52. Bayangan Hilal
Ketika bel tanda jam pelajaran terakhir berbunyi, Reki sontak menoleh ke depan. Pada Velly yang tampak membereskan perlengkapan sekolahnya.
Fyuh!
Tadi pagi ... sebenarnya Reki sempat meragukan kalau cewek itu akan masuk sekolah. Siapa yang tau kan? Bisa saja Velly bolos dan pura-pura masih diare. Tapi, untunglah. Ternyata gadis itu masuk. Hihihihihi.
Kayaknya ampuh deh omongan aku malam tadi.
Dia beneran nggak ngindarin aku.
Dan kalau masuknya Velly hari itu masih diragukan sebagi bentuk bahwa ia memang tidak dalam rangka untuk menghindari Reki, maka tentu saja perbincangan singkat mereka yang terjadi beberapa kali sepanjang hari bisa menjadi bukti. Ketika Reki menegurnya, Velly membalasnya. Ketika Reki menggodanya, Velly membalasnya. Dan ketika Reki mencomot jajanannya, Velly nyaris melempar dirinya. Hihihihihi.
Maka menilik dari yang terjadi seharian itu, sudah jelas dong rasa percaya diri Reki naik berkali-kali lipat. Jadi tidak mengherankan sama sekali bila ketika kelas mulai bubar, Reki mengirim pesan pada Velly.
[ Velly ]
[ Balik bareng aku? ]
Reki menunggu balasan cewek itu. Bahkan hingga nyaris bisa dikatakan mengabaikan Tama di sebelahnya.
"Aku cabut duluan, Ki."
Tama berkata seraya bangkit dari duduknya. Tapi, ketika ia akan melangkah pergi, ia mendapati bagaimana perkataannya yang tak direspon oleh Reki. Maka alih-alih langsung pergi, Tama justru menepuk pundak cowok itu dengan lumayan keras.
"Au!!!"
Reki mendelik pada Tama seraya meremas pundaknya yang baru saja jadi sasaran Tama. Sambil tetap mengaduh hingga beberapa lama.
"Apaan sih, Tam?"
Tama balas mendelik. "Aku mau balik duluan."
"Ya balik aja, Paijok!" rutuk Reki. "Nggak usah pamit. Nggak bakal aku kasih uang sangu kamu mah."
Tama terkekeh. "Iya iya. Aku balik. Hehehehehe."
Kali ini Tama benar-benar beranjak dari sana. Keluar dari kelas, bertepatan dengan pesan yang masuk ke ponselnya. Dan Reki tersenyum. Mendapati bahwa pesan itu adalah dari Velly.
[ Velly ]
[ Oke .... ]
Tak membalas pesan itu, Reki langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku seragam. Bangkit dan menyandang tas ranselnya, ia pun beranjak ke meja Velly –di mana saat itu Eshika juga sudah pulang.
"Ehm ..., Vel ...."
Reki terkesan ragu-ragu ketika memanggil nama Velly. Dan o oh! Tidak hanya itu, ketika Velly berpaling. Mengangkat sedikit wajahnya demi melihat pada dirinya, sontak saja Reki merasa napasnya menjadi kacau.
"Ki ...."
Dan ketika Velly balas menyebut namanya, aduh! Reki rasanya ingin memeluk dinding deh. Merasa tidak kuat. Hihihihi.
Reki menarik napas dalam-dalam, melihat Velly yang tampak bangkit. Ia bertanya.
"Balik?"
Sebagai jawaban, Velly mengangguk. "Ayo."
Velly dan Reki lantas keluar dari kelas. Berjalan bersisian. Tapi, nyaris saling tidak mengatakan apa-apa. Hening sekali. Cuma degup jantung yang terdengar kian mengencang.
Astaga!
Sejurus kemudian, kedua orang remaja itu akan berbelok menuju ke parkiran, namun seseorang membuat langkah keduanya kompak berhenti. Jessica.
Jessica melihat pada Reki dan Velly bergantian. Dan untuk beberapa saat, mereka bertiga tidak ada yang mengeluarkan kata satu patah pun. Hingga nyaris membuat Reki tidak enak sebenarnya. Lalu, suara Velly pun terdengar.
"Hai, Jes."
Reki menoleh. Melihat pada Velly yang tampak melambaikan tangan dan memamerkan senyumnya. Dan di seberang sana, Jessica mau tak mau membalas sapaan itu.
"Hai, Vel," kata Jessica. "Kalian mau balik?"
Velly mengangguk.
"Aaah," lirih Jessica kemudian. "Kalau gitu, aku duluan. Daaah!"
"Daaah ...."
Dan hal itu membuat Reki mau tak mau merasa takjub. Kagum dengan pengendalian diri yang gadis itu miliki.
"Waaah ...."
