5. Tawaran Dadakan
Reki menghentikan langkah kakinya. Memutar kepalanya ke berbagai sudut seraya mengernyitkan dahi. Tanpa sadar ia bergumam dengan suara rendah saat pandangannya berusaha untuk membelah lautan manusia yang mengelilingi dirinya.
"Ya ampun. Velly ke mana coba? Bisa-bisanya dia ngilang gitu. Beneran nggak keliatan di mana-mana coba. Ck. Jangan bilang itu Cebol keinjak-injak orang."
Tepat sedetik setelah Reki menggumamkan kalimat itu, seketika saja ia merasakan bagaimana ada rasa perih berbentuk pelintiran yang mendarat telak di perutnya.
"Awww!"
Bahkan tanpa melihat, Reki sudah mengetahui siapa pemilik jari yang melabuhkan cubitan mematikan itu di perutnya. Dan benar saja. Ketika ia menunduk, nyaris tenggelam di dalam lautan manusia yang hilir mudik memenuhi mall itu, Reki mendapati wajah Velly yang terangkat seraya melotot pada dirinya.
"Ya Tuhan," desis Reki yang menyiratkan rasa sakit dan tak percaya dalam waktu yang bersamaan. "Seharian ini kamu udah berapa kali nyubit aku sih, Vel? Pasti perut aku kini udah pada biru-biru."
Tidak menghiraukan perkataan Reki, Velly justru maju seraya mencebikkan bibir bawahnya. Tampak ia yang mengangkat wajahnya demi bisa melihat pada cowok itu.
"Tadi ngomongi aku apa?" tanyanya dengan nada sengit. "Cebol?"
Reki menutup mulutnya dengan satu tangan. Berusaha untuk menahan tawanya yang ingin menyembur, tapi tak urung juga ia kelepasan terkekeh.
Sial!
Secepat itu coba rasa sakit tergantikan oleh rasa geli.
"Sorry, Vel, sorry. Hahahahaha. Soalnya ya kamu emang nggak tinggi sih. Kan bener yang aku bilang."
Mata Velly semakin mendelik. Mungkin dalam hitungan detik, bola mata gadis itu akan melompat keluar dari rongga matanya. Mengerikan sekali.
"Tapi, bukan berarti aku itu cebol."
"Oh?" Reki menampilkan ekspresi terkesiap yang tampak begitu dibuat-buat. "Terus apa dong namanya kalau ukan cebol?"
Lantas delikan itu berubah menjadi sipitan ketika Velly menjawab pertanyaan itu dengan penuh rasa percaya diri yang ia miliki.
"Imut."
Dan satu kata itu ia ucapkan dengan penuh penekanan.
Reki yang semula sudah mulai berhasil menahan tawanya, mendadak malah tertawa terpingkal-pingkal. Seolah tak menghiraukan di mana mereka saat itu berada.
"Hahahaha. Imut?"
Velly mengerucutkan bibirnya. Tampak kesal karena Reki justru memilih untuk mempertanyakan hal itu ketimbang menghentikan perdebatan yang menyangkut tinggi badannya.
"Kamu mau ngantar aku balik atau mau ketawa-ketawa di sini kayak orang gila heh?" tanya Velly kemudian. "Ini udah nyaris jam setengah delapan malam, Ki. Ntar aku baliknya kemalaman. Kamu mau digebuk sama Papa aku?"
Kali ini Reki yang melotot. "Kayak yang aku abis ngapa-ngapain kamu aja."
"Makanya buruan antar aku balik," ujar Velly tak mau kalah.
Berkacak di pinggang, Reki mencondongkan tubuhnya ke arah Velly hingga tatapan mata keduanya nyaris berada di garis lurus.
"Aku pasti udah di jalan balik sekarang ini kalau aja kamu nggak ketinggalan di belakang. Aku pikir kamu beneran yang udah keinjak sama orang-orang coba."
