54. Dua Gantungan
Ketika Velly mendapati pintu kamarnya terketuk pagi itu, ia sudah bisa menduga itu lantaran Reki yang sudah tiba di rumahnya. Dan dugaannya ... benar.
Adalah Ria yang berkata seraya melongokkan kepalanya di antara celah pintu itu kamar sang kakak.
"Kak, di luar ada Kak Reki jemput."
Velly buru-buru menarik napas panjang. Aneh, tapi sekarang mendadak saja ia merasa gugup. Bahkan saking gugupnya, telapak tangannya pun jadi basah gara-gara keringat.
"Oh," lirih Velly. "Bilangin ke dia, tunggu bentar. Suruh dia duduk dulu atau apa gitu."
Ria tampak angguk-angguk kepala. "Tenang aja. Kak Reki udah ngobrol sama Papa kok di teras."
"Ngo-ngo-ngobrol?" tanya Velly kaku dengan ekspresi horor.
"Hehehehehe. Ya gitulah, Kak. Mungkin Papa lagi ngasih beberapa ancaman ke Kak Reki."
Glek.
Velly meneguk ludah. Menyadari bahwa perkataan Ria bisa saja terjadi. Karena walaupun Bandi tampak senang dengan Reki, tapi pasti pria paruh baya itu tetap waspada. Tak mengherankan bila sang ayah sampai memberikan beberapa wejangan pada cowok itu.
Memikirkan itu, lantas buru-buru saja Velly menarik travel bag-nya. Keluar dari kamar secepat mungkin dan langsung menuju ke teras rumahnya.
"Reki ...."
Melewati ambang pintu, Velly langsung memanggil cowok itu. Sontak membuat obrolan Reki dan Bandi berhenti di tengah jalan. Reki tampak mengerjapkan matanya.
"Udah siap?"
Velly mengangguk. "Kamu udah sarapan?" tanyanya. "Kalau belum, sarapan dulu aja."
"Nah iya. Nanti kamu malah masuk angin lagi di jalan, Ki," kata Bandi. "Sarapan dulu gih."
"Kebetulan udah sarapan kok, Om," kata Reki. "Gimana, Vel? Sekarang?"
"Bentar. Aku pamitan dulu."
Velly kembali beranjak. Bermaksud untuk berpamitan pada Rahayu, tapi ternyata justru semua anggota keluarganya keluar. Pada akhirnya, layaknya anak yang akan pergi merantau, Velly dan Reki beriringan berpamitan dengan Bandi, Rahayu, Ria, Della, dan juga Mesya. Hihihihihi.
Dan ketika akhirnya mobil yang dikendarai Reki melaju meninggalkan rumah Velly, keduanya kompak mengembuskan napas lega. Menyadari itu, mau tak mau lantas mereka tertawa bersama.
"Hahahahaha." Velly geleng-geleng kepala. "Papa pasti ngomong panjang lebar tadi ya?"
Menghentikan tawanya, Reki tidak akan menampik kenyataan yang satu itu.
"Pertama Om nanya SIM aku," jawab Reki. "Aku beneran sampe ngeluarin SIM aku coba. Hahahahaha."
"Terus?" tanya Velly lagi.
Masih berusaha menyatu dengan ritme mobil, Reki lantas menjawab dengan senyum geli. "Selanjutnya baru deh petuah-petuah andalan Om keluar semua."
"Apa aja yang diomongin Papa ke kamu?"
Reki menoleh sekilas. Menangkap ekspresi ingin tau di wajah Velly, tapi juga sedikit tercampur oleh raut tak enak. Maka Reki pun tersenyum.
"Ya ... yang biasa diomongin ayah kalau ada cowok mau bawa anaknya," kata Reki menyeringai. "Hati-hati di jalan, dijaga baik-baik, dan balik nggak kurang satu apa pun."
Walau jelas, ketika Bandi mengatakan itu, ekspresinya tidak sesantai ketika Reki yang mengatakannya. Velly tau.
"Namanya juga orang tua," kata Reki kemudian.
Ketika Reki dan Velly tiba di kawasan sekolah, kedua orang remaja itu merasa beruntung sekali karena mengendarai mobil. Karena bukannya apa, keduanya lelah kalau harus terus menerus terkena ledekan Mulyo. Hehehehehe.
