51. Penantian Jawaban
Ketika pada akhirnya pertanyaan itu benar-benar mendarat di indra pendengaran Velly, hal yang pertama gadis itu rasakan tentu saja ... berdebar. Seperti ada gemuruh yang mendadak saja datang memporakporandakan kedamaian jantungnya di dalam sana. Bagaimanapun juga, seharian ini Velly sudah cukup merasakan keriuhan di perutnya akibat diare. Eh ... sekarang justru jantungnya yang dibuat ulah lantaran Reki.
Tapi, pertanyaan Reki tadi belum seberapa –seharusnya Velly sadar itu. Karena jelas, di menit selanjutnya, setelah cowok itu memberikan jeda yang tak seberapa, ia kembali bertanya pada Velly. Tetap, tanpa melepaskan tatapannya dari sepasang mata gadis itu.
"Mau kan ... jadi pacar aku?"
Velly terdiam. Seperti hanya bisa menatap Reki saja untuk pertanyaan yang satu itu. Sumpah! Tapi, Velly sama sekali tidak memiliki persiapan. Ia bahkan tidak mengira bahwa Reki akan mengungkapkan perasaannya malam itu. Velly jelas ... syok.
"Reki ...."
Suara Velly nyaris seperti suara anjing terjepit. Kecil dan terdengar layaknya gadis itu sedang tersiksa. Yah ... mungkin sebenarnya tidak tersiksa sih. Tapi, jelas keadaan Velly tampak mengenaskan.
"A-a-aku---"
"Vel."
Ucapan gagap Velly dipotong oleh suara berat seorang pria. Yang mana itu adalah Bandi. Hal yang sontak membuat kedua orang remaja itu sama-sama menoleh ke ambang pintu.
Reki menahan napas.
Ya ampun.
Kira-kira Om denger nggak sih yang aku omong tadi?
Dan sepertinya, bukan hanya Reki yang gemetaran, Velly juga. Nyaris cewek itu yang tidak lagi berani melihat pada ayah kandungnya sendiri. Hingga ia tak mengatakan apa-apa, bahkan ketika Bandi tampak menghampiri mereka berdua.
Bandi mendehem. Melihat Velly dan Reki bergantian.
"Ini udah mau jam sembilan."
Perkataan Bandi membuat Reki buru-buru melihat pada jam tangannya. Kaget dan tak menyangka bahwa sudah semalam itu ia berada di rumah Velly. Sontak saja membuat remaja itu merasa tak enak.
"A-a-aduh, Om," kata Reki salah tingkah. "Ma-ma-maaf. Aku nggak lihat jam dari tadi."
Bandi mengembuskan napas panjang seraya manggut-manggut. "Jangan pulang malam. Walau kamu cowok, orang tua kamu juga khawatir kalau anaknya pulang malam."
Reki meringis. "I-i-iya, Om."
Lantas hening ....
Ketiga orang itu tampak tak ada yang bergerak dari posisi masing-masing. Hingga kemudian mereka tampak kompak bergantian saling melirik satu sama lain. Dan hal itu membuat Reki tersadar akan sesuatu.
Sumpreeet!
Aku diusir secara nggak langsung.
Hiks.
Reki buru-buru bangkit. Menghampiri Bandi yang berdiri di dekat Velly. Mengulurkan tangannya demi bersalaman sejenak dengan pria paruh baya itu.
"Ka-ka-kalau gitu," katanya gugup. "Aku balik dulu, Om."
Bandi angguk-angguk kepala. "Iya, sebelum portal keburu ditutup," katanya kemudian. "Hati-hati di jalan."
"Iya, Om."
Beranjak sedikit, tatapan Reki jatuh pada Velly yang juga sudah bangkit dari duduknya. Sedetik mereka saling menatap, lalu keduanya tersadarkan kembali oleh suara Bandi.
"Besok-besok datang lagi ke rumah, Ki.
Reki seketika tersenyum lebar. Setidaknya, Bandi tidak melarang dirinya untuk kembali mendatangi Velly. Hihihihi.
Reki beranjak. Menuju pada motornya sementara Bandi mengantar cowok itu, alih-alih Velly. Dan ketika Reki sudah pergi bersama dengan motornya, Bandi pun menutup pintu pagar sementara dilihatnya Velly mengangkat dua gelas teh dari atas meja. Ehm ... teh yang belum sempat diminum.
Beberapa saat kemudian, Velly sudah masuk kembali ke kamarnya. Bersama dengan satu piring kecil yang berisi dua potong martabak kacang coklat.
