tiga

Mahsa terhempas jatuh terhenyak duduk  di pinggir ranjang akibat dorongan Kian.
Mata Mahsa menbesar saat bocah itu berusaha menindihnya, dengan cepat dia bangkit mencoba menghindari Kian yang jauh lebih tinggi dan besar darinya.

"Kau tidak bisa lari, kau tidak boleh menyesali ini.!"
Gumam Kian mengamati wajah Mahsa yang mengeras.

Mahsa memegang belakang leher Kian, kembali menantang.
"Namaku Mahsa Zarvian, apapun yang aku lakukan takkan pernahkah kusesali."
Ditariknya Kian, lalu dilumatnya bibir seksi berwarna merah yang menggiurkan itu.

Kian belum merespon, dia memperhatikan wajah Mahsa yang sangat dekat dengannya, bulu mata panjang lentik hitam.
Wajah Mahsa yang polos tanpa Make-up.
Dia menyentuh wajah tirus, bekas luka kecil di bawah dagu Mahsa yang diakibatkan olehnya.
Kian menarik wajah Mahsa, menjauh darinya.
"Apa reputasimu sebagai wanita penggoda hanya tipuan.?" Tanyanya dengan alis terangkat mengejek.
"Ciumanmu barusan terlalu cupu." Disapukan jarinya ke bibir Mahsa.
"Biar kutunjukkan padamu apa itu godaan dan apa yang aku suka."
Bisiknya seangin diatas bibir Mahsa yang terkatup akibat hinaannya.

Buku jari Mahsa mengepal di bahu Kian saat laki-laki itu melumat bibirnya tanpa ampun, menggetar seluruh tubuh Mahsa, menghangatkan hatinya, membuat ribuan kupu-kupu berterbangan diatas kepalanya.
Bibir kian menguasai, kasar dan rakus, dia menghisap dan melumat bibir Mahsa seperti hidupnya bergantung pada ciuman ini.
Lidahnya masuk, mata Mahsa terbuka lebar, Mahsa terengah, suara erangan terdengar dari tenggorokannya.
Dia terpojok tidak bisa bergerak diantara himpitan tubuh Kian yang berotot dan tembok beton di belakangnya.

Kepala Kian bergerak kian kemari untuk mendapatkan rasa bibir Mahsa yang lembut, tarikan jemarinya pada rambut Mahsa semakin kuat, memastikan Mahsa tidak bisa mundur seincipun, bibir Mahsa terlalu nikmat, ludah Mahsa yang bercampur dengan ludahnya terasa sangat manis.
Kian tidak butuh bernapas, dia justru bisa mati jika melepaskan wanita ini tapi saat Mahsa mulai memukul bahunya, Kian tau wanita itu butuh bernapas.
Perlahan Kian menghentikan ciumannya, menarik diri dan tersenyum saat melihat Mahsa yang merah padam sedang menarik napas kuat, mengisi paru-parunya.
"Hanya segini kemampuanmu kakak ipar.?"
Kian berdehem menghilang suara paraunya, mengusap bibir Mahsa yang bengkak dan basah.

Mahsa menarik napas panjang.
"Aku sudah lumayan tua, mengurangi waktu bersenang-senang lebih banyak beribadah.
Aku sudah lama tidak latihan."

Kian tersenyum, mengangguk-angguk seperti ayam memgangtuk.
Dia tau siapa Mahsa, sepuluh tahun terkahir ini, matanya selalu mengawasi Mahsa selalu menemukan Mahsa dimanapun meski ditengah keramaian.
Seluruh hidup dan apa yang Mahsa tampilkan adalah kebohongan.
Mahsa sangat pandai dalam hal ini.
"Kalau begitu mari latihan lagi denganku."
Kian kembali melumat bibir Mahsa, tidak memberi mahsa kesempatan untuk menarik napas dulu.

Mahsa tak punya pilihan selain memeluk leher Kian saat bocah itu mengangkat tubuhnya membuat tinggi Mereka sejajar hingga Kian makin gampang melumat bibirnya.
Bunyi ciuman, hisapan dan decapan membuat telinga MAHSA memerah.
Jantung berdebar kuat, perutnya kembang kempis, Mahsa sudah merasakannya dari awal dia memeluk Kian, punya Kian membesar dan berdiri menusuk tulang rusuk Mahsa.

