Baby's Bonana

Baby bangun lebih pagi dari biasanya. Sebelum salat subuh, dia menyempatkan membuka ponsel yang selalu dimode silent setiap menjelang tidur malam. Matanya membulat dengan binar cerah. Dia memekik tertahan dan meloncat-loncat girang di ranjang berpegas hingga tubuh mungilnya memantul. Kelakuannya persis bocah yang sedang bermain trampolin.

Sebaris kalimat di ruang obrolan dengan nama kontak 'Bebebnya Baby' membuat hati Baby nyaris meledak karena bahagia. Pesan itu dikirim pukul tiga dini hari oleh Bayu.

Selamat memulai hari, Baby Chloe.

Pesan singkat dari Bayu memberi efek luar biasa bagi Baby, bagai matahari yang bersinar mengusir gumpalan awan mendung. Semudah itu mendongkrak semangatnya. Senyumnya mengembang lebar mengawali hari. Padahal, semalam dia kesulitan tidur lantaran nervous. Persis saat hari pertama bekerja sebagai pegawai kantoran tiga tahun lalu. Ada saja yang mengganggu pikirannya, bahkan sampai terbawa ke alam mimpi.

"Pagi, Bunda," sapa Baby riang seraya melabuhkan kecupan sayang di pipi kanan Arin—ibunya, lantas menempati kursi kosong di sebelah sang ibu.

"Ceria banget anak gadisnya Bunda. Bikin curiga aja, deh!" Arin tersenyum melihat mata bulat Baby yang dihiasi binar kebahagiaan. Dia meletakkan dua lembar roti tawar yang sudah diolesi selai stroberi ke atas piring lalu memberikannya pada anak gadis semata wayangnya.

"Makasih Bunda cantik!"

Mata Arin menyipit, memberikan buah hatinya tatapan penuh kecurigaan. Dia mengedikkan dagu dan berkata, "Fix, tingkah kamu aneh banget. Enggak biasanya girang begini. Habis menang lotre?"

"Eh, lotre? Enggak boleh asal nuduh, loh, Bun! Lagian yang begitu-begituan, kan, haram?"

"Jadi, apaan, dong?" tanya Arin tidak sabar.

Baby cengegesan. "Kalau dalam waktu dekat ini Bayu ngelamar Bebi, gimana, Bun?"

Potongan roti yang baru masuk ke dalam mulut Arin sukses tertelan tanpa dikunyah. Perempuan paruh baya itu tersedak hingga membuat Baby gelagapan.

"Pelan-pelan, dong, Bun!" Baby mengangsurkan segelas air putih lalu mengusap lembut punggung sang ibu. "Pertanyaan Bebi salah, ya?" tanyanya penuh sesal setelah melihat Arin lebih tenang.

Arin merasa tenggorokannya lebih nyaman setelah minum. Dia memiringkan tubuh, memusatkan perhatian pada Baby.

"Enggak salah, sih, Beb. Cuma … Bunda kaget aja. Memangnya kalian sudah ada pembicaraan ke arah sana?"

Baby menggeleng pelan. Jangankan ngomongin masalah itu, nanya kabar aja enggak. Tapi … Bayu enggak ngelupain aku. Dia masih sempat ngirim bunga walaupun nggak ada waktu buat tatap muka.

"Bunda malah ngira kalian lagi break atau sudah putus, loh! Soalnya Bayu enggak pernah kelihatan lagi batang hidungnya." Arin menjeda ucapannya, mengingat-ingat sesuatu, "kayaknya dia juga sudah lama enggak nelepon Bunda. Biasanya, kan, ada aja nanyain kabar atau apalah-apalah gitu."

"Bunda …." rengek Baby. "Pikirannya jelek banget, ih!"

Arin terkekeh. "Bunda enggak bohong, loh! Habisnya, dia bener-bener menghilang dari peredaran. Dia juga enggak pernah kirim-kirim makanan lagi. Sampai-sampai, Bunda enggak punya stok cemilan kayak dulu."

Bibir Baby mengerucut. Dia tidak percaya jika Arin memandang Bayu hanya dari segi ekonomisnya saja. Padahal, kelebihan Bayu lebih dari sekadar urusan dompet. Lelaki itu diberkahi ketampanan luar biasa. Tubuhnya tinggi dengan berat proporsional. Meskipun tidak berotot, tetapi perutnya benar-benar rata. Masalah keuangan jangan ditanya, Bayu sangat royal dan tidak pernah perhitungan. Lelaki itu benar-benar calon suami idaman, kan?

"Padahal Bebi sudah pernah bilang ke Bunda, Bayu sibuk banget semenjak dapat promosi jabatan. Faktor U pasti, nih! Jadinya lupa."

Arin mengangguk-angguk, meski sebenarnya tidak ingat Baby pernah mengatakan hal itu padanya.

"Nanti dibicarakan lagi sama Bayu, ya, Beb. Ditanyakan keseriusan dia dan mau dibawa ke mana hubungan kalian. Sudah lama juga, kan, kalian pacaran? Gak mungkin terus-menerus begitu, tanpa kemajuan." Arin membelai pipi bulat Baby dan mengulas sebuah senyum. Melihat Baby hanya diam, Arin kembali ke posisi semula dan melanjutkan sarapan.

