47. Kabur? Ya Kejar Dong!

Eshika baru saja selesai membayar jajananya yang berupa seplastik gorengan dan dua gelas teh hangat ketika mendapati ponselnya bergetar. Maka mengurungkan sejenak niatan hatinya untuk langsung meninggalkan kantin, ia meletakkan dulu jajanannya itu di satu meja. Tepat ketika ada satu celetukan mendarat di indra pendengarannya.

"Banyak amat, Esh. Butuh aku buat ngabisin nggak?"

Eshika menoleh. Mendapati Reki yang tampak cengar-cengir melihat ke dalam plastik gorengannya. Dan tangan cowok itu pun langsung ditepis oleh Eshika. Matanya tampak mendelik sekilas.

"Jangan diambil," katanya. "Ini buat Velly."

"Ehm .... Buat dia? Kenapa emangnya?"

Tak langsung melihat ke ponselnya, Eshika mengembuskan napas panjang. Menggeleng sekilas.

"Nggak tau deh. Kayaknya sekarang dia makin bad mood gitu. Ya ... kali aja abis makan gorengan dia bakal enjoy lagi."

Reki manggut-manggut. "Aaah ...."

Eshika kemudian lantas beralih pada ponselnya. Langsung membuka pesan dari Velly. Mulanya cewek itu mengira kalau Velly akan meminta dirinya membelikan sesuatu di kantin, tapi eh .... Pesan itu justru membuat Eshika membolakan matanya. Seraya terkesiap tentunya.

"Eh? Apa-apaan ini anak?"

Kesiap itu membuat Reki mengerutkan dahinya. Melirik sekilas pada ponsel Eshika dan bertanya.

"Kenapa, Esh?"

Bingung ingin menjawab apa, pada akhirnya Eshika menyerahkan ponselnya pada Reki. Membiarkan cowok itu untuk turut-turutan terkesiap lantaran pesan dari cewek berponi itu.

[ Bestie! ]

[ Esh .... ]

[ Tolong izinkan aku ya? ]

[ Perut aku sakit banget. ]

[ Diare .... ]

[ Aku beneran nggak tahan. ]

Menyerahkan kembali ponsel itu pada pemiliknya, Reki kemudian bertanya pada Eshika dengan nada yang tak yakin.

"Izinkan? Ini bukan yang maksudnya dia kayak mau balik gitu kan?"

Tak menjawab, Eshika hanya menampilkan ekspresi wajah yang pelan-pelan berubah menjadi satu ringisan. Dan untuk itulah mengapa kemudian tanpa mengatakan apa pun lagi, Reki beranjak dari kantin. Mengabaikan seruan Eshika.

"Ki! Kamu mau ke mana?"

Reki berlari. Terburu-buru menuju ke kelas hanya untuk geleng-geleng kepala. Tak ada lagi tas atau pun Velly di mejanya. Membuat cowok itu dengan serta merta keluar dari kelas. Sekarang menuju ke gerbang sekolah. Tepat ketika matanya melihat sosok Velly yang masuk ke satu mobil dan ia pun berlalu.

"Vel!"

Reki melihat dengan kesal ketika pelan-pelan mobil yang membawa Velly lenyap dari pandangannya. Hingga tanpa sadar saja, seraya berkacak pinggang, ia menyeletuk frustrasi.

"Diare atau mau kabur hah? Aku doain kamu bener-bener diare!"

Tak hanya mengatakan itu sebenarnya, di dalam hati, Reki menambahkan berbagai sumpah-sumpahnya pada Velly.

Awas aja kamu ya, Vel.

Kamu pikir bisa kabur beneran heh?

Dan di saat itu, ketika ia belum selesai merutuki Velly, mendadak saja terdengar satu suara yang menyeletuk.

"Pasti gara-gara kamu berduaan di parkiran pagi tadi kan?"

Reki menoleh tanpa menjawab. Walau tentu saja, Reki membenarkan pertanyaan Mulyo itu. Hingga kemudian, cowok itu pun memutuskan untuk beranjak dari sana. Meninggalkan Mulyo yang kembali menyeletuk.

"Haaah. Anak muda anak muda. Ckckckck. Udah tau ceweknya muda ngambek, eh ... masih juga dengan cewek lain yang deket-deket."

Kali ini, sepertinya rasa kesal dan frustrasi Reki semakin menjadi-jadi. Beruntung ia mampu menahan dirinya untuk tidak membalas perkataan Mulyo. Alih-alih, hanya merutukkan hal itu di dalam hati.

Siapa juga sih yang deket-deket dengan Jessi?!

*

Di dalam taksi yang tengah melaju, Velly meremas rambutnya. Bukan tanpa sebab. Tapi, itu karena ia sempat mendengar –bahkan melihat- Reki yang berlari di gerbang sekolah menyerukan namanya.

Ckckckck.

Velly meringis.

"Ya Tuhan, Vel," keluh Velly frustrasi. "Kok kamu begok banget sih? Seandainya tadi pagi nggak nguping, kamu nggak harus kayak gini."

