49. Pilihan Waktu
Ketika Della mengatakan pada dirinya bahwa Reki datang menjenguk, maka satu hal yang langsung melintas di benak Velly. Yaitu ....
"Yang benar aja!"
Kesiap itu tentu saja bukan untuk Della, jelas. Tapi, sepertinya adik kedua Velly justru mengartikan perkataan Velly dengan makna yang berbeda. Gadis itu justru angguk-angguk kepala.
"Bener, Kak," kata Della kemudian. "Kalau nggak percaya ya ... buruan ke bawah."
Selesai mengatakan itu, Della pun lantas keluar dan menutup pintu kamar Velly. Mengabaikan kakaknya yang masih ingin bertanya, sekadar untuk meyakinkan dirinya.
Itu beneran Reki Panjul heh?
Mengembuskan napas panjangnya, Velly lantas beranjak sebentar ke meja riasnya. Ehm ... bukan bermaksud untuk berdandan demi menyambut kedatangan Reki. Ogh! Tidak. Tidak sama sekali. Tapi, kan semuanya tau bagaimana diare itu berdampak pada wajah. Misalnya saja pucat, lesu, dan basah –lantaran keringat-. Nah! Setidaknya, Velly tidak ingin Reki melihat dirinya dalam keadaan acak-acakan. Malu dooong.
Velly mengamati wajahnya. Meyakinkan dirinya kalau ia memang terlihat berantakan. Efek dari bolak-balik ke toilet dan lalu ngusel-ngusel di kasur. Ckckckck.
Pertama, Velly mengganti pakaiannya. Ehm ... aroma keringat karena perjuangan melawan rasa mulas bisa membuat pusing kepala orang yang menghirup aromanya.
Setelah berganti pakaian kombinasi kaus santai dan celana setengah tiang, Velly duduk di meja rias. Memulas wajahnya dengan bedak tabur. Tipis sih. Hanya agar ia tidak terlihat kusam. Dan sebagai penutup, tentu saja Velly harus menyamarkan pucat bibirnya.
Ups!
Tidak tebal kok. Cuma pakai sedikit lipbalm. Tapi, ya tetep. Ada efek merah jambu di sana. Hihihihi.
Setelah itu, ia memerhatikan kembali penampilannya di cermin. Hingga sesuatu melintas di benak Velly. Dan matanya melotot.
"Ini bukan kayak yang aku lagi mau ... pacaran gitu kan ya?"
Kalau tadi matanya melotot, sekarang Velly justru memejamkan matanya dengan dramatis. Sekilas ia merasakan bulu kuduknya meremang. Seperti ada roh halus yang baru saja lewat di belakangnya.
Menarik napas dalam-dalam, Velly lantas menguatkan dirinya. Keluar dari kamar dan langsung menuruni tiap anak tangga. Gadis itu melewati Ria dan Della yang tampak sedang menonton.
Dan wah! Ketika Velly lewat, seketika saja fokus kedua orang adik Velly berubah dengan kompak. Mereka tampak saling bicara, seolah mengabaikan Velly.
"Kamu cium aroma mawar nggak, Del?" tanya Ria.
Menghirup udara dalam-dalam, Della menampilan wajah bingung. "Nggak, Kak," jawabnya. "Tapi, aku mencium aroma cinta."
"Hahahahaha."
Tawa meledak sementara Velly sekuat tenaga untuk tidak bergelut dengan kedua orang adiknya itu. Oh, jelas sekali. Ria dan Della sedang meledek dirinya.
Berusaha mengabaikan Ria dan Della, Velly kembali meneruskan langkah kakinya. Tapi, demi apa? Ketika Velly nyaris menuju ke ruang tamu, ia mendengar suara ayah dan juga ibunya yang bicara dengan tertawa-tawa.
"Ini loh bocah yang dulu suka ngekorin Velly ke mana-mana."
"Tapi, dulu kan kecil anaknya. Kok sekarang gede gini?"
"Makanya Papa itu dari pertama lihat Reki ngerasa nggak asing sama wajahnya."
"Papa sering ketemu pas jemput Velly itu mah."
Velly menelengkan wajahnya ke satu sisi. Bingung. Tapi, juga penasaran.
Mereka lagi ngomongin apa sih?
Maka dari itu, tak menunggu lebih lama lagi, Velly pun pada akhirnya benar-benar menuju ke ruang tamu. Dan tepat ketika ia melewati ambang ruang tamu, sontak saja bibirnya melirih menyebut nama cowok itu.
"Reki ...."
Tak butuh waktu lama, Reki mendengar suara Velly dan lantas mengangkat wajahnya. Namun, aneh. Tak langsung bersuara, Reki terlihat diam sejenak. Lantas barulah cowok itu balas menyebut namanya.
"Velly ...."
