55. Yang Tak Terduga

"Tempatnya lumayan juga sih sebenarnya."

Velly memberikan komentar ketika ia melihat Eshika yang baru keluar dari toilet. Cewek itu tampak menukar pakaiannya dengan yang lebih nyaman. Dan membenarkan perkataan Velly, Eshika tampak mengangguk.

"Iya sih. Suasananya juga se---"

"Kreeek!"

Pintu kamar yang terbuka mendadak membuat perkataan Eshika putus di tengah jalan. Alih-alih melanjutkan ucapannya, Eshika dan Velly lantas kompak melihat ke ambang pintu. Di mana teman-teman mereka menghambur masuk. Membuat keduanya saling bertukar pandang dengan heran. Tak mengerti dengan apa yang terjadi. Terutama Velly yang langsung mengernyit seraya berseru saat Eshika seakan dibawa paksa keluar dari kamar.

"Woy! Eshika mau dibawa ke mana? Kok kayak yang mau diarak keliling kampung sih?"

Cewek-cewek itu tertawa-tawa.

"Kalau mau tau, ayoh ikut, Vel."

"Buruan deh."

Eshika melihat mereka satu persatu. "Ini ada apa sih?" tanyanya saat mereka menuruni anak tangga satu persatu.

"Ssst ..."

"Ntar kamu bakal tau kok."

"Sabar, Esh, sabar."

"Cewek sabar bakal dapat pacar."

Eshika bergidik ngeri. "Eh? Maksudnya?"

Cewek-cewek itu kembali terkikik geli. Terus menuntun Eshika untuk terus berjalan. Sedangkan Velly dengan tubuh mungilnya berusaha sekuat tenaga untuk bisa mengikuti langkah mereka.

"Ki-ki-kita mau ngapain ke sini?"

Velly mendengar suara Eshika yang bertanya. Dan itu membuat ia mencoba melihat ke depan. Di antara tubuh tinggi teman-temannya. Lantas, matanya melotot.

Kolam renang?

Yang benar aja.

Velly berusaha berjalan. Berupaya untuk menghampiri Eshika, tapi astaga. Ia nyaris seperti tidak berdaya di antara teman sekelasnya yang jelas lebih tinggi dari dirinya.

"Rahasia."

"Hai, Esh .... Selamat ulang tahun ya."

Velly yang semula berniat akan menyelinap, berhenti. Menajamkan telinganya dan bisa menebak bahwa itu adalah suara Alex.

"Ehm ..., Lex .... Ini ... ini apa ya?"

"Ini kejutan buat kamu, Esh. Yah ... sebagai ungkapan perasaan aku juga sih."

Dan mendengar itu, sontak saja Velly yang masih berada di belakang kerumbunan orang-orang mendelik.

Gawat!

Eshika kena tembak di hadapan orang banyak.

Ya ampun.

Ini gimana aku mau nyelamatin dia coba?

Ya Tuhan.

Segini ngenesnya jadi cewek kurang tinggi.

Velly berusaha untuk menarik perhatian orang-orang di sana. Tapi, ia benar-benar nyaris tak terlihat. Boro-boro terlihat, lagi dia mengangkat tangan saja masih kalah tinggi dengan Tere yang berdiri bak Putri Indonesia di depan.

"Kamu kan tau aku suka kamu dari dulu, Esh."

Ampun dah!

Ah, Reki!

Velly terpikir untuk menghubungi Reki, tapi astaga! Saking paniknya tadi, ia lupa untuk membawa ponselnya.

Argh!

Dan di saat seperti itu, ketika Velly bingung harus melakukan apa, mendadak saja telinganya mendengar bunyi yang membuat darahnya seperti berhenti mengalir.

"BYUUURRR!!!"

Ya Tuhan.

Memang bukan dirinya yang dijeburkan ke kolam renang, tapi Velly berani bersumpah. Tubuhnya mendingin. Hingga membuat cewek itu mendorong teman-teman yang menghalangi jalannya. Tak peduli mereka yang kompak mendesiskan marah pada gadis itu, Velly berteriak.

"Eshika nggak bisa berenang!"

Suara Velly sontak menarik perhatian Alex. Mata cowok itu tampak melotot seketika. "Kamu kenapa nggak ngasih tau aku?!"