Tapi, Velly sendiri bingung. Dorongan untuk menguping tadi benar-benar tidak bisa dirinya elak. Mana pakai acara ketahuan lagi. Ugh! Memalukan sekali.

Tadi pagi, setelah insiden Reki mengambil sehelai daun semak-semak dari rambutnya, mereka memang tidak mengatakan apa-apa sih. Hanya saja ..., Velly yakin kalau Reki tau. Dan itu membuat Velly tidak tau harus menaruh wajahnya di mana.

Menguping Reki? Memangnya Reki siapa? Padahal kan Reki bukan seperti Eshika yang perlu ia pedulikan. Beda sekali. Tapi ....

Ketika Velly sampai di rumah, tentu saja Rahaya kaget. Terutama ketika anak sulungnya itu langsung berkata.

"Aku diare, Ma. Daripada aku kelepasan di kelas, mending aku balik."

Rahayu mungkin akan mengatakan satu atau dua hal, tapi Velly keburu masuk ke rumah. Mengabaikan Mesya yang terbengong di ruang tamu dengan bertanya.

"Kakak cepat pulang?"

Velly langsung masuk ke kamarnya. Mengunci pintu dan membanting badan ke atas tempat tidur. Meneriakkan jeritannya di sana. Teredam sempurna oleh empuknya kasur.

Dan ketika Velly sibuk menumpahkan kegeramannya, ia merasakan getaran halus ponsel di saku seragamnya. Membuat ia merinding dengan kemungkinan pesan siapa yang masuk.

Ugh!

Hanya dengan membayangkan bahwa itu adalah pesan Reki saja sudah membuat ia ketar-ketir. Apalagi kalau memang itu yang terjadi?

"Aaah!!!"

Velly menjerit. Berniat untuk tidak akan membuka ponselnya dalam jangka waktu yang belum ditentukan lamanya. Ia belum siap lahir dan batin untuk membaca pesan Reki. Yang mana sebenarnya ... tentu saja salah satu dari beberapa pesan yang masuk itu adalah dari Reki.

Mengembuskan napas panjang, merasa sesak juga lantaran kekurangan oksigen saat ia menutup wajahnya di kasur, Velly kemudian mengubah posisinya. Dari menelungkup menjadi menelentang. Lurus membiarkan sepasang matanya melihat pada langit-langit kamar. Dan ketika itulah ....

"Kryuuuk .... Kryuuuk .... Kryuuuk ...."

Velly seketika meringis. Dahinya berkerut-kerut dengan ekspresi yang tampak kaget dan juga menahan sakit dalam waktu yang bersamaan. Kedua tangannya lantas meremas perutnya yang bergemuruh dengan rasa mulas.

"Aaargh .... Pe-pe-perutku ...."

Tidak cukup hanya dengan remasan, Velly pun menyerah. Terbirit-birit langsung menuju ke kamar mandinya. Memenuhi desakan alam yang menghadirkan rasa sakit itu.

Selang lima menit kemudian, Velly keluar dari kamar mandi dengan napas terengah-engah, rambut riap-riapan, dan tubuh bergetar. Nyaris saja ia akan ambruk di atas tempat tidur lagi. Tapi ....

"Kryuuuk .... Kryuuuk .... Kryuuuk ...."

Gemuruh menyakitkan itu mendadak muncul lagi. Lagi-lagi membuat Velly kembali menghambur masuk ke dalam kamar mandi. Lantas, semenit kemudian, terdengar jeritan kesakitan Velly dari dalam sana.

Ckckckck.

Sepertinya Velly tidak berdusta untuk alasan diare.

Ehm ....

Ketika untuk yang kesekian kalinya Velly keluar dari kamar mandi, ia nyaris seperti zombie. Melangkah dengan lunglai. Bahkan sekadar untuk mengangkat kepalanya pun ia seperti tak bisa.

"Velly ...."

Sekuat tenaga Velly berpegang pada dinding. Melihat pada ibunya yang ternyata sudah berada di dalam kamarnya dengan membawa segelas air teh.

"Ma ...."

Velly lantas langsung merosot di atas tempat tidur. Persis seperti agar-agar yang tumpah dari piringnya.

Rahayu meletakkan teh di atas meja belajar. Buru-buru menghampiri Velly yang tampak mengenaskan.

"Aduh, Vel," kata Rahayu iba. "Kamu makan apa sih sampe kayak gini?"

Velly memejamkan matanya. "Kemaren makan bakso setan, Ma. Tapi, malam tadi udah nggak sakit lagi. Eh ... nggak tau ini kenapa mendadak sakit lagi."

"Ckckckckck. Kan kamu tau kalau kamu nggak bisa makan yang aneh-aneh, Vel. Ehm ...."

Rahayu mengusap keringat di wajah. Tampak prihatin. Terutama ketika melihat keringat Velly yang besar-besar sudah membuat seragam yang masih ia kenakan, basah.