Dua mata bertemu. Dan saling diam untuk beberapa detik sebelum pada akhirnya Bandi bangkit. Menarik tangan anak gadisnya itu. Sekejap langsung membuat Velly kaget.
"Eh, Papa. Kok main tarik---"
"Sini, Vel, sini," kata Bandi memotong perkataan Velly. "Kamu ingat nggak temen kamu yang waktu TK?"
Dahi Velly mengerut. Dan karena itu Bandi kembali berkata.
"Itu loh. Yang sering ngikutin kamu ke mana-mana. Yang anaknya pendek. Terus kurus lagi."
Dooong!
Reki melongo.
Segitunya ya aku waktu kecil dulu?
"Oooh ...."
Velly melirih sambil angguk-angguk kepala. Lalu pandangannya teralihkan pada album yang membuka di meja. Mau tak mau membuat ia menarik diri dari Bandi dan lalu turut melihat album itu. Menunjuk satu gambar di sana.
"Anak ini kan?" tanya Velly dengan mencibir sekilas. "Gimana aku nggak ingat?" Velly menoleh lagi pada Bandi. "Kan dia yang suka ngadu ke Papa kalau aku jajan di luar. Dia nggak tau apa aku dimarahin terus tiap balik dari TK? Ck."
Rahayu mengulum senyum geli seraya memeluk Mesya di pangkuannya.
"Terus, Pa," lanjut Velly dengan berapi-api. "Terakhir gara-gara dia, aku sampe jatuh dari pagar. Ehm ..., tapi abis itu dia pindah sih. Jadi, nggak ada lagi yang ngelarang aku jajan di luar."
Reki menarik napas dalam-dalam sementara wajahnya jelas sudah memerah. Yah ... wajar sih sebenarnya.
"Vel," panggil Rahayu dan mendapati putrinya langsung melihat padanya. "Ngomong-ngomong kamu nggak ngerasa akrab gitu dengan wajah anak itu?"
"Eh?"
Alih-alih duduk di kursi, Velly memilih untuk mendaratkan bokongnya di atas karpet. Duduk dan melongokkan wajahnya pada album itu setelah menariknya untuk mendekat.
"Anak kurus dan pendek ini?" tanya Velly bergumam seraya melihat lekat-lekat. Lalu, ia mendadak merasakan sesuatu yang ganjil. "Ehm ... aneh ...."
Velly mengusap ujung dagunya. Tampak berpikir dengan dahi yang semakin berkerut. Hingga beberapa detik kemudian, ia menyadari sesuatu. Yaitu dari tadi Reki tidak bersuara.
Velly mengangkat wajahnya. Melihat Reki di hadapannya yang terpisahkan oleh satu meja kaca.
Diam.
Reki benar-benar tidak bersuara.
Lalu mata Velly membesar. Langsung menunduk lagi pada foto dirinya saat masih TK. Foto di mana dirinya dan teman-temannya berbaris rapi di depan kelas. Dan di sebelahnya, jelas. Ada seorang bocah laki-laki yang menyelinap di barisan. Tepat di sebelah Velly.
Kemudian wajah Velly kembali terangkat. Kali ini matanya tampak melotot melihat pada Reki.
"Ya Tuhan," lirih Velly ngeri. "Itu kamu?"
*
Rasa-rasanya sih baru kali ini Reki dan Velly bersama tanpa ada yang bicara. Tak ada sedikit pun suara yang terdengar. Benar-benar hening. Bahkan saking heningnya, Reki bisa bertaruh. Kalau setan lewat, mereka pasti bisa mengetahuinya.
Meneguk ludah, Reki melirik ke sebelah. Pada Velly yang tampak berulang kali menarik napas dalam-dalam. Sepertinya gadis itu juga mendadak kikuk seperti dirinya.
Dan sebagai informasi, saat ini Reki dan Velly sudah pindah untuk duduk di teras. Alih-alih di ruang tamu. Dengan segelas teh hangat yang menemani keduanya. Ehm .... Suasananya seperti ... malam Minggu. Padahal jelas sekali saat itu adalah malam Rabu.
"Vel ...."
Velly mengembuskan napas. "Aku pikir kamu beneran udah jadi yang mendadak bisu, Ki. Ehm ... akhirnya ngomong juga."
"Ih!" Reki mencebik sekilas. "Kamu udah mendingan?"
"Udah sih," katanya. "Lagian cuma diare kok. Kayaknya kamu nggak perlu sampe jengukin aku."
Reki manggut-manggut. "Ya ... iseng aja sih mau jengukin kamu."
"Oh .... Aku nggak nyangka kalau iseng kamu itu suka jengukin orang," tukas Velly seraya melirik melalui sudut matanya. "Keisengan yang bermanfaat sekali."
Ugh!
Reki meringis di dalam hati.
"Tapi, makasih."
Kali ini Velly benar-benar menoleh. Dan ia tampak tersenyum.
