enam belas (reuni)
"kita harus pulang sebelum jam dua belas malam."
Kian memeluk Mahsa yang bersiap turun dari mobil.
"Kau tidak membiarkan aku menyentuhmu, sama saja kau ingin membunuhku."
"Aku bukan Cinderella dan jangan lebay."
Mahsa berusaha melepaskan pelukan Kian di perutnya.
"Teman-temanku sedang menunggu."
"Kau lebih sayang mereka dibandingkan aku."
Kian mengigit punggung Mahsa yang sedikit terbuka.
"Satu kali saja, aku janji tidak akan membuat kusut gaunmu, aku tidak akan merusak dandananmu."
Mahsa menarik napas panjang.
"Asisten Wen.!" Panggilnya.
"Bisa kau pukul dia sampai pingsan. Kesabaranku mulai habis."
Asisten Wen langsung membuka pintu mobil, keluar dari arena, tidak mau ikut campur dalam pertarungan suami istri Morteza.
"Cium aku. Aku janji akan melepaskanmu."
Kian sibuk menjilat bekas gigitannya.
"Kalau tidak aku akan menanhanmu seperti ini terus."
Mahsa memejamkan mata, menarik dan membuang napas beberapa kali, lalu memutar wajahnya agar menghadap Kian.
"Besok aku akan ikut denganmu ke kantor. Di sana aku akan melayani dan melakukan apa yang kau mau."
Bisiknya menggoda dengan jemari menyapu jakun Kian.
"Jadi bisakah kali ini lepaskan aku. Jadilah anak baik."
Kian menggeleng, keras kepala dan egois adalah sifat dasarnya.
"Cium aku." Paraunya dengan tangan sudah meremas kewanitaan Mahsa.
"Atau aku tidak akan melepaskanmu sampai aku merasa cukup untuk saat ini."
Mahsa terengah, mendorong tangan Kian yang ada di bawah sana, lalu memeluk leher suaminya.
"Harus tepati janjimu."
Bisiknya sebelum menempelkan bibirnya ke bibir Kian.
Mahsa sudah tau ciuman itu tidak akan ringan atau sebentar.
Kian selalu lapar dan rakus, seperti musafir di tengah gurun yang menemukan sumber air.
"Syukurlah aku membawa makeup dasar dalam dompetku."
Ucap Mahsa sambil mengoleskan lipstik kw bibirnya yang sudah kembali ke warna pucat aslinya akibat ciuman panjang Kian.
"Mungkin karena aku sudah punya firasat kau akan mengacaukannya.
Kau selalu melakukannya, tidak tau tempat dan waktu."
Kian tidak peduli dengan omelan istrinya.
Dia malah sibuk mengangumi Mahsa yang sedang mengoleskan lipstik, menyiksa tubuh Kian yang merintih minta pelepasan.
"Ingat apa yang kau janjikan." Demi janji itu Kian rela tersiksa malam ini.
Mahsa perlahan turun dari pangkuan Kian, membuka pintu dan keluar, merapikan gaun sebetis yang dikenakannya.
Dia juga merapikan dasi dan jas Kian yang ikut turun setelahnya.
Mereka masuk ke dalam bangunan, naik ke lantai atas dengan Lift dan segera menuju ruangan yang sudah disepakati bersama teman-temannya.
Mahsa langsung disambut pelukan dan ciuman oleh para wanita yang sudah datang terlebih dahulu.
Setelah menyalami mereka satu persatu, Kian menjauh dan bergabung dengan para lelaki pendamping yang terlupakan sebagai mana dirinya.
Sedikit banyak dia kenal dengan pasangan teman-teman Mahsa.
Pembicara nyambung Karena mereka semua bergelut dibidang yang hampir sama.
Meski berada dalam kumpul para lelaki yang kini sudah lengkap semuanya, pikiran dan perhatian Kian terus tertuju pada Mahsa yang suara denting tawanya memenuhi telinga Kian.
Beberapa kali Kian harus merubah posisi berdirinya agar tidak ada yang tau apa yang terjadi pada tubuhnya.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi semua pasangan, para lelaki malang ini memang tidak nyaman dan gelisah.
Apa mereka semua merasakan hal yang sama dengan Kian.?
"Aku tidak tau kalau Sonam bisa tertawa selebar itu.?"
Rakin yang paling dekat dengan Kian terlihat menatap jauh ke depan pada para wanita yang berkumpul di dekat piano, main bergantian dan bernyanyi bersama sementara para lelaki berkumpul di dekat balkon, mereka minum dan merokok sedangkan semua wanita itu menjauhi kedua hal tersebut.
"Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir Sanae tersenyum."