Kian berjalan tanpa melepaskan ciumannya. Menjatuhkan Mahsa ke atas kasur lalu segera menindihnya, melanjutkan ciuman mereka disaat dia dengan baiknya menelanjangi Mahsa tanpa Mahsa sadari.
Seperti bayi yang baru lahir, tanpa sehelai benangpun mereka bergumul hebat, lebih tepatnya Kian menggerayangi tubuh Mahsa dengan jari dan bibirnya.
"Cantik.." desah Kian saat ciumannya beralih ke leher Dan dada Mahsa.
"Indah..." gumamnya meniup puting mahsa yang mengeras.

Seluruh tubuh Mahsa sudah lembab oleh keringat akibat panas yang dirasanya.
Dia memejamkan mata, memilin sprei di jemarinya saat lidah Kian menyentuh putingnya, mempermainkan dan menjilati.
Beberapa kali Mahsa terlonjak, mengigit bibirnya.
Tubuhnya semakin sulit dikendalikan, otak Mahsa melemah sulit diajak berpikir.
Dari ujung kaki sampai ujung kepalanya terasa diurungi ribuan ulat, membuatnya meremang.

Jemari dan bibir semakin aktif, rakus meninggalkan jejak ditempat yang dijelajahi.
Kian merekam setiap inci tubuh mahsa lewat matanya, menyimpan di memori otaknya.
Jemari kian dengan halus menyapu area segitiga diatas selangkangan Mahsa, tersenyum saat tubuh indah itu tersentak seperti terkena aliran listrik.
"Sangat responsif." Parau Kian, menyelipkan tapak tangannya diantara paha Mahsa yang terkatup rapat bergetar halus.

"Aku.. aku pikir.. tidak malam ini.. tiba-tiba aku.."
Mahsa bahkan tak tau apa yang harus dikatakannya.
Dia takut tapi tubuhnya menginginkan Kian menyelesaikan ini.

Kian tertawa, telunjuknya bergerak dari bibir Mahsa yang bergetar hingga ke bagian intim Mahsa yang sudah basah.
"Tidak bisa. Aku tidak bisa berhenti. Ini kesempatan emas yang takkan ku lewatkan meski langit runtuh sekalipun."
Kian menindih Mahsa.
"Kakak ipar, kau yang menggodaku duluan, jangan bilang kau takut."
Godanya menyapukan bibir ke wajah Mahsa.
"Meski kau takut, aku tetap tidak bisa berhenti.
Aku sangat suka menerima tantangan."

Mahsa berpaling, meski lampu tidak menyala tapi dengan perencanaan yang baik, cahaya bulan masuk dan memberi penerang hingga dia bisa melihat semuanya dan begitu juga pastinya dengan Kian yang terang-terangan melihat tubuh telanjang Mahsa yang penuh bekas cumbuannya.
"Tiba-tiba aku kehilangan minat." Parau Mahsa mencoba duduk.

"Tapi kau berhasil membangkitkan minatku."
Kian mendorong Mahsa, menekan pergelangan wanita itu di atas kepala.
"Malam ini kau akan jadi milikku selamanya." Geram Kian sebelum kembali melumat bibir Mahsa yang hanya bisa mengerang pelan pasrah, langsung takluk seketika.

Bibir Kian semakin kuat, mendominasi, tubuh mereka yang sama telanjang kini menempel seperti diberi lem tikus.
"Cukup.!" Geram Mahsa mendorong Kian sekuat tenaganya.
"Aku tidak bisa bernapas, bajingan kau ingin aku mati ya.!"

Kian melongo, memperhatikan tubuhnya dan Mahsa.
Lalu tawanya meledak.
"Ya tuhan.!" Erangnya menekan Pergelangan Mahsa ke kasur.
"Kakak ipar jika aku tidak menciumu dan tau betapa manis bibirmu, aku pasti percaya pada apa yang dikatakan orang bahwa bibirmu penuh racun dan tipu muslihat."

Mahsa menarik napas, senjata Kian yang terjepit diantara tubuh mereka terlalu besar dan liar untuk diabaikan.
"Kalau kau memang mau, lakukan cepat. Jangan buang waktu."

Mulut Kian terbuka lebar sanking kagetnya.
"Apa kau sedang menghina teknik rayuanku.?"
Geramnya.
"Apa sebenarnya yang ada di otak kecilmu itu.?"
Desisnya, marah karena Mahsa yang jelas tidak menyimpan perasaan padanya.

Mahsa tersenyum sayu.
"Adik ipar." Desahnya.
"Aku menginginkanmu, aku tidak bisa menunggu lagi."

Kian membuka paha Mahsa dengan lututnya memposisikan diri di sana.
"Aaah jadi kau sudah tidak sabar."
Tangannya menyentuh kewanitaan Mahsa, menangkup dan menekannya.
Kian menahan kedua lengan mahsa dengan satu tangannya saat wanita itu terlonjak dan berniat melepaskan diri.
"Mau kemana.?" Bisiknya di telinga MAHSA, puas mendengar deru napas dan sorot panik di mata Mahsa.
"Aku bahkan belum mulai."