"Seenggaknya malam ini aku dapat makanan," katanya kemudian. "Kamu bawa apa tadi?"
Reki turut tersenyum. "Martabak kacang coklat."
"Orang diare malah kamu bawain martabak kacang coklat?"
O oh!
"Ntar kalau aku sakit gigi," lanjut Velly. "Kamu bawain aku permen?"
"Aduh." Reki garuk-garuk kepala dengan ekspresi salah tingkah. "Sorry. Aku beneran nyaris lupa kalau kamu lagi diare."
Velly diam lagi. Begitu pun dengan Reki. Sepertinya karena perkara album foto tadi, mereka berdua mendadak jadi canggung.
"Ehm ..., Vel."
Suara Reki kembali terdengar untuk beberapa saat kemudian. Kali ini cowok itu tampak sedikit mengubah posisi duduknya. Sedikit berpaling pada Velly.
"Ya?"
Reki mengembuskan napas panjangnya. "Ngomong-ngomong soal foto tadi," katanya kemudian. "Waktu kecil, aku emang sengenes gitu ya? Kecil? Pendek?"
Entah mengapa, tapi Velly buru-buru mengulum senyum gelinya. Matanya mengerjap sekali.
"Kamu nggak lihat?" balik bertanya Velly. "Kamu persis kayak anak kurang gizi kan?"
Reki cemberut. "Tapi, sekarang udah nggak ya?"
"Iya," angguk Velly. "Heran. Selama kita nggak ketemu, kamu makan apa aja sampe bisa setinggi ini?"
Bibir Reki seketika menampilkan senyum bangga. "Apa kamu juga mau ngasih tau sama aku?" Lagi-lagi Reki balik bertanya. "Selama kita nggak ketemu, kamu makan apa aja sampe nggak tinggi-tinggi lagi?"
"Dasar!" tukas Velly.
Reki terkekeh. "Ngeliat kamu kayak gini," lirih cowok itu. "Sepertinya kamu memang udah mendingan ya?"
"Tenang aja. Diare aku udah mendingan sih. Udah nggak mondar-mandir ke toilet lagi." Velly menjawab seraya menoleh pada Reki. Tersenyum. "Cuma perlu istirahat aja bentar."
Mata Reki berkedip sekali. "Besok kamu masuk?"
"Ehm ...," dehem Velly. "Nggak tau juga sih. Emang kenapa?"
Reki tampak menarik napas dalam-dalam. Seperti cowok itu yang sedang menguatkan dirinya sendiri. Lantas, ia menjawab.
"Nggak. Aku cuma mau mastiin kalau kamu bukan lagi dalam rangka buat ngindarin aku."
O oh.
Velly membeku.
Dan hal itu jelas disadari oleh Reki. Hingga membuat cowok itu meringis.
"Emang ini masuk akal?" tanya Reki. "Kamu yang mata-matain aku sama Jessi, eh malah kamu yang kabur?"
Velly mengerucutkan bibirnya. "Ya maaf, Ki. Aku nggak maksud buat nguping. Cuma ...."
"Cuma apa?" tanya Reki. "Kamu penasaran sama aku dan Jessi?"
Glek.
Mata Velly membesar. Tampak horor melihat pada Reki.
"Gara-gara aku kepikiran kalau kamu ngindarin aku, makanya aku datang malam ini nyamperin kamu di rumah," gerutu Reki.
Velly melirih. "Segitunya ...."
"Makanya aku tanyain," kata Reki lagi. "Kamu besok masuk atau nggak?"
"Emangnya kenapa? Kalau aku masuk kenapa? Kalau aku nggak masuk kenapa?"
Kalau tadi Velly yang meneguk ludahnya, kali ini justru Reki yang melakukan hal itu. Bahkan lebih lagi. Reki tampak berulang kali menarik napas panjang. Tanpa sadar, ia pun lantas mengusap-usap kedua telapak tangannya yang basah.
Astaga!
Aku keringatan kayak gini?
Ckckckckck.
Beringsut lagi di kursinya, Reki semakin mendapatkan akses untuk menatap Velly lekat-lekat. Memaku tatapan mata gadis itu. Lantas, ia pun memasang wajah serius.
"Karena ... kalau kamu besok masuk, berarti aku nembaknya besok."
T-t-tunggu ....
Velly melongo. Tapi, belum lagi ia bisa bicara, eh ... Reki keburu bicara lagi.
"Tapi, kalau kamu besok nggak masuk, ya artinya aku nembaknya kini."
Kali ini bukan lagi melongo, Velly nyaris merasa nyawanya yang mendadak keluar dari ubun-ubun kepalanya. Terbang jauh meninggalkan tubuhnya. Hingga ia persis seperti mayat hidup. Tak bergerak. Bahkan matanya pun tak berkedip. Terutama ketika Reki kembali bertanya.
"Nah! Kamu maunya ditembak kapan?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top