"Kamu---"
"Kamu harusnya jangan jauh-jauh dari aku. Nyasar ntar baru tau rasa," kata Reki memotong ucapan Velly. "Kasihan pihak mall ah. Nambah kerjaan mereka aja buat menyiarkan berita kehilangan."
Seperti aku yang masih kecil itu?
Ya aku emang pendek, tapi bukan berarti aku anak kecil kan?
Dan ketika gadis itu masih melongo dengan perkataan Reki, ia justru mendapati bagaimana Reki yang menegapkan kembali tubuhnya. Menarik tangannya sekilas dan membawa cewek itu untuk mengambil tempat di depannya. Kedua tangan Reki kemudian memegang pundak Velly dari belakang. Dengan posisi seperti itu, terlihat persis sekali Velly yang nyaris sedada bawah Reki.
Velly mengangkat kepalanya. Berusaha melihat Reki di belakangnya, namun ia justru mendapati bagaimana Reki dengan begitu santainya memegang kepalanya dan menahannya agar ia tetap melihat ke depan.
"Hayo, jalan! Kalau kayak gini kan kamu nggak bakal ketinggalan lagi. Aman aja. Nggak ada yang bakal nginjak-nginjak kamu."
Reki mengulum senyum geli ketika merasakan sedikit pemberontakan gadis bertubuh mungil itu. Dengan tubuhnya yang jauh lebih tinggi dan besar, tentu saja mudah sekali bagi cowok itu untuk mengendalikan Velly. Di detik selanjutnya, Reki mendorong pelan kedua pundak Velly.
"Buruan jalan. Ntar kamu dicariin lagi sama orang tua kamu. Anak kecil nggak boleh balik malam-malam. Kalau masuk angin nggak ada yang mau ngerokin kamu."
Ingin membantah, tapi sayangnya yang dikatakan oleh Reki memang ada benar juga. Dan tentu saja itu untuk bagian 'dicariin orang tua kamu'. Nyatanya walau Velly sudah meminta izin untuk pulang terlambat, tapi bukan berarti ia bisa bebas untuk pulang kapan saja. Maka dengan misuh-misuh, Velly pun melangkahkan kakinya. Lagipula dorongan Reki benar-benar membuat gadis itu tak memiliki pilihan lain.
"Aduh! Langkah kaki kamu pendek banget, Vel."
Velly menyadari hal itu. Bahwa dari tadi ujung sepatu yang dikenakan oleh Reki bergantian menendang-nendang bagian belakang sepatunya. Nyaris membuat ia tersungkur berulang kali sebenarnya, tapi Reki menahan pundaknya.
"Ki," keluh Velly seraya menggerak-gerakkan kedua pundaknya dengan gerakan abstrak. "Lepasin ah. Kamu itu gede, ya ampun, Ki. Tangan kamu berat."
Di belakangnya, Reki terkekeh. "Nggak bakal buat kamu nambah pendek kok. Tenang aja."
Tak terlihat oleh Reki, bibir Velly manyun. Memilih untuk tidak berdebat lagi dengan rasa kesal yang sebenarnya masih berputar-putar di benaknya.
Ini pasti kayak di drama-drama.
Sebenarnya di badan Reki ada jiwa cewek.
Cerewetnya ampun deh.
Ngalahin ibu-ibu kompleks coba kan ya?
Hingga pada akhirnya mereka pun tiba di parkiran, menuju pada motor Reki yang tampak berdiri dengan gagah. Cowok itu menyodorkan helm pada Velly.
"Udah paham kan cara pake helm? Atau mau aku pakein lagi?"
Velly menyambut helm itu dengan sedikit menyentaknya dari tangan Reki. Lalu mengenakannya dengan wajah yang tertekuk kesal. Tapi, ketika Reki baru saja akan menyalakan mesin motornya itu setelah memasang helm di kepalanya sendiri, ia mendapati tangan Velly menarik lengan seragamnya.
"Apa?"
