku benar-benar larut dalam suasana ini hingga nyaris keseleo lidah menyebut nama kakakku.
Lelaki itu menyeringai. "Hmmm, yah. Bisa dibilang kopi adalah passion. Aku belajar bahasa Indonesia hanya demi menemukan kopi terenak. Sejauh ini kopi gayo, serta kopi Lampung, yang rasanya sangat kusukai."
Ah, itu menjelaskan mengapa dia cukup mahir berbahasa Indonesia. Tanganku sigap memotong daging sapi Australia yang dihidangkan sebagai makanan utama. Paling tidak, masakannya cukup enak sehingga bisa melupakan kekecewaanku yang tak bisa makan seafood. "Jadi, kau cukup sering ke Indonesia?"
Tangan lelaki itu terangkat dengan sebuah lap putih yang tersedia di atas meja. Setelah memberi isyarat meminta izin, ia dengan lembut mengelap sudut bibirku. Lagi-lagi aku cukup tersentuh dengan detail perhatian kecilnya ini. Membuatku harus berkali-kali mengingatkan bahwa dia adalah pacar Ivo. Ralat, teman dekat Ivo.
"Ke Indonesia ... tidak juga sih. Ini justru yang pertama. Sebenarnya setelah ini aku akan bertolak ke Sumatera, demi mencari pemasok kopi untuk ... kafeku," jawabnya seraya menunjukkan deretan giginya yang putih. Aku merasa perkataannya sedikit menggelitik sehingga aku mengerutkan dahi. "Maksudku kafe tempat aku bekerja. Jadi di sini aku tidak murni liburan. Aku disuruh bosku," ralatnya buru-buru setelah menatap ke arahku.
Aku mengangguk mengerti. Pantas saja dia bisa membeli tiket kemari dan ke Sumatera. "Sayang sekali aku tak bisa menemanimu ke sana. Pasti di sana pemandangannya indah," ucapku demi menghibur lelaki itu atas perpisahan kami sebentar lagi.
Jasper menipiskan bibir. "Yah, sayang sekali. Padahal akan seru jika kita berlibur ke sana. Bosku bahkan memberiku tiket ekstra untuk satu orang teman. Mungkin jika kamu tidak sibuk, kamu bisa menyusulku ke sana."
Bosnya terlalu baik hati rasanya. Memangnya Jasper ini karyawan paling penting atau apa sih? Aku menepis semua kecurigaanku, karena toh aku tidak paham dengan dunia kerja selain entertainment. Mungkin di dunia mereka hal itu biasa. Namun tetap saja, ini hanya satu pertemuan. Tidak akan ada pertemuan lanjutan. Meskipun berlibur ke Sumatera terdengar menyenangkan, tetapi aku tak bisa berpura-pura menjadi Bawang Merah terus-terusan.
"Oh ya, bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?" Aku sangat penasaran akan hal ini sejak Ivo menceritakan awal pertemuan mereka di Tinder. Jasper mengangguk. "Kau tahu, aku sering mendapat peran antagonis. Lantas mengapa kau masih mau memilihku di Tinder?"
Ada jeda cukup lama setelah pertanyaan itu bergulir. Aku bahkan merasakan jantungku berdebar kencang, hingga aku bisa mendengarnya. Astaga, Roxy. Sadarlah.
"Aku percaya hatimu baik. Lagipula itu hanya peran. Selama ini kau selalu bercerita bahwa dirimu selalu ditindas semasa sekolah, tetapi kau tidak mau membalas mereka. Lalu kakakmu yang berani dan percaya diri, membalas orang-orang yang menindasmu. Kau merasa berterima kasih padanya, sehingga kau ingin mendapatkan peran antagonis agar kau bisa melawan orang jahat. Aku tersentuh dengan cerita itu." Jasper bercerita panjang lebar, diakhiri dengan matanya yang tampak berkaca-kaca serta senyum yang tampak tulus.
Aku tercekat. Cerita itu benar, tetapi pelakunya dibalik. Akulah yang membalas perbuatan orang-orang yang menindas kakakku. Tetapi kakakku akan selalu menjadi perempuan lemah lembut dan baik hati. Dan mendengar cerita Jasper itu, meskipun aku tak tahu mengapa sebabnyaーaku merasakan hatiku mulai retak.
Nah lho, sepertinya di hati Roxy mulai ada getar-getar...
Jadi mau lanjut bohong atau jujur aja nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top