Episode 13 Bad Liar
"Aku tahu, aku begitu jahat dan egois padamu. Aku minta maaf."
Seakan ada yang menarik beban di dalam dadaku, sekarang aku merasakan jauh lebih ringan. Memang apa yang dilakukan oleh kakakku begitu jahat. Tetapi aku mengerti, sehingga kuputuskan aku takkan berkata apa-apa lagi.
Aku menarik napas, kemudian membuat wajah ke arah jendela. Aku hanya ingin menyudahi perasaan tidak nyaman ini. Jadi aku bungkam, sepanjang sisa perjalanan kami ke bandara.
🖤🖤🖤
Menurut penuturan mama, Ivo dilahirkan secara prematur. Karenanya, ia sering sakit-sakitan. Gadis itu juga susah sekali makan, sehingga ia bertubuh kurus kering. Banyak yang mengatakan mungkin sebab kurang gizi lah, penampilan Ivo jadi kurang menarik. Ivo baru berusia enam bulan, ketika mama mengandung diriku. Berkaca dari pengalaman, mama benar-benar menjaga kehamilannya agar tidak terlahir prematur dan kurang gizi. Akhirnya ketika aku lahirーmama selalu berkataーaku sehat dan tampak menggemaskan.
Sewaktu SD, dia sering dirundung teman sekelasnya. Aku yang satu sekolah dengannya, yang sering membela dirinya. Ivo juga memiliki riwayat alergi yang cukup parah, sehingga ia memiliki banyak pantangan makanan. Akibatnya, jika dia tak sengaja memakan pantangannya, dia harus dilarikan ke rumah sakit. Karena itu aku yang memiliki lidah normal, sering kebagian mencicipi makanan Ivo. Apakah ada seafood, atau kacang, atau telur. Dengan tanggungjawab itu, akulah yang berperan sebagai kakak untuknya.
Aku tak tahan melihat Ivo ditindas hanya karena fisiknya yang kurus dan ringkih. Apalagi karena dia tak memiliki teman, dia selalu bersikap baik agar bisa menjalin pertemanan dengan siapa pun. Namun kenyataannya malah berbanding terbalik, dia lebih sering pulang sekolah dengan menangis. Itulah saat aku belajar, menjadi baik takkan bermanfaat bagiku. Aku tak mau menjadi orang baik, karena akan dimanfaatkan dan ditindas.
Setiap kali Ivo pulang dengan berlinang air mata, aku yang akan menghajar dan membalas setiap orang yang menyakitinya. Termasuk tiga gadis yang dianggap sebagai geng gaul di sekolah. Aku melemparkan cacing ke arah mereka, sehingga esoknya mereka dengan wajah ketakutan meminta maaf kepada Ivo.
Yang paling epik, Ivo sering ditolak oleh cowok yang ditaksirnya semasa sekolah. Dan alasan mereka adalah mereka lebih menyukaiku. Aku pun merancang pembalasan dendam yang epik pula : mendekati mereka, kemudian meninggalkan mereka. Tetapi Ivo tak pernah tahu tentang hal itu. Dia hanya tahu aku suka berkencan dengan cowok yang berbeda setiap bulan, lalu mencampakkan mereka. Termasuk Johan.
Sejak awal syuting, Ivo mengagumi Johan, tetapi ia sadar lelaki itu takkan mau meliriknya. Apalagi kedekatan Johan dengan Lexyーlawan mainnyaーsaat itu begitu intens. Benar saja, mereka akhirnya cinta lokasi. Kuduga, karena putus asa itulah, Ivo beralih ke Tinder dan memakai nama serta fotoku. Di sanalah ia berkenalan dengan Jasper.
Tak mudah bagiku mendekati Johan, karena Lexy selalu menempel kepadanya kemana-mana. Namun, aku mendapatkan kesempatanku. Rupanya Johan sendiri juga risih dengan sikap Lexy yang over protektif. Hingga ia mau memakan umpanku, sebelum akhirnya ia kucampakkan sama seperti yang lain.
Ivo tak pernah curiga ketika aku dekat dengan cowok-cowok yang sebelumnya ia taksir. Karena ia terlalu rendah diri, sehingga ia tahu dirinya tak pantas untuk dicintai. Dan rupanya, ulahku akhirnya mendapatkan karmanya. Johan bukan cowok yang biasanya kutangani. Biasanya para cowok yang berhasil kutaklukkan kemudian kucampakkan, hanya merayu untuk kembali atau menampakkan penyesalan mereka dengan postingan atau status. Berbeda dengan Johan.