Menaruh piring martabak itu di atas nakas, Velly memilih untuk duduk di atas tempat tidur. Gadis itu tampak diam. Menarik napas dalam-dalam tatkala ia merasakan jantungnya berulah lagi lantaran ingatan yang bermain-main di benaknya.
"Aku beneran ... sayang kamu, Vel."
Velly sontak memejamkan matanya. Buru-buru mengambil bantal dan menutup wajahnya. Lalu menjerit kecil di sana. Tapi, ketika ia melepaskan bantal itu, maka suara lainnya pun ikut-ikutan mengiang.
"Mau kan ... jadi pacar aku?"
Astaga!
Sungguh satu prestasi melihat jantung Velly masih utuh di dalam sana. Sepintas membayangkan, Velly mengira bahwa jantungnya sudah meledak. Hancur tercerai-berai lantaran berdegup tak karuan dari tadi.
Hiks.
Memalukan, tapi ... itulah yang terjadi sebenarnya.
Pada akhirnya merebahkan tubuh, Velly lantas membiarkan otaknya bermain-main. Entah apa saja yang ia pikirkan. Karena terutama, sepertinya malam itu benar-benar mengejutkan untuk dirinya.
Pertama, dari semua kejutan yang terjadi, Velly tidak pernah mengira bahwa Reki adalah temannya dulu semasa ia masih di bangku Taman Kanak-Kanak. Ehm ... itu sudah lama sekali. Tapi, ketika Velly melihat-lihat kembali foto di album itu, ia baru menyadari. Itu memang Reki.
Ya Tuhan.
Aku beneran nggak nyangka kalau itu Reki.
Reki yang dulu ke mana-mana suka ngekorin aku.
Bahkan sampe aku mau manjat pagar pun dia ngekorin aku juga.
Dan ....
Siapa yang menyangka bahwa tanpa sadar cowok itu kembali mengekorinya hingga sampai SMA?
"Waduh!"
Bayangan itu benar-benar tidak bagus untuk kesehatan jantung Velly. Juga ... untuk kerja paru-parunya. Makin lama, bukan hanya jantung Velly yang kacau. Napas cewek itu juga ikut-ikutan berulah karenanya.
Dan layaknya kejutan tentang masa lalu itu belum cukup ampuh untuk mengguncang dunianya, eh ... mendadak saja Reki mengungkapkan perasaannya?
Oh, Tuhan.
Velly memejamkan matanya dengan dramatis. Lalu, seolah pikirannya memang sedang bercanda, beberapa kilasan lainnya pun membayang kembali. Dari pertemuan pertama mereka ketika memperebutkan bola ungu saat MOS. Hingga hal-hal lainnya. Terutama di masa-masa Reki yang kerap kali menggoda tubuhnya yang tidak tinggi.
Semua kilasan itu membuat ... Velly benar-benar merasa tak berdaya.
"Aaah ...."
Dan ketika ia merasa frustrasi seperti itu, mendadak saja ada satu denting dari ponselnya. Buru-buru Velly meraih benda itu. Menarik turun layarnya demi melihat pemberitahuan yang masuk. Lantas ... matanya membesar.
"Reki ...," desis Velly.
Tak langsung membuka pesan itu, otak Velly berpikir.
"Ini aku buka atau nggak ya?" tanya gadis itu pada dirinya sendiri. "Kalau aku buka, aku bisa pastikan dia bakal nanya soal yang tadi ...."
Itu adalah hal yang masuk akal. Bagaimanapun juga, tadi itu Reki pulang tanpa mendapatkan jawaban Velly untuk pengungkapan perasaan yang telah ia lakukan. Jadi rasa-rasanya wajar sekali kalau pesan Reki mengandung maksud yang tersembunyi. Ujung-ujungnya meminta jawaban, misalnya.
"Tapi, kalau aku nggak buka ...," ringis Velly seraya menggigit bibir bawahnya. "... apa aku nggak nambah stok rasa malu aku di depan Reki? Udahlah malu gara-gara ketauan ngintip, eh ... malu gara-gara ngindarin dia coba."
Pada akhirnya, Velly menghirup napas dalam-dalam. Bangkit dari tidurnya dan memilih untuk duduk ketika ia membuka pesan itu. Dan demi apa? Velly langsung melotot ngeri karenanya.
[ P. Reki F. ]
[ Sayang .... ]
[ Aku baru sampe rumah. ]
Ya Tuhan.
Rasa-rasanya perut Velly mendadak mulas lagi.
"A-a-apa?"
Mata Velly mengerjap-ngerjap.
"Sa-sa-sayang?"
Velly mengap-mengap. Berusaha untuk tetap bisa menarik udara di saat ia menyadari bahwa pesan itu membuat ia salah tingkah.