Velly menggeram. Melihat Alex dengan segera menarik turun resleting jaket yang ia kenakan. Bersiap untuk terjun, tapi didahului oleh seseorang yang lebih cepat darinya.

"Tama ...."

Teman-temannya mendesiskan nama cowok itu bersamaan. Membuat bisik-bisik terdengar ketika Tama berusaha untuk menolong Eshika. Tanpa aba-aba langsung terjun ke dalam kolam renang itu. Dan tak butuh waktu lama, Tama meraih tubuh Eshika. Dengan cepat menggendong tubuh gadis itu keluar dari sana.

Tama menggertakkan rahangnya. Melihat bagaimana Eshika yang tak bergerak di gendongannya.

Cowok itu langsung membaringkan Eshika di tepi kolam renang. Menepuk-nepuk pelan pipi Eshika dengan panik.

"Esh .... Bangun, Esh ..."

Tapi, Eshika benar-benar bergeming. Seolah suara Tama tak mencapai indra pendengarannya.

"Eshika!" seru Alex mendekat.

Tapi, sebelum cowok itu berhasil mendekati Eshika dan Tama, mendadak saja Reki datang menghadang. Reki tak mengatakan apa-apa, tapi ia benar-benar membuat Alex terdiam di tempatnya.

Semua kejadian itu berlangsung dengan teramat cepat. Hingga Velly sendiri tidak tau kapan tepatnya ia duduk di dekat tubuh Eshika yang terbaring. Melihat bagaimana Tama yang langsung mengambil tindakan CPR (Cardiopulmonary Resuscitation atau resutasi jantung paru). Kedua telapak tangan cowok itu menekan dadá Eshika.

Ketika tangannya mulai menekan, bibir Tama pun mulai menghitung. "Satu. Dua. Tiga. Empat."

Dan semua orang di sana serta merta hening. Sedangkan Velly tampak matanya mulai berkaca-kaca.

"Tam .... Eshika, Tam."

Tapi, Tama tak menghiraukan isakan Velly. Ia tetap menekan dadá Eshika. Tetap menghitung. "Dua puluh delapan. Dua puluh sembilan. Tiga puluh."

Tama mengambil jeda. Ia menurunkan kepalanya. Kembali mengarahkan telinganya ke hidung Eshika. Tapi, tetap tidak terasa hembusan napas yang ia harapkan.

Frustrasi, Tama kembali melakukan CPR. Hingga kemudian ia mendengar suara Reki yang berkata padanya.

"Empat menit, Tam."

Dan suara Reki membuat Velly menutup mulutnya. Pandangannya mulai kabur dan rasa takut itu membuat ia gemetaran.

"Please, Esh. Jangan gini. Jangan buat aku takut."

Tama meneguk ludahnya. Lalu ia mengangkat dagu Eshika, membuka mulutnya dan memincit hidungnya. Cowok itu menarik udara dalam-dalam. Mulutnya terarah pada mulut Eshika.

Di saat itu, nyatanya masih ada beberapa orang cewek yang terkesiap tak percaya melihat Tama yang berani mengambil tindakan seberani itu.

Mulut Tama menyentuh mulut Eshika yang membuka. Memberikan udara miliknya. Berulang kali.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

Eshika terbatuk-batuk. Lalu terdengar gadis itu menghirup napas dalam-dalam dengan suara yang begitu nyaring. Seolah benar-benar merindukan udara.

Mata Eshika terbuka. Berputar-putar tak fokus hingga kemudian ia melihat Tama. Genangan air mata dengan segera memenuhi kelopak mata gadis itu.

"Tam .... Di sana ada Papi, Tam ..." Eshika kembali menarik napas dengan mulut terbuka. "Aku nggak bisa napas, Tam."

Tama meraba wajah Eshika. Mata cowok itu pun memerah. Ia berusaha menenangkan Eshika. "Ssst ...."

"Kamu nolongin aku, Tam."

"Kamu udah nggak apa-apa, Esh," kata Tama dengan suara parau.

Cowok itu lantas membantu Eshika untuk bangkit duduk. Di saat itu, Velly serta merta memeluk Eshika. Menangis lega karena akhirnya Eshika sadar juga.

"Eshika ..., aku minta maaf. Aku nggak tau kalau kamu nggak bisa berenang."

Velly menatap Alex dengan beruraian air mata. "Kamu gila, Lex. Tama udah bilang di kelas. Eshika itu alergi dingin. Malah kamu jeburin dia ke kolam! Ini di Puncak! Kamu beneran nggak ngotak!"