Kini setelah aku mendapatkan pelajaran dari penyerangan Johan, aku pun harus menelan kegetiran karena telah kehilangan Jasper. Yang berawal dari kebohongan yang kuciptakan sendiri. Aku tahu aku telah kehilangan sesuatu yang berharga tanpa kusadari. Dan kukira aku takkan bisa melupakan peristiwa ini dengan mudah. Rasa cinta yang kumiliki untuk Jasper rupanya terlalu besar, sehingga ia menggoreskan luka yang dalam di hatiku ketika kehilangannya.
"Jangan bermain dengan perasaan orang," celetukku tiba-tiba dalam sebuah perjalanan pesawat yang membawa aku dan Ivo kembali ke tanah air. "Kamu sering mengatakan itu padaku."
Aku menoleh dan mendapati Ivo sedang menatapku dengan ekspresi kebingungan. Dahinya berkerut, sementara tangannya berusaha meraih tanganku dan menggenggamnya. "Iya, lalu?"
"Aku mengabaikan itu dan kini aku sendiri tak tahu apa yang kurasakan. Kukira aku sungguh tidak adil, menjadikan Jasper sebagai pelampiasan. Dan aku benar-benar menyesal dan tidak nyaman karenanya. Mungkin inilah rasanya menjadi pecundang. Feeling guilty and sorry. Lalu kamu sendiri mempermainkan perasaan dan hidupku. I feel so terrifying. I don't know what to do." Aku mengatakan itu dengan perlahan, seolah aku ingin menekankan setiap kata agar Ivo benar-benar mendengarnya dengan jelas.
"Roxy, I'm so sorry. Aku akan melakukan apa pun agar aku bisa memperbaiki kesalahanku." Kedua mata Ivo berkaca-kaca. Aku tahu ini pasti menyakitkan buatnya, tetapi aku tak bisa mengabaikan perasaan sakitku sendiri. Nyerinya terlalu kuat untuk bisa ditahan dan aku tak berani menanggungnya sendirian.
Aku menggeleng. "Mungkin ini bukan salahmu. Tetapi aku benar-benar kehilangan kepercayaanku. Jika ada yang bisa kupelajari sekarang adalah kepercayaan adalah pondasi utama dalam sebuah hubungan. And you've already broke my trust. Mulai kini aku ingin sendirian dulu, entah sampai kapan. Termasuk urusan pekerjaan."
Keputusan itu sudah bulat kuambil, setelah aku memikirkannya masak-masak di Singapura. Mematahkan kepercayaan itu sangat mudah, tetapi dampaknya luar biasa. Dan kukira aku sudah cukup merasa muak dan marah kepada diriku sendiri atas apa yang kulakukan kepada Jasper.
Sekali lagi kupalingkan wajahku dan menatap ke luar jendela. Kami pun hanya berkubang dalam diam selama perjalanan kami di udara. Bahkan ketika sampai bandara pun, aku tak mengatakan apa pun. Aku hanya menenteng tasku, kemudian menyetop taksi di luar bandara, pulang ke rumah—setelah berpamitan sekedarnya pada Ivo. Aku tak tahu seberapa hancurnya rumahku, karena aku meninggalkannya begitu saja selama beberapa hari. Atau apakah Johan masih ada di sana, menungguku pulang. Apa pun itu kali ini aku siap. Aku membeli sebuah pisau serbaguna dan menyelipkannya di tasku, demi berjaga-jaga untuk kemungkinan terburuk.
Namun rumahku tampak baik-baik saja. Sepertinya Ivo sudah membereskan semuanya. Walau pun ada beberapa vas porselin milikku yang ada di ruang tamu menghilang, kuduga sudah pecah dan dibuang oleh kakakku. Aku pun tak terlalu peduli, karena bagiku vas itu hanya sesuatu yang sia-sia jika hanya untuk hiasan. Sepertinya itu hadiah atau apa, aku pun sudah lupa.
Aku beranjak ke kamar untuk berbaring melepas penat. Beberapa hari di negeri orang dengan kenyamanan yang luar biasa, kini aku harus kembali kepada realita pahit hidupku. Aku belum menghubungi pak Sahni, yang mungkin jengkel dengan sikapku yang tiba-tiba menghilang, karena aku belum tahu apakah penyerangan Johan sudah masuk berita atau tidak. Namun itu bukan yang menjadi beban pikiranku sekarang. Pikiranku kusut oleh hal-hal yang aku sendiri tak tahu, seakan aku merasa kehilangan sesuatu yang bukan milikku. Dan jauh di dasar hatiku, terbitlah sebuah rasa rindu, serta pedih—entah kepada siapa.
Kakiku melangkah ke kamar mandi dan tanpa melepas pakaianku, aku menyalakan keran shower. Aku berdiri di bawahnya dan merasakan guyuran airnya membasahi wajah dan badanku. Mataku menatap kosong ke arah lantai. Namun itu tak lama. Karena beberapa detik kemudian, aku jatuh terduduk dan menangis keras-keras.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top