BAB 4 : Sore Nanti

Berjam – jam sudah aku terduduk diam di kasur ini. Perutku mulai meraung meminta untuk diisi. Sejak pertama kali aku bangun di kamar ini, aku tidak melihat keberadaan Tuan Ookami. Aku mulai khawatir. Bagaimana jika dia diserang oleh binatang buas di luar sana dan tidak mungkin kembali lagi? Atau jangan – jangan sekarang ini ia sedang bertarung dengan monster yang kemarin sukses membuatku tak bisa berjalan? Oke, itu bukanlah kesalahan si monster. Aku yang salah karena ketika berlari tidak memperhatikan kemana langkahku pergi.

“Huffft...” tangan kananku bergerak memegangi dadaku. Ada rasa sakit terasa disana. Sial, kali ini aku benar – benar merasa khawatir dengan si baka ookami itu.

Di dalam kepalaku, terekam semua tindakan baiknya kemarin. Meskipun ia agak jahil dan juga kikuk, tapi tetap saja ia adalah orang yang telah menyelamatkanku dari si monster. Eh, orang? Aku tidak yakin kalau dia pantas disebut orang. Dia mirip seperti...mirip seperti...

“Holla!!! Aku kembali!!!” tiba – tiba suara melengking terdengar mengganggu pendengaranku. Sangat melengking sampai telinga bagian dalamku agak terasa sakit.

Kualihkan pandanganku ke arah ambang pintu kamar dengan perasaan kesal.

DEG!

“KYAAAAA!!!” teriakku panik. Kemudian tanganku mulai bergerak secara refleks melemparkan benda apapun yang dapat kuraih ke arah sosok di ambang pintu kamar.

“Aduduh..., hentikan!” ringis sosok itu setelah kepalanya sukses terkena lemparan dariku.

“Lho? Jadi kamu benar – benar Tuan Ookami?” tanyaku terperanjat kaget.

“Tentu saja ini aku. Lagipula hanya aku yang tahu letak rumahku.” Jawab sosok itu sambil memutar bola matanya kesal. Sesekali tangannya yang berlumuran darah itu mengusap – usap bagian kepalanya yang tadi terkena lemparanku.

“Kamu kenapa? Kok, bisa berdarah – darah begitu? Kamu tidak sakit, kan? Tidak habis bertarung, kan?” tanyaku beruntun. Ingin sekali aku menghampirinya dan memeriksa semua luka yang ada pada tubuhnya.

“Pfftt...whahahahaha!!!” Tuan Ookami, sosok yang baru saja aku pedulikan tiba – tiba saja tertawa keras di tempatnya. Kemudian di tengah tawanya yang menyebalkan, ia berkata “Dasar manusia bodoh!”

“Apa? Kau sebut aku bodoh!?” pekikku tak terima.

“Aku tidak terluka, ini hanya noda yang berasal dari buruanku.” ujarnya santai lalu secara bertahap tawa menyebalkannya mulai mereda.

“Buruan?” gumamku bingung.

“Kau bilang kau ingin makan daging, kan? Untuk itu aku mencarikanmu hewan yang dagingnya enak untuk dimakan.” jelas Tuan Ookami sambil nyengir kuda ke arahku.

Cengiran itu membuatku tertegun. Deretan tarin runcing serta noda darah yang mengotori daerah mulutnya membuatku agak takut. Dan tanpa sadar aku mencengkram kuat selimut yang saat ini tengah menutupi sebagian tubuhku. Tuan Ookami memang bukan manusia. Dia tidak pantas jika kusebut sebagai ‘orang.’ Dia itu...

“Baka Ookami...” desisku merasa dipermainkan.

“Hehe..hari ini aku bahagia, deh!” ujarnya seketika. Ekor serigalanya nampak bergerak kesana – kemari dengan riangnya.

“Eh? Ada apa memangnya?” tanyaku malas.

“Hari ini aku baru saja dikhawatirkan oleh gadis cantik sepertimu, Akai – chan.” jawabnya dengan disertai rona merah yang muncul di wajahnya.

“Eh!?” aku terpekik kaget. Jantungku rasanya langsung berdetak kencang akibat kata – kata gombal murahannya itu. Lalu sebagai bentuk protes aku mengajukan pertanyaan kepadanya “Apa maksud – “

Namun dengan cepat Tuan Ookami berkata, “Baiklah, daripada berlama – lama di sini lebih baik aku segera memasak makanan terlezat untukmu. Ne, Hime – sama?”

Aku mengangguk pelan. Mataku tidak bisa terlepas dari punggungnya yang perlahan semakin menjauh dari area pengelihatanku. Saat ini kurasakan perasaan aneh yang berkecamuk di dalam dadaku. Aku takut tapi juga merasa nyaman ketika berada di dekatnya. Terkadang dia menyebalkan namun di sisi lain ia juga sangat baik dan perhatian kepadaku. Uh! Sebal. Dia membuatku merasa...

Kusentuh pipiku yang entah mengapa mulai terasa panas. Kurasakan jantungku semakin berdegup cepat seiring dengan nafasku yang keluar masuk mulut dan hidungku secara bergantian. Lalu tanpa sadar seukir senyum terukir di wajahku dengan sendirinya. Perasaan hangat memenuhi hatiku, rasanya begitu nyaman dan membuatku ingin terus merasakannya selamanya.

Tuan Ookami itu memang bukan manusia dan tidak pantas disebut ‘orang.’ Namun dia itu adalah...

Em...temanku?