Di mata Kian, Taimur terlihat menjadi sosok yang paling tersiksa dibanding semuanya.
"Jadi kalian cukup beruntung sudah kenal lama dengan sang nyonya sebelum menikahi mereka, tapi aku baru bertemu Silu beberapa bulan ini.
Bahkan aku tidak sadar saat menikahinya."
Kaisar tidak menyembunyikan rasa irinya.
"Aku kenal mereka semua sejauh aku mengenal Bianca tapi kalau kuingat lagi masa-masa sekolah, rasanya terlalu banyak yang berubah dan jadi sulit dipahami."
Mata Sharya mencari sosok Bianca yang tak pernah puas dipandangnya.
"banyak tahun berlalu banyak hal yang sudah dilalui pasti akan ada perubahan."
Kasra menimpali Sharya.
"Bahkan ada banyak yang kita lewati begitu saja saat itu."
Tambahnyaa mengangkat gelas pada Sharya yang dulu satu sekolah dengannya, bernasib sama dengannya, tidak tau bahwa perempuan yang mereka cintai melahirkan anak mereka.
Kian memperhatikan para pria ini satu persatu, tersenyum mempertanyakan jimat apa yang dipakai para wanita ini hingga dicintai sebesar dan sedalam ini oleh pria mereka.
"Aku permisi sebentar."
Kian meletakan gelasnya di pagar Balkon, bergegas menyusul Mahsa yang terlihat keluar dari ruangan, diikuti senyum memahami para suami yang semuanya juga sedang mencari kesempatan yang sama.
"Mau kemana.?" Kian berhasil menyudutkan Mahsa ke dinding setelah melewati satu belokan.
Dia menekan dada Mahsa ke tembok lorong, mengendus bagian belakang leher Mahsa seperti pecandu bertemu kokain.
Mahsa yang awalnya akan berteriak dan melawan segera mengurungkan niatnya begitu mengenali suara suaminya.
"Haruskah kau seperti ini." Ketusnya segera balik badan.
"Kalau aku memegang pisau, aku bisa saja membunuhmu."
"Kau mengabaikanku selama berjam-jam. Kau sibuk dengan teman-temanmu yang semuanya sama jahatnya denganmu, kalian lupa ada kami di sana.!?"
Kian memeluk erat Mahsa menyelipkan lututnya diantara paha Mahsa, menekan lengan istrinya ke atas kepala dengan satu tangannya lalu mencengkram rahang Mahsa dan mencium bibir wanita itu sampai mereka berdua kehabisan napas.
"Aku harus ke kamar mandi." Bisik Mahsa, terengah.
"Kau mau aku pipis di sini.!?"
Mahsa bohong, dia ke kamar mandi untuk memperbaiki make up nya dan membersihkan bajunya yang terkena tumpahan jus.
Kian tersenyum.
"Bukan yang pertama pastinya. Aku pernah membuatmu pipis di kasurku, tidak hanya sekali"
Wajah Mahsa merah padam.
"Kau tidak akan pernah merasa malu menindas istrimu sendirikan.!"
"Itu karena kau jahat padaku." Kian menekan bukti gairahnya ke rusuk Mahsa.
"Akan ku temani ke kamar mandi."
Kian langsung menarik Mahsa menuju kamar mandi wanita yang ada di ujung koridor.
Kamar mandi luas dan kosong, kian mengurung dirinya dan Mahsa di bilik paling ujung.
Dia duduk diatas kloset, dengan cepat menyatukan dirinya dengan sang istri yang hanya bisa pasrah.
Kian menelan seluruh suara yang keluar dari bibir Mahsa.
"Kian.!" Geram Mahsa lemah.
"Bisakah sekali saja kau mendengarkanku.
Mereka akan tau apa yang kita lakukan."
"Yakinlah semua juga ingin tapi istri mereka tidak sepengertian dirimu.
Kau yang memberiku peluang jadi aku memanfaatkan sebaik-baiknya.
Mereka pasti iri padaku."
Kian membantu Mahsa berdiri, merapikan ujung gaun istrinya yang berdiri oleng.
Mahsa segera keluar, tidak menunggu Kian membetulkan pakaianya.
Matanya membesar melihat Sonam yang baru saja masuk ke kamar mandi wanita.
Mata Sonam lebih besar lagi saat melihat Kian keluar dari tempat Mahsa tadi.
Mahsa merah padam, tau Sonam bisa menebak apa yang dilakukannya dengan Kian barusan.
"Aku kembali dulu." Mahsa berlari kecil meninggalkan Kian yang pura-pura cuek di depan Sonam yang kepayahan menahan tawanya.
