57. Mr. & Mrs. Semak-Semak

Ketika Reki menghentikan laju mobilnya di villa Alex, saat itu telah lewat tengah malam sebenarnya. Hal yang terang saja sedikit aneh mengingat Reki dan Velly hanya makan sate kelinci loh. Tapi, astaga! Mungkin tadi itu mereka menikmati tiap tusuknya dengan penuh perasaan kali ya? Makanya butuh waktu yang lebih lama dari biasanya untuk mereka menghabiskan semuanya. Walau sejujurnya sedikit menyedihkan ketika melihat pada dua gelas bandrek yang sudah mendingin itu. Ckckckck.

Melihat sejenak pada bangunan villa, Reki bisa mendapati bahwa keadaan di sana sunyi. Mungkin teman-teman mereka sudah tidur. Atau mungkin hanya sedang berkumpul di dalam sana. Tapi, ketimbang memikirkan teman-teman mereka, Reki justru memikirkan tangan yang sekarang ia genggam.

Ugh!

Tangan itu berusaha untuk lepas dari genggaman Reki, tapi Reki tak akan membiarkannya. Ehm ... paling tidak sampai beberapa menit ke depan sih. Hihihihi.

"Ih, Reki," geram Velly kemudian. "Lepasin tangan aku nggak? Aku mau masuk."

Reki menoleh. Melihat pada Velly yang berusaha menarik tangannya dengan sekuat tenaga. Hingga membuat Reki geli sendiri jadinya.

Reki tampak menggeleng. "Ben ... tar lagi, Vel," tolak cowok itu kemudian. "Maklum aja dong. Kan kita baru jadian."

"Jadian sih jadian," delik Velly. "Tapi, aku mau masuk, Ki. Aku udah ngantuk. Mau tidur."

"Ehm ..., tapi kalau udah bangun tidur, kita tetap jadian kan ya?"

Mata Velly melirik dengan sorot malas. "Nggak usah kebanyakan tingkah deh ya. Ntar kita beneran nggak jadian lagi. Mau?"

"Ya nggak mau," serobot Reki cepat. "Ckckckck. Abis jadian itu, harusnya kamu lebih lembut ke aku, Vel. Lebih romantis."

Tampak mengembuskan napas panjangnya, Velly menatap Reki dengan dahi yang sedikit berkerut.

"Kamu yakin mau lihat aku lebih lembut? Lebih romantis?" tanya Velly. "Aku khawatir ntar kamu malah yang nggak kuat."

Ugh!

"Ck," decak Reki. "Kamu ini bener-bener deh."

Mengulum senyum, Velly lantas menundukkan pandangannya. Pada tangannya yang masih digenggam oleh cowok itu. Hingga di detik selanjutnya, cewek itu tampak tersenyum. Pelan-pelan menggerakkan jari tangannya. Membalas genggaman itu.

"Eh?"

Mata Reki membesar. Melihat bagaimana tangannya mendapatkan genggaman balasan dari Velly.

"Segini dulu ya? Nggak boleh lebih."

Reki sontak terkekeh. "Udah ah. Kayaknya emang kita harus masuk. Udah waktunya buat tidur."

Pada akhirnya, kedua orang remaja itu pun turun dari mobil. Sementara Velly yang langsung menuju ke kamarnya –mengingat cewek-cewek sudah tidur-, Reki justru bergabung dengan para cowok yang sedang bertanding PS.

Tapi, yakin Velly langsung tidur seperti alasan yang ia berikan pada Reki beberapa waktu yang lalu? Ehm ... ya tentu tidak dong. Karena ketika Velly merebahkan tubuhnya di kasur, ternyata ada pesan dari Reki yang menuntun balasannya.

[ P. Reki F. ]

[ Ehm .... ]

[ Kamu udah tidur belum? ]

Mengulum senyum, berusaha untuk tidak mengusik teman sekamarnya, Velly pun membalas pesan itu.

[ P. Reki F. ]

[ Gimana aku mau tidur kalau kamu ngirim aku chat, Ki? ]

Pesan itu langsung dibaca. Dan langsung mendapatkan balasannya.

