6. Keliru Menduga

Reki melirik pada helm yang tadi dikenakan oleh Velly. Kepalanya lantas menggeleng-geleng berulang kali. Terlihat memasang ekspresi simpatik sebelum ia justru berkata.

"Besok aku ganti aja deh helmnya."

Mata Velly mengerjap-ngerjap. "Helm?" tanyanya bingung.

Kenapa yang mendadak Reki ngebahas soal helm lagi?

Reki mengembuskan napas panjang. "Di rumah aku ada helm Doraemon gitu. Biasa dipake keponakan," jawabnya. "Di atasnya ada baling-baling. Imut sih. Dan yang pastinya ringan. Kalau kamu make helm doraemon, kayaknya kepala kamu nggak bakal keberatan lagi deh."

Dooong!

Velly melongo. Syok dan tak percaya ketika telinganya mendengar apa yang Reki katakan.

I-i-ini ... bukan yang kayak Reki nyuruh aku make helm baling-baling Doraemon kan.

Di-di-dia ... benar-benar ....

"Soalnya make helm ini terbukti ngebuat otak kamu tertekan," sambung Reki. Dan tak cukup dengan mengatakan itu, Reki bahkan menampilkan ekspresi simpatiknya. "Kelewat berat ya? Harusnya kamu ngomong, Vel. Jangan ngasih kode-kode. Aku ini bukan anak Pramuka, aku anak Debat. Mana aku tau kalau kamu nggak ngomong terus terang?"

Velly melirih seraya mengangkat tangan. Memegang kepalanya. Seperti merasakan dorongan alamiah untuk berjaga-jaga. Mungkin dirinya akan jatuh pingsan sebentar lagi. Lantaran perkataan Reki tentunya. Itu seperti yang Velly merasakan tekanan darahnya yang langsung menurun drastis.

"Ya ampun. Kamu beneran buat kepala aku berasa kayak mau copot."

Reki tertawa. "Hahahaha. Beneran deh. Besok aku ganti aja helmnya. Kamu nggak perlu khawatir, Bol. Hahahaha."

Dan sepersekian detik kemudian, tangan Velly melayang. Mendaratkan satu cubitan yang membuat Reki meringis horor menatap pada gadis itu.

"Astaga, Tuhan," ringisnya seraya mengusap-usap tangannya yang terasa perih. "Kamu ini bener-bener deh, Vel. Seharian ini udah yang nggak terhitung lagi berapa kali kamu nyubit aku. Kejamnya jadi cewek."

"Makanya itu. Itu tau aku kejam, masih juga kamu sulut-sulut emosi aku. Kalau nggak mau aku cubit, jangan ngomong sembarangan," delik Velly. "Di mana ceritanya aku pake helm Doraemon yang ada baling-balingnya?"

"Hahahahaha."

Tawa Reki meledak lagi. Refleks ketika tanpa mampu ia cegah, imajinasi Velly yang mengenakan helm baling-baling Doraemon itu melintas di benaknya.

Ya Tuhan.

Perut Reki saat itu mendadak kram karena rasa geli yang bertubi-tubi menghinggapinya. Membuat ia tak henti-hentinya tertawa.

Mata Velly semakin melotot melihat gelak Reki yang semakin menjadi-jadi. Antara kesal dan juga khawatir akan membuat tetangganya pada keluar rumah. Menegur mereka berdua. Kan gawat tuh.

"Kamu ...."

Reki berusaha menahan tawanya. Hingga kemudian ia berkata dengan susah payah.

"Aku kasih saran deh, Vel. Mending kamu pake tenaga kamu untuk masa pertumbuhan kamu. Mikirin Eshika, Tama, dan Alex itu sama sekali nggak ada untungnya buat kamu loh. Beneran. Cuma buat kamu capek aja."

"Ck." Velly bersidekap. "Pokoknya aku nggak bakal berenti sampe tau apa pastinya yang terjadi sama Eshika dan Tama."

