Baby Chloe

"Kalau aku kangen gimana, Beb?" tanya Puspa tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptop. Pekerjaannya sudah hampir selesai.

"Zaman sudah canggih. Berterima kasihlah sama penemu hape dan segala kecanggihan teknologi yang menyertainya. Warga seluruh dunia jadi bisa teleponan, video call, SMS, chatting, email. Tinggal pilih aja. Enggak pakai ribet nangkapin merpati, enggak ada risiko nyasar juga. Nikmat mana lagi yang kau dustakan, heh?"

"Aku enggak bisa hidup tanpa kamu. Please, don't go!"

Kedua bola mata Baby berotasi mendengar rengekan Puspa. Kalimat itu diucapkan berulang-ulang, persis rekaman tape recorder, membuatnya geli sekaligus mual.

"Lebay, deh, Pus!" sahut Baby tanpa menghentikan aktivitasnya. Barang-barang miliknya satu per satu dimasukkan ke dalam kardus. Esok hari dia tidak akan menginjakkan kaki lagi di sana.

"Sering-sering main ke sini, ya, Beb." Usai menyimpan fail, Puspa mematikan laptop lantas turut berkemas. Dompet, ponsel, charger dan headset dimasukkan ke dalam backpack miliknya.

"Hm," sahut Baby malas sambil memasukkan tumbler berbentuk hati.

"Ah, Bebi! Jawabannya meragukan banget!" Puspa mengentakkan kaki.

"Itu sudah tau!" Baby menutup kardus setelah memastikan tidak ada yang tertinggal. Bagian atas kardus lalu diberi lakban hitam agar tidak mudah terbuka. Mejanya kini telah bersih—lengang.  "Lagian, kalau masih sering ke sini, ngapain aku keluar?"

"Harus banget, ya, resign?"

"Kan, aku mau fokus sama Bonana, Pus. Kasihan kalau semua-semua diurus sama Lily. Yang bantuin dia cuma Amel, itu pun setengah hari karena Amel masih ada kuliah." Baby berkata jujur. Selama sebulan terakhir, hal itulah yang mengganggu pikirannya. Menurutnya, berhenti bekerja adalah keputusan tepat.

"Huhuhu. Lily diperhatikan, aku enggak. Tega banget, sih, kamu sama aku?"

"Tega enggak tega, Pus. Demi masa depan lebih baik. Lelah hayati terbelenggu di sini. Kerja dari jam delapan pagi, pulang jam lima sore. Enggak jarang juga sampai jam delapan malam kayak sekarang ini. Tiap hari mengulang rutinitas yang sama, kan, bosan."

"Kan, sesuai sama bayarannya. Gaji kita termasuk gede, loh! Bandingkan aja sama pekerja di perusahaan lain." sanggah Puspa.

"Tetap aja, Pus! Jenuh, tiap hari kerjanya mandangin nota sama kuitansi. Tengok kanan, tembok. Tengok kiri, kamu. Menatap lurus ke depan, Malaikat Maut senyum-senyum enggak jelas. Enggak mau, kan, aku depresi gegara kurang piknik?"

"Seenggaknya, kamu enggak sendirian. Ada aku yang menemani. Kita, kan, sahabat. Harusnya senasib sepenanggungan."

"Otakku mencret tiap hari enggak ada hiburan, Pus," cetus Baby ketus. Dia mulai sebal karena Puspa masih saja membahas soal keputusannya resign.

"Pak Sito bilang, untuk beberapa bulan ke depan, enggak mau cari pengganti kamu dulu. Berarti mulai besok, kerjaanku dobel," keluh Puspa. Dia benar-benar tidak rela sahabat seperjuangannya—tempatnya menumpuk pekerjaan—pergi. "Ya Allah, kapan anak perawan Emak nyari jodoh?

Baby tergelak. Pak Sito, atasan yang mereka juluki Malaikat Maut, pasti sengaja melakukan hal itu. "Soalnya doi tau kamu selama ini makan gaji buta. Tiap hari nge-drakor terus, kerjaan enggak ada yang beres."

Puspa mencebik. "Kamu jujurnya kelewatan. Jadi pingin jahit itu mulut."

"Udah, ah! Capek debat. Sudah selesai ini. Kita pulang, yuk!"

Puspa menyambar backpack-nya di atas meja. "Ayo!"

"Bantu bawain, dong! Berat, cuy!" teriak Baby karena Puspa melenggang santai meninggalkannya.

Puspa berbalik, cengengesan memandang Baby yang cemberut memeluk kardus besar.  Setengah bagian kardus masih berada di atas meja. "Ada imbalannya, ya, Beb."