"Aah.." Kian langsung bersorak saat melihat Rakin suami Sonam muncul di sana.
Kali ini bibirnya yang tersenyum melihat Sonam yang gugup, pasti tau apa yang dimau suaminya.
Kian langsung keluar, menepuk bahu Rakin yang tadi pasti berselisih jalan dengan Mahsa.
Kian berlari kecil meninggalkan pasangan yang sudah kebelet itu, mengejar istrinya yang tak terlihat lagi.
Kian akan membuka pintu ruang acara reuni, tapi terdiam saat melihat pintu diseberang terbuka dan melihat sosok Mahsa yang sedang dikelilingi beberapa laki-laki dengan gaya preman.
Kian menarik napas panjang, melepas pegangan pada pintu lalu berjalan masuk mendekati Mahsa.
"Kau salah antara pintu kiri dan kanan.!?" Tebaknya.
"Aku lupa kalau kau buta arah."
Mahsa mengangguk.
"Aku tidak sengaja masuk tapi mereka bilang aku merusak kesenangan mereka dan aku harus bertanggungjawab, menghibur mereka."
Kian melihat ke arah meja, penuh dengan minuman dan obat terlarang.
Dia menarik lengan Mahsa.
"Maaf istriku salah ruangan. Lanjutkan saja kesenangan kalian, kami tidak akan mengganggu."
"Kau pikir bisa masuk dan keluar dari sini sesukamu."
Salah satu dari mereka maju menghalangi langkah Kian.
"Bocah cantik sepertimu, apa bisa melawan kami berdua puluh ini.?"
"Tentu saja bisa.!" Jawab Mahsa penuh semangat, menepuk pelan dada Kian.
"Suamiku ini pemegang Dan hitam Judo.
Kalian jelas bukan lawannya."
Kian meremas pinggang Mahsa.
"Apa kau ingin melihatku mati dikeroyok." Desisnya dengan tatapan tertuju pada para preman yang mulai bangkit satu persatu.
"Lawan saja dulu, menang kalah nanti dipikirkan."
Jawab Mahsa waspada terhadap para preman ini.
"Lagian aku lihat kau jarang olah raga akhir-akhir ini.
Anggap saja ini lagi kasih salam olahraga."
"Bodoh.! aku pasti kalah kalau menghadapi mereka sendirian."
Gigi kian terkatup.
" Brengsek.! Bisa tidak kau hidup normal, tidak cari masalah sekali saja."
Kian melangkah mundur menarik Mahsa bersamanya saat para preman itu makin ramai mengepungnya.
"Wajahmu lebih cantik dari wanita ini." Salah satu preman memegang dagu Kian, membolak balik wajahnya melihat dari semua sudut.
"Jangan menyentuh istriku."
Desis Kian saat si preman melepas dagunya dan berniat menyentuh Mahsa.
"Atau kupatahkan tanganmu."
Tawa mereka meledak mendengar ancaman Kian. semua makin rapat mengelilingi Mahsa dan Kian.
"Kami bukan hanya akan menyentuh istrimu tapi juga mengilirnya."
Ucap salah satu preman.
"Karena kau lebih cantik dari istrimu maka kami tidak akan membedakanmu."
Kian menangkap tangan bajingan yang kemungkinan adalah pemimpin dari sekelompok manusia tidak berguna ini.
Tanpa jeda Kian menekan hingga terdengar bunyi berderak menandakan tulang patah, barulah setelah itu dia membanting bajingan itu ke lantai.
Kian mendorong Mahsa menjauh saat sekumpulan sampah itu menyerbunya.
Satu persatu dia menangkap dan membanting mereka membuat keributan yang tak terhindari, menarik perhatian para tamu di semua ruangan di lantai tersebut.
Pintu ruangan dimana reuni diadakan ikut terbuka memperlihatkan sekumpulan CEO berpakaian mahal keluar dari sana, tanpa menunggu mereka langsung membantu Kian, mereka yang setengah mabuk itu langsung mengeluarkan ilmu beladiri yang masing-masing mereka kuasai, melarang para asisten ikut campur sebab dianggap menganggu kesenangan mereka.
Para preman itu dibuat tergeletak tak bergerak di lantai.
Sedangkan para Istri hanya bisa terpaku, melotot kaget atau menjerit khawatir.
Perkelahian baru benar-benar berakhir setelah polisi sampai dan semuanya digiring ke kantor, termasuk para CEO yang memiliki satu dua lebam di wajah mereka yang tampan.
***************************
(24012024) PYK
Nanti setiap cerita brother in law pasti bakal ada bab reuni, jangan bosan ya..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top