Mengambil tempat yang sedikit lapang, Reki memarkirkan mobilnya di seberang lapangan basket. Melihat-lihat dan Reki menyadari bahwa mobil Tama belum ada. Hal yang juga disadari oleh Velly.
"Tama dan Eshika belum datang ya, Ki?"
Reki celingak-celinguk. "Kayaknya sih belum," jawabnya. "Mungkin bentaran lagi mereka pada sampe."
Velly mengangguk. Seraya matanya yang terus melihat ke arah gerbang sekolah, berharap bahwa Eshika dan Tama akan segera datang. Dan itu bukanlah harapan dirinya seorang. Karena pada kenyataannya, semua teman-temannya juga tengah menunggu kedatangan dua orang remaja itu.
"Aduh. Kok belum datang ya?" keluh Velly. "Mereka nggak mungkin lupa kan?"
Reki pun tak tau harus menjawab pertanyaan Velly seperti apa. Terutama karena sejurus kemudian, ponselnya mendadak saja gaduh oleh pesan di grup kelas. Semua teman menanyakan keberadaan Eshika dan juga Tama.
[ Tam? ]
[ Tama? ]
[ Esh .... ]
[ Eshika? ]
[ Halo? ]
[ Ada orang di sana? ]
[ Masih bernyawa kan? Hahahaha. ]
[ Ini anak berdua di mana sih? ]
[ Nggak nyasar jalan ke sekolah kan ya? ]
[ Atau mereka berdua langsung ke Puncak? ]
[ Oiiii .... ]
[ Tam??? ]
[ Tama nggak lagi ngebunuh Eshika terus dikubur gitu kan ya? ]
[ Tam, kalau kamu nggak jadi pergi ya udah. Biar Eshika aku yang jemput. ]
Reki mengerutkan dahi. Bahkan sudut bibirnya tampak berkedut-kedut ketika melihat pesan Alex di sana.
"Bisa-bisanya dia mau nyari kesempatan kayak gini," gerutu Reki.
Dan Reki baru akan membalas pesan itu ketika matanya melihat pemberitahuan di atas layar. Tama sedang mengetik.
[ Sorry baru ngabarin. ]
[ Tadi ada something trouble gitu. ]
[ Aku sama Eshika nyusul aja ke Puncaknya. ]
[ Kami berangkat ntar siang.]
[ Tolong shareloc aja ya. ]
Setelahnya, Reki memutuskan untuk menyimak saja percakapan itu. Tidak ingin terlibat. Begitu pun dengan Velly di sebelahnya.
[ Alex ]
[ Trouble apa? ]
[ Kalau nggak bisa menjamin, mending Eshika sama aku aja. ]
Reki mengembuskan napas panjang melihat hal itu. Begitu pun dengan Velly yang terang-terangan terdengar melirih.
"Ehm .... Alex masih ngebet mau ngajak Eshika mah."
[ Bima. ]
[ Loh, Lex. Mobil kamu udah full empat orang lagi. ]
[ Alex. ]
[ Masuk Eshika masih muat kok. ]
[ Bima. ]
[ Tapi, tetap aja nggak nyaman kali, Lex. ]
[ Alex. ]
[ Ya udah. Kalau gitu Rima bisa pindah ke mobil Reki. ]
[ Kan dia cuma bawa Velly. ]
Membaca pesan itu, seketika saja membuat mata Reki membesar. Dengan cepat ia membalas pesan itu.
Hebat!
Mau nyuruh orang lain masuk ke mobil aku heh?
Nggak tau aku mau nyelesaikan urusan aku dengan Velly?
Asem ini cowok!
[ Reki. ]
[ Sembarangan nyuruh-nyuruh orang kamu, Lex. ]
[ Jadi cowok itu kalau bukan kemaluan ya omongan yang dipegang. ]
[ Kemaren udah fix mau bawa Rima eh malah ngelempar ke orang. ]
[ Kamu pikir gitu buat Eshika senang? ]
[ Yang ada dia malah nggak enak sama Rima kali. ]
[ Heri. ]
[ Astaga, Ki. ]
[ Omongan kamu itu. Hahahaha. Ini grup semua anak. ]
[ Bukan grup cowok aja. ]
Dan jujur saja, bukan hanya Heri yang kaget dengan balasan pesan itu. Melainkan Velly juga. Nyaris cewek itu yang terlonjak dari duduknya.