Tak menjawab dengan kata-kata, Velly justru menunjuk kaitan helm yang belum terkancing itu. Membuat Reki merasa geli seraya mengulurkan tangannya. Membantu gadis itu. Dan sekitar lima menit kemudian, motor itu sudah membawa keduanya untuk melintasi jalanan malam.
Sepanjang perjalanan, nyaris tak ada yang bersuara di antara mereka. Dan di saat itu, sebenarnya Velly sedang sibuk dengan pemikirannya sendiri. Keheningan di atas aspal itu membuat ia bisa dengan tenang berpikir.
Seraya bersidekap, gadis itu menggumamkan beberapa pertanyaan di benaknya. Terutama ketika ia ingat kejadian tadi sebelum mereka memutuskan pulang setelah terjadi sedikit tragedi yang tidak mengenakkan di antara mereka berlima di depan sinema.
Alex ngajak Eshika ngobrol bentar.
Tama tau-tau nyelipin ponsel dia di suatu tempat yang memungkinkan dia untuk nguping percakapan Alex dan Eshika.
Setelahnya Tama ngamuk. Kayaknya tadi itu beneran bakal berantem kalau seandainya nggak ditahan sama Reki.
Ehm ....
Kira-kira apa ya yang didengar Tama tadi?
Apa Alex nembak Eshika lagi?
Itu benar-benar masuk akal sih.
Tapi, masa cuma gara-gara itu Tama sampe mau mukulin Alex sih?
Mata Velly sedikit menyipit. Mendehem pelan dengan penuh irama. Seperti ingin meresapi fakta-fakta itu dan menarik kesimpulannya.
"Vel .... Vel ...."
Suara yang memanggil namanya itu membuat Velly membuka matanya yang nyaris benar-benar menutup.
"Vel ...."
Di depan, Reki tampak melirik melalui spion. Berusaha melihat pantulan Velly di cermin cembung itu.
"Kamu masih idup kan?"
Tak menjawab, Velly hanya mencebikkan bibir bawahnya karena pertanyaan itu. Dan walau sekilas, bayangan yang tertangkap pada spion itu berhasil direkam oleh retina mata Reki. Ia tersenyum geli.
"Aku pikir kamu udah melayang ketiup angin malam coba."
Tuk!
Velly menjitak helm yang dikenakan oleh Reki. Hal yang sebenarnya justru menyakiti dirinya sendiri, tapi ia merasa memang harus melakukan itu.
"Eh, tapi untung deh ternyata masih ada," pungkas Reki kemudian. Tak merasa terganggu sama sekali dengan jitakan yang Velly berikan tadi. "Pasti kamu terlindungi kan di balik badan aku?"
Velly ingin menggeleng-gelengkan kepalanya, namun helm yang ia kenakan benar-benar terasa berat. Nyaris membuat ia seperti merasa pegal di lehernya.
"Ih, berenti ngomongi aku ah, Ki. Aku ini lagi mikir dan kamu malah mengacaukan konsentrasi aku."
Tepat ketika lampu lalu lintas berubah merah, Reki menghentikan laju motornya. Untuk kali itu, karena keadaan memungkinkan, maka Reki pun menoleh ke belakang.
"Mikir?" tanya Reki polos. "Emang kamu ada otak ya?"
"Reki!"
Velly nyaris benar-benar menjerit ketika ingin mencubit perut Reki lagi. Tapi, cowok itu dengan gesit menangkap tangan Velly seraya terkekeh.
"Loh aku beneran nanya. Ehm!" Reki mendehem. "Maksudnya itu ... emang apa yang kamu pikirkan? Emang kamu ada masalah?"
Velly menarik tangannya.
"Aku tadi salah make kosakata. Harusnya masalah, bukan otak. Hehehehe."
Velly tak menggubris perkataan Reki.
"Eh ... Si Imut diem aja."
Mata Velly melotot lagi. "Berisik ah, Ki. Kamu beneran buat konsentrasi aku buyar."