"Bebi yakin dia mulai mikir ke arah situ, kok, Bun."  Buktinya, dia mulai manis-manis lagi kayak dulu. Hubungan yang sempat hambar, kayaknya kembali menemukan harapan. Cuma masalah waktu aja. Perhatian Bayu tersita sama masalah kerjaan.

"Bagus, dong! Makin cepat dihalalin, makin tenang juga Bunda. Setiap hari kepikiran, gimana kalau Bunda sudah enggak ada nanti? Siapa yang jagain kamu?"

Mata Baby berkaca-kaca. Topik pembicaraan itu sangat sensitif baginya. Semenjak kepergian sang ayah dua tahun lalu, Baby semakin takut kehilangan. Dia tidak siap, terlebih jika itu berkaitan dengan ibunda tercinta.

"Bunda jangan ngomong gitu," lirih Baby memeluk Arin dari samping. "Bebi enggak mau ditinggalkan lagi. Bebi enggak siap kehilangan Bunda. Enggak akan pernah siap." Dia menangis sesenggukan. Wajahnya yang basah disapukan ke lengan daster Arin. Dia tidak peduli air mata yang bercampur ingus mengotori pakaian ibunya.

Kedua sudut bibir Arin sedikit terangkat. Anaknya tetap bertingkah seperti bocah padahal usianya sudah menginjak dua puluh tiga tahun. "Semua yang hidup pasti mati, Beb. Umur itu seperti pasir, enggak peduli sekuat apa pun kita menggenggam, pasti akan keluar dari celah jari dan akhirnya akan habis."

Tangis Baby masih belum reda. Perasaannya sangat sesak mendengar perkataan ibunya.

"Bunda selalu berdoa untuk kebaikan kamu, termasuk masalah jodoh. Kalau memang Bayu yang terbaik, semoga Allah memudahkan langkah kalian."

-***-

"Manyun aja, Beb!" Lily membawakan Baby cermin kecil dan sengaja memperlihatkan wajah sendu sahabatnya itu. "Tampang kamu enggak enak banget dilihat. Nanti pelanggan kita kabur, loh!"

Baby menarik napas panjang seraya menyingkirkan cermin bekas compact powder dari hadapannya. "Suasana hati aku lagi enggak bagus, nih!" Padahal bangun tidur tadi aku happy banget. Ah, Bunda, nih, bikin aku galau aja.

"Kalau belum siap sekarang, kamu datang agak siangan atau besok aja sekalian. Aku enggak apa-apa, kok! Kapan lagi, coba, nikmatin waktu luang? Dulu kamu kerja, kan, susah banget dapat libur. Mau ngambil cuti aja ribet."

"Enggak gitu, juga, kali?"

"Ada kaitannya sama Bayu?"

Gelengan Baby menepis kecurigaan Lily. Dia kira wajah murung Baby disebabkan oleh lelaki itu. "Jadi?"

"Bunda ngomong yang aneh-aneh."

"Aneh gimana?" tanya Lily dengan kening berkerut. Dia menarik kursi dan duduk di sisi Baby. Dia siap sedia memasang telinga mendengar keluh kesah sahabatnya.

Baby menceritakan pembicaraannya dengan Arin saat sarapan. Lily mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia mengulas senyum saat Baby mengakhiri curahan hatinya.

"Enggak ada yang salah, kok, Beb. Wajar Tante Arin ngomong kayak gitu. Lagian, memang enggak ada manusia abadi, kan? Masing-masing sudah punya jatah umur dan kesempatan menikmati hidup. Dunia ini cuma persinggahan sebelum kita menuju kehidupan kekal nanti."

Mendengar nasihat Lily, bukannya tenang, perasaan Baby justru semakin tidak karuan. Emosinya campur aduk.

"Kayaknya lebih baik aku pulang aja. Semalam aku kurang tidur."

"Nah, itu! Kurang tidur memang bisa bikin mood enggak bagus, loh!" Lily menjentikkan jari. "Pulang sana! Tenang aja, Amel hari ini enggak ada bimbingan atau pun jadwal kuliah. Dia free, dan bisa bantuin aku sampai malam."

Baby ke ruang istirahat untuk mengambil tas dan jaketnya. Namun, saat akan berpamitan pada Lily dan Amel, seseorang yang sangat dia kenal terlihat memasuki Bonana. Perempuan dengan style modern khas sosialita mengedarkan pandangan ke sekeliling mini kafe itu, memperhatikan kondisi Bonana dengan saksama. Baby melangkah cepat menghampiri perempuan itu. Niat pulang diurungkan sementara waktu.

"Mama," sapa Baby ramah. Dengan takzim, dia mengecup punggung tangan perempuan itu.

"Apa kabar, Beb?" tanya Lestari—ibu Bayu.

"Alhamdulillah, baik. Mama apa kabar?"

"Ya, gitu, deh!" Perempuan itu memutar-mutar tubuhnya. "Sehat dan cantik. Seperti biasa," ujarnya mengundang tawa kecil Baby.