"Dasar perhitungan!" gerutu Baby dengan bibir maju.

"Naif banget, sih, jadi orang? Di dunia ini enggak ada yang gratis," balas Puspa tak mau kalah.

"Mati, gali kubur sendiri!"

"Bebi! Omongan kamu horor banget, sih?"

"Ini mau bantuin, enggak?"

"Boba sampai mabuk, ya, Beb?" Puspa masih bernegosiasi.

"Punya sahabat kampret banget, sih? Apes! Untung cuma seekor."

"Seekor? Dikata kambing, apa?" sewot Puspa tidak terima.

"Kalau ada tiga atau empat …."

"Gak ada duanya, kan? Asoy!"

"Asoy pala lu peang!"

Meskipun demikian, Puspa tetap mengulurkan tangan membantu Baby. Pantas saja Baby meminta bantuannya, kardus itu memang sangat berat.

"By the way, ini kardus berat banget, sih? Kenapa enggak dibikin dua aja tadi?"

Baby meringis. Niatnya semula karena kepraktisan. Dia kira, satu kardus tidak akan seberat itu. "Dosa tiga tahun kubawa pindah juga, dong! Biar di Bonana gak sepi-sepi amat."

"Ebusyet! Turun peranakan anak perawan emak!" pekik Puspa. Dia tahu, yang dimaksud Baby dengan dosa adalah pernak-pernik pemberian Bayu—kekasih Baby—yang selama ini disimpan di laci meja kantor. Bukan sebagai penyemangat saat bekerja, benda-benda itu sengaja tidak dibawa pulang karena di rumah Baby sudah bertumpuk barang serupa saking seringnya Bayu memberikan hadiah.

-***-

"Gimana hari ini, Li?" tanya Baby pada Lily yang berdiri di sampingnya.

"Alhamdulillah, ada aja rezekinya. Ini baru aja sepi. Tadi sempat keteteran karena antrean lumayan panjang. Untung Melati enggak ke kampus hari ini, jadi bisa bantu lebih cepat." Lily meletakkan dua botol air mineral, segelas boba matcha, es teh lemon dan sepiring pisang cokelat ke tengah meja.

"Makasih, Li," ucap Baby dan Puspa bersamaan. Baby mengambil gelas tinggi berisi es teh lemon, lantas menganduk-aduk cairan merah keemasan di dalamnya dengan sedotan. Sementara itu, Puspa sudah lebih dahulu menikmati boba pesanannya.

"Anytime," jawab Lily sembari menarik salah satu kursi dan bergabung bersama Baby dan Puspa.

"Jadi, ada yang mundur teratur?"

"Sempat kepikiran gitu, Beb. Untungnya lagi, mereka mau bersabar sampai dapat giliran. Enggak ada ribut-ribut atau customer yang ngomel juga."

"Alhamdulillah." Baby tersenyum mendengar penuturan Lily. Pelanggannya tidak ada yang kabur meskipun harus mengantre. "Maaf, ya, sebulan ini aku enggak bisa bantu-bantu. Kesannya lepas tangan banget," ujarnya penuh sesal.

"Bos, mah, bebas, kali, Beb?" jawab Lily cengar-cengir, tanpa sedikit pun maksud menyindir. Dia tahu, Baby sudah cukup berusaha agar Bonana bisa dikenal banyak orang, bahkan sebelum tempat itu dibuka. Baby giat melakukan promosi sejak mantap membuka usaha. Tidak tanggung-tanggung, Baby berhenti bekerja karena ingin fokus menjalankan bisnisnya.

Puspa mengedarkan pandangan memperhatikan ke sekeliling. Baby's Bonana, nama yang tertera pada plang di depan bangunan. Mini kafe bergaya minimalis itu baru dibuka tiga bulan lalu. Beroperasi sejak pukul sepuluh pagi hingga sepuluh malam.

Dua bulan semenjak grand opening, Baby selalu menyempatkan mampir sepulang bekerja. Semakin dikenal, tempat itu semakin ramai pengunjung. Tenaga Lily dan Amel saja ternyata tidak cukup. Keinginan menambah pekerja terpaksa ditahan karena keterbatasan dana, sedangkan Baby tidak sekali pun terpikir mengajukan pinjaman di bank.

"Itu apa? Kayaknya berat banget." Lily menunjuk kardus yang Baby bawa dari kantor. Benda itu diletakkan di dekat kaki meja.

"Bukan apa-apa, Li," jawab Baby seadanya. Dari kantor, dia dan Puspa langsung menyambangi Bonana untuk menyimpan kardus itu di sana.