Beberapa menit kemudian, Tuan Ookami datang menghampiriku beserta sebuah nampan berisi olahan daging di atasnya. Aroma yang dikeluarkan oleh makanan itu merayap dan menusuk hidungku. Tanpa sadar membuatku meneteskan air liur dari sudut bibirku.

“Jorok!” ucap Tuan Ookami.

“Hah? Apa?” aku gelagapan dikatainya begitu. Pasalnya aku tidak tahu lagi harus melawan dengan pernyataan apa.

Kemudian Tuan Ookami menaruh nampan yang ia bawa di atas meja kecil di sebelah ranjang. Aku mendengus kesal melihat kelakuannya. Ayolah, aku ingin segera memakan daging itu. Dari baunya saja sudah terasa enak apalagi rasanya. Tangan kanan Tuan Ookami bergerak merogoh sesuatu dari dalam saku kemejanya dan terlihatlah sebuah kain segi empat kecil berwarna biru tua.

“Apa yang mau kau lakukan?” tanyaku kesal.

SET!

Dengan gerakan lembut, tiba – tiba saja Tuan Ookami membersihkan sudut bibirku dengan kain biru tersebut. Tatapan matanya yang tajam kini terfokus ke arah mataku. Iris hazelnya nampak berkilat – kilat, membuatku menjadi salah tingkah sendiri. Untuk sesaat aku tidak bisa bergerak, jarak wajah kami sekarang begitu dekat. Kurasa hanya lima sentimeter. Cukup lama kami terdiam dalam posisi seperti itu. Kemudian dengan sendirinya, kudorong bahu Tuan Ookami menjauh dariku. Spontan, ia menatapku bingung.

“Kenapa kau ini?” tanyanya.

“Ah, aku...aku...merasa gerah.” jawabku asal. Sejujurnya aku sendiri tidak tahu kenapa aku mendorong Tuan Ookami yang sudah jelas sedang berusaha membersihkan air liurku yang menetes. Apa aku sudah agak gila?

“Mau kubukakan jendelanya?” tawarnya polos.

“Tidak perlu. Aku ingin makan saja.” tolakku cepat. Ayolah, manusia mana yang akan merasa gerah dalam cuaca musim gugur seperti saat ini.

Mendengar jawabanku, Tuan Ookami beralih ke arah masakan yang ia buatkan untukku dan segera menyuapiku seperti kemarin. Hening. Aku maupun Tuan Ookami tidak ada yang mengeluarkan suara. Kami larut dalam pikiran masing – masing. Hingga tidak terasa kini tinggal suapan potongan daging terakhir.

Aku membuka mulutku lebar – lebar, bersiap menerima santapan terakhirku pagi ini. Namun...

“Hap!” Tuan Ookami membelokkan sendok berisi daging ke dalam mulutnya.

“Kenapa kau memakan suapan terakhirku, baka ookami!?” bentakku tak terima.

“Habisnya dari tadi kau diam saja. Sepi, tahu!” cerocosnya tidak jelas.

“Jadi kau sengaja, baka ookami!?” bentakku lagi.

“Tentu saja. Aku ingin mendengar suaramu, Akai. Aku tidak mau suasana menjadi sepi tanpa suaramu.” ujarnya dengan wajah polos.

DEG! DEG!

Jantungku terasa mau melompat dari tempatnya. Uh, perasaan ini lagi. Rasanya menyenangkan, nyaman, namun aku tidak menyukai kehadirannya. Kira – kira ini namanya perasaan apa, ya? Membuat bingung saja!

“Baka Ookami...” lirihku.

“Hufft! Dari tadi kau menyebutku bodoh terus, padahal setahuku aku tidak melakukan kesalahan apapun.” gerutu Tuan Ookami sambil melipat tangannya di depan dada.

“Tentu saja kau melakukan kesalahan! Baka ookami!” ujarku.

“Apa kesalahanku?” tanyanya. Wajahnya secara cepat mendekat ke wajahku. Iris hazelnya itu kini dapat kulihat jelas.

Aku diam mematung. Otakku beku tak dapat memikirkan apapun. Perasaan aneh yang tadi kurasakan kini menguasai seluruh hati dan pikiranku. Karenanya aku jadi bingung harus mengambil tindakan apa. Menyebalkan, sialan!

“Ugh! Aku mau tidur!” ujarku sambil menjauhkan wajahku dari wajahnya lalu segera menutupi seluruh badanku dengan selimut.

“Lho? Tadi kan, sudah tidur?” terdengar suara Tuan Ookami yang kebingungan.

“Terserah padaku, kan?” balasku.
Hening. Tak ada balasan apapun lagi. Yang kudengar dari balik selimut hanyalah suara langkah kaki yang semakin menjauh. Perasaan yang sedang berkecamuk dengan gilanya di dalam diriku perlahan berubah menjadi terasa sakit. Aku tidak mengerti. Apa yang salah?

“Kumohon jangan pergi...”

“Tetaplah di sampingku...”

Krieeet...

Suara deritan pintu kamar yang membuka terdengar menggema di seluruh kamar. Bersamaan dengan itu suara langkah kaki Tuan Ookami terhenti. Lalu terjadi keheningan untuk beberapa saat. Satu detik, dua detik, lima detik,...

“Akai?” suara Tuan Ookami terdengar.

“Hn?” jawabku. Sebisa mungkin aku berusaha menyamarkan suaraku layaknya seseorang yang sudah setengah tertidur.

“Kau boleh tidur lagi tapi...”

Apa yang akan dia katakan?

“...usahakan kau bangun sore nanti.”

Hah?

“Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan kepadamu.”
Blam.

Pintu tertutup.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top