Episode 15 Speak now

Aku tersentak. Mataku serta merta menatap tajam ke arahnya. Namun, kupaksakan untuk memasang ekspresi tak acuh.

"Kamu masih ingin memperpanjang urusan ini? Karena aku tak tertarik. Jika kamu nggak ingin wawancara, aku akhiri saja ya interviewnya." Aku bangkit berdiri dan hendak beranjak pergi.

Gesit, tangan Ivo mencekal tangankuーmencegahku untuk berlalu dari hadapannya. "Roxy, setelah semua yang terjadi, aku tahu bahwa kemarin itu juga ada andilku. Aku tak menduga bahwa hal itu, malah membuatmu jatuh cinta padanya."

Aku memutar bola mata, merasa bosan dengan percakapan ini. Setelah susah payah aku bertahan untuk melepaskan jerat kenangan bersama lelaki itu, mengapa Roxy harus mengorek lukaku lagi?

"Kamu... berhak berbahagia, Roxy. Dengan memilih jalanmu sendiri. Dan terima kasih karena kamu, kini aku bisa menempuh jalanku sendiri. Karena itu, jika kamu masih mencintai Jasper, mengapa kamu tak mendatanginya? I think he fell for you too." Ivo menatap mataku dalam-dalam, tampak bersungguh-sungguh dalam setiap ucapannya. "Jangan lepaskan dia karena aku, atau siapa pun. Perasaan tak bisa salah, Roxy. Jadi jangan permainkan perasaanmu juga."

"Terima kasih atas perhatianmu, Ivo. Tetapi aku sudah tak mau terjebak dengan omong kosong ini lagi. Selamat malam," pungkasku seraya memberi kode untuk Ningsih agar mengikutiku.

"Dialah yang membereskan Johan untukmu. Juga memberitahu pak Sahni. Dia banyak melakukan apa pun, agar kau tetap aman. Tanya pada Ningsih, pasti dia juga menyadari keberadaan pengawal lain yang selalu ada di sekitarmu. Itu semua karena Jasper."

Perkataan Ivo membuatku tercengang. Aku menoleh ke arah Ningsih, meminta penjelasan, lalu gadis itu perlahan mengangguk. Aku memejamkan mata, merasa jengah karena masih saja buta dan bodoh.

🖤🖤🖤

Kali ini, aku kembali terdampar di bandara Singapura. Berada di sini, membuatku sesak napas mengingat betapa pedihnya pengalamanku sebelumnya. Namun kini, aku bukannya tanpa persiapan. Aku sudah membawa pakaian ganti yang cukup, juga perbekalan, karena aku berada di tempat yang kini asing. Meski pun aku sendiri tak tahu apa yang kucari di sini. Dalam hati merayap perasaan ragu, apakah aku benar datang kemari atau itu cuma kebodohanku lagi.

Ningsih sengaja tidak kuajak. Aku benar-benar sendirian berada di sini. Setelah sampai bandara, kuputuskan untuk segera menuju hotel yang sudah kupesan.

Setelah melepas penat, aku menanti hingga tengah malam, lalu memesan taxi dan menonton bioskop. Aku mengulang kenangan yang kulakukan bersama lelaki itu, pada saat di Bandung. Hatiku masih disusupi nyeri saat mengingat apa saja yang kami lakukan dulu, tetapi kini aku kuat menanggungnya. Ivo benar. Aku diam-diam masih merindukannya.

Aku duduk di restoran yang berada dalam bioskop, menanti pesananku datang. Sembari menunggu, aku menatap postingan teman-temanku di sosial media, sedikit merasa jemu, tetapi aku tak punya kegiatan lain.

"Permisi, ini pesanannya Nasi Goreng Kemangi," ujar pelayan yang kini berdiri di hadapanku.

Aku mengerutkan kening. Aku tadi memesan Mataku yang awalnya masih terantuk di media sosial, mau tak mau beralih ke arahnya. "Saya pesannya Spicy Tempura Ramen. Bukan Nasi Goreng Kemangi! Saya nggak suka kemangi!" Aku berjengit dengan nada tinggi, kemudian ternganga ketika aku melihat siapa yang berdiri di hadapanku sekarang. Pantas saja. Sebelumnya aku heran karena pelayan di Singapura bisa mahir berbahasa Indonesia. Karena pelayan yang sebelumnya melayaniku berbahasa Inggris Singapura.

Lelaki itu tersenyum, seraya menyodorkan nampan yang berisi semangkok ramen pesananku, juga Sistagor dan segelas es teh. "Aku juga. Nggak suka kemangi."

Aku menunduk dan menggigit bibir. Ini bukan pertemuan yang kuharapkan tetapi hatiku mendadak dipenuhi bunga-bunga.

"Hai, namaku Jasper Wang. Boleh aku duduk di sini?"

Aku menatap lelaki itu dengan mata berkaca-kaca. Seakan rindu yang mengerak selama setahun ini, mulai tergerus satu demi satu karena kehadirannya sekarang. Apakah dia sudah memaafkanku? Entahlah. Biar waktu yang menjawab.

Saat aku hendak menjawab, kurasakan tenggorokanku kering, jadi aku berdeham sebentar. "Ehm. Namaku Roxanne. Kamu bisa memanggilku Roxy."

Jasper duduk dan menaruh nampan di hadapanku. "Hai, Roxy. Boleh aku minta foto bareng? Aku penggemarmu."

Aku merapikan rambut, sekaligus menyingkirkan titik air mata yang hendak luruh. "Sure. Boleh banget." 

🖤🖤🖤

Epilog

"Ya ampun, Roxy! Bisa-bisanya kamu telat di hari sepenting ini!" Mama mengomeliku yang baru saja masuk ke ruangan dengan terburu-buru.

"Maaf, Ma. Macet!" Aku memberi alasan, seraya mencopoti bajuku satu persatu lalu meraih gaun bewarna lavender yang disodorkan mama. Penata rias segera memulas wajahku yang berkeringat dan tampak kusam karena berlari dari tempat parkir ke ruangan ini. Mama kemudian menyodorkan segelas air dingin kepadaku. Aku meraih dan menandaskan isi gelas itu tanpa sisa.

Kemudian seorang perempuan bertubuh sintal, dengan kebaya berwarna biru masuk ke dalam ruangan, memberitahu bahwa acara akan dimulai. Aku berdiri, sementara sang penata rias tergopoh-gopoh memainkan kuasnya agar wajahku tampak paripurna. Aku jelas tak bisa tampak jelek di acara penting ini.

Setelah aku siap, aku berjalan sesuai aba-aba dan instruksi yang diberikan oleh Shinta, perempuan bertubuh sintal tadi. Tanganku menggenggam buket bunga yang berwarna putih dan ungu muda yang lembut. Jantungku berdebar keras, membuatku sedikit cemas karena takut ia akan melompat keluar.

Akhirnya aku berdiri di pintu gerbang kayu yang berukir. Aku berhenti sejenak untuk menarik napas. Kemudian pintu dibuka, lalu aku melangkah seperti yang kulakukan saat gladi bersih kemarin. Aku menatap pendeta yang berdiri di tengah altar dengan sikap khidmat. Mataku mulai mengembun, merasa hari dengan apa yang telah terjadi selama ini dalam hidupku. Tidak, Roxy. Jangan menangis. Kau akan merusak riasannya. Ini hari penting.

Kemudian langkahku berhenti di posisi yang telah ditandai oleh Shinta. Di situ, tanganku mulai berkeringat, sehingga aku berusaha menggosokkan telapak tangan ke buket bunga tanpa kentara. Aku menelan ludah ketika berbalik, menatap puluhan pasang mata yang terarah padaku. Astaga. Hal ini semakin menambah tingkat kegugupanku hingga beberapa kali lipat.

Lalu tanpa sengaja mataku bertemu dengan mata lelaki yang menawan hatiku. Lelaki itu tersenyum, menyemangati dan meniupkan ciuman ke arahku. Aku tersenyum tersipu, merasakan pipiku seakan terbakar. Astaga. Rasanya aku jadi seperti abege.

Pintu gerbang terbuka lagi, kemudian muncullah Ivo yang merangkul lengan papaku. Memandang wajah kakakku itu, membuat air mataku luruh begitu saja. Padahal aku sudah berusaha agar tidak menangis. Seperti dalam film, dalam benakku mulai berputar rangkaian adegan yang kualami bersama gadis yang hari ini tampak cantik dengan gaun putih gadingnya, serta sanggul sederhana yang menghiasi kepalanya. Dari wajahnya aku tahu dia juga sedang mati-matian menahan tangis.

Kuraih tisu yang sedari tadi kugenggam di tangan kiri, berusaha menghapus air mata tanpa merusak riasannya. Tapi sepertinya bulir-bulir air itu membandel, tak mau berhenti. Aku bahkan nyaris sesenggukan. Setelah pertengkaran kami karena Jasper dan pekerjaan, kami akhirnya bisa berdamai, setelah aku menyusul Jasper ke Singapura dan Ivo bisa keluar dari cangkangnya, menapaki jalan hidup yang dipilihnya dengan penuh percaya diri. Aku bahkan tak menyangka, bahwa kakakku itu sangat lihai mencari berita, bahkan bisa mengorek info yang teliti dari berbagai sumber. Dia bilang itu karenaku yang sering membuat skandal diam-diam tanpa sepengetahuannya. Mengingat itu aku jadi tertawa, dan menatap ke arah kakakku dengan haru.

Ivo mendekatiku, kemudian memelukku erat. "Jangan nangis dong, aku jadi ikutan cengeng nih!" Suaranya bahkan terdengar serak.

Aku mendengkus dan berdeham, tanganku masih berusaha menghapus air mata yang mengalir. Sebentar lagi pemberkatan pernikahan Ivo akan dimulai. Kalo ini aku harus benar-benar bisa menahan air mataku.

Kueratkan pelukanku sebelum aku melepasnya, agar ia bisa berada di altar bersama Jeremy, tunangannya. Papa pun sudah berlinang air mata menatap kakakku yang tampil jelita itu.

"Congratulation, Sistah. Kalau dia macam-macam sama kamu, laporin ke aku aja. Aku bakal menghajarnya." Kubisikkan kalimat itu ke telinganya.

Ivo tergelak. "I know. I know. Cause that's what a sister do, right?"

"Right." Kulepaskan pelukan dan membiarkannya ke altar bersama papa. "I love you."

"I love you more. And thank you.

Finally, tamat ya. Lega banget rasanya bisa posting ulang cerita ini setelah insiden Wattpad yang bikin aku kesel banget.

Sampai cerita ini ku posting ulang di work yang berbeda, saking erornya.

Oke, sampai di sini dulu ya, cerita antara Jasper Wang dan Roxy. Buat yang belum tahu Jasper itu kakaknya Liam di Catching Cinderella. Nah, sudah ngerti hintnya?

Oh ya, kasih tahu aku dong, di antara Wang bersaudara, mana yang kalian sukai? Apa alasannya?

Terus apa yang kalian suka dari cerita ini?

🤭🤭

Yang belum baca cuss ke Catching Cinderella soalnya habis ini mungkin mau kuhapus sebagian untuk penerbitan. Jadi buruan ramekan vote dan komennya ya 🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top