[ P. Reki F. ]

[ Kalau kamu manggil Reki Sayang lagi kayak tadi ... aku bakal berenti deh kirim chat malam ini. ]

Velly buru-buru menutup mulutnya. Nyaris saja ia ingin tergelak membaca pesan itu.

[ P. Reki F. ]

[ Reki Sayang .... ]

[ Aku mau tidur. ]

Semula Velly pikir itu sudah cukup, tapi ternyata tidak begitu yang dilihat oleh Reki. Hal tersebut dibuktikan oleh balasan yang Velly dapatkan selanjutnya.

[ P. Reki F. ]

[ Manggil, Vel. ]

[ Yang aku butuhkan suara .... ]

[ Bukan ketikan. ]

Hah?

Velly langsung membelalakkan matanya membaca pesan Reki yang satu itu. Otomatis dong cewek itu bingung.

Bangkit dari tidurnya, ia melihat pada teman-temannya yang tidur. Menimbang dan jelas, Velly rasa bukan ide yang bagus bila ia mengatakan 'Reki Sayang' di sana.

Iiih!

Bisa-bisa mereka pada bangun lagi.

Ngira ada Kuntilanak lagi berbisik gitu.

Maka berusaha untuk tidak menimbulkan suara berisik, Velly pun pada akhirnya turun dari tempat tidur. Mengendap-ngendap menuju ke toilet. Hihihihihi.

Di sana, Velly pun mengirimkan pesan suara pada Reki.

"Reki Sayang ..., aku mau tidur."

Selesai mengirimkan pesan suara itu, Velly langsung mengulum senyum malu di wajahnya. Terutama karena balasan Reki yang sedetik kemudian masuk ke ponselnya.

[ P. Reki F. ]

[ Tega ah .... ]

[ Udah ngirim vn kayak gitu, malah mau tidur .... ]

[ Kayak yang nggak kasian aja sama aku. ]

[ Kan aku yang jadinya nggak bisa tidur. ]

Unch!

Kayaknya boro-boro Reki, Velly saja kemungkinan tidak akan bisa tidur malam itu. Ehm ... bagaimana yang ngomongnya? Tapi, jelas, menjelang jam dua dini hari, ternyata mereka masih tuh saling berkirim pesan.

Ckckckck.

Hanya saja sepertinya memang perlu dimaklumi kalau Reki dan Velly memang pada akhirnya sama-sama tidak bisa tidur. Itu seperti euforia yang masih melingkupi keduanya. Bahkan Velly berani bersumpah. Rasanya sekarang itu dirinya bukan lagi berbaring di atas kasur, alih-alih di atas awan. Saking melayang-layangnya loh ya. Hihihihihi.

Dan hati berganti hati, untuk beberapa saat lamanya, ajaib sekali orang-orang di sekitar mereka yang tampak tidak menyadari bahwa ada teman mereka yang baru saja jadian. Ehm ... mungkin karena pada kenyataannya, tanpa sadar Reki dan Velly memang sudah akrab ya dari dulu? Akrab dengan cara yang berbeda tentunya. Hingga ketika mereka pacaran pun orang-orang tidak mengira.

Hingga pada akhirnya, ketika di suatu hari, justru merekalah yang pada akhirnya membongkar rahasia itu. Bukannya apa. Tapi, mereka juga mau dong hubungan mereka diketahui oleh orang banyak. Hihihihihi.

Dan ... hubungan yang dimulai dari masa kecil itu pun menjadi hal yang makin kuat ketika mereka remaja. Hingga ... menjadi hal yang membahagiakan ketika mereka pada akhirnya ... dewasa.

*

Satu hari di rumah Velly.

"Reki belum ada ngubungin, Vel?"

"Belum ada, Ma. Dari kemaren ponselnya nggak bisa dihubungi. Nggak tau deh dia ke mana."

"Ehm ... udah mati kali."

Mata Velly mendelik. "Ria!"

"Ehm ... atau udah nemu yang lebih tinggi?"

"Della ..., astaga."

"Hahahahahaha."