"Astaga, Ki. Ya kali kamu ngomong gitu."
Tapi, Reki yang sudah keburu tersulut lantaran kemungkinan ia akan ketambahan penumpang baru, mengabaikan Velly.
[ Parah ini Reki. ]
[ Hahahaha. ]
[ Sejak kapan coba ada pepatah kayak gitu, Ki? ]
[ Btw. Kalian sering bahas soal gituan ya di grup cowok? ]
[ Dasar otak mesum semua. ]
[ Itu artinya kami normal coba. ]
[ Tau orang yang nggak punya ketertarikan seksual? ]
[ Termasuk sindrom, Guys. ]
[ Kelainan. ]
[ Vel ..., hati-hati kamu sama Reki ya? ]
[ Hahahaha. ]
[ Reki itu tampang alimnya cuma menipu. ]
[ Lagian kan dia sohib sama Tama. ]
[ Sebelas dua belas dong Reki sama Tama. ]
[ Isi otaknya mah bisa dipastikan sama. ]
[ Sok jaga jarak tiga puluh sentimeter di jok motor itu cuma jebakan penarik simpatik cewek aja. ]
[ Aslinya mah nggak gitu. ]
Reki menarik napas dalam-dalam. Kembali membiarkan kedua ibu jarinya bergerak dengan lincah.
"Beneran ini cowok. Macem-macem, aku hajar juga ntar. Hobi banget nyuruh-nyuruh orang."
[ Reki. ]
[ Lagian ya itu Alex. ]
[ Ngotak nggak nyuruh cewek asal pindah-pindah aja? ]
[ Ya sebumi nusantara juga tau kalau kamu suka Eshika. ]
[ Tapi, nggak gini juga kali. ]
[ Alex. ]
[ Eh, Ki. Nggak usah nyolot kali ya. ]
[ Nyantai aja. ]
[ Reki. ]
[ Kamu tu, Lex. Nggak usah nyuruh-nyuruh orang kali ya. ]
[ Santai aja. ]
[ Berasa Tuan Besar gitu makanya mau sok nyuruh-nyuruh?]
[ Alex. ]
[ Eh. Yang nyuruh-nyuruh siapa? ]
[ Aku juga minta tolong. ]
[ Reki. ]
[ Panjat dulu deh. ]
[ Ada kata tolong? ]
[ Ini nih yang aku bilang. ]
[ Mending megang kemaluan aja kamu, Lex. Omongan kamu benar-benar nggak bisa dipegang. ]
[ Ya elah. Balik lagi ke sonoh. ]
[ Hahahaha.]
[ Lagian kamu sih, Lex. ]
[ Reki malah diajak bedebat. ]
[ Lomba debat tahun lalu dari tingkat kelurahan sampe provinsi kan dia sabet semua. ]
[ Reki. ]
[ Nah loh. Denger tuh. ]
[ Semacam mantan Ketos aja nggak ingat siapa tukang debat tahun lalu. ]
[ Bima. ]
[ Sabar oi sabar. ]
[ Semuanya nggak usah pake urat. ]
[ Yuhu. Telor aja sih enak. ]
[ Tapi, katanya yang tahu juga enak kok. ]
[ Masa? ]
[ Hahahaha.]
[ Reki. ]
[ Lagian ya. Mikir pake hukum phitagoras atau persamaan Newton juga nggak ketemu ini. ]
[ Logic nya di mana? Malah nyuruh Rima yang semobil sama aku? ]
[ Masuk akal kalau dia nyuruh Eshika yang semobil sama aku. ]
[ Orang Velly ada sama aku kok. ]
[ Alex. ]
[ Fine. Kalau gitu ya udah. Eshika sama kamu aja perginya, Ki.]
[ Jemput Eshika kini. ]
Mengerucutkan bibirnya, Reki pada akhirnya tidak mampu untuk berpikir tenang lagi. Kemungkinan untuk kehilangan empat jam waktu yang berharga untuk berduaan saja dengan Velly, membuat ia nekat membalas seperti ini.
[ Reki. ]
[ Ogah. Kan kemaren juga udah dibilang aku mau berduaan sama Velly. ]
Dan pesan itu, langsung saja membuat Velly memelototkan matanya. Kaget. Syok. Sontak menghadirkan rasa panas di pipinya.
