48. Buah Kenekatan
Tidak perlu otak sepintar Albert Einstein untuk bisa menebak bahwa Velly sedang berusaha untuk menghindari dirinya. Setidaknya itulah yang Reki pikirkan.
Pasti ....
Udah yang malu gitu kan ketauan sama aku kalau tadi pagi dia ngintip.
Ckckckckck.
Udah ketauan bukannya minta maaf, eh ... malah kabur.
Mungkin di lain waktu, kalau mendapati ada orang yang menguping pembicaraan pribadinya, Reki bisa saja marah. Tapi .... Sepertinya sekarang tidak. Alih-alih marah, cowok itu sejujurnya lebih merasa geli. Hingga tidak aneh sama sekali bila pada akhirnya –melupakan rasa kesalnya karena Velly pulang di tengah jam sekolah-, Reki memutuskan untuk menjenguk gadis itu.
Tentu saja, dengan seringai jahilnya ia berkata.
"Kalau aku datang ke rumah, kamu mau kabur ke mana lagi heh? Ke lobang tikus? Hahahaha."
Maka dari itulah mengapa ketika jam menunjukkan jam setengah delapan malam, Reki sudah berada di depan pintu rumah Velly. Mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Tak lama bagi cowok itu untuk menunggu hingga kemudian pintu terbuka dan Bandi tampak terkejut.
"Loh, Reki?"
Reki mencoba untuk sesantai mungkin ketika mendapati Bandi yang terheran-heran dengan kedatangannya. Dan itu Reki akui sebagai hal yang ... wajar.
Hiks.
Diam-diam, dalam hati Reki meringis. Menguatkan hatinya sendiri.
Kok aku bisa senekat ini sih?
Ampuuun dah!
Reki lantas memulas satu senyum. Terkesan kaku memang. Karena astaga! Mendadak saja saat itu Reki menyadari bahwa berhadapan dengan Bandi –mantan jawara kampung- memang membuat lututnya sedikit goyah. Tapi, tentu saja Reki tidak akan mundur. Malu dong dengan status gendernya. Hihihihi.
Reki mengulurkan tangan. Bersalaman sejenak dengan Bandi.
"Malem, Om," katanya. "Mau jenguk Velly."
Perkataan Reki otomatis saja membuat dahi Bandi berkerut-kerut. Maka tidak mengherankan sama sekali bila pada akhirnya pria paruh baya itu berkata seperti ini seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri.
"Kamu mau jenguk Velly yang lagi diare?"
Ah ....
Jadi dia emang beneran diare?
Aku pikir gara-gara mau kabur dari aku.
Hihihihi.
Reki buru-buru menganggukkan kepalanya. "Iya, Om."
"Aaah ...."
Bandi hanya melirih pelan. Bagaimanapun juga, pria itu merasa sedikit aneh. Bahkan sempat mempertanyakan hal itu di benaknya.
Sejak kapan ada orang ngejenguk orang yang lagi sakit diare?
Tapi, terlepas dari rasa heran itu, Bandi tetap saja mempersilakan Reki untuk masuk.
"Ayo, masuk," kata Bandi seraya masuk dengan diikuti oleh Reki.
Keduanya tampak duduk di ruang tamu. Reki memilih untuk duduk di sofa satu orang. Meletakkan bingkisan yang ia bawa di atas pangkuannya dan mendengar sayup-sayup suara televisi dan suara-suara wanita dari dalam sana.
"Tadi sebenarnya Velly itu nelepon Om."
Suara Bandi mengalihkan perhatian Reki yang untuk beberapa detik justru tertarik dengan keriuhan di ruangan bagian dalam itu. Ia pun lantas beralih pada Bandi. Menampilkan ekspresi memerhatikan dengan raut simpatik.
"Minta Om jemput di sekolah," lanjut Bandi lagi. "Tapi, Om lagi rapat."
Reki angguk-angguk kepala. "Oh ...."
"Tapi, Om suruh dia biar minta antar sama kamu ..."
Mata Reki mengerjap-ngerjap.
"... eh, tapi kata dia takut ngerepotin kamu."
Reki spontan menyipitkan matanya.
Ehm ....
Emang pernah gitu Velly ngerasa nggak enakan?
Takut ngerepotin aku?
Ha ha ha ha ha.
Mana percaya aku mah!
Tapi, Reki mempertahankan raut simpatik di wajahnya. Manggut-manggut. Lalu bertanya.
"Sekarang gimana keadaan dia, Om?"
"Ehm ... tadi sih masih mondar-mandir ke toilet," jawab Bandi. "Tapi, kayaknya setelah minum teh pahit gelas ketiga, dia sudah mendingan."