Kali ini Reki benar-benar penasaran. Maka ia kembali menoleh ke belakang. Melihat bagaimana Velly yang memang memasang ekspresi seriusnya. Bersidekap dan mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Nyaris tak bergerak di posisinya itu, kecuali fakta bahwa ada angin yang bertiup dan mempermainkan poni serta rambut dengan potongan layer pendek lurus gadis itu.
"Tapi, kali ini aku beneran serius deh," ujar Reki kemudian. "Kamu mikirin apa dari tadi? Berasa ngeri coba aku boncengin cewek, tapi dia diem aja. Iiih!" Reki merinding. "Untung aja rambut kamu nggak panjang."
"Tenang aja. Aku bakal manjangin rambut aku. Biar persis kayak imajinasi kamu," delik Velly. "Lagian kamu ya. Kepo banget sih sama yang aku pikirkan."
"Hahahaha. Vel, mungkin karena itu kamu nggak gede-gede. Kamu kebanyakan mikir. Energi kamu pada abis untuk kerja otak."
Velly melotot seraya mengangkat tangan dan menunjuk ke depan. "Tuh! Udah ijo!"
Perkataan Velly mau tak mau membuat Reki melihat ke depan. Dan ia memang mendapati bagaimana lampu lalu lintas itu berubah warna menjadi warna kuning sejenak, lalu berubah lagi menjadi warna hijau. Menahan sejenak rasa penasarannya, Reki pun melajukan kembali motornya. Dan tepat ketika motornya sudah mantap berbaur lagi di jalanan, Reki pun menanyakan rasa penasarannya tadi.
"Jadi, kamu nggak mau cerita apa yang kamu pikirin?"
Velly mengembuskan napas panjang. Memilih untuk bersidekap lagi, ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Mencari tempat yang pas di dekat lubang pendengaran di bagian kanan helm yang dikenakan oleh Reki.
"Aku ini lagi mikirin Tama, Eshika, dan Alex."
Perkataan yang langsung mendapatkan respon berupa desahan panjang Reki. Cowok itu lantas geleng-geleng kepala.
"Siang tadi kamu kepo dengan Tama dan Eshika," ujarnya kemudian. "Lah malam ini ketambahan Alex dong. Yakin itu kepala kamu muat buat mikirin mereka bertiga? Hahahaha."
"Reki! Aku ini serius!"
Menyeringai di balik kaca helm bening yang menutupi wajahnya, Reki pun berkata.
"Aku tuh juga serius loh, Vel. Kamu itu yang kayak kurang kerjaan aja sampe mikirin mereka bertiga."
Motor Reki melaju dengan kecepatan yang stabil. Melewati beberapa kendaraan lainnya sebelum berbelok. Masuk ke satu gang. Melewati portal keamanan. Memberikan anggukan singkat pada satpam yang berjaga dan mengarah pada satu rumah yang dilapisi oleh cat bewarna kuning muda. Ada satu papan palang yang berdiri di depan pagarnya. Bertuliskan Sweet Bakery.
Tepat di sanalah Reki menghentikan laju motornya.
Velly turun di menit selanjutnya setelah yakin bahwa motor itu sudah berhenti dengan aman. Bersusah payah melepaskan helm dari kepalanya, Velly menyerahkan benda itu seraya bertanya.
"Gimana kalau gini, Ki. Kamu bantuin aku buat ngeliat, apa yang aku pikirkan ini benar atau nggak?"
Menyambut helm itu dan menggantungnya di stang kiri, Reki mengerutkan dahi setelah mengangkat kaca helmnya terlebih dahulu.
"Bantuin apa?" tanya Reki bingung.
Velly mendekati Reki. Menengadahkan wajahnya dan memasang wajah yang teramat serius hingga membuat Reki bingung seketika. Entah ia harus tertawa atau justru takjub karenanya. Tapi, yang pasti Reki pun di sisi lain menunggu dengan jantung yang berdebar.
"Bantuin aku buat nyari tau. Sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top