Mahsa menggeliat, aliran darahnya bergerak cepat ke kepala, pandangannya mulai kabur.
"Aku.. aku..tidak." cerocosnya panik saat jari Kian mengusap dan masuk diantara kewanitaannya.

"Aku tidak apa, kakak ipar.?"
Kian tersenyum merasakan Kewanitaan Mahsa yang basah.
Jarinya mengusap, menekan titik dimana Mahsa langsung terlonjak seperti terkena aliran listrik.
Melihat Mahsa lemah dan tak berdaya seperti ini membuat gejolak di dadanya semakin kuat, darahnya memanas, adik kecilnya protes minta pelepasan yang dari tadi sudah ditundanya.

Kian ngelus paha Mahsa yang merinding dibawah usapan jemarinya.
Membuka paha Mahsa makin lebar, mengarahkan penisnya ke sana, tidak sedetikpun tatapan beralih dari wajah Mahsa yang tegang hingga tulang pipinya terlihat jelas.
"Jangan takut." Bisik Kian di telinga Mahsa.
"Aku tidak akan pernah menyakitimu."
Perlahan Kian mendorong penisnya masuk ke dalam vagina Mahsa.
Gigi Kian menggeretak merasakan sempit dan panas pusat gairah Mahsa.

Mahsa mengigit bibir tapi tetap saja rasa sakitnya tak terkatakan, tubuhnya terbelah seperti di bakar dengan panas yang memancar dari kejantanan Kian yang terus masuk, menerobos penghalang dalam satu kali hentakan kuat yang membuat Mahsa menjerit kuat, terisak menahan sakit.

Kian memejamkan matanya, kepalanya  mendongak sambil menarik napas panjang, penisnya masuk sebisa Mahsa menerimanya.
Tubuhnya berkilau oleh keringat, napasnya mulai menderu.
"Nona, aku sudah terlalu lama menunggu ini."
Paraunya menunduk membuat untaian rambutnya jatuh ke depan wajahnya.

"Sakit..!" Bisik Mahsa berurai airmata, punggungnya melengkung seperti busur, jeraminya terjalin erat dengan jemari kian yang membuatnya tidak bisa melarikan diri.

"Jika kau terus melawan, rasanya akan semakin sakit."
Kian menyapukan bibirnya ke rahang Mahsa, menjilat rasa asin dari keringat Mahsa.
"Biarkan aku membantumu, biarkan aku menyelesaikannya."
Bujuknya perlahan menarik pinggulnya lalu mendorong pelan, membuat Mahsa terlonjak, kembali melawan.
"Serahkan dirimu padaku. Aku bersumpah akan membawamu terbang ke surga." Bisiknya diatas bibir Mahsa.

Mahsa membuka matanya yang basah berkilau seperti kilau matahari yang memantul di lautan biru.
"Kau pembohong, berapa banyak wanita yang sudah kau tipu.!" Bisiknya terengah.

Mata Kian kembali melebar, marah disumpalnya mulut Mahsa dengan lidahnya.
Kian bergerak meski amarah bergemuruh di dadanya tapi Kian masih bisa memjaga ritmenya agar tidak menyiksa Mahsa.

Mahsa mencoba melawan tapi semakin banyak dia bergerak rasanya semakin sakit, mau tak mau Mahsa diam memejamkan matanya, berkosentrasi pada bagian bawah tubuhnya.

Kian melihatnya, kerutan di kening Mahsa perlahan mulai berkurang.
Isakan sakit mulai terdengar berbeda, suara yang Mahsa keluarkan bukan lagi bentuk protes.
Kali ini jemari Mahsa mengait jemari kian, geliat tubuh Mahsa membuag Kian menggila.

Mahsa terengah, dia panik dia tidak mau pipis di sini tapi Kian terus bergerak, mahsa mengeleng merengek dan menjerit kuat saat rasa itu tak tertahankan lagi, cairan panas keluar seiring tubuh Mahsa yang meledak menjadi kelopak mawar berwarna merah yang indah.
Napas Mahsa menderu, tubuhnya terkulai, kehabisan tenaga.

"Kau tidak boleh tidur." Kian menekan bibirnya ke leher Mahsa, bergerak makin cepat membuat darah Mahsa kembali bergolak.
Kali ini saat Mahsa mencapai puncak, Kian ikut bersamanya.
Mereka terhempas ke jurang kenikmatan yang dalam tak berdasar.

***************************
(12012024) PYK







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top