"Oh ... syukurlah kalau gitu, Om."
Seraya mengatakan itu, otak Reki berpikir bagaimana caranya untuk bisa bertemu dengan Velly sementara Bandi tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti bicara. Yang ada justru mengatakan hal lainnya.
"Padahal dulu itu Velly tidak seperti ini loh."
"Aaah ...."
Maka terpaksalah Reki angguk-angguk kepala lagi. Memberikan ekspresi yang memerhatikan perkataan Bandi. Ckckckck.
"Waktu Velly masih kecil dulu," sambung Bandi. "Anak itu nggak mudah sakit. Eh ... udah besar gini malah mudah sakit."
Reki lagi-lagi angguk kepala. Lantas merasa bodoh karena bingkisan yang ia bawa tidak ia letakkan di atas meja. Maka dari itu Reki sedikit beringsut. Bermaksud untuk meletakkan bingkisan itu di sana dan mendapatkan pertanyaan dari Bandi.
"Eh, ngomong-ngomong ... itu apa yang kamu bawa?"
Menoleh, Reki pun menjawab. "Oh, ini seperangkat alat---"
Bandi menatap Reki. Dan Reki buru-buru memamerkan cengirannya.
"Seperangkat obat dan makanan buat Velly, Pak."
Ya Tuhan!
Mendadak saja rasa panas menjalari wajah Reki.
Seperangkat obat dan makanan?
Sejak kapan obat dan makanan pake seperangkat heh?
Sementara itu, Bandi mendadak saja seperti baru ingat sesuatu. Membuat matanya membesar.
"Oh, ck. Kamu mau jenguk Velly kan?"
Reki buru-buru menganggukkan kepalanya. "Iya, Om."
"Bentar," kata Bandi pada Reki. Lalu pria paruh baya itu tampak berseru. "Ria! Tolong panggil Kak Velly. Ini ada temannya yang mau jenguk."
Mendengar perkataan Bandi, bukannya Ria langsung melakukan perintah itu, eh ... yang terjadi justru sebaliknya. Mendadak saja suara grasah-grusuh terdengar mendekat ke ruang tamu. Dan Reki langsung meneguk ludah ketika mendapati ada tiga orang cewek yang langsung melihat padanya.
"Aaah ... rupanya kakak yang itu yang datang."
"Kirain teman Papa."
Mesya tampak menarik baju Ria. Ikut-ikutan heboh. "Yang antal Kakak?"
"Iya. Yang kamu intip waktu itu."
Glek.
Reki seketika mengerjap-ngerjapkan matanya. Tampak canggung seketika. Terutama ketika dilihatnya gadis kecil itu mendekatinya.
"Ah. Kakak tukang antal Kakak."
Dooong!
Reki melongo sementara Bandi buru-buru berkata lagi pada anaknya. Kali ini memilih Della.
"Del, panggil Kakak bentar."
Della langsung angguk-angguk kepala. Beranjak dari sana dan berpapasan dengan Rahayu.
"Loh? Ada teman Velly?"
Maka merindinglah Reki.
Ya salam.
Perasaan aku cuma mau jenguk Velly sih, tapi ke-ke-kenapa semua anggota keluarganya pada keluar ya?
N-n-nenek dan kakeknya keluar juga nggak?
Rahayu tampak mengambil tempat di sebelah Bandi. Berusaha untuk menarik Mesya yang tampak bersemangat untuk mengganggu Reki, sementara Ria tampak masuk kembali.
"Teman Velly?"
Reki buru-buru bangkit. Bersalaman dan mengenalkan dirinya. "Reki, Tan."
"Oh ..., Reki."
Di sebelahnya, Bandi berkata.
"Ini loh, Ma, yang aku bilangin tempo hari. Wajahnya keliatan nggak asing sama Papa."
Rahayu melirih. "Oh, Reki yang ini maksud Papa."
Ya Tuhan.
Rasa-rasanya Reki ingin mengelap peluh yang mendadak muncul di wajahnya.
Ini kenapa aku berasa kayak yang sering dighibahin di rumah ini sih?
Dasar Velly!
Dia ada ngomongin apa aja tentang aku sih?
Duduk kembali, Reki berdoa semoga Velly segera keluar. Sumpah! Mendadak saja Reki menjadi sulit menarik udara. Seperti seisi ruangan itu dipenuhi oleh karbondioksida, alih-alih oksigen.
Ngap! Ngap!
Napas, Ki, napas.
Berusaha untuk menjaga sikapnya, Reki tersenyum saja ketika Mesya kembali melepaskan diri dari Rahayu dan beranjak padanya.
"Kakak temen Kakak?"