"Mama udah buatkan teh pahit. Kamu minum dulu. Kalau sampe malam ntar belum bekurang juga sakitnya," kata Rahayu kemudian. "Kita pergi ke klinik."

Tak menjawab dengan kata-kata, Velly memilih menganggukkan kepalanya. Bahkan tak mengatakan apa pun ketika ibunya keluar dari kamarnya.

Di luar, ketika Rahayu baru saja menutup pintu kamar, ada Mesya yang menghampiri ibunya.

"Kakak atit ya, Ma?"

Rahayu mengusap kepala Mesya, mengangguk seraya mengajaknya beranjak dari sana. Tidak ingin Mesya justru menganggu istirahat Velly.

"Kakak diare," kata Rahayu. "Gara-gara jajan sembarangan."

Mesya angguk-angguk kepala.

"Makanya Mesya jangan jajan sembarangan. Ntar sakit perut kayak Kakak juga."

Membiarkan tangannya dipegang Rahayu ketika mereka menuruni tangga, Mesya berkata seraya menengadahkan kepalanya.

"Tapi, aku jajan banyak-banyak nggak atit kok, Ma."

Rahayu mengangguk. "Dulu Kakak juga gitu. Mau jajan makanan kayak gimana juga nggak sakit. Sekarang? Dikit aja nggak cocok, langsung sakit deh."

Mesya angguk-angguk kepala dengan ekspresi imut. Hingga membuat Rahaya teringat sesuatu.

"Kakak juga mirip kayak Mesya deh. Badannya besar dan tinggi," kata Rahayu geli. "Nggak tau aja kenapa pas gede malah nggak tinggi-tinggi."

Mesya tertawa. "Aku juga nanti nggak tinggi kayak Kakak, Ma?"

"Hahahahaha."

Rahayu tidak ingin menertawai anak sendiri sih, tapi bagaimanapun juga perkataan Mesya membuat ia geli.

"Kamu ini."

Sesampainya di lantai bawah, Mesya kemudian lantas melepaskan diri dari pegangan tangan Rahayu. Berlari meninggalkan ibunya hingga membuat Rahayu berseru.

"Kamu mau ke mana, Sya? Jangan main keluar."

Suara Mesya terdengar mengecil ketika menjawab. "Nggak main keluar, Ma."

Jawaban yang membuat Rahayu menjadi tenang. Merasa bersyukur karena Mesya tergolong anak yang penurut.

"Beda banget sama Velly."

Rahayu terkekeh. Beranjak untuk kembali ke toko kuenya. Tidak merasa khawatir akan Mesya karena nyatanya gadis kecil itu menuju ke ruang keluarga, alih-alih main di luar.

Tangan kecil Mesya membuka satu lemari kaca dengan hati-hati. Tampak menarik satu album foto dari dalam sana. Ehm ... atau beberapa album sepertinya.

Dengan tergopoh-gopoh, Mesya membawanya ke atas meja. Membukanya satu persatu. Dan lantaran perkataan ibunya tadi, maka tidak mengherankan sama sekali bila pada akhirnya Mesya membandingkan foto dirinya dan Velly. Secara wajah, mereka tidak mirip. Tapi, untuk urusan besar dan tinggi, ehm ... sepertinya yang dikatakan oleh Rahayu memang benar.

Menyadari itu, Mesya tertawa-tawa. Menikmati waktunya dengan melihat-lihat foto seluruh anggota keluarganya.

*

Malam itu, Velly sudah merasa baikan. Durasinya ke toilet jelas sudah berkurang. Dan itu pun kotorannya sudah tidak terlalu parah lagi. Hal yang melegakan untuknya. Ternyata seduhan teh hangat dengan rasa pahit buatan Rahayu ampuh untuk melawan diarenya.

Tapi, walaupun Velly sudah mendingan, bukan berarti ia sudah pulih seratus persen. Karena itulah ia memilih beristirahat saja di kamar. Hingga kemudian, pintu kamarnya diketuk.

Della muncul dari celah pintu yang ia buka, melonggokkan kepalanya. Tampak tersenyum lebar.

"Kakak ...."

Mata Velly menatap lesu pada adik keduanya itu. "Apa?"

"Lemes?"

Bingung, tapi ia tetap menjawab. "Iya ...."

"Bagus deh," timpal Della sambil cengar-cengir.

Sontak saja mata Velly membesar. Tapi, sebelum ia sempat mengucapkan satu patah kata pun, Della kembali bicara.

"Untung banget ada yang datang buat jengukin Kakak. Mana bawa banyak makanan coba."

Velly mencelat. Ajaib sekali. Tapi, sekarang kakinya tampak kuat berdiri di atas lantai.

Terdengar ngeri di suaranya, Velly bertanya dengan ekspresi horor.

"Reki?"

Della mengubah cengirannya menjadi senyum menggoda. Menjadi mimik wajah yang membuat Velly merasa mual-mual. Alih-alih mulas seperti tadi.

"Iya."

Jawaban itu membuat Velly membeku.

Ya Tuhan!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top