"Reki!"
Tak hanya menyerukan nama cowok itu, bahkan saking kagetnya Velly tanpa sadar beranjak. Langsung mendaratkan pukulan demi pukulan yang membuat cowok itu turut kaget. Walau jelas, dengan alasan yang berbeda.
"Aduh, Vel. Sorry sorry. Aku kelepasan."
Mata Velly semakin membesar. "Kelepasan?"
[ Cie cie cie. ]
[ Ini Velly dari tadi kenapa nggak muncul coba di grup? ]
[ Aku ngeliat dari sini kok. ]
[ Itu Velly kayaknya lagi mukul-mukul manja si Reki.]
Di saat itu, lantas masuk kembali pesan dari Tama. Untunglah. Setidaknya itu membuat perhatian teman-teman pada Velly dan Reki bisa teralihkan.
[ Sorry ya buat heboh gini. ]
[ Tapi, ini ada urusan keluarga bentar si Eshika sama Maminya. Mendadak gitu. ]
[ Jadi, ya nggak bisa ditunda. ]
[ Tapi, tenang aja. ]
[ Untuk semua FANS aku dan Eshika, kami tetap bakal datang kok. ]
Membaca pesan itu, Reki pun langsung mengambil kesempatannya. Sebelum teman-temannya kembali ingat untuk meledek dirinya dan Velly.
[ Oke, kalau gitu mending kita langsung jalan deh. ]
[ Sebelum keburu macet. ]
Untunglah, perkataan Reki yang satu itu langsung disambut positif oleh teman-teman mereka. Hingga tak butuh waktu lama, mereka pun lantas beriringan keluar dari kawasan sekolah.
"Vel ...."
Velly yang tampak mulai nyaman seraya bersenandung kecil mendengar musik yang mengalun, berpaling.
"Ya?" tanya gadis itu. "Haus? Laper? Aku bawa lapis legit sih. Disiapin sama Mama tadi."
Dooong!
"Malah ngomongin lapis legit," gerutu Reki. "Aku bukan mau lapis legit."
"Terus mau apa?"
"Jawaban kamu."
"Reki! Astaga. Kamu ...."
Reki melirik. Bisa mendapati bagaimana ekspresi wajah cewek itu yang terlihat kaku dan jadi salah tingkah. Hingga membuat ia kembali mendesak.
"Nggak mau jawab?" tanya Reki. "Aku turunin di pinggir jalan loh ya?"
Mata Velly melotot. "Kamu---"
"Lagian kamu sih," potong Reki buru-buru. "Tega amat gantungin aku selama ini. Nggak berperasaan banget jadi cewek."
Velly menarik napas sejenak. Tampak ingin bicara, tapi urung. Ia hanya mencibir.
"Jangan desak aku, Ki. Salah-salah, jawabannya ntar malah keliru lagi."
Kali ini mata Reki yang melotot. "Wah! Bisa-bisanya kamu ya."
"Pokoknya," kata Velly memberi peringatan seraya mengangkat satu jari telunjuknya. "Jangan desak aku. Kalau kamu desak, aku pastikan bakal ngasih jawaban yang nggak bakal kamu suka."
Glek.
Mengatupkan bibirnya, mencibir, dan mendengkus kesal, Reki lantas memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Berusaha untuk fokus saja dengan jalanan di depannya. Ketimbang ia jadi oleng dan menabrak sesuatu kan? Bisa gawat dong.
Dan melihat Reki yang mendadak diam, Velly pun lantas membuka ranselnya. Ia bertanya.
"Jadi mau lapis legitnya nggak?"
"Ya mau."
Cepat sekali jawaban Reki terdengar. Nyaris tidak ada jeda setelah Velly bertanya. Mau tak mau membuat gadis itu tersenyum geli. Terutama karena selanjutnya Reki kembali berkata.
"Udahlah nggak dapat jawaban, eh ... masa iya aku nggak dapat lapis legit juga."
Kali ini, Velly benar-benar tak mampu menahan tawanya.
*
Ketika mereka pada akhirnya tiba di vila keluarga Alex, Reki segera menurunkan travel bag milik Velly. Semula, cowok itu berniat untuk langsung membawanya ke kamar, tapi Velly menolak. Meyakinkan Reki bahwa walau tubuhnya kecil, tapi tenaganya tak perlu diragukan lagi.
