BAB 6 : Permata Hijau

Dengan nafas yang tersenggal - senggal, Tuan Ookami duduk bersandar pada dinding gua. Kulihat wajahnya masih sepucat yang tadi. Sedangkan aku hanya duduk terdiam di sebelahnya. Menunggu waktu yang tepat untuk menanyainya perihal suara keras tadi. Namun sebelum aku memberanikan diriku, Tuan Ookami tiba - tiba menoleh ke arahku.

"Kau baik - baik saja?" tanyanya dengan nada cemas.

"Em..kurasa begitu." jawabku bingung.

"Pokoknya tidak akan kubiarkan mereka membawamu." ujarnya.

"Mereka mau membawaku kemana?" tanyaku masih bingung.

"..." Tuan Ookami terdiam. Ia hanya menunduk dalam. Bibirnya bungkam tak bersuara.

"Mereka siapa?" tanyaku lagi.

"..." ia diam lagi.

Aku berdecak kesal melihat kelakuannya. Kemudian kugoyangkan bahunya kasar sambil memintai jawaban atas pertanyaanku. Saat ini aku benar - benar bingung dan takut. Aku sama sekali tidak mengerti maksud ucapan Tuan Ookami. Dan juga...aku takut dengan sesuatu yang mengejarku itu.

Meskipun begitu, Tuan Ookami tetap diam seribu bahasa. Tangan kanannya bergerak merogoh sesuatu dari dalam saku kemejanya. Ia menggenggam benda itu lalu menyodorkannya kepadaku. Sebuah kalung dengan permata hijau safir. Lalu ia tersenyum sumringah dan berkata, "Ini untukmu."

"A..ano.." gumamku kikuk. Kurasa wajahku langsung memerah bak tomat siap panen.

"Pakailah!" ucapnya riang. Kemudian ia membuka tudung mantelku dan memakaikan kalung tersebut ke leherku.

Lagi - lagi aku hanya terdiam beku dibuatnya. Kuperhatikan liotin hijau safir yang kini menggantung di leherku. Rasanya aku pernah melihatnya. Sungguh, liontin ini sangat tidak asing. Seketika memoriku memutar ingatan akan sosok nenek. Senyumannya, keramahannya, liontinnya... eh?

"Darimana kau mendapatkannya?" tanyaku terkejut.

"Akai, aku ingin bertanya kepadamu." ujar Tuan Ookami yang tidak menggubris pertanyaanku.

"Darimana kau mendapatkan kalung ini?" tanyaku lagi.

GREP.

Ia tetap tidak menggubris pertanyaanku dan hanya menggenggam kedua tanganku. Lalu dengan senyum simpul, ia memohon kepadaku untuk mendengarkannya. Iris coklat hazelnya nampak mengisyaratkan sebuah keseriusan. Maka aku pun terdiam dan mengangguk.

"Kenapa hari itu kau berada di hutan?" tanyanya.

"Oh, aku sedang mencari nenekku. Dia hilang seminggu yang lalu." jawabku.

"KEMARI, AKU MENEMUKANNYA!!"...

DEG!

Mataku beralih ke arah sumber suara. Tepat di mulut gua, kulihat seorang pria jangkung yang tengah membawa sebuah obor. Dan nampaknya, ia sedang berusaha menginformasikan keberadaan kami kepada rekan - rekannya. Tak lama setelah itu, para manusia yang lain mulai berdatangan memenuhi mulut gua. Wajah mereka harap - harap cemas.

"Astaga, makhluk apa itu!?"...

"Aneh sekali!"...

"Hei, bukankah yang bersama makhluk itu adalah Akai?"...

Kenapa mereka mengenalku?

"Ya sudah, ayo kita serang saja makhluk itu!"...

"AYO!!"...

Aku kembali menatap Tuan Ookami dengan panik. Tanganku bergerak menarik - narik lengan bajunya. Namun ia hanya diam sambil tersenyum kepadaku. Senyuman paling damai yang belum pernah kulihat terukir di wajah siapapun.

"Tuan Ookami...?" gumamku tercekat. Sungguh, aku bingung dengan kelakuannya.

Kenapa kau tidak membawaku lari?

Kau kuat, kan?

Ayo, kita kabur dari sini!

Para manusia itu semakin dekat dengan kami. Langkah mereka yang lebar membuatku semakin ketakutan. Berkali - kali aku menarik kasar lengan baju Tuan Ookami, memintanya untuk melakukan sesuatu. Tapi ia hanya diam dan tersenyum.

"Ternyata benar, itu Akai Rose!"...

DEG!

Kini mereka dengan obor - obor yang menyala menerangi gua berdiri tepat di hadapan kami. Salah satu dari mereka merengkuh tubuhku yang belum bisa berjalan normal. Aku meronta minta dilepaskan. Kupukul bahu orang itu sekeras yang aku bisa. Lalu kulihat sekitar lima pria dewasa memukuli Tuan Ookami di depan mataku. Sedangkan yang dipukuli hanya terdiam dan menerima setiap serangan.

Kenapa...?

"Hentikan..." gumamku lirih.

"Akai?" manusia yang menggendongku bersuara. Tapi aku tak peduli.

"Kumohon hentikan..." gumamku lagi.

"Akai, sadarlah!" ujar manusia itu lagi.

"Hentikan! Hentikan! Hentikan! Hentikan!" jeritku panik. Aku kembali memukuli manusia yang menggendongku. Namun kali ini lebih keras, berharap ia akan melepaskanku.

"Prof. Shouta, ada apa dengan Akai?" tanya manusia yang lain dengan wajah khawatir yang menyebalkan.

"Sepertinya Akai terkena syok ringan." jawab manusia yang tak membiarkanku bergerak.

"Hentikan! Kumohon hentikan!" jeritku memohon. Air mata mulai mengucur deras dari kelopak mataku.

"Akai, ini ayah! Sadarlah, nak!" ujar manusia yang menggendongku panik.

A..ayah? Apa aku memiliki ayah?

"Prof. Shouta, kau harus menenangkan Akai!" ujar manusia yang lain panik.

"Baiklah. Maafkan ayah, Akai.." ujar manusia yang mengaku sebagai ayahku. Kemudian dari saku celana panjangnya ia merogoh sebuah suntikan yang berisi cairan bening. Dan dalam satu gerakan cepat, cairan itu tersuntik ke dalam tubuhku.

Aku semakin melemas. Tanganku secara perlahan tidak memiliki tenaga untuk memukulinya lagi. Kemudian semuanya berubah menjadi gelap.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top