Dan Reki melihatnya. Bahwa tatapan mata Velly yang menyipit seperti menyiratkan keteguhan hati yang tak akan terbantahkan. Seolah mengobarkan semangat yang menggelora.

Sementara itu, menatap pada arah lainnya, ekspresi wajah Velly terlihat berubah dengan teramat serius. Seperti ia yang mendadak menemukan sesuatu yang amat penting di dalam kepalanya.

"Aku jadi penasaran," lirih Velly dengan penuh irama. "Apa ya yang bakal terjadi kalau semisalnya Eshika tau kalau tadi Tama menyadap pembicaraan dia dan Alex."

Kiamat!

Satu kata itulah yang melintas di benak Reki. Maka ia mengulurkan tangan. Buru-buru bertanya.

"Kamu nggak ngeliat gimana emosinya Tama tadi? Kamu yakin mau memperkeruh kejadian ini?"

Mata Velly mengerjap beberapa kali. Melongo.

"Beneran deh, Vel," kata Reki kemudian. "Kalau kamu mau mikirin Eshika dan Alex, itu urusan kamu. Tapi, kalau kamu sampe nyeret Tama juga ...." Reki geleng-geleng kepala. "Aku nggak mau loh kamu sampai ngumpet di belakang badan aku lagi."

Tenggorokan Velly naik turun dalam upaya meneguk ludahnya yang terasa menggumpal. Terang saja perkataan Reki membuat tubuh gadis itu sekilas langsung mendingin.

"Ka ... ka ... kamu nakut-nakutin aku, Ki?"

Kali ini Reki yang memelototkan matanya. "Orang nggak aku takut-takutin aja kamu udah takut duluan," tukasnya. "Kalau-kalau kamu lupa, Vel. Tadi pas Tama keluar dari studio, kamu ngumpet di mana coba?"

Velly tak menjawab.

"Di balik badan aku," ujar Reki lagi mengingatkan. "Kalaupun emang Tama ada apa-apa sama Eshika, ya itu urusan mereka."

"Tapi---"

"Kamu mau dilempar barbel lima kilo sama Tama?"

Glek.

"K ... k ... kok kamu tega amat sih ngasih pertanyaannya?" tanya Velly manyun.

"Ya kamu juga sih," dengus Reki. "Aku itu cuma nggak mau kamu kenapa-napa, Vel. Soalnya bukan apa. Jangankan dilempar barbel lima kilo." Tangan Reki menunjuk helm yang tergantung di stang motor. "Lah orang make helm yang beratnya nggak sampe lima kilo aja otak kamu udah yang nggak sanggup menghadapi tekanan coba. Apalagi barbel lima kilo?"

Mulut Velly terkatup rapat. Walau ia kesal karena Reki lagi-lagi membahas soal helm baling-baling doraemon, tapi setidaknya sedikit otak Velly bisa membenarkan apa yang cowok itu katakan.

Tama emang walau banyak fans, tapi dia itu nakutin banget jadi cowok.

Mata Velly mengamati Reki.

Beda jauh dengan si Reki yang sengklek kayak gini.

Tapi, kenapa justru banyak yang nge-fans sama Tama?

Bukan sama Reki?

"Oi, Imut!"

Velly mengerjap. Melihat sekilas bagaimana satu tangan Reki mengibas tepat di depan wajahnya.

"Mikirin apa lagi?" tanya Reki kemudian. "Udah. Jangan kebanyakan mikir. Ntar lama-lama kamu bakal menciut beneran deh."

Mulut Velly terbuka. Tapi, belum lagi ia akan membalas perkataan itu, mendadak saja ia mendengar suara yang berasal dari rumahnya. Berpaling, ia mendapati bagaimana pintu rumahnya terbuka. Dan di lain detik tampak seorang pria paruh baya mengenakan sarung kotak-kotak dan berkumis tebal keluar. Suaranya terdengar besar menyebut nama gadis itu.

"Velly?"

Yang dipanggil Velly yang gemetaran Reki.

Cowok itu seketika turun dari motor. Merutuk dalam hati.

Gila! Itu ayahnya Velly?