Velly menoleh. "Apaan sih, Ki?" gerutunya. "Mau balik nggak? Aku laper soalnya."
Hilang sudah ekspresi kekaguman di wajah Reki. Alih-alih, tergantikan oleh raut geli yang tak tertahankan. Maka seraya melanjutkan kembali langkah kakinya bersama Velly, Reki pun bertanya.
"Mau mampir dulu?" Matanya melirik. "Kamu mau makan apa?"
Berhenti tepat di dekat motor Reki, Velly tampak menarik napas sekilas. "Kalau kita makan pangsit gimana?"
Tangan Reki yang semula bergerak akan mengambil helm untuk Velly, mendadak berhenti. Alih-alih, ia menoleh pada gadis itu.
"Pa-pa-pangsit?" tanya Reki dengan gagap. "Tempat kita makan pertama kali itu?"
Velly mengangguk. "Iya. Emangnya ada pangsit lain apa yang pernah kita makan?"
Astaga!
Jawaban itu mungkin terdengar biasa saja sih. Tapi, sumpah! Dampaknya sangat luar biasa untuk ketenteraman jantung Reki.
Ya Tuhan.
I-i-ini Velly mau jawab di warung pangsit ya?
Reki sih tidak mau, tapi bagaimana lagi coba? Hal itu terang saja membuat otaknya berpikir. Rasa-rasanya aneh sekali. Velly yang cenderung abai dengan pilihan 'mau makan di mana', eh sekarang mendadak justru memutuskan tempat. Mana tempat itu adalah tempat pertama mereka makan berdua lagi.
Ehm ....
Velly semacam yang mau nostalgia gitu ya?
Aduh!
Jantung Reki semakin berulah. Jujur saja, ia tak mengira bahwa Velly adalah tipe cewek yang juga melankolis seperti itu. Hihihihi.
"Ehm!"
Mendehem sejenak demi mengusir imajinasinya untuk berkembang semakin liar, Reki kemudian teringat pada helm yang akan ia serahkan pada Velly. Gadis itu menyambutnya. Mengenakannya dan tampak sudah siap.
Ketika motor itu mulai melaju meninggalkan parkiran, susah sekali bagi Reki untuk menahan senyumnya yang berusaha untuk terus mengembang. Ingin menahan senyum, eh ... Reki justru khawatir ia akan kelepasan buang angin lagi. Hihihihihi.
Akan keluar dari gerbang sekolah, Reki lantas mendapati ada Mulyo yang seperti biasa selalu berjaga-jaga di sana. Dan demi apa? Entah mengapa kali ini Mulyo merasakan ada yang berbeda dengan Reki. Tidak seperti biasanya. Karena alih-alih menarik gas –seperti kebiasaan Reki sehari-hari demi menghindarinya-, kali ini Reki justru memperlambat laju motornya. Dan kalaupun itu belum cukup membuat Mulyo heran, maka jelas sekali sapaan Reki adalah hal yang kemudian berhasil membuat Mulyo sangat terheran-heran.
"Selamat siang menjelang sore, Pak. Semoga sisa harinya menyenangkan."
Bukan lagi terheran-heran, Mulyo benar-benar melongo lantaran sapaan yang Reki berikan padanya. Dan ketika motor itu melaju meninggalkan kawasan sekolah, Mulyo mengerjap-ngerjapkan matanya. Bahkan mengucek-uceknya pula.
"Itu beneran Reki?" tanya Mulyo pada dirinya sendiri, mengabaikan beberapa orang siswa lainnya yang menyapa. "Wah! Kenapa dia yang mendadak ramah? Nyapa? Padahal sehari-hari dia kayak yang mau kabur aja terus."
Mulyo seketika bergidik. Sontak merasa ngeri di saat ia membayangkan bahwa yang barusan itu sebenarnya bukan Reki. Iiih!
Sementara itu, setelah menyusuri aspal tiap meternya, Reki dan Velly tiba pula di warung pangsit. Keduanya duduk dan langsung memesan. Dan selama pelayan menyiapkan pesanan mereka, dalam hati Reki bertanya-tanya.
Ehm ....
Velly mau ngasih jawabannya kapan ya?
Sekarang?
Ntar pas makan?
Atau selesai makan?
Tapi, seiring waktu yang berjalan, Reki tau sesuatu yang pasti. Tak peduli kapan waktunya, yang penting adalah Velly memberikan jawabannya. Karena jelas, hingga keduanya telah berada di depan pagar rumah gadis itu, Velly belum juga memberikan jawabannya!
"E-e-ehm ..., Vel ...."
Seraya menerima helm dari Velly, Reki tampak menyebut nama gadis itu. Ekspresinya tampak salah tingkah. Persis seperti orang yang menahan desakan untuk BAB. Ckckckck.
Dan Velly, layaknya cewek yang tercipta hanya untuk membuat Reki panas dingin, ia hanya berkata seperti ini.