Velly menyerah. Ia bangkit dari kursinya setelah menuntaskan sarapannya. Tampak sekilas ia mendelik pada Della yang baru saja meledek dirinya.

"Aku pergi dulu, Ma .... Pa ...."

Velly menghampiri Rahayu. Memberikan satu ciuman singkat di pipi ibunya itu sebelum pada akhirnya meninggalkan meja makan yang masih ramai. Hingga Bandi pun menegur mereka.

"Kalian itu sama Kakak hobi banget ngeledek kayak gitu."

Ria dan Della cengar-cengir.

"Itu artinya kami sayang, Pa," bela Mesya kemudian. "Iya kan, Kak?"

Bandi hanya bisa geleng-geleng kepala. Melihat bagaimana Ria dan Della yang tentu saja membenarkan perkataan adik bungsu mereka. Yah ... mungkin itu adalah cara mereka mengekspresikan rasa sayang.

Sementara itu, Velly yang langsung menuju ke tempat kerjanya, benar-benar tidak tenang sepanjang jalan. Padahal kan ya pekerjaannya benar-benar memerlukan banyak tenaga. Dan mengawali hari dengan mood yang buruk, benar-benar memperparah semuanya. Karena jelas, itulah yang Velly keluhkan ketika ia tiba di tempat kerjanya.

"Kok takdir bisa gini amat sih? Dari sekian banyak pekerjaan ... kenapa aku harus jadi guru PAUD coba?"

"Hahahahaha."

Satu tawa terdengar merespon keluhan Velly. Membuat cewek itu menoleh dan mendapati rekan kerjanya yang bernama Ella, tertawa dengan ekspresi yang begitu lucu.

"Aduh, Bunda Velly nggak boleh marah-marah lo. Masih pagi juga."

Velly merinding mendengar dirinya dipanggil seperti itu. Tapi, masalahnya adalah panggilan itu bukan sekadar godaan Ella, melainkan memang panggilan dirinya di PAUD Bunda Pengasih. Mau bukti? Lihat saja anak-anak berseragam yang terlihat imut-imut itu. Mereka tampak berlari dengan bersemangat ketika berseru.

"Bunda Velly!"

"Bunda Ella!"

"Bunda! Bunda!"

Argh!

Bisa dibayangkan? Cewek seperti Velly, yang sifatnya jauh dari kata lembut dan cenderung suka memanjat pohon, ditambah lagi dengan darah turunan mantan jawara kampung di tubuhnya, eh ... justru jadi guru PAUD?

Astaga, Tuhan!

Velly meringis di dalam hati.

Kok Tuhan bercandanya nggak tanggung-tanggung sih?

Hiks.

Karena jelas ya kalau ada orang menganggap pekerjaan sebagai guru PAUD atau TK itu mudah, maka itu tentu salah besar. Profesi mereka selain menuntut kecerdasan secara intelektual, juga membutuhkan kecerdasan secara emosional. Memang berinteraksi dengan anak-anak kecil itu menyenangkan. Tapi, bukan berarti tanpa risiko. Hihihihi.

Mau tau salah satu risikonya? Ehm ... seperti siang itu, ketika semua murid sudah dijemput oleh orang tua dan walinya, ada seorang bocah tampan yang merengek pada Velly.

"Bunda .... Bunda ... Cawat kecelakaan."

Maka paniklah Velly. Bukannya apa, tapi melihat orang tua menjemput anaknya dalam keadaan menangis, itu benar-benar mengerikan untuk Velly. Semacam khawatir kalau dirinya yang dituduh menjewer anak mereka.

Velly berusaha menenangkannya. "Cawat mana ...." Velly melihat pada nama yang terpampang di seragam bocah itu. "Danish?"

Danish tampak cemberut. Menunjuk ke atas pohon. "Cawat nyangkut, Bunda. Kecelakaan."

Velly lantas mengangkat wajahnya. Melihat ke arah yang ditunjuk oleh Danish. Sedikit menyipitkan matanya, ia akhirnya menemukan satu pesawat kertas yang tersangkut di antara ranting pohon jambu biji yang rimbun itu.

"Bunda," rengek Danish lagi. Kali ini tangannya mengguncang-guncang Velly. "Cawat, Bun."

Velly meneguk ludah.

Cawat cawat.

Aduh si Cawat.

Cawat siapa sih yang copot?

Terbang nggak isinya?

Velly mengembuskan napas panjang. Berusaha menyingkirkan istilah cawat dari dalam benaknya. Kembali fokus pada Danish.

"Danish jangan nangis ya?"

Velly mengusap air mata bocah itu.

"Kalau nggak nangis, Bunda ambilin deh cawatnya."

Mata Danish mengerjap-ngerjap. Lalu mengangguk. "Nggak nangis lagi, Bun. Ambilin ya?"

Velly tersenyum. Tampak membelai kepala Danish beberapa kali. Barulah ia mengangguk.

"Danish tunggu bentar ya."

Beranjak mendekati pohon jambu biji itu, Velly tampak merenggangkan tangan dan lehernya beberapa kali.

"Ehm ... udah berapa lama kamu nggak manjat, Vel? Ck. Kayaknya bakat alam ini emang ada gunanya ya?"

Melepaskan sepasang sepatu kets yang ia kenakan –Velly tidak ingin mengambil risiko kakinya terkilir ketika harus mengejar anak-anak yang kadang berulah-, cewek itu pun memegang pohon jambu itu. Mungkin seperti sentuhan pertama untuk mengetahui medan yang akan ia panjat. Hihihihi.

Sejurus kemudian, Danish melihat bagaimana Velly yang tidak lagi menginjak tanah. Membuat bocah berumur lima tahun itu melongo kagum.

"Wah! Bunda hebat!"

Di atas pohon, Velly cengar-cengir.

"Perasaan baru kali ini deh ada yang muji kehebatan aku dalam memanjat. Hahahahaha."

Kaki Velly naik lagi. Berpindah pada cabang lainnya. Berusaha untuk semakin naik demi mencapai pesawat kertas yang tersangkut itu. Dan ketika itulah, telinga Velly mendengar suara deru motor. Diikuti oleh seruan Danish.

"Bunda! Cepet! Oom udah datang."

Eh?

Oom?

Velly berusaha melihat ke bawah, tapi terhalang oleh cabang dan juga dedaunan. Yang pasti ia membalas perkataan Danish.

"Bentar, Sayang. Ini bentar lagi cawatnya dapat kok."

Dan selagi Velly masih berusaha semakin naik, di bawa sana terdengar satu suara yang membuat Velly justru tertegun.

"Dan? Kok di sini? Bu Guru Danish mana?"

Velly mengerutkan dahinya. Merasa familiar dengan suara itu. Tapi, ia tak yakin juga sih.

"Bunda?" tanya Danish.

"Iya. Bunda Velly mana?"

Sekarang mata Velly melotot.

"Bunda Velly manjat, Om," kata Danish seraya mengangkat tangannya, menunjuk. "Ambil cawat."

"Ambil cawat?"

Danish angguk-angguk kepala. Dan setelahnya, terdengarlah satu seruan yang membuat Velly membeku di atas pohon sana.

"Velly! Astaga! Kamu manjat pohon?"

Velly celingak-celinguk. Mencoba memastikan dugaannya. Tapi, astaga!

Dia nggak pernah ngomong kalau ada keponakan dia yang masuk PAUD ini.

Dan aku juga nggak pernah ngurus pendaftaran murid.

Mana aku tau orang tua murid ini siapa aja.

Lagipula ... sepanjang yang Velly ingat, Danish selalu dijemput oleh pengasuhnya. Tapi, ingin menampik pun bagaimana. Karena jelas, tidak akan ada orang lain yang akan berkata seperti ini pada dirinya.

"Kamu ini cewek, masa manjat pohon jambu biji sih?"

Sudahlah!

Tidak akan salah menduga lagi.

"I-i-itu kamu, Ki?"

Pada akhirnya Velly memberanikan diri untuk bertanya. Sambil terus berusaha untuk mampu melihat ke bawah sana. Setidaknya ia ingin memastikan bahwa orang itu adalah Reki.

"Ki ...."