"Kita duduk dulu, Ma," ajak Baby menggiring Lestari ke ujung ruangan. Di sana mereka bisa bicara lebih leluasa.

"Maaf, ya, Mama baru bisa mampir."

"It's okay, Ma." Baby mengulas senyum. "Mama, kan, sibuk." Kesibukan Lestari tidak jauh-jauh seputar arisan dan pelesiran baik dalam dan luar negeri. Tidak jarang juga, Lestari turut serta dalam acara amal untuk kaum duafa yang diadakan gank sosialitanya.

"Mama mau minum apa? Biar Baby siapin," tawar Baby. "Tapi … kalau makanannya, Lily lebih ahli."

"Enggak usah repot-repot. Tadi niatnya cuma mau lihat-lihat. Mama lagi nyari tempat yang nyaman untuk kumpul sama teman-teman. Eh, terus Mama ingat kamu, dong! Makanya Mama mampir ke sini."

Baby tersenyum cerah, ini kesempatan mempromosikan Bonana. Dia tahu, lingkup pergaulan Lestari sangat luas. Tidak sebatas dengan pengusaha saja, tetapi Lestari juga cukup dikenal di antara para pesohor tanah air seperti kalangan artis dan pejabat negara. Baby berharap, Bonana akan semakin ramai pengunjung jika Lestari membantu mempromosikan.

"Tapi, enggak bisa di sini ternyata. Tempat ini enggak cukup luas. Enggak ada penyejuk ruangan. Kalau cuma kipas angin, kan, enggak dingin." Lestari mengedarkan pandangan sekali lagi. Penilaiannya tidak dapat diganggu gugat. "Sudah gitu, makanannya sederhana banget. Enggak ada makanan berat juga. Lagian, kenapa semuanya mengandung banyak gula dan lemak gini, sih? Nambah lemak, bikin gendut. Enggak cocok sama yang lagi diet." Lembar menu yang tadi sempat menjadi pusat perhatiannya, disorong ke ujung meja.

Celah kecil di bibir Baby kembali tertutup. Senyum Baby sirna tak berbekas. "Iya, Ma," gumamnya lesu.

"Duh, maaf, ya, Mama enggak bermaksud nyakitin hati kamu. Tapi, kenyataannya memang begitu. Jadi, mau gimana, dong?"

"Enggak apa-apa, Ma. Seperti yang Mama bilang tadi, itu kenyataan. Jadi, enggak bisa diapa-apain, kan?" lirih Baby menahan sesak. Semua emosi tiba-tiba berkumpul di dada, memberi tekanan yang menyempitkan rongga pernapasan.

"Eh, ini kamu lagi cuti? Mama baru sadar, loh, kalau harusnya kamu kerja. Ini, kan, bukan weekend."

"Bebi sudah resign, Ma. Kemarin hari terakhir Bebi kerja."

"Ya, ampun, Bebi! Kok, gitu?" pekik Lestari heboh. "Orang-orang pada susah nyari kerja, kamu malah ngelepas kerjaan. Walaupun di sana enggak ada jenjang karier, enggak bakal naik pangkat atau gimana, seenggaknya kamu punya penghasilan tetap setiap bulan. Gaji kamu di sana, kan, lumayan."

"Bebi mau fokus sama Bonana aja, Ma."

"Itu namanya bunuh diri. Penghasilan dari jualan kayak gini, berapa, sih, Beb? Receh! Enggak bisa diharapkan!"

Tangan Baby yang tersimpan di bawah meja mengepal kuat. Dia marah, sekaligus sedih. Namun, apa daya. Tidak mungkin dia membalas kalimat-kalimat pedas yang diucapkan Lestari.

"Mutar modal itu mumet, loh! Kalau untung, sih, bagus. Nah, kalau malah buntung, gimana?" cerocos Lestari tanpa peduli wajah Baby berubah masam. Dia tidak sadar Baby sudah kehilangan minat mengobrol dengannya.

"Belum lagi bagi hasil usaha sama teman kamu. Hitunglah laba bersih seratus ribu sehari. Kalau dibagi lagi, kamu dapat berapa? Fifty-fifty? Itu berarti kamu cuma terima lima puluh ribu perhari. Coba dikalikan jumlah hari dalam sebulan, maksimal kamu terima cuma satu juta lima ratus ribu. Haduh ... itu buat apaan? Dipakai buat makan seminggu juga sudah habis. Biaya lain-lain kayak listrik dan air, gimana? Kuota, pulsa, make up, shopping, jajan kamu, semuanya dari mana? Biaya ini-itu buat Ibu kamu belum masuk hitungan, loh! Gak nutup, Beb!"

Baby termangu. Dia kehabisan kata, tidak mampu memberikan sanggahan apa pun. Matanya memanas, tetapi ditahan sekuat-kuatnya agar tidak menelurkan bulir bening.

Baby's Bonana, anak Emak yang baru launching tiga bulan lalu sudah dinistakan. Ya, ampun, nasibmu gini banget, sih, Bon? Remuk redam hati Emak dengarnya.

Samarinda, 3 Januari 2022
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top