Episode 12 Shattered me
Jasper tampak menawan dengan setelan formalnya, ketika aku membuka pintu kamar. Aku mengerutkan dahi, heran karena dia harus berpakaian seperti itu pagi-pagi.
"Oh, kamu mau ketemu klien?" tanyaku berbasa-basi. Penampilannya sekarang jika dibandingkan denganku, rasanya seperti bumi dan langit. Aku hanya mengenakan kimono handuk, dengan rambut yang disisir sekenanya. Wajahku juga hanya dibilas air, aku tak sempat melakukan perawatan rutinku.
"Boleh aku masuk?" tanya Jasper, tampak lebih canggung dan gugup.
Aku mengangkat alis. Well, secara teknis ini kamarnya dan rumahnya, jadi dia bisa saja menerobos masuk. Lalu aku tersadar, ini namanya etika menghargai tamu. Aku jadi merasa sangat bodoh.
"Yeah, tentu. Tetapi, maaf aku... tak sempat mandi dan sebagainya." Aku mundur selangkah, agar lelaki itu leluasa masuk ke dalam.
Saat ia masuk, tangan kanannya tersembunyi di belakang punggung. Aku tak mengerti kenapa, tetapi saat ia sudah berada di dalam kamar, lelaki itu menyodorkan buket bunga yang cukup besar.
Aku terperanjat, karena yah, memangnya ada momen apa dia harus memberiku bunga. Aku tak berulangtahun. Aku masih merasa bingung, sampai akhirnya lelaki itu berlutut di hadapanku.
"Roxanne Marie Ferdita, aku tahu ini sangat mendadak. Sebenarnya aku berencana melakukan ini saat aku ke Indonesia. Tetapi karena kejadian kemarin, aku melihatmu begitu rapuh dan terluka, aku tak bisa menahan diriku lagi. Maukah kamu menikah denganku?" Jasper menatapku tepat di mata.
Mataku terbelalak, karena aku tak menyangka akan seperti ini akhirnya. Dia ... melamarku? Sungguhkah? Dia melamarku, atau dia melamar Bawang Merah yang dia ajak berkomunikasi selama ini? Kepalaku terasa berdenyut nyeri, merasa terdzalimi dengan kebohonganku sendiri.
"Dengar, Jasper. Aku, aku, sungguh tersanjung dengan ini. Tetapi ... "
Perkataanku terpotong oleh nada dering ponselku yang tergeletak di ranjang. Ah, sial. Aku yakin tadi sudah mematikannya, mengapa sekarang ia berbunyi nyaring?
Jasper bangkit dari lantai dan mengambil ponselku. Wajahnya awalnya tampak biasa saja tetapi ketika melihat sesuatu di layar ponselku, lelaki itu tampak gusar.
"Siapa ini? Mengapa dia memakai gelang yang kuhadiahkan untukmu?" Jasper memperlihatkan layar ponselku yang sedang menampilkan foto Ivo yang memamerkan gelang pemberian Jasper pada kamera. Aku memejamkan mata dan mengumpat dalam hati.
Perlahan, kubuka mata dan memandang ke arah lelaki itu. Wajahnya tampak gusar dan terluka, membuat hatiku ikut tersayat dan berdarah.
Sanggupkah aku mengarang kebohongan lagi? Bisakah aku merangkai alasan lain yang hanya akan memperbesar bom waktu yang telah kutanam sendiri?
Bibirku terkatup, sementara lidahku terasa kelu. Kali ini setelah peristiwa Johan menyerangku, aku tak ingin menyakiti siapapun lagi. Aku sudah tak bisa menanggung perihnya tersakiti karena melukai orang lain. Karena tak ada plester mana pun yang bisa mengobati hati.
"Maaf," lirihku, seraya menundukkan kepala. Panggilan dari Ivo berhenti.
"Roxy?"
Suara lelaki itu sungguh menyayat hati. Aku tak bisa menahan bendungan air mataku sekali lagi di hadapan lelaki ini.
"I'm so sorry," bisikku disertai isak tangis.
"I don't wanna your sorry, I want your explanation!" Jasper menjatuhkan buket bunganya, yang menyebabkan sesuatu yang mungil berbentuk lingkaran menggelinding ke arah kakiku. Setelah aku menunduk dan mengamatinya, ternyata itu adalah sebuah cincin berlian. "Bagaimana bisa sesuatu yang kuberikan padamu sebagai hadiah istimewa, kau berikan kepada orang lain?"
Aku segera menutupi wajahku dengan kedua tangan, demi menahan air mataku yang terlanjur membanjir.
"I lie to you. I'm so sorry!" Hanya itu yang bisa kukatakan.
Jasper menggeram, kemudian kudengar langkah kakinya yang menjauh dariku.
"Sh*t!" makinya sebelum ia membanting pintu kamar.
Yeah, sh*t. My life is over.