"Itu semua saksi bisu romantisme kisah cinta Bayu dan Baby," jelas Puspa. Bukannya mengerti, Lily justru bingung. Namun, perempuan itu diam saja dan tidak mengambil pusing sesuatu yang bukan urusannya.

"Tempat ini memang nyaman banget, letaknya juga strategis. Dekorasinya memberi kesan hangat dan santai. Intagramable khas masyarakat kekinian. Sudah gitu, makanan sama minumannya banyak pilihan dan enak-enak. Harganya miring, enggak bikin kantong jebol pokoknya. Laris manis, ya, Bonana. Jadi ladang cuan buat Ayang Bebeb aku tercinta," tukas Puspa.

Diam-diam, Puspa mengagumi semangat dan keberanian Baby. Mengorbankan pekerjaan untuk bisa fokus pada bisnis yang belum jelas masa depannya tidak akan mungkin bisa dia lakukan. Dia berdoa yang terbaik untuk Baby dan Bonana.

"Aamiin," sahut Baby dan Lily beriringan. Keduanya bertatapan, saling melempar senyum. Tidak jauh dari mereka, Amel sedang melayani dua orang pelanggan take away.

"Jadi pengusaha di usia muda. Punya cowok mapan dengan jabatan mentereng. Apa lagi yang kurang, coba, Beb? Curiga, deh, kalau sebentar lagi Bayu bakal ngajakin ke pelaminan."

Baby tersipu mendengar perkataan Puspa. Memang sedikit berlebihan, tetapi di dalam hatinya mengaminkan. Pelaminan? Ah, dia tidak sabar melepas masa lajang bersama sosok lelaki pujaan.

Lily teringat sesuatu saat nama Bayu disebut. "Eh, sampai lupa. Tadi ada kiriman buat kamu."

"Apaan?" Baby mengenyit saat melihat Lily buru-buru berdiri.

"Aku ambil dulu," jawab Lily sambil lalu. Dia menuju bagian belakang bangunan. Di sana ada sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk meletakkan barang-barang dan beristirahat. Tidak lama kemudian, dia kembali. "Nih! Dari Bayu."

Baby menerima buket bunga yang disodorkan Lily. Pipinya bersemu saat membaca tulisan yang tertera pada kartu ucapan. Have a nice day, Baby Chloe.

"Eciyeee. Yang dapat kiriman bunga dari sang pangeran tampan," ledek Puspa menaikturunkan alis. "Harta, tahta, pangeran tanpa kuda. Apalah daya kita yang rakyat jelata, cuma bisa ngeliat sambil memendam rasa iri. Iya, enggak, Li?"

Lily mengangguk, mengiyakan saja perkataan Puspa walaupun sebenarnya tidak sepemahaman.

"Masih sibuk banget, ya? Soalnya, bunganya dikirim lewat kurir. Selama ini aku enggak pernah liat dia mampir." Lily menyuarakan keheranannya. Sesibuk apa Bayu sampai-sampai tidak bisa menyempatkan datang barang sepuluh menit?

"Kayaknya, sih, gitu. Bahkan, sudah satu minggu kami enggak komunikasi."

"Aneh, enggak, sih, Beb?" tanya Lily yang hanya dibalas kedikan bahu oleh Baby.

"Tapi, kenapa mawar kuning? Mawar merah, kan, lebih berkesan dan romantis," tanya Puspa mengambil buket bunga yang sudah diletakkan Baby di atas meja dan membaui aroma mawar yang segar. "Kayak enggak normal aja, gitu."

"Antimainstream, Pus. Lagian, dari dulu, suka-suka hati dia aja ngasih apaan. Kayaknya semua bunga sudah pernah dia kasih ke aku. Aku, mah, terima dia apa adanya."

"So sweet banget, Beb! Kalian Couple goal yang bikin iri tingkat dewa. Serius!" cetus Puspa dengan mata berbinar.

Andai kamu tau, kalau setiap hari aku memendam rindu. Tapi, perhatian sekecil ini sudah bikin aku senang, kok! Semoga kita bisa cepat ketemu.



Hai.. ketemu lagi sama aku di tahun yang baru, dengan cerita baru. Semoga kali ini lancar, gak kayak tahun kemarin. Namatin satu cerita aja dengan penuh perjuangan 🤭
Nyadar diri aku tuh! 😌
Btw, selamat datang semua. Jangan lupa tinggalkan jejak ⭐💬
Mampir juga ke cerita lainnya di Flowers Series Karos, ya.. pasti bakalan suka ❤️❤️❤️

Samarinda, 01 Januari 2022
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top