44. Kode Atau ....

Setelah beberapa meter meninggalkan kawasan sekolah, Reki pun memutuskan untuk menurunkan kecepatan laju motornya. Bukannya apa, tapi Reki sama sekali tidak berniat Valentino Rossi merasa bangga padanya. Yang tadi itu, ketika Reki menarik gas lebih dalam dari biasanya, murni karena ingin menghindari Mulyo saja kok. Tidak lebih dan tidak kurang. Apalagi jelas, Reki menyadari bahwa di belakangnya ada seorang penumpang yang pasti akan menghajar dirinya kalau ia sampai kebut-kebutan.

Mendehen sejenak, Reki lantas menaikkan total kaca helmnya. Melirik melalui spion dan memanggil nama gadis itu.

"Vel ...."

Mata Velly bergerak spontan. Membalas tatapan Reki. Juga melalui spion itu.

"Apa?"

Ugh!

Seenggaknya Velly masih mau ngomong.

Reki mendehem lagi. "Sebelum balik," katanya. "Mau mampir makan nggak?"

Tak langsung menjawab, Velly justru diam sejenak untuk beberapa detik. Lantas cewek itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Tadi yang ngajak aku makan es teler gunung siapa heh?"

"Oh iya," cengir Reki. "Sorry sorry. Kirain kamu nggak mau."

Velly diam.

"Ternyata mau," kata Reki geli. "Oke. Kalau gitu kita makan es teler gunung."

Selesai mengatakan hal itu, Reki pun kembali fokus melajukan motornya. Berusaha untuk mampu terus melaju di kecepatan yang konstan sementara makin lama kendaraan makin memadati jalanan.

Ketika Reki mulai nyaman melajukan motornya, cowok itu merasakan sesuatu di saku celananya. Getaran ponselnya. Namun, Reki mengabaikannya. Alih-alih mengangkat panggilan itu, Reki terus saja fokus dengan jalanan di depannya.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, Reki mengarahkan motornya memasuki satu resto. Tidak besar sih, tapi jelas bukan tempat makan abal-abal. Hingga ketika Velly turun dari motor, ia melayangkan tatapan sanksi miliknya untuk cowok itu.

Reki menerima helm yang tadi dikenakan oleh Velly. Bertanya.

"Apa?"

Seraya memutar pandangannya ke sekeliling, Velly justru balik bertanya. Alih-alih menjawab.

"Beneran kamu ngajak aku makan di sini?" Velly mengangkat wajahnya dan melayangkan sorot menyelidik. "Kamu bawa dompet nggak? Aku nggak mau ntar kamu jahilin aku. Ngomong nggak bawa dompet."

Reki tergelak. Seraya turun dari motor, ia membuka tas ranselnya. Mengeluarkan dompetnya dan meletakkan benda itu di tangan Velly. Di saat Velly melongo melihat dompet di tangannya, Reki justru melenggang meninggalkan gadis itu seraya berkata.

"Cek deh. Ada isinya atau nggak."

Velly tergugu. Berpaling dan mendapati Reki yang hampir melewati ambang resto itu. Maka ia pun langsung berlari. Menyusul cowok itu dan turut masuk. Tidak benar-benar mengecek benda itu seperti perkataan pemiliknya.

Kedua remaja itu memilih duduk di satu meja yang menghadap ke taman samping resto. Langsung membuka buku menu dan Reki menunjuk pada satu gambar.

"Ini nih yang namanya es teler gunung."

Velly melihat pada gambar es teler yang tampak menggunung. Lantas matanya mengerjap beberapa kali. Tampak melongo.

"Aku pikir es teler apaan," kata Velly datar. "Ternyata es teler yang esnya menggunung?"

Reki terkekeh. "Gunungnya tinggi, Vel. Beneran."

Velly tak menggubris perkataan Reki. Alih-alih membolak-balikkan buku menu itu sementara Reki terus mengoceh.

"Kapan hari aku pernah diajak Kak Gigi makan di sini. Terus anaknya yang masih kelas 1 SD itu pesan ini dan aku cicip dong. Makanya aku yakin. Kamu pasti suka makan es teler gunung ini."

Sepertinya Reki bangga sekali mengatakan hasil pemikirannya itu. Yang mana tentu saja dilihat dengan sudut yang berbeda dengan Velly.

"Jadi ...," lirih Velly. "Menurut kamu, selera aku dan anak kelas 1 SD itu sama?"

"Hahahahaha. Nggak gitu juga sih maksudnya. Cuma---"

"Oke!"

Velly memotong perkataan Reki seraya menutup buku menu. Tampak mengangguk-anggukkan kepalanya berulang kali.

"Es teler gunung dan juga bakso setannya," kata Velly mantap. "Aku pesan itu."

Reki menyeringai. Mengangkat tangannya dan menunggu seorang pelayan menghampiri meja mereka. Menyebutkan pesan mereka.

