4. Rasa Curiga
Ehm ....
Ini benar-benar mencurigakan.
Eshika? Tama?
Tama? Eshika?
Ah ....
Masa?
Kayak yang nggak masuk akal gitu sih ....
Tapi, siapa yang tau kalau emang gitu yang terjadi?
Velly geleng-geleng kepala. Menarik napas dalam-dalam saat berbagai pertanyaan itu muncul di benaknya. Terasa seperti tengah berputar-putar hingga membuat kepalanya terasa pusing.
Emang bener sih.
Mami Eshika nyuruh Tama buat ngejagain Eshika.
Tapi ....
Velly mengusap-usap dagunya.
Kesannya kayak yang berlebihan gitu nggak sih?
Kayak yang Tama ngotot banget nggak mau ngeliat Alex deket-deket dengan Eshika.
Padahal biasanya mah Tama yang kayak nggak peduli gitu sama Eshika.
Lagian riwayat hubungan mereka juga nggak pernah bagus.
Tapi, sekarang?
Tama malah ngebet biar Eshika bareng dia?
Kenapa?
Mengapa?
Kok bisa?
Ini benar-benar aneh.
Mata Velly menyipit. Menikmati pertanyaan yang semakin banyak mendatangi benaknya itu sementara matanya melihat pemandangan di depannya. Di mana Eshika dan Tama yang memesan makanan mereka berdua. Seolah lupa dengan orang-orang di sekitar mereka.
Di saat itu, Velly pun lantas teringat. Ketika tadi mereka mencari novel di Gramedia, ia pun bisa merasakan bagaimana sikap Tama dan Alex seperti yang saling bermusuhan. Dan sekarang, di saat mereka sedang memesan makanan, otomatis hal tersebut membuat Alex tampak tak suka dengan kedekatan mereka.
Apa Eshika suka Tama?
Velly geleng-geleng kepala.
Eh, nggak mungkin banget kan Eshika bakal suka sama Tama.
Cewek terpintar di sekolah?
Suka sama cowok yang hobinya gonta-ganti pacaran?
Velly kembali geleng-geleng kepala.
Nggak mungkin.
Itu beneran nggak mungkin.
Mustahil banget deh.
Tapi ....
"Mau makan atau cukup dengan ngeliatin orang makan?"
Satu pertanyaan itu membuyarkan lamunan Velly. Lebih dari itu, detik selanjutnya ia meringis. Tepat setelah ia mendengar pertanyaan itu, Velly merasakan satu dorongan kecil di belakang kepalanya. Membuat ia menoleh dan seketika harus menengadahkan wajahnya saat mendapati bahwa orang yang baru saja bertingkah tidak sopan itu adalah Reki.
"Nggak sopan!" dengus cewek itu kesal.
Reki melirik. "Lagian kamu sih. Mau mesan makan atau nggak?" tanyanya lagi. "Jangan ngomong kalau kau udah kenyang ngeliat orang makan, Vel. Karena kalau iya, akhirnya rasa penasaran aku selama ini terjawab juga."
Beranjak menghampiri cowok itu, dahi Velly berkerut dengan perkataan Reki.
"Rasa penasaran apa?"
Senyum geli terbit di bibir Reki ketika ia menjawab.
"Rasa penasaran kenapa kamu pendek." Senyum usil terkembang di wajahnya. "Ternyata kamu kurang makan. Makanya kebutuhan gizi tubuh kamu kamu nggak tercukupi."
Sedetik jawaban itu meluncur dari bibir Reki, maka sedetik itu pula waktu yang dibutuhkan oleh Velly untuk meluncurkan tangannya. Serta merta menarik kulit di perut cowok itu hingga Reki berjingkat-jingkat seraya memelototkan matanya. Memupus dorongan alamiah Reki untuk tergelak lantaran perkataannya sendiri. Alih-alih tertawa, sekarang ia justru meringis sakit.
"Astaga, Vel!" keluh Reki mengusap-usap perutnya. "Kamu nyubit pake jari tangan atau pake tang sih?"
Mengangkat wajahnya, Velly berkacak pinggang. "Yakin mau aku cubit pake tang?" tanyanya kemudian. "Nggak khawatir usus kamu yang ikut kebetot keluar?"
Reki meneguk ludahnya. Menatap mata gadis itu, tangannya terangkat ke papan menu. Mengalihkan pembicaraan mengerikan itu. "Mau paket party?"
"Nggak," delik Velly menjawab.
Reki terkekeh. Melihat bagaimana cewek itu kemudian maju memesan makanannya. Dan ia pun turut ikut. Dengan sok akrab berkata.
"Pesen yang sama aja, Mbak."
Velly melirik. Tapi, tak mengatakan apa-apa lagi. Hingga kemudian mereka pun menyusul duduk di satu meja yang telah terlebih dahulu diisi oleh Eshika, Tama, dan Alex.
