Episode 2 Pagi yang tak sempurna
Ivo menatapku, dengan wajah yang dipenuhi guratan emosi yang tak terjewantahkan. "Aku tahu. Tapi karena aku tak mau menyakitinya, makanya aku ingin minta tolong sama kamu. Please. Biarkan impiannya menjadi nyata, Roxy. Sehingga dirinya bisa punya kenangan yang manis."
Yeah, I don't care, actually. Perasaan manusia adalah sesuatu yang sulit ditebak. Namun aku bertekad untuk memberi lelaki itu kompensasi setelah Ivo mempecundanginya seperti itu.
"Oke, fine. Cuma sekali ketemu doang, kan?" Aku memastikan untuk yang terakhir kali. Tepat pada saat itu, pintu ruangan diketuk, diikuti dengan suara perempuan yang memanggil namaku. Segera saja aku menyahuti dan memintanya menunggu sebentar.
Ivo tersenyum lebar. Matanya kembali berbinar. "Iya. Satu kali saja dan setelah itu, selesai."
🖤🖤🖤
Hari H Pertemuan
Aku memasuki sebuah restoran yang terletak di lantai dua puluh hotel mewah di bilangan Jakarta Selatan. Sejujurnya sejak menginjakkan kaki memasuki hotel ini dan diterpa udara sejuk membuatku menggigil karena bahu yang terbuka.
Restoran tersebut memiliki dekorasi yang didominasi warna merah, dengan penerangan lampu yang redup di seluruh ruangan. Yang segera kusesali, karena warna merah menjadi pilihan yang buruk untuk gaunku sekarang, membuatnya menyatu dengan dekorasi ruangan. Lampu kristal yang indah menggantung dari langit-langit, tentu saja hanya berfungsi sebagai pemanis. Dengan suasana yang temaram, serta pemandangan langit luar kota Jakarta yang bisa dilihat dari balik dinding kaca, membuat restoran tersebut cukup ramai pengunjung.
Aroma makanan yang menggugah selera menyapa indera penciumanku yang mendadak saja merasa lapar. Padahal di lokasi syuting tadi aku sudah menghabiskan jatah nasi kotak. Jujur saja, dengan jam kerja yang nyaris dua puluh empat jam sehari di berbagai macam lokasi, sungguh menyita semua energi. Untung saja hari ini jadwal syutingnya cepat selesai. Aku bukan pemeran utama, sehingga jumlah adegan yang kulakoni tidak banyak.
Seorang maitre d'hotel berjas hitam nan rapi menyapa di luar pintu tadi, sebelum mempersilakan masuk. Lelaki itu bertanya apakah aku memiliki reservasi atau tidak. Sejenak aku bimbang dengan lutut yang mulai goyah. Aku terjebak dalam dilema, apakah aku mau meneruskan ini atau tidak. Masih belum terlambat untuk melarikan diri.
Namun akhirnya bibirku mengucap, "Reservasi atas nama Jasper Kim."
Baiklah. Aku tak bisa mundur lagi. Sang kepala pelayan kemudian mengarahkannya ke sebuah meja yang sedikit tersembunyi di dekat sudut ruang makan restoran tersebut, yang rupanya lokasi yang cukup strategis. Karena dari kursi tersebut, aku bisa melihat pengunjung yang masuk dan keluar restoran, tanpa kentara karena tertutup oleh meja depan yang pengunjungnya duduk membelakangi. Untung saja, meja tersebut dilengkapi dengan kursi dengan bantalan busa yang empuk yang membuatku bisa duduk dengan nyaman.
Udara di dalam ruangan tersebut sedikit lebih hangat ketimbang lobi hotel tetapi aku merasa menyesal karena meninggalkan mantel di mobil. Mengapa aku harus mengenakan mini dress off shoulder berwarna merah dari Amanda Uprichard—sebuah brand terkenal dari New York—dengan bahu yang terekspos begini sih? Persetan bahwa gaun ini pernah dipakai Olivia Rodrigo—artis favoritku.
