Episode 10 The bad guys coming

"Maaf." Ivo menatapku dengan segan, kemudian mempersilakanku masuk. Aku menghela napas. Tidak semudah itu, Ferguso.

"Aku juga." Kusibakkan rambut panjangku sebelum melangkah masuk ke rumah. Aku hanya tak ingin memperlebar pertikaian kami di depan papa dan mama.

Ivo segera meraih tanganku dan memelukku erat. Gadis itu selalu begitu ketika kami berbaikan. Sementara aku bergeming, tak membalas pelukannya. Ada sesuatu yang janggal mengenai dirinya, yang membuatku menjadi waspada.

Makan malam segera disajikan. Aku berusaha untuk tampak antusias meski pun tubuhku capek luar biasa. Mama tersenyum menatap kedua putrinya berbaikan, bahkan wajahnya ikut berseri-seri. Padahal beliau tidak perlu campur tangan, karena aku yakin Ivo takkan tahan lama mendiamkanku. Dia pasti akan menghampiriku kemudian meminta maaf.

Selesai makan malam, mama memintaku menginap. Aku mengiyakan permintaan tersebut, karena aku tak punya tenaga untuk menyetir pulang ke rumah. Seluruh tubuhku luluh lantak, sehingga aku sudah sangat ingin tidur saja. Namun, mama bersikeras membereskan kamar masa kecilku dulu, sebelum aku beristirahat di sana.

Mataku sudah nyaris terpejam ketika aku menonton televisi sendirian. Tayangan di layar kaca itu sama sekali tak menggairahkanku. Kemudian Ivo duduk di sebelahku, menyodorkan segelas teh hangat.

"Chamomile," ujarnya tanpa ditanya. Aku mengusap wajahku dan menggumamkan terima kasih. Aroma wangi bunga itu semakin membuatku mengantuk, tetapi Ivo sepertinya hendak mengajakku bicara, jadi aku berusaha menahan kantuk.

Kutegakkan badanku, agar aku masih bisa terjaga. Saat aku merapikan rambut, tanpa sengaja aku melihat gelang dengan ornamen bawang merah dan biji kopi. Aku berjengit, seakan ada aliran listrik yang menyengat tubuhku.

"Gelang itu ... kamu pakai?" tanyaku. Seketika mataku terjaga seolah kantukku lenyap tersapu angin.

Ivo tersenyum riang, seraya mengangkat tangan dan mengelus gelang tersebut. Sewaktu Jasper memberikannya pada pertemuan pertama kami, aku memang menyerahkannya pada Ivo. Karena itu adalah koneksi antara mereka berdua. Namun, melihatnya sekarang, aku jadi merasa jengah. Ada kemarahan yang mulai menggelegak di dalam dada, yang berusaha sebisa mungkin kutahan.

"Sejak kamu kasih itu aku pakai. Buat kenang-kenangan." Nada suaranya yang terdengar penuh pemujaan, semakin membuat emosiku memuncak hingga ke ubun-ubun.

"Kamu ... masih berhubungan sama dia, di Tinder?" Sejak menyabotase Jasper untuk diriku sendiri, aku selalu penasaran akan hal ini. Dan aku selalu khawatir mengenai ini, meski pun Jasper tak pernah mengatakan apa-apa.

Ivo menggeleng, yang tanpa sadar membuatku menarik napas lega. "Sudah enggak. Kupikir, memang seperti itu saja akhirnya. Aku sudah cukup senang mengenalnya selama setahun ini. Meski pun aku masih merindukannya."

"Kenapa?" Aku mendengar nada suaraku sedikit melengking, sehingga aku harus menarik napas sekali lagi demi menenangkan degup jantungku yang mulai tak beraturan. "Kamu merindukannya?"

Ivo menerawang jauh, tangannya menepuk pahaku perlahan. "Aku ngerti kamu skeptis sama hubungan online. Tetapi selama ini, dia selalu baik dan terlihat jujur. Dia benar-benar care, kamu tahu, kan?" Gadis itu tertawa kecil. "Dia mengingatkan aku untuk makan teratur, menyuruhku ke dokter saat sakit, yah. Klise sih. Mungkin seperti yang kamu bilang, dia itu cowok baik-baik yang membosankan. Semua perlakuannya klise dan manis. Tetapi justru karena itu, aku merasa diperhatikan. Ada seseorang... yang mau peduli padaku. Itu sudah cukup bagiku."

Aku berdeham berkali-kali karena aku merasakan tenggorokanku tercekat. Aku bahkan merasakan ada genangan air di sudut mataku. Yang membuatku buru-buru memalingkan wajah. Sialan. Sialan kamu, Ivo.

"Lalu, apa kamu masih mencintainya?" Kali ini aku berhasil mengontrol nada suaraku agar terdengar biasa saja.

Hanya saja, dahi Ivo berkerut saat ia menoleh ke arahku. "Maksudmu?"

Aku tertawa, seakan mengesankan agar pertanyaan itu hanya bercanda. Padahal aku sedang ingin mengelabuinya agar tak melihat kegugupanku. Aku bahkan bersedekap, agar kakakku tidak melihat kedua tanganku yang gemetar. "Kenapa kamu nggak menghubungi dia lagi? Apakah di antara kalian, benar-benar sudah berakhir?"

🖤🖤🖤

"Apakah hubungan kalian benar-benar sudah berakhir?"

Ivo tak segera menjawab. Namun dia mengangkat tangannya yang terhiasi oleh gelang pemberian Jasper, mengelus ornamennya dengan hati-hati. Kukatupkan bibir, tak tahu lagi harus merespon apa.