Ehm ....
Aura mereka bertiga kerasa banget bedanya.
Ada dua kursi yang tersisa di sana. Satu di dekat Tama dan otomatis Reki yang mengisi tempat itu. Dan ada satu kursi tambahan yang sengaja mereka sediakan karena jumlah mereka yang ganjil. Alhasil, Velly duduk di antara Reki dan Alex. Di posisi itu, Velly bisa melihat bagaimana Tama dan Alex yang seringkali saling melayangkan tatapan tajam satu sama lain.
Mereka kayak yang lagi ada masalah gitu ya?
Atau ....
Dugaan aku emang benar?
Mata Velly menyipit lagi. Kali ini terarah pada Eshika yang melongo saat mendapati tangan Tama terulur ke nampan makanannya. Memberikan gadis itu kulit ayam miliknya seraya berkata.
"Biasanya kamu langsung ngambil kulit ayam aku nggak pake permisi. Berasa aneh aja sekarang kalau kamu nggak ngambil kulit ayam aku."
Ehm ....
Emangnya ada orang di dunia ini yang rela berbagi kulit ayam?
Ckckckck.
Apalagi semacam Tama yang orangnya kayak gitu.
Cewek satu sekolah aja dia embat semua.
Apalagi perkara kulit ayam?
Masa nggak dia embat juga?
Tapi, rasa penasaran Velly tidak cukup sampai di sana. Adalah suara Eshika yang lantas membuat ia menjadi semakin heran dengan situasi kala itu.
"Kamu mau daging aku kan ya?" Eshika mencibir. "Kayak yang aku nggak tau aja. Tuh."
Kali ini Velly bisa melihat mata Tama yang mengerjap-ngerjap. Tapi, tak urung juga di detik selanjutnya cowok itu terlihat tersenyum. Meraih daging yang Eshika berikan dan langsung melahapnya.
Masih belum bisa menikmati makanan miliknya sendiri, Velly rasa-rasanya begitu frustrasi dengan situasi saat itu. Rasa penasaran itu seperti mencekik lehernya. Seakan membuat ia menjadi sulit untuk bernapas.
Tunggu.
Ini Eshika dan Tama kok bisa gini?
Hingga kemudian, Velly merasakan ada yang menendang-nendang kakinya di bawah meja. Melirik sekilas dan lalu ia mendelik pada Reki.
"Apa sih?"
Reki menunjuk nampannya. "Kamu kalau nggak makan, ntar bakalan menciut, Vel. Beneran deh aku bilangin," katanya kemudian. "Kamu nggak mau kan nambah kecil?"
Rasa-rasanya saat itu Velly benar-benar ingin mencari tang dan menarik lepas usus cowok bermulut usil itu. Terutama ketika ia melihat Reki yang justru terkekeh-kekeh melihat wajahnya yang tampak kesal.
"Dasar!"
*
Selepas dari makan di satu gerai makanan siap saji itu, perasaan curiga Velly semakin tidak terbendung lagi. Hal yang kemudian justru mendorong ia untuk menarik Reki di saat mereka menunggu Eshika dan yang lainnya mencuci tangan.
"Apaan?" Reki bertanya seraya berusaha melepaskan diri ketika Velly memegang sisi baju seragamnya. "Mau ngapain?"
Mengerutkan dahinya, Velly menarik turun seragam Reki agar cowok itu menundukkan tubuhnya. Ketika ia sudah cukup mampu menjangkau telinga Reki, maka Velly pun berbisik bertanya.
"Kamu nggak ngerasa ada yang beda sama Eshika dan Tama? Itu tadi mereka pada tukar-tukaran kulit dan daging loh."
Reki mengerjap-ngerjapkan matanya. Wajahnya tampak melongo sekilas sebelum balik bertanya.
"Tadi kamu aja minum es aku coba."
"Aaah ...."
Velly tau itu. Tapi, tadi itu karena ia tak sengaja saja lantaran salah mengira gelas minumnya. Dan ketika ia sudah menyeruput isinya, ia baru sadar bahwa gelas minumnya berada di sisi yang berbeda. Ia mengambil minum Reki tanpa ada niat sama sekali untuk melakukan itu.
"Yang tadi itu kan kecelakaan. Nggak sengaja," kata Velly kemudian. "Tapi, kalau yang mereka kan---"
"Makanya itu kenapa kamu nggak besar-besar, Vel," potong Reki kemudian. "Kamu ini kebanyakan mikir. Hal yang nggak ada aja dipikirin kayak gitu."
"Ck," decak Velly. "Aku ini serius kali, Ki."
Reki melepas tangan Velly dan bangkit menegapkan tubuhnya. Mau tak mau memaksa Velly untuk kembali mengangkat wajahnya.