Velly berpegang seraya beringsut sedikit. Masih celingak-celinguk, tapi astaga!

Ketika mata Velly bertemu dengan mata Reki di bawah sana, sontak saja kebahagiaan menyeruak di dadanya.

"Reki, kamu balik juga!"

"Ya ampun, Vel. Turun sini."

"Iya iya. Aku turun. Tapi, cawatnya."

"Cawat cawat. Ini aku pake cawat."

"Hahahahaha."

"Buruan turun!"

Velly mengangguk. Tak lagi memedulikan pesawat. Yang ada sekarang adalah ia ingin turun secepat mungkin. Ia sudah terlalu rindu dengan pacar ... ehm ... tujuh tahunnya itu.

"Ups!"

Mata Reki membesar. Melihat bagaimana di atas sana tubuh Velly tampak limbung.

"Vel .... Vel ...."

Velly berusaha menggapai satu cabang di atas kepalanya. Tapi, tingginya yang tidak mendukung, membuat ia gagal. Hingga di detik selanjutnya, cabang tempat Velly berpijak, mengeluarkan bunyi yang mengerikan.

"Kreee ... kkk."

"Ki!!!"

Velly memejamkan matanya. Tak bisa menolak ketika gaya gravitas berperan dalam menarik tubuhnya untuk terjatuh. Melewati cabang dan dedaunan. Dan Reki, yang memang sudah melihat tanda-tanda bahwa Velly akan jatuh, dengan sigap bergerak. Berusaha untuk meraih tubuh itu. Tapi, tak urung juga membuat ia terjungkang ke belakang.

"Braaakkk!"

Reki memejamkan matanya. "Astaga, Tuhan ...."

"Aaah ...."

Danish mengerjap-ngerjapkan matanya yang sempat ia tutup lantaran takut melihat Velly yang jatuh. Dan ketika ia membuka mata, ia mendapati bagaimana Reki yang jatuh tertelentang sementara ada Velly di atasnya. Keduanya tampak menghancurkan tanaman semak yang berada di dekat pagar.

Velly sedikit bangkit dari tubuh Reki. "Ka-kamu nggak apa-apa, Ki?"

Mengernyitkan dahi menahan rasa sakit, Reki pelan-pelan membuka mata. Bibirnya tampak mengerut sebelum ia menjitak dahi Velly sekilas.

"Sekali aja, Vel," kata Reki kemudian. "Sekali aja. Bisa nggak sih kita ketemunya dengan cara yang baik-baik?"

Di atas Reki, Velly tertawa.

"Kenapa harus pake insiden kayak gini terus sih?" tanya Reki.

Beberapa saat, Velly tidak mengomentari keluhan Reki. Alih-alih, ia justru tampak mengganti tawanya menjadi senyum yang lebar. Hingga sejurus kemudian membuat ocehan Reki berhenti. Berganti dengan tatapannya yang menyorotkan rasa rindu pada gadis itu.

"Aku kangen loh, Ki ...."

Ucapan itu jelas bukan hanya menyentuh indra pendengaran Reki. Melainkan juga pada hatinya. Karena jelas, Reki lantas tertegun karenanya.

Tangan Reki lantas naik. Tampak membawa rambut Velly yang terjatuh ke balik daun telinga gadis itu. Dan ... sungguh! Dibandingkan dengan Dora yang menggemaskan dengan rambut pendeknya, ternyata ada Barbie yang memesona dengan rambut panjangnya.

Walau jelas, Velly memang tidak tinggi semampai. Hihihihi.

Reki tersenyum. "Aku juga kangen---"

"Bunda .... Om ...."

O oh!

Sepertinya baik Reki mau pun Velly nyaris melupakan bahwa ada bocah lima tahun yang bernama Danish berada di dekat mereka. Sontak saja membuat keduanya malu. Tapi, ajaib. Layaknya anak kecil yang tak tau apa-apa, Danish justru bertanya.

"Cawat?"

Raki dan Velly kemudian saling pandang. Diam untuk beberapa detik. Hingga kemudian mereka pun tertawa terbahak-bahak.

Ah!

Dasar deh!

*

*Tamat*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top