Nggak bawa parang kan?

Apa jam delapan malam udah kemalaman?

Glek.

Ya malam kali, Ki.

Masa kepagian.

Sementara ia yang tampak gugup, Velly justru sebaliknya. "Ngapain kamu turun?"

Ya, Maimunah kayaknya nggak kenal etika sopan santun.

Tapi, Reki tidak sempat untuk menyeletuk pada gadis itu. Karena pada menit selanjutnya, terlihat sekali bagaimana ayah Velly berjalan. Menuju ke pagar dan membuka pintu.

Reki dengan terburu menghampirinya setelah melepas helm dan meletakkan benda itu di atas tangki motor. Mengulurkan tangan dan bersalaman dengan sopan.

"Reki, Om. Teman Velly."

Ayah Velly yang bernama Bandi itu tampak menyipitkan matanya. Membuat Reki kembali meneguk ludah. Ekspresi keras terpampang di sana. Dan kalau Reki pikir-pikir, ayah Velly nyaris seperti bentuk nyata imajinasi bapak-bapak galak yang sering muncul di televisi. Tapi, ya ada sedikit hal yang bisa membuat Reki setidaknya merasa lebih aman. Itu tadi. Ayah Velly keluar tidak membawa parang.

"Oh, teman Velly."

Dan bukannya Velly tidak menyadari perubahan ekspresi pada wajah Reki. Gadis itu tau bahwa Reki sedang gemetaran berhadapan dengan Bandi. Dan Velly melirik.

Ya iyalah.

Orang Papa mantan jawara kampung kan.

Barbel lima kilo?

Itu nggak sebanding kalau perut kamu kena injak Papa, Ki.

Bakal keluar atas bawah usus dan seisi perut kamu.

Ha ha ha ha.

Mungkin efek seharian ini ia terus mendapati cemoohan dari cowok itu sehingga Velly merasa ingin merutuki Reki habis-habisan. Terutama ketika dilihatnya bagaimana pucatnya Reki tadi ketika bersalaman dengan Bandi.

"Kalian dari mana?" tanya Bandi lagi. "Baru pulang jam segini."

Dan pertanyaan itu membuat Velly menyeringai kecil. Tak berniat untuk menjawab, Velly membiarkan Reki untuk kembali bersuara.

"Oh. Tadi ke Gramedia, Om. Nyari novel untuk buat tugas Bahasa Indonesia. Sudah itu makan dan nonton," jawabnya. "Maaf karena ngantar Velly kemalaman, Om."

Bandi masih menyipitkan matanya hingga membentuk beberapa kerutan di dahinya. "Kalian bukan pergi pacaran?"

Glek.

Kali ini bukan hanya Reki yang meneguk ludahnya, melainkan Velly juga. Mau tak mau membuat gadis itu angkat bicara.

"Nggak, Pa," kata Velly dengan cepat. "Kami nggak pacaran." Mata Velly melirik. "Mana cocok kami pacaran."

Bandi melihat pada Velly. Diam saja. Dan di saat itulah Reki kemudian mengambil kesempatan.

"Ehm, Om. Ini karena udah malam, aku permisi pulang dulu."

Reki kembali mengulurkan tangannya. Berniat untuk berpamitan. Tapi, ketika tangannya disambut, Bandi malah bertanya.

"Langsung pulang? Nggak mampir dulu?"

Reki meneguk ludahnya.

Jangan-jangan di dalam udah disiapin kopi sianida lagi.

Atau parang untuk menjagal sapi?

Iiih!

Reki tersenyum. "Lain kali, Om. Sekali lagi aku minta maaf udah ngantar Velly kemalaman."

Velly tergelak-gelak parah di dalam hatinya. Melihat wajah Reki yang waspada terhadap Bandi seolah-olah membalaskan dendamnya secara nggak langsung.

"Loh? Kenapa malah minta maaf?"

Gelak tawa yang menggema di pikiran Velly buyar seketika saat ia justru emndengar Bandi berkata.

"Harusnya Om yang ngucapin terima kasih karena Velly udah diantar pulang. Orang kadang dia pulang dari rumah Eshika bisa sampe jam sepuluh malam. Ini aja Om heran kenapa dia bisa balik jam delapan malam."

Reki melongo. Matanya mengerjap-ngerjap.

"Eh?"

Lantas Reki melihat pada Velly yang gantian salah tingkah. Ia menggaruk tekuknya dan berkata pada Bandi.

"Pa, yuk kita masuk. Nanti Papa masuk angin."

Mata Bandi mendelik. Membuat Velly seketika menarik diri menjauhi ayahnya sendiri.

"Kamu ini anak gadis emang nggak ada bisa mikir-mikirnya emang ya. Kalau nggak sama Reki tadi kamu pulang jam berapa?"

Lantas Reki teringat sesuatu.

Tadi di mall juga dia yang sibuk ngajak makanlah.

Terus ngajak nontonlah.

Ngajak apa-apalah.

Oooh!

Reki membesarkan matanya.

Ini anak emang hobinya keliaran kayak ayam hutan ternyata ya.

Ckckckck.

Aku nggak ngira.

Bocah pendek malah sibuk suka main ke mana-mana.

Tapi, tadi malah sok playing victim seolah-olah takut pulang malam.

Wah wah wah!

Keadaan yang begitu cepat berputar membuat Velly memaksa cengiran kaku di wajahnya.

"Pa ..., tadi itu nyari bahan tugas."

Mata Bandi membesar. Tampak bersiap ingin menceramahi Velly, namun Reki dengan cepat mengambil kesempatan.

Sekali mendayung, lima pulau terlampaui.

"Tadi kami emang nyari bahan tugas, Om. Lagipula kebetulan karena rumah Velly dan aku satu arah ya jadinya aku sekalian aja ngantar dia balik."

Bandi melirik pada Reki. Tampak diam sejenak seolah dan mengamati cowok itu lamat-lamat. Tiga kerutan muncul di dahi pria itu.

"Kenapa Om ngerasa nggak asing sama wajah kamu ya?" tanyanya kemudian. "Apa kita pernah ketemu?"

Reki mengerjap. "Ya, Om?" tanyanya bingung. "Ketemu?" Mata Reki kembali mengerjap-ngerjap. "Ketemu di mana?"

Bandi menggeleng. "Sudah. Kamu pulang hati-hati di jalan. Lain kali kamu kalau ngeliat Velly keluyuran, tarik dia. Suruh pulang."

"Papa!"

Velly menjerit. Sementara Reki terkesiap.

"Ditarik?"

Maka imajinasi muncul di benak Reki. Menarik tangan Velly untuk pulang ke rumah sementara di kepala gadis itu terpasang helm baling-baling doraemon.

Menyedihkan nggak, menggelikan iya.

Hahahaha.

Dan di saat itu, Reki pun hanya bisa melongo ketika melihat bagaimana Bandi meraih tangan Velly. Mengabaikan Reki yang masih berdiri di depan pagar, Bandi menutup pintu seraya menarik telinga Velly.

"Anak gadis main sampe malam. Kalau kamu diculik orang gimana?! Untung ada Reki!"

"Pa! Nggak ada yang mau nyulik aku. Awww!"

Reki menutup mulutnya. Melihat adegan itu spontan membuat perutnya geli seperti ada gelitikan sepuluh tangan. Tapi, tentu saja itu adalah hal yang sangat disayangkan untuk dilewatkan. Maka jangan heran bila pada akhirnya Reki memutuskan untuk tidak langsung   pulang. Alih-alih langsung beranjak dari sana, Reki justru terlihat bersedekap. Sedikit bersandar pada motornya dan menikmati pemandangan itu. Dengan terbahak-bahak tentunya.

"Masih ngeyel diomongi Papa hah?!"

"Nggak, Pa, nggak."

"Kamu kalau beneran suka buat ulah, tamat ini kamu nikah aja!"

"Nggak mau, Pa!"

"Makanya itu jangan keluyuran!!!"

"Iyaaa!!!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top