Alex antara malu, cemas, dan semuanya menjadi satu.

Sedang Eshika menatap Alex dengan tatapan nanar. Membuat cowok itu menerka-nerka, apa yang dipikirkan Eshika saat ini terhadap dirinya.

"Esh ..., aku ..."

Tama bangkit seketika. Mendorong tubuh Alex dengan kedua tangannya. Mata cowok itu merah menyala. Rahangnya mengeras. Bahkan terdengar giginya yang bergemelatukan.

"Aku mau ngomong sama Eshika dulu, Tam. Kamu jangan ikut campur."

Tawa keluar dari mulut Tama. "Hahahaha. Apa kamu bilang? Jangan ikut campur?" tanya Tama seraya maju. "Udah aku bilang kemaren, Lex, dengan bahasa manusia yang aku tau."

Alex membalas tatapan Tama. Sementara taman-teman di sekeliling mereka terdiam membisu.

"Sentuh Eshika dikit aja, beneran aku abisin kamu, Lex."

Alex tidak sempat berkedip lagi ketika Tama sudah melayangkan tinjunya dan mendarat dengan telak di rahang kirinya.

"Bruuukkk!"

Alex serta merta tersungkur.

Jeritan panik cewek-cewek keluar. Membuat para cowok bertindak. Bergerak bersiap untuk menarik Tama. Tapi, mendadak saja Reki merentangkan tangannya.

"Biar adil. Satu lawan satu. Mau ngeroyok Tama?" tanya Reki dengan sengit.

"Eh, Ki! Yang mau ngeroyok Tama siapa?"

"Itu orang berantem harus dilerai!"

Reki melirik ke balik bahunya. "Sehari ini aku udah coba ngajarin Alex pake bahasa manusia, tapi dia kayaknya tolol banget. Ya udah, sekali-kali biar Tama aja yang ngajarin pake hukum rimba."

"Gila kamu ya!"

"Kalian yang gila! Udah dibilang Eshika itu alergi dingin!" bentak Velly. "Kalau Eshika sampai kenapa-napa, kalian semua mau tanggung jawab?!"

Mereka semua terdiam.

Sementara itu, Alex berusaha untuk bangkit. Tapi, ketika ia bangkit Tama justru telah berada di hadapannya.

Tama langsung meraih kerah jaket cowok itu. Kemurkaan benar-benar terpancar dari wajah Tama. Urat bertonjolan di dahinya. Seakan-akan ingin meledak karena amarah yang begitu menggelegak.

Tinju Tama kembali melayang. Kali ini mendarat di perut Alex.

"Argh!"

"Ini untuk kamu yang berusaha ngapa-ngapain dia di bioskop."

Alex terkejut, tapi ia dengan cepat berusaha untuk membalas serangan Tama. Cowok itu ingin membalas tinju Tama, tapi Tama dengan tangkas menangkap tinju tersebut. Mencengkeram dengan begitu kuat. Lalu memutir tangan itu hingga Alex merintih sakit.

"Dan ini untuk kebodohan kamu hari ini."

Bersamaan dengan itu, Tama mengangkat lututnya. Menghantam perut Alex sebanyak dua kali. Dan akibatnya Alex benar-benar tersungkur ke bawah. Memegangi perutnya.

Tama bersiap mengangkat kakinya lagi, masih belum puas untuk menumpahkan emosinya, tapi Eshika memanggil namanya.

"Tam ...."

Kaki Tama berhenti bergerak. Ia menoleh. Melihat gadis itu menatap dirinya dengan begitu sayu. Membuat Tama bergegas menghampirinya. Dan tepat setelahnya, Reki menarik diri. Membiarkan Bima yang langsung melihat keadaan Alex. Ujung bibir cowok itu berdarah. Begitupun dengan hidungnya. Sepertinya hidung cowok itu patah. Membuat Bima geleng-geleng kepala. Tak percaya bahwa Tama benar-benar menghajar Alex sedemikian rupa.

Tangan Tama terulur. Merapikan rambut Eshika yang basah dan berantakan. Gadis itu terlihat menggigil.

"Maaf, Esh. Aku lama datang," lirih Tama. Amarahnya telah menghilang, tergantikan oleh kepanikan akan keadaan gadis itu. "Dingin ya?"