"Hati-hati di jalan, Ki."
Setelah itu, mengabaikan raut putus asa Reki, Velly benar-benar masuk ke rumahnya. Meninggalkan Reki yang terbengong di atas motor. Hingga kemudian, satu pemikiran itu tebersit di benaknya. Mendorong cowok itu untuk buru-buru mengecek di ponselnya.
"Kapan sih jadwal pemilu yang akan datang?"
*
Penasaran dengan jadwal pemilu yang akan datang, sepertinya bukan hal yang aneh untuk Reki. Karena bagaimanapun juga, tak peduli entah sebanyak apa hari telah berlalu, ternyata Velly belum juga memberikan jawabannya!
Gila nggak sih cewek itu?
Dia mau ngasih jawaban kapan?
Apa sampe nunggu Timor Leste balik lagi ke Indonesia?
Keburu tewas duluan aku, Vel!
Dan sumpah! Seandainya saja Reki tidak mengingat harga dirinya ketika ia sok pengertian mengirim pesan pada Velly malam itu, beuh! Ingin sekali Reki menarik tangan Velly. Menyeretnya. Lalu mengurungnya di dinding terdekat untuk menuntut jawabannya. Dan tidak akan melepaskan gadis itu sampai ia berkata 'ya'.
Tapi ....
Bayangan Velly yang langsung memiting lehernya, muncul. Maka serta merta Reki mengusir jauh-jauh rencana itu.
Iya kalau cuma Velly yang miting ini leher.
Lah kalau dia ngadu ke bapaknya gimana?
Yakin aku leher atas bahwa hilang semua!
Maka pada akhirnya Reki tak memiliki pilihan lain, kecuali bersabar. Ckckckck. Tapi, tentu saja bersabar tidak pernah menjadi hal yang mudah seperti bibir yang mengucapkannya. Terutama karena ... kesabaran itu benar-benar diuji tatkala mereka yang kerap pulang sekolah bersama di tiap harinya.
Ya Tuhan!
Aku beneran orang yang paling sabar sedunia.
Hingga kemudian, kesabaran Reki mengantarkan dirinya pada siang itu, di tanggal 29 Oktober. Di mana Bima selaku ketua kelas mengumpulkan mereka kembali dalam rangka persiapan perjalanan ke Puncak.
"Oke, Guys. Jadi, sesuai kesepakatan kita semua ya," kata Bima siang itu. "Besok kita pada berangkat iring-iringan. Biar kita nggak sampe miscom gitu, aku putuskan kita ngumpul aja di sekolah. Jam delapan pagi kita harus udah pada kumpul ya."
"Yah!"
"Jam delapan? Tetap aja nggak bisa bangun siang."
"Hahahaha."
Bima tidak heran sekali kalau keluhan itu muncul. Tapi, tentu saja ia harus melakukan itu.
"Yakin besok bakal macet. Makanya sih kita pergi agak cepetan dikit. Enaknya justru Subuh gitu."
"Yak, Bim, kalau mau ke Puncak nggak pake macet mending kita pergi pas orang takbiran Lebaran. Lewat deh pas orang mulai sholat Ied. Dijamin nggak pake macet."
Bima menyeringai.
"Hahahaha. Bener juga sih."
Mereka tertawa-tawa.
"Oke. Buat yang sekiranya butuh obat-obat pribadi, jangan lupa dibawa. Terus ya jangan lupa pamit ke ortu. Ini bukan acara resmi sekolah soalnya."
"Sip! Sip! Sip!"
Dan sebagai penutup, kemudian Bima kembali berkata.
"Ingat mobil masin-masing ya? Dan aku mohon, untuk kelancaran bersama, kalian jangan sampe pindah mobil atau apalah gitu. Kecuali kalau kalian mendadak mau bawa kendaraan sendiri sih. Bukannya apa, aku nggak mau kacau semuanya."
"Oke, Bim, oke."
"Laksanakan, Bim!"
Namun, selagi teman-temannya sibuk membicarakan banyak hal –dengan antusias pastinya-, ada seseorang yang mendadak merasa menegang seketika. Terpisah jarak oleh Reki, di depan sana, ada Velly yang berusaha menarik napas dalam-dalam.
Astaga!
Berdua aja sama Reki?
Gimana nasib aku ntar, Tuhan?
Tentunya, rasa gugup Velly adalah hal yang wajar. Bisa bersikap seolah tak terjadi apa-apa selama beberapa hari terakhir ini sudah teramat melelahkan bagi cewek itu, apalagi nanti?
Tapi, sepertinya hal itu berbanding terbalik dengan yang dirasakan oleh seseorang lainnya. Karena kalau Velly mendadak gugup, maka Reki justru tampak begitu bersemangat.
Semoga nggak beneran nunggu sampe pemilu!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top