[ P. Reki F. ]
[ Sayang? ]
[ Kamu jangan macam-macam deh, Ki! ]
Tak butuh waktu lama, pesan yang Velly kirimkan mendapatkan balasannya. Dan tentu saja pesan itu lagi-lagi membuat mata Velly membelalak tak percaya.
[ P. Reki F. ]
[ Tuh kan bener dugaan aku. ]
[ Kalau aku nggak ngirim pesan kayak gitu, aku jamin. ]
[ Kamu pasti nggak bakal balas pesan aku kan? ]
Velly tertegun. Karena jelas saja, cewek itu menyadari bahwa di seberang sana, Reki masih mengetik pesannya.
[ P. Reki F. ]
[ Please, Vel .... ]
[ Jangan berusaha ngindarin aku. ]
[ Kamu nggak mau kan aku datang ke rumah kamu tiap malam? ]
Sontak saja mulut Velly membuka, walau tak mengeluarkan suara sedikit pun. Ia hanya bisa menganga. Melongo. Tak percaya bahwa Reki benar-benar mengatakan itu.
Tapi ....
Velly menggigit bibir bawahnya.
Kalau aku nggak ngindarin dia, terus ... itu artinya ... aku harus ngasih jawaban ke dia dong soal yang tadi.
Sementara aku ....
Velly tidak yakin apa yang ia rasakan. Pengungkapan perasaan itu memang membuat ia berdebar-debar, tapi Velly perlu meyakinkan dirinya untuk satu hal yang penting. Dan lantas, keraguan yang dirasakan oleh Velly, lenyap. Lantaran pesan yang kembali dikirimkan oleh Reki.
[ P. Reki F. ]
[ Aku tau apa yang aku lakukan malam ini benar-benar mendadak. ]
[ Jadi, aku maklum kalau kamu butuh waktu buat mikir. ]
[ Cuma ... aku harap ya itu tadi. ]
[ Jangan ngindarin aku. ]
[ Nggak usah merasa terbebani. ]
[ Kasih aku jawaban kalau kamu udah yakin. ]
[ Ehm ... dan mungkin sekarang kamu udah mau istirahat. ]
[ Tidur .... ]
[ Semoga cepat sembuh .... ]
Velly memejamkan matanya. Ingin merutuki dirinya sendiri pun rasanya sudah percuma. Semua kata rutukan sudah ia gunakan dari tadi. Dan sekarang, Velly benar-benar merasa tak tertolong lagi. Bahkan tanpa perlu bicara langsung di depannya, Reki bisa membuat ia tak berkutik.
Ya Tuhan ....
Tubuh Velly rasanya lemas. Maka tak heran bila pada akhirnya tubuh cewek itu merosot. Jatuh dan berbaring layaknya tak punya tenaga lagi. Mengembuskan napas, ia hanya bisa melirih pelan.
"Reki ...."
*
Sementara itu, terpisah jarak, ada Reki yang tampak meringis ketika melihat balasan pesan yang ia terima.
[ Velly ]
[ Oke, Ki. ]
[ Malam .... ]
Berbeda sekali dengan kata-kata sok dewasa dan pengertian yang Reki kirimkan pada Velly tadi, sebenarnya cowok itu justru sedang kacau balau tak karuan.
Reki meremas rambutnya. Meringis. Geram.
"Kenapa juga aku sok ngomong aku bakal nungguin dia?" tanya Reki panik. "Kenapa aku nggak ngomong aja kalau aku nunggu jawabannya besok?"
Ah!
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Reki jelas tidak mungkin meralat perkataannya sendiri. Bagaimana ya, tapi di mana harga dirinya coba kalau ia merevisi isi pesannya? Ckckckck.
"Tadi aku pikir kalau aku ngirim pesan kayak gitu, dia bakal ngerasa tersentuh. Terus ... dia bakal ngasih jawabannya malam ini juga. Tapi, yang terjadi ...."
Reki mengangkat ponselnya ke depan wajah. Membaca lagi pesan singkat yang Velly kirimkan tadi.
"Malam?"
Oh, Tuhan.
Reki lantas menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur seraya memejamkan matanya. Terlihat tak berbeda jauh dengan prajurit perang yang tidak diberi makan seminggu lamanya. Lemas seluruh badan.
"Aduh! Balasan cuma 'malam' itu artinya apa coba?" tanya Reki lagi pada dirinya sendiri. "Jangan bilang kalau dia beneran nganggap perkataan aku dengan artian yang sebenarnya. Bakal mikir selama mungkin."
Dan memikirkan kemungkinan itu, terang saja membuat Reki uring-uringan.
"Argh! Ini naga-naganya bakal dijawab pas pemilu yang akan datang!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top