Eshika mengangguk.

"Kita ke atas."

Seolah tak menghiraukan orang-orang di sana, Tama dengan segera menggendong tubuh Eshika. Gadis itu mengalungkan kedua tangannya di leher Tama. Tapi, sebelum Tama melangkah, ia berkata pada Velly.

"Vel, tolongin Eshika."

Velly menghapus air matanya. Mengangguk dan langsung mengikuti langkah kaki Tama. Meninggalkan tempat itu yang serta merta menjadi hening.

Di kamar, Tama segera membawa Eshika ke kamar mandi. Mendudukkan gadis itu di kloset. Membuka jaket gadis itu. Lalu ia menoleh pada Velly.

"Tolong bantuin Eshika beres-beres ya. Ntar aku jemput lagi ke sini."

Velly mengerjap. Bingung, tapi penjelasan Tama kemudian membuat ia mengerti. Tama akan mengajak Eshika pergi dari sana. Dan menurut Velly, itu memang adalah pilihan yang baik.

"Alex itu beneran keterlaluan sama kamu, Esh."

Kedua tangan Velly tampak memeriksa tubuh Eshika. Meyakinkan diri bahwa sahabatnya itu tidak terluka.

Dua puluh menit kemudian, Tama menarik kedua travel bag miliknya dan Eshika. Mereka menuruni tangga diiringi oleh Velly dan Reki.

Tepat seperti dugaan Velly sebelumnya, Bima dan beberapa orang temannya berusaha untuk mencegah kepergian Eshika dan Tama. Tapi, sama seperti dugaan Velly yang lainnya pula. Eshika dan Tama tidak dapat dicegah. Pada akhirnya, kedua orang temannya itu pun pergi entah ke mana. Velly tidak tau. Mungkin langsung pulang atau justru mencari penginapan.

Ketika Tama melajukan mobilnya untuk meninggalkan pelataran villa itu, hampir semua orang melihat kepergian mereka di ambang pintu. Membuat bisik-bisik terdengar.

"Ya nggak salah Tama juga sih sebenarnya. Kalau ada apa-apa sama Eshika ya otomatis yang dicari duluan ya dia."

"Tapi, kan kita sama nggak tau kalau Eshika segitunya nggak bisa berenang."

Dan mendengar itu, Velly memutar tubuhnya. Tangannya bersedekap ketika berbicara dengan suara yang cukup lantang untuk ukuran cewek sekecil dirinya.

"Ya ... ada gitu loh yang ngakunya suka sama Eshika, tapi hal semacam apa yang nggak bisa Eshika lakukan aja nggak tau. Herman deh. Selama ini suka yang diperhatiin apa? Jumlah jerawat di muka dia?"

Perkataan Velly membuat wajah Alex merah padam. Oh, jelas sekali dong cewek itu tengah menyindir dirinya.

"Vel ...," lirih Bima lelah. Terlihat sekali kejadian itu membuat ketua kelas itu menjadi frustrasi. "Udah dong. Kan nggak sengaja."

Velly mendelik. "Iya. Ntar kalau ditanyain Malaikat pas di kubur, bilang aja nggak sengaja," rutuk gadis itu. "Yang rencananya mau happy-happy, malah hampir ngebuat Eshika mati."

Mungkin Velly akan terus mengoceh panjang lebar, bagaimana pun juga wanita memang lebih emosional. Ingatan Eshika yang tak bernapas beberapa saat tadi masih membayang-bayang di benak Velly. Membuat ia ketakutan. Lalu, ia merasakan tangannya di genggam seseorang.

Reki menariknya.

"Kita jalan aja yuk? Nyari makan di luar."

Velly mengerjap. Tak bisa menolak ketika Reki benar-benar mengajak dirinya pergi dari sana.

*

Sekitar tiga puluh menit membaur di jalanan, Reki melirik pada Velly yang terus duduk termenung. Pandangannya tampak kosong melihat keluar. Dan Reki tau, gadis itu sebenarnya masih syok dengan kejadian yang menimpa sahabatnya tadi. Yang sejujurnya, Reki yang cowok pun merasakan ketakutan. Apalagi gadis seperti Velly?

"Ehm ....Vel?"

Suara Reki membuat Velly mengerjapkan matanya sekali. Lalu seperti orang linglung, ia menoleh pada cowok itu.