Well ....
Emang bener sih.
Dan mereka pun lantas berkumpul. Bercengkeram. Melakukan berbagai permainan ringan, hingga satu mobil yang familiar di mata Velly tampak datang. Eshika dan Tama datang. Maka langsung saja cewek itu menghambur. Menyambut kedatangan Eshika.
Adalah Tama yang kemudian bertanya pada Velly setelah mengeluarkan travel bag milik Eshika dan menyeretnya bersamaan dengan milik Eshika.
"Eshika tidur di mana, Vel?"
"Ya bareng aku dong," jawab Velly dengan mata yang sedikit menyipit melihat penampilan Tama. "Yuk, Esh. Kita ke kamar dulu."
Membiarkan Tama untuk membawa travel bag milik Eshika, Velly lantas menarik sahabatnya itu. Menaiki tangga, berbelok, kemudian mereka sampai di satu kamar yang menghadap ke pemandangan bukit-bukit kecil. Tama dengan segera meletakkan travel bag Eshika di sana.
"Esh, ini udah ya. Aku sama Reki dulu."
Eshika mengangguk. "Oke. Makasih."
"Ehm ...." Tama mendehem sejenak sebelum berkata. "Nanti kalau ada apa-apa, panggil aku cepet."
Malu-malu, Eshika mengangguk. Velly harus menunggu beberapa detik sebelum akhirnya Tama keluar dari sana dan menutup pintu hingga kemudian ia bisa memekik kecil.
"Aduh! Aku bisa ngerasain perbedaan aura di antara kalian," kikik Velly. "Itu yang dipake Tama, itu syal yang kamu buat kemaren?"
Eshika meraih travel bag-nya. Menariknya dan ia duduk di tepi tempat tidur. Gadis itu mengangguk kecil. "Iya."
"Cie ... langsung dipake dong!" jerit Velly senang. "Gimana gimana gimana? Reaksi Tama pas tau kamu ngasih dia itu gimana?"
Eshika mengulum senyum. Bola matanya berputar-putar malu. "Ya gitu deh. Hihihihi. Dia bilang suka."
"Terus terus terus? Masa itu doang?"
"Ehm ... dia juga bilang kalau itu pertama kali dia dapat hadiah buatan tangan. Ya jadinya dia seneng gitu."
Velly tidak bisa menahan pekikan histeris nan bahagianya. Hingga membuat Eshika memukul tangan temannya itu. Mendelik, tapi tidak benak-benar serius.
Berusaha untuk meredakan senyum di wajahnya, Eshika memindahkan topik pembicaraan.
"Terus kamu dan Reki tadi apa kabarnya coba?" tanya Eshika dengan tatapan menyelidik. Bahkan kedua tangannya bersedekap di depan dada. "Kalian lagi deket?"
Tawa Velly menghilang. Digantikan oleh gerutuan. "Deket apa sih? Kan tadi itu kami gitu biar kamu dan Tama bisa berduaan."
"Masa?"
"Eh, lagipula ya aku dan Reki nggak mungkin ada apa-apa. Terutama aku."
Eshika memutar bola matanya. "Bukannya kamu udah putus ya kemaren itu?"
"Bukan putus." Velly menarik napas dalam-dalam. "Kak Putra cuma butuh waktu buat penyesuaian bulan-bulan pertama kuliahnya."
"Ehm ... aku pikir kalian udah putus. Lagian dia udah lama nggak ngabarin kamu."
Velly menggeleng. "Masih kok. Orang dia belum ada mutusin aku."
Eshika manggut-manggut. "Oh ..."
Dan sementara Eshika yang kemudian tampak beranjak untuk melihat-lihat pemandangan di luar sana, Velly lantas iseng mengeluarkan ponselnya. Melihat pada satu pesan dengan nomor baru yang masuk beberapa hari yang lalu.
[ +62 852 xxxx xxxx ]
[ Vel, ini Kakak. ]
[ Maaf karena selama ini nggak balas pesan kamu. ]
[ Tapi, kamu nggak serius kan untuk yang kemaren? ]
Velly mengembuskan napasnya. Menyadari bahwa bukan hanya pesan itu yang lantas ia terima. Ada banyak pesan lainnya yang masuk. Dan itu berasal dari orang yang sama.
Putra.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top