Seharusnya aku memilih gaun merah yang menutup seluruh tubuhnya dari Dior, tapi Ivory—menolak mentah-mentah. Karena gaun tersebut terlalu transparan hingga memperlihatkan bra dan perut. Dan sekarang, tanpa mantel, aku mulai menggertakkan gigi dengan kesal karena bahu dan sebagian punggung mulai terasa dingin. Apalagi rupanya, sang pemilik nama yang membuat reservasi di restoran tersebut belum menampakkan batang hidungnya.
Seorang pelayan menyodorkan buku menu yang segera kutolak. "Teman saya belum datang." Aku membenahi tatanan rambut panjang ke depan. Pelayan tersebut berlalu, setelah menawarkan berbagai jenis minuman anggur yang terbaik di restoran tersebut, yang kusambut gelengan perlahan. Aku masih harus menyetir pulang, sehingga harus menjaga kesadaran sampai pertemuannya selesai.
Dua puluh menit berlalu, aku mulai bosan menunggu. Aroma daging ikan panggang, sup krim yang hangat serta paduan daun basil dan keju di atas pasta, menerpa penciuman, membuatku nyaris meneteskan liur. Demi apa sih, mengapa si Jasper Kim ini belum datang? Aku mulai mengetuk meja dengan tak sabar. Kedinginan, kelaparan dan tenggorokan yang mulai kering karena haus, sebab air putih yang disajikan di awal sudah habis kutenggak. Namun aku belum berani memesan apa pun, karena ia harus menunggu sosok lelaki yang bernama Jasper Kim ini datang.
Lampu-lampu gedung yang berkelap-kelip di luar sana, tidak menggugah minat. Perutku keroncongan, hingga rasanya aku sanggup makan taplak meja sekarang.
Aku sudah mengirim pesan berkali-kali kepada lelaki itu tetapi sama sekali tak ada balasan. Dibaca pun tidak. Aku menghela napas. Benar, ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan : bertemu teman kencan online yang dikenal via Tinder di sebuah restoran mewah. Aku mulai mengibaskan rambut, saking bosan menunggu. Ini jauh lebih menyebalkan ketimbang menunggu set lokasi syuting sedang dipersiapkan oleh kru.
Mungkin aku sedang diprank. Ha ha ha, baiklah. Bukankah sudah sering begitu? Berkenalan via Tinder atau media sosial lainnya, kemudian temu darat dan mendapati kenyataan tak seindah foto profil editan. Atau malah menjadi korban kejahatan. Hii. Aku bergidik. Semoga kali ini bukan seorang kriminal. Segera saja kudekap tas jinjing Channel erat-erat. Meski pun aku memiliki bayaran yang cukup fantastis, serta mampu membeli barang-barang branded, aku tidak sekaya Sultan Andara. Aku masih harus berakting menjadi rival cinta pemeran utama yang menghalalkan segala cara demi meraih lelaki pujaan dalam sinetron bertajuk Ikatan Batin, yang kabarnya akan diperpanjang hingga lima puluh episode lagi—demi meraup pundi-pundi rupiah.
Baiklah. Sudah empat puluh lima menit. Aku kelaparan, dan sudah tak sanggup menunggu lebih lama lagi. Kulirik ke arah makanan yang ditata di meja sebelah. Tampak menggoda dengan aromanya yang sedap. Duh. Aku menelan ludah. Aku bisa saja memesan satu atau dua makanan, tetapi aku merasa sayang mengeluarkan uang di restoran yang bukan favorit. Lagipula aku datang kemari karena si Jasper Kim ini berjanji akan membayari makanannya.
Ah, sial. Perut sudah mulai terasa melilit. Aku akhirnya memutuskan untuk pergi saja dari sini. Anggaplah hari ini sedang sial. Diprank oleh pemuda tengil, urakan, dan kurang ajar dari Tinder. Rekor yang sangat mengagumkan. Selama karirku sebagai artis sinetron selama enam tahun, belum pernah aku merasa dipermalukan ...
"Maaf, aku tak bermaksud membuatmu kaget." Lelaki itu tersenyum miring, tipikal gambaran cowok bad boy yang biasa kau lihat di sinetron. Sebelah bibir terangkat, dengan menelengkan kepala.
Aku terpana melihat penampilannya. Setelan jasnya, tampilan rambutnya, bahkan wajahnya—tampak berkelas. Dan berbeda dengan foto profil yang ada di Tinder. Aku tahu itu, karena sekarang ada akun Tinder kakaknya di ponselku demi peran kecil ini. Aku tahu bahwa tak boleh menghakimi seseorang berdasarkan penampilan. Namun memang ada yang berbeda dengan sosok lelaki yang berada di hadapanku sekarang.
"Kamu tampak lebih cantik aslinya." Semua orang selalu mengatakan hal itu padaku. Semua fans, para playboy yang mendekati artis itu, mengucapkan kalimat yang persis sama. Lantas mengapa kalimat yang diucapkan oleh lelaki ini membuatku sedikit berdebar?
"May I?" Lelaki itu memberi isyarat untuk menarik kursi, setelah menawarkan jasnya. Sebuah etiket biasa untuk fancy dinning.
Aku menelan saliva kemudian mengangguk, setelah mengembalikan kesadarannya ke alam nyata. Benar-benar gentleman. Sementara diriku hanyalah gadis yang salah yang berada di sini. Aku mulai sangsi, bahwa setelah sepuluh menit mengobrol, barista itu akan mengetahui bahwa diriku bukan Bawang Merah yang selama ini dia tahu.
Begitu kami berdua duduk, Jasper menawarkan untuk memesan makanan terlebih dahulu. Lelaki itu berbahasa Indonesia dengan baik, membuatku semakin mengaguminya. Padahal aku sudah siap jika percakapan kami nanti banyak menggunakan bahasa Inggris.
Dengan riang, aku mengambil buku menu, merasa kelaparan karena lama menunggu. Aku baru saja hendak memesan menu favoritnya ketika Jasper berkata kepada pelayan, "Bisa tolong rekomendasikan menu yang tidak mengandung seafood? Nona Roxanne alergi."
Aku nyaris menggigit lidah. Ah, sial. Ivo alergi makanan laut, sehingga hal itulah yang ia katakan kepada Jasper. Meskipun kakakku menggunakan namaku, tetapi hal yang lain seperti makanan favorit, hobi atau bahkan merek kosmetik tentu saja sesuai dengan Ivo. Aku mengembuskan napas keras-keras, karena kesal dengan orang yang menempatkan diriku dalam situasi seperti ini.
"Ada apa, Roxanne?" Lelaki itu memandangnya dengan kerutan dalam di dahi. Aku tersenyum canggung.
"Roxy saja. Jangan ... er, terlalu formal padaku." Aku berusaha mengembalikan atmosfir santai ke acara ini, agar tak mengacaukan semuanya.
Jasper Kim kembali menunjukkan senyuman khasnya. "Ah, ya. Mungkin karena ini pertemuan pertama kita. Jadi rasanya terlalu canggung. Maaf."
Aku menggeleng perlahan. "Nggak papa, kok. Kita bisa ... emmm, mulai ... "
Apa sih yang harus dikatakan pada saat kencan pertama setelah berhubungan lama di Tinder? Apakah ada buku petunjuk?
"Ya. Ngobrol santai. Hari ini mungkin akan jadi pemanasan, agar kita tidak terlalu canggung. Lagipula setelah ini, kita akan bisa sering bertemu." Jasper menggerakkan bahunya dengan santai, kemudian menatapku dengan mata berbinar.
Sementara aku baru tersadar dengan perkataannya, terbelalak. Apa dia bilang tadi? Kami akan sering bertemu? What the hell is going on?
Siapa yang suka pake Tinder? Biasanya kalo ketemuan, ngomongin apa nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top