"Ki?"

Reki mengembuskan napas sekilas. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya kemudian.

"I-i-iya," jawab Velly terbata. "A-aku ... cuma kepikiran Eshika."

"Aku yakin Eshika baik-baik aja. Ada Tama kok."

"Aaah ...."

Sepertinya Velly nyaris melupakan hal itu. Dan ia pun mengangguk. Membenarkan perkataan Reki.

"Iya. Tama pasti bakal jagain Eshika."

Senyum membentuk di wajah Reki. "Jadi, kamu nggak perlu khawatir lagi. Daripada itu, mendingan sekarang kamu bilangin ke aku deh." Mata Reki melirik. "Kamu mau makan apa?"

"Ough ...."

Tepat setelah Reki menanyakan hal itu, entah mengapa perut Velly langsung merespon. Memberikan satu gemuruh yang membuat ia sadar bahwa ia belum makan makanan berat sejak siang tadi. Dan itu lantaran kenyang makan camilan sehingga ia melewatkan makan siangnya.

Reki tersenyum geli. "Tuh kan. Kamu udah lapar. Ehm ... kamu mau nyoba makan sate kelinci?"

Meringis seraya memegang perutnya, Velly tampak pasrah. "Apa pun deh, Ki. Pasti bakal aku makan."

"Hahahahaha."

Sepanjang perjalanan, mata Reki dengan awas melihat ke pinggir jalan. Mencoba mencari restoran sate kelinci. Dan untunglah, tak lama kemudian, Reki menemukan satu restoran sate kelinci yang menarik perhatiannya.

Velly dan Reki turun dari mobil. Masuk ke restoran dengan konsep bangunan semi permanen itu. Memilih satu meja yang letaknya nyaris di dekat jendela.

Seorang pelayan datang dan menerima pesanan mereka berdua.

"Sate kelincinya aja dua porsi, Mas," kata Reki. "Sama bandreknya."

"Baik, Mas."

Sejurus kemudian, pelayan itu pun beranjak. Meninggalkan Reki dan Velly berdua saja. Dan itu tentu saja membuat mereka tampak salah tingkah. Mungkin memang, ini bukan pertama kalinya mereka makan bersama. Tapi, makan malam berdua di Puncak?

"Ehm!"

Reki mendehem dengan canggung. Tampak mengusap-usapkan kedua tangannya berulang kali. Mungkin untuk mengusir dingin. Atau mungkin untuk mengusir rasa gugup. Yang pasti, kemudian ia berkata.

"Aku ke toilet bentar, Vel."

Mata Velly berkedip sekali. Tak mengatakan apa-apa, selain menganggukkan kepalanya. Lantas, Reki pun beranjak.

Di toilet, terlepas dari kebenaran bahwa cowok itu memenuhi panggilan alamnya, itu juga Reki lakukan demi bisa membasuh wajahnya sejenak.

"Kali aja kalau abis kena air, aku jadi normal lagi."

Reki mengembuskan napas panjang.

"Tapi, sumpah," katanya lagi. "Kok aku jadi berasa gugup gini ya? Ah! Malu-maluin aja kamu, Ki.

Membutuhkan waktu sekitar lima menit untuk Reki mengatur laju napas dan kondisi perasaannya. Lalu, barulah ia keluar dari toilet.

Langsung menuju ke meja mereka, dari kejauhan Reki bisa melihat Velly yang mengangkat ponselnya di depan wajah. Cewek itu terlihat sedang bicara.

Dia lagi video call dengan Eshika?

Nanyain keadaan cewek itu?

Memikirkan hal itu, Reki sama sekali tidak memiliki kemungkinan lainnya. Dan hal itulah yang membuat ia sontak bingung ketika langkah kakinya mencapai meja dan Velly tampak melambai padanya seraya berkata.

"Sayang, sini deh. Ada yang mau ngomong sama kamu."

Bengong, Reki justru terdiam di tempatnya berdiri. Alih-alih duduk, cowok itu justru tampak celingak-celinguk melihat ke kanan dan ke kiri berulang kali.

Eh?

Sayang mana ini yang dipanggil Velly?

Dan di saat ia masih bingung dengan situasi saat itu, eh ... Velly justru membuat ia semakin melongo.

"Reki Sayang, sini dong."

Lantas Reki hanya bila merespon seperti ini.

"Hah?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top