Keduanya menunggu tak terlalu lama. Mungkin sekitar lima belas menit untuk pesanan mereka lantas tersaji di meja. Ada bakso setan dan es teler gunung pesanan Velly, serta nasi ayam lada hitam dan es teh lemon.

Melihat pesanan mereka, sejenak Velly terdiam. Seperti tengah merenung. Hingga kemudian ia menunjuk.

"Kenapa aku berasa kayak anak-anak banget?"

Reki terkekeh. Menyadari bagaimana bedanya pesanan mereka. Es teler gunung versus es teh lemon. Bakso setan versus nasi ayam lada hitam.

"Udah udah," kata Reki kemudian. "Yang penting biar kamu bisa cepet gede."

Velly mencibir. Meraih sendok dan garpunya untuk menikmati bakso setannya, tapi dihalangi oleh Reki.

"Bentar, Vel," cegah cowok itu. "Ketimbang kamu makan bakso sekarang, mending kamu nikmati dulu puncak es teler gunung kamu."

Gerakan tangan Velly berhenti di udara. Matanya melirik pada mangkok es teler gunungnya. Terlihat tengah menimbang perkataan Reki.

Ehm ....

Ada benarnya juga sih.

Es teler gunung yang dikatakan oleh Reki, benar-benar memiliki bentuk seperti gunung yang menjulang. Tingginya mungkin nyaris mencapai dua puluh lima sentimeter. Sekilas melihat, Velly pun bisa mendapati beragam isi di mangkok itu. Ada serutan alpukat, serutan kelapa muda, potongan buah nangka, apel, pepaya, sawo, dan melon. Belum lagi ada tambahan cincau, kolang-kaling beragam warna, dan agar-agar. Dan sebagai penutup, ada es serut yang menjulang tinggi. Ah, pun tak luput ada kehadiran sirup coco pandan dan krimer kental manis di sana.

Kali ini, setelah mengamati es itu lamat-lamat, mau tak mau Velly mengeluarkan kesiap takjubnya.

"Gimana bisa es setinggi ini nggak jatuh ya?"

Reki terkekeh. "Bentar lagi esnya mulai cair loh."

Membenarkan perkataan Reki, Velly lantas meletakkan sendok dan garpu di mangkok baksonya. Menyisihkan makanan itu sejenak dan beralih mengambil sendok es teler gunungnya.

Sebagai pembuka, Velly menyendok puncak es serut itu. Dan selagi ia mengarahkan sendok itu ke dalam mulutnya, matanya bisa melihat bagaimana Reki menatap dirinya. Seolah sedang menunggu detik-detik es itu ia nikmati.

Velly mengemut es serut itu. Seketika saja rasa dingin dan manis menyentuh saraf perasanya.

"Gimana gimana?" tanya Reki penasaran. "Enak kan?"

Membiarkan es di dalam mulutnya mencair dan lantas lenyap, Velly mengangguk. Mengakui rasanya yang enak. Hingga di detik selanjutnya, sendok itu kembali bergerak. Berganti-gantian masuk ke mulut Velly dengan diselingi oleh satu sedotan. Kadang Velly menyeruput kuahnya, kadang Velly menikmati buahnya. Begitulah yang terjadi berulang kali.

Melihat Velly yang begitu menikmati es teler gunung itu, sontak membuat Reki geleng-geleng kepala. Meraih sendok dan garpunya, Reki bergumam lirih.

"Ehm .... Ternyata selera anak kelas 12 dan anak kelas 1 bisa sama ya?"

Reki terkekeh kecil. Jelas mengetahui bahwa Velly mencibir sebagai respon perkataannya. Tapi, ketika Reki baru akan menikmati makanannya, ia mendengar perkataan Velly.

"Ngomong-ngomong, kamu nggak mau nyoba es teler gunung ini juga? Kayaknya juga nggak bakal abis sama aku."

Sedetik, Reki melongo. Hingga nyaris membuat Velly salah tingkah. Tapi, detik selanjutnya Velly justru merasakan desakan untuk membenamkan kepala Reki di es teler gunung itu.

"Kamu persis banget kayak keponakan aku itu," kata Reki takjub. "Waktu itu Oca juga ngajak aku makan es teler gunung itu bareng-bareng karena takut nggak abis coba."

Rasa-rasanya sudut bibir Velly berkedut dalam dorongan ingin mengumpati cowok itu. Atau desakan untuk mengambil garpu dan menancapkannya ke bola mata Reki. Alih-alih, ia berkata.

"Kalau nggak mau ya udah." Bibirnya mencibir lagi setelah mengemut esnya. "Aku nggak rugi."

Reki terkekeh. Tapi, tangannya justru terulur untuk mengambil satu sendok yang tersedia di meja. Langsung mengambil dalam sendokan yang menggunung dan turut menikmati es teler gunung itu.