"Ha ha ha ha," tawa Reki dengan kaku. "Iya. Adek namanya siapa?"
Mesya tampak menarik rambutnya yang menempel di pipi. Baru ia menjawab. "Meca."
Dan Rahayu membenarkan. "Namanya Mesya."
Mesya angguk-angguk kepala. "Apa Kakak tau kalau Kakak dulu mirip dengan Meca?"
"Eh?"
Longoan Reki membuat Mesya tersenyum lebar. "Bental ya, Kak."
Lalu tanpa diduga oleh siapa pun, Mesya berlari. Masuk ke dalam hingga membuat Rahayu merasa tak enak.
"Maklum ya, Ki. Namanya aja anak-anak."
Reki kembali menganggukkan kepala. Dan entahlah, Reki memutuskan untuk tidak akan menghitung entah sudah berapa kali ia angguk-angguk kepala. Hingga kemudian, terdengar derap langkah Mesya. Tampak memeluk satu album foto.
"Kok album fotonya dibawa keluar, Sya?" tanya Rahayu.
Mesya menuju Reki. "Bial Kakak lihat Kakak, Ma."
Beralih pada Reki, Mesya menyerahkan album foto itu. Tampak tangannya yang mungil membukanya.
"Kakak mau lihat Kakak kecil?"
Dan entahlah, semuanya kemudian mengalir begitu saja. Pada akhirnya, Rahayu dan Bandi pun turut bergabung dengan mereka. Melihat foto Velly ketika masih kecil.
"Lihat? Dulu Velly itu besar dan tinggi loh," kata Rahayu. "Persis kayak Papa."
Bandi tertawa. "Tapi, setelah dia masuk SD, Velly seperti nggak mengalami pertumbuhan lagi."
Tawa pun pecah. Sementara itu Mesya masih begitu bersemangat membuka lembaran album berikutnya. Tepat ketika pada kumpulan foto di mana Velly tampak mengenakan seragam.
"Ini waktu dia masih TK. Lihat kan? Velly tinggi."
Reki mengerutkan dahi. Melihat di mana jari telunjuk Rahayu menunjuk. Tapi, fokus matanya bukan di foto Velly kecil. Alih-alih pada gambar seorang anak cowok pendek dan kurus yang tampak berdiri di sebelahnya.
"Kok aku kayak familiar ya sama anak ini?"
Walau pertanyaan itu terkesan lirihan, tapi tetap saja terdengar oleh Rahayu dan Bandi. Hal yang sontak saja membuat dua orang paruh baya itu melihat wajah Reki lekat-lekat. Lalu dengan kompak melihat lagi pada album foto. Lalu melihat lagi pada Reki.
Reki melongo. Lalu mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Ah!" Bandi menepuk tangannya sekali. "Pantas Papa ngerasa familiar!"
Reki masih melongo.
"Ini kamu bukan, Ki?" tanya Rahayu kemudian.
Dan ketika Reki masih mencerna pertanyaan itu, mendadak saja seperti ada suara yang melintas di benaknya.
"Kamu ini cewek, masa manjat pagar?"
Mungkin hanya itu yang mengiang di benaknya. Tapi, sejurus kemudian ada bayangan yang melibatkan pagar, seorang anak yang memanjat, dan lantas tanaman semak yang mereka timpa lantaran terjatuh.
Ajaib sekali. Karena jelas, beberapa tahun kemudian seperti ada kejadian yang nyaris persis terjadi seperti itu. Tapi, kali itu melibatkan pohon cemara kipas, bola ungu, dan yang masih sama hanyalah tanaman semak.
"Kamu ini cewek, masa manjat pohon cemara kipas?"
Di saat itu, Reki hanya bisa melongo untuk beberapa saat. Sementara jelas, Bandi dan Rahayu tampak tertawa-tawa karena kenyataan yang satu itu.
"Ini loh bocah yang dulu suka ngekorin Velly ke mana-mana."
"Tapi, dulu kan kecil anaknya. Kok sekarang gede gini?"
"Makanya Papa itu dari pertama lihat Reki ngerasa nggak asing sama wajahnya."
"Papa sering ketemu pas jemput Velly itu mah."
Sementara sepasang suami istri itu tampak lucu dengan hal tersebut, Reki hanya bisa membeku. Merasa tak percaya.
Gimana bisa?
Tapi, ketika otaknya memikirkan hal itu, mendadak saja ada suara yang memanggil namanya.
"Reki ...."
Reki seketika mengangkat wajahnya. Melihat pada Velly yang muncul dari dalam. Masih diam tanpa suara.
Hingga beberapa saat kemudian, setelah matanya mengerjap sekali, suara parau cowok itu balas memanggil.
"Velly ...."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top