"Anggaplah sudah berakhir," bisik Ivo lirih. "Terkadang dalam hati aku bertanya, apakah aku berani menghubunginya lagi. Dia benar-benar seperti ... cinta pertama yang takkan pernah bisa kesampaian."

Jantungku seakan berhenti berdetak, tubuhku juga ikut membeku. Aku dihantam oleh rangkaian rasa bersalah, yang entah bagaimana tak sanggup kuredakan. Kupalingkan wajah, kemudian kutegakkan badanku sebelum bersiap untuk bangkit dan masuk kamar.

"Terima kasih tehnya. Aku mengantuk," lirihku. Padahal mataku tak lagi diselimuti kantuk. Aku berjalan menjauhinya, berharap agar tak ada lagi pembicaraan mengenai Jasper di antara kami.

"Anak-anak bilang kamu lagi pacaran, ya?" Ivo kembali membuatku membeku. Langkahku terhenti, lamat-lamat kutolehkan kepalaku ke arahnya. Pasti para asisten itu tak sengaja melihat pesan yang dikirimkan oleh Jasper. Kami selalu menyebut Rena dan Wati dengan anak-anak. "Apa kemarin itu kamu liburan lagi sama pacarmu?"

Aku tak menjawab, hanya menggumamkan sesuatu. Kukira aku belum bisa menumpahkan rahasiaku sekarang. Tidak, mungkin tidak akan pernah. Kalau perlu biarlah rahasia ini tersimpan selamanya.

"Aku iri lho. Kamu begitu mudah mendapatkan perhatian dari cowok mana pun. Kamu juga bebas memilih berlibur bersama siapa, makan siang dengan siapa, begitu mudah. Apalagi mereka juga enak dipandang, ha ha ha!" Ivo tergelak dengan tawanya sendiri. "Kemarin kasusmu itu, sungguh-sungguh menegangkan. Untunglah kini sudah mereda. Apa pacarmu yang sekarang itu si Johan itu ya? Yang dulunya pacaran dengan Lexy?"

Aku berbalik dan menatap ke arahnya dengan santai, hasil pengalaman akting bertahun-tahun. "Kayaknya aku beneran nggak mau ngomong apa-apa tentang ini deh." Aku mengangkat bahu cuek, agar Ivo tidak curiga. Dia selalu maklum dengan tingkahku yang suka seenaknya sendiri.

Ivo tersenyum dan mengangguk. "Iya, aku nggak akan bahas lagi. Toh kamu udah bisa menghandle semua gosip itu sendiri. Semoga kamu bisa ditemukan dengan lelaki semanis Jasper ya. Jadi kamu bisa berhenti bertualang."

Kali ini, Ivo berhasil membuatku skakmat.

🖤🖤🖤

Keesokan paginya, aku pulang ke rumah dengan sedikit murung. Aku bahkan meminta izin kepada pak Sahni, untuk alpa dari rangkaian kegiatan syuting filmnya. Beliau mengizinkan, bahkan mendoakan aku segera sembuh. Yah, aku beralasan aku sedang sakit. Mungkin ragaku baik-baik saja. Jiwaku yang sedang tidak baik.

Sesampainya di rumah, aku terkejut mendapati Johan telah berdiri menungguku di teras. Dia biasa menjemputku di sini, ketika aku mencoba menjalin hubungan singkat dengannya. Mataku nyalang, menatapnya dengan penuh amarah. Kenapa sih, dia tidak bisa meninggalkanku sendirian?

"Roxy," ujarnya dengan tatap mata memelas. Wajahnya tampak kusut, rambutnya acak-acakkan. Pakaiannya tampak mencuat ke mana-mana. Saat aku mendekatinya untuk membuka pintu, aku mencium samar aroma alkohol. Aku memutar bola mata. This is a piece of sh*t.

"Pergilah, Johan. We're over," sahutku pendek, berusaha menjauh darinya dan melangkah ke pintu.

Tangannya meraih tanganku, berusaha menarikku mendekat. "Please, Roxy. I can't live without you!"

Kuempaskan tangannya, kemudian kudorong dadanya. "Pergi, atau kupanggil security!" ancamku dengan suara lantang.

"Jangan tinggalin aku, Roxy. Aku nggak punya siapa-siapa lagi!" Lelaki itu bahkan mencucurkan air mata, demi Tuhan! Aku terkesiap. Namun itu sama sekali tak menggerakkan hatiku untuk iba padanya.

"Johan, kita sudah sepakat, bahwa kemarin itu hanya summer fling! Main-main sebentar. Kamu nggak benar-benar jatuh cinta padaku, kan?"

Lelaki itu merubah ekspresinya menjadi amarah. Kerutan serta merta muncul di wajahnya, menambah kesan seram. "Aku serius padamu, Roxy! I left my world for you!"

Badannya merangsek ke arahku, dengan sedikit terhuyung-huyung. Aku berusaha berkelit, agar dia tak berhasil menjangkauku. Aku segera membuka kunci pintu rumah, bergegas masuk dan menguncinya kembali agar Johan tak mengejarku. Namun sayang, lelaki itu berhasil menerobos pintu dan menyerangku. Aku berteriak agar ada seseorang mendengar, seraya berusaha melemparkan barang-barang yang bisa kuraih untuk menghentikannya. Tanpa sengaja, aku meraih vas dan memukulkannya ke badan lelaki itu. Johan meraung, dan semakin beringas mengejarku.

Hingga aku tanpa sengaja terjerembap dan terjatuh ke lantai. Mata Johan yang memerah menatapku dengan licik, dan terkekeh pelan.

"Kamu tak bisa lari dariku, Roxy."

Nah, hidupnya Roxy ternyata dalam bahaya, Kels.

Apa ini akibat dia suka mempermainkan cowok?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top