Seraya berbincang ringan, Velly dan Reki lantas menikmati waktu di sela-sela mulut yang tetap bergerak. Hingga tak terasa, sekitar setengah jam berlalu dan semua pesanan mereka habis tak tersisa. Piring dan mangkok bersih semua.

"Aaah," desah Velly. "Aku kekenyangan." Mulutnya mengembuskan napas panjang. "Dan juga kepedasan."

Reki terkekeh. "Aku nggak tanggung jawab loh ya kalau kamu mendadak diare kayak Tama kapan hari."

"Jelas kamu yang harus tanggung jawab," kata Velly. "Kan nggak mungkin Tama yang tanggung jawab."

Untuk beberapa saat lamanya, mereka tampak bersantai demi mendamaikan sejenak perut mereka yang kenyang. Lantas, barulah mereka beranjak dari sana. Langsung melanjutkan perjalanan pulang mereka.

Ketika motor Reki berhenti di depan pintu pagar rumahnya, hari sudah nyaris menunjukkan jam setengah enam sore. Lebih lama dari yang sempat Velly pikirkan tadi.

Velly menyerahkan helmnya. Memilih untuk tidak langsung masuk ke dalam rumahnya. Alih-alih, ia menunggu Reki terlebih dahulu.

Setelah memastikan posisi helm yang tadi dipakai oleh Velly mantap di atas tangki motornya, Reki bersiap.

"Aku balik."

Velly mengangguk. "Oke. Hati-hati."

Tak mengatakan apa-apa lagi, Reki lantas melajukan motornya. Meninggalkan Velly yang untuk beberapa saat masih berdiri di depan pagar. Menunggu hingga motor itu menghilang dari pandangan matanya. Hanya untuk merasakan sesuatu di perutnya.

"Aaargh ...."

Velly meremas perutnya ketika merasakan mulas. Sontak saja membuat ia terbirit-birit masuk ke rumah. Menuju ke kamarnya dan langsung berakhir di kamar mandi seraya mengumpat.

"Dasar Reki!"

*

Ketika Reki sampai di rumahnya, jam sudah menunjukkan jam enam sore lebih sepuluh menit. Cowok itu bergegas menuju ke kamar mandi. Membersihkan diri dengan menikmati guyuran air yang membasahi kepalanya.

Dengan rasa lega dan segar, Reki lantas beranjak menuju ke lemari pakaian. Memilih untuk mengenakan satu kaos santai bewarna putih dengan celana basket. Dan setelah menyisir rambutnya dengan sepuluh jari tangannya, Reki lantas meraih ponselnya.

"Ah," lirih Reki. "Tadi kayaknya ada yang nelepon bukan ya?"

Reki langsung membuka ponselnya. Sontak saja dahinya berkerut ketika mendapati ada empat panggilan tak terjawab dari Jessica.

"Eh? Kenapa Jessi nelepon aku?"

Menahan rasa penasarannya, Reki lantas membuka aplikasi Whatsapp. Cowok itu mengabaikan pesan di grup kelas. Langsung menuju pada pesan Jessica.

[ Jessi ]

[ Ki .... ]

[ Kamu udah balik ya? ]

[ Aku nungguin di parkiran. ]

"Ya Tuhan ...."

Reki mendesis seraya menepuk dahinya sendiri. Baru teringat bahwa tadi ia dan Jessica memang sudah janjian untuk bertemu di parkiran.

"Aduh. Gara-gara mau nunjukin es teler gunung ke Velly," desah Reki. "Aku jadi lupa kalau tadi aku ada janji sama Jessi."

Merasa tak enak, kedua ibu jari Reki pun bergerak. Akan membalas pesan itu dengan ucapan maafnya. Tapi, demi apa? Mendadak saja ada pesan Velly masuk. Refleks saja langsung dibuka oleh Reki.

[ Velly ]

[ Ki .... ]

[ Aku beneran diare! ]

[ Omongan kamu itu ya! ]

Harusnya sih Reki bersedih. Atau paling tidak bersimpatik. Tapi, eh ... yang terjadi justru sebaliknya. Cowok itu tertawa terbahak-bahak seraya membalas seperti ini.

[ Velly ]

[ Itu diare atau perut kamu kepenuhan? ]

[ Ckckckckck. ]

[ Jadi pantas ya badan kamu nggak gede-gede. ]

[ Makan banyakan dikit, eh ... langsung dibuang aja sama perut. ]

[ Makanannya cuma numpang lewat doang. ]

[ Hahahahaha. ]

Dan tawa Reki masih berderai ketika dilihatnya Velly langsung mengetik balasan pesannya. Hingga kemudian rasa geli yang cowok itu rasakan seketika lenyap tak tersisa tepat ketika ia membaca balasan pesan Velly selanjutnya.

[ Velly ]

[ Aku sih bersyukur kalau makanan yang cuma numpang lewat doang. ]

[ Asalkan aja jangan si dia yang numpang lewat doang. ]

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top