🖤🖤🖤
Kami berdua duduk dalam taxi yang membawa kami ke bandara dalam diam. Aku menatap nanar ke luar jendela, ketika kendaraan roda empat itu meninggalkan rumah Jasper. Ada sesuatu yang ada di dalam hatiku, yang selama ini ku tak tahu keberadaannya, perlahan-lahan berangsur menjadi kepingan tajam yang menusuk. Rasanya sangat sakit. Kubayangkan Jasper berdiri di salah satu jendela, berusaha membelakangi karena tak mau melihatku pergi. Aku menarik napas panjang. Kali ini, aku benar-benar mengucapkan selamat tinggal.
"Jasper," bisik Ivo dengan lirih ketika taxi sudah berada di jalan raya. "Aku benar-benar tak menyangka bisa bertemu dengannya."
Aku tak membalas. Bahkan menoleh padanya pun tidak. Aku tak bisa melihat wajahnya setelah apa yang kulakukan. Meski pun hanya untuk dendam, pada awalnya. Tetapi seiring perasaanku yang tumbuh pada lelaki yang dia cintai, benar-benar mengoyak harga diriku.
"Kau benar-benar marah padaku karena Keris Naga itu?" Ivo meraih tangan kiriku. Aku masih bergeming. Bukan karena aku membencinya. Hanya saja aku tak mau menangis, ketika aku nanti menatap wajahnya. Tidak.
"Aku ... minta maaf."
Aku tersentak. Kukira, Ivo akan mengeluarkan aneka argumen untuk membela dirinya. Atau ia akan berpura-pura tidak mengerti apa yang kukatakan. Tetapi permintaan maaf darinya, adalah sesuatu yang tidak pernah kupikirkan akan keluar dari bibirnya.
Perlahan, kutolehkan kepala, menatapnya lekat-lekat. "Minta maaf ... untuk apa?"
Ivo menunduk, tangan kirinya menyelipkan rambut di telinganya. Gadis itu menarik napas panjang, sebelum berkata, "Aku iri padamu."
Aku memutar bola mata, karena selama ini dia selalu mengomplain mengenai apa pun yang kulakukan. Benarkah ini Ivo yang kukenal? Atau ada alien yang merasuki badannya di bandara Singapura?
"Itu nggak masuk akal sama sekali, Ivo. I'm a bad girl. Aku tahu banyak orang yang membenciku dan setiap minggu aku selalu diserang oleh para ibu-ibu. Kemudian ... Johan. Entahlah. Aku tak tahu mengapa kau harus iri denganku." Tanganku bergerak ke sana kemari selama aku berbicara, demi memberikan penekanan atas tiap kata yang kuucapkan.
Ivory Ferdita tertawa getir. "Itulah Roxy. Kadang kita selalu iri dengan pekarangan tetangga. Terlepas dari semua kontroversi yang kauterima, kau selalu berani tampil sebagai dirimu sendiri tanpa khawatir. Kau cantik, berparas sempurna, digilai banyak pria. Kau pun bebas memilih dengan siapa kau akan makan malam, atau liburan di luar negeri bersama siapa di akhir pekan."
Gadis itu menarik napas, kemudian kembali meraih tanganku. "Kau juga pandai berakting, punya segudang prestasi. Banyak produser yang menginginkanmu. Kau juga tak segan mengambil peran antagonis, tanpa takut citramu jelek. Sementara aku, tak peduli bagaimana aku berusaha, aktingku begitu-begitu saja. Kau tahu apa kata sutradara dan produser saat di belakangku? 'Kalau bukan karena dia adalah saudara Roxy, aku nggak akan mau ngajak dia lagi di proyekku.'"
"No way." Aku menggeleng tak percaya. Mendadak saja amarahku meluap. "Kenapa mereka mengatakan itu? Keterlaluan, biar aku temui mereka!"
Ivo meremas tanganku dan tersenyum dengan mimik muka sedih. "Itulah kamu, Roxy. Kamu akan menghajar siapapun yang menyakitiku. Ingat saat kita SMP, aku diejek oleh 'trio macan' itu? Kamulah yang menghajar mereka, sampai mereka akhirnya datang meminta maafku. Karena kamu berani dan percaya diri. Berbeda denganku. Dan mungkin, itulah alasan aku akhirnya memilih menjadi bayang-bayangmu. Karena aku bisa merasa aman, juga agar aku bisa membuatmu melakukan apa yang kuinginkan. Peran antagonis itu, adalah sesuatu yang ku impikan sejak lama. Namun aku tak pernah bisa mendapatkannya."
Mata kami bertemu. Aku berusaha mencari dusta dari dalam tatapannya, hanya untuk meyakinkan diriku, bahwa ini semua tidak benar. Seolah selama dua puluh dua tahun ini, aku tak mengenal kakakku sama sekali. Apakah itu berarti dia memang sengaja memanfaatkanku untuk mewujudkan impiannya? Aku menghela napas. Kepalaku terasa penat. Seakan semua kebenaran di seluruh dunia dijejalkan ke dalam kepalaku tanpa sempat kuproses.
Siapa yang memihak Ivo, siapa yang memihak Roxy?
Kasih tahu alasannya ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top