"Aku juga serius," balas Reki. "Ketimbang kamu ngabisin tenaga untuk mikir mereka, mending itu tenaga disimpan buat proses metabolisme kamu aja ya. Siapa tau gitu besok kamu nambah ninggi."
Mata Velly mendelik. Bersiap akan membalas perkataan Reki, tapi cowok itu keburu menghindar. Beranjak dan menghampiri Tama. Dengan segera merengkuh pundak cowok itu. Lantas mengucapkan sesuatu yang disambung oleh gelak tawanya yang berderai.
Tapi, bukan Velly namanya kalau semangatnya tidak pernah membara.
Oke, tubuhnya memang kecil, tapi untuk urusan semangat, tidak ada yang bisa mengalahkan cewek berambut seleher itu.
Maka Velly pun lantas menyusun ide di benaknya. Yaitu dengan mengajak mereka menonton film. Dan sepertinya rencana itu berhasil karena sepanjang film diputar, Velly bisa melihat bagaimana gusarnya Tama saat menyadari dirinya dan Reki terpaksa harus berpisah kursi dengan ia, Eshika, dan juga Alex.
Satu keyakinan lainnya muncul di benak cewek itu.
Nggak mungkin banget Tama bisa seresah ini kalau nggak ada apa-apa dengan Eshika.
Velly melirik. Bahkan beberapa kali mampu menangkap momen di mana Alex dengan begitu sengaja melayangkan tatapan tajamnya ke belakang.
Wah wah wah!
Tama dan Alex berebut Eshika.
Gawat ini gawat!
Dan rasa khawatir Velly semakin menjadi-jadi tatkala film itu selesai diputar. Bagaimanapun juga, Velly tak mengira bahwa di saat studio masih gelap, Tama sudah beranjak ke kursi mereka.
Astaga ....
Tama menghampiri mereka. Serta merta langsung berkata pada sahabatnya itu.
"Esh ..., ayo pulang. Ini udah jam tujuh. Ntar kemalaman."
Velly melirik. Melihat pada Eshika yang tampak seperti salah tingkah dan lalu ia mendehem.
"Ehm ...."
Dahi Tama berkerut. "Kenapa?"
"Aku sama Eshika mau ngomong bentar, Tam."
Yang menjawab pertanyaan Tama adalah Alex. Hal yang kemudian terang saja membuat Tama melotot.
"Be ... besok aja ngomongnya," kata Tama kemudian. "Ini udah malam."
"Nggak bakal lama kok," balas Alex.
Velly berpaling pada Alex yang kembali bicara.
"Ya kalau nggak bakal lama ngomong aja sekarang."
Kali ini Velly berpaling pada Tama.
"Tapi, ini urusan aku sama Eshika."
"Kami bisa tutup telinga."
"Yang benar aja deh, Tam."
"Ya bener dong, Lex."
Velly memutuskan untuk tidak lagi melihat pada Tama dan Alex yang saling bertukar omongan. Lehernya terasa pegal melihat dua cowok tinggi itu bicara dari tadi. Lagipula, sekarang ia justru berpaling pada Eshika yang terlihat menarik napas dalam-dalam. Menginterupsi perdebatan itu.
"Ehm ..., Guys. Kayaknya aku mau ngobrol bentar sama Alex."
Hasilnya, Velly melihat bagaimana mata Tama yang melotot. Tapi, ketika cowok itu akan bicara, Eshika sudah berkata lebih dahulu.
"Bentar doang, Tam."
Dan pada akhirnya, Velly bisa melihat bagaimana Tama menyeret langkah kakinya keluar dari studio itu dengan wajah yang terlihat sekali sedang menahan kesal. Diam-diam memerhatikan situasi yang tidak enak itu, Velly beringsut di balik tubuh Reki yang menjulang.
Reki menoleh. "Kenapa kamu?"
Tangan Velly memegang tas ransel cowok itu. Berbisik. "Aku ngerasa kayak ngeliat ada Thor dan Loki yang mau berantem di sini."
"Ckckckck. Siapa Thornya? Siapa Lokinya?"
Reki geleng-geleng kepala seraya merasakan sesuatu yang bergetar di saku celananya. Ia merogoh dan mendapati ada panggilan telepon di sana. Membuat ia menghampiri Tama.
"Kamu nelepon aku atau gimana, Tam?"
Di balik tubuh Reki, Velly melongok melihat Tama yang kemudian merebut ponsel itu. Dengan segera mengangkat panggilan tersebut. Hal yang justru membuat Reki bertanya lagi dengan bingung.
"Ponsel kamu di mana?" tanya Reki.
Tama tak menjawab. Dan seketika saja mata Reki melotot.
"Gila kamu, Tam!"
Tak terlibat dalam percakapan itu, bukan berarti Velly tak tau apa-apa. Otaknya bekerja dan ikut-ikutan melotot. Tanpa sadar pegangannya pada tas Reki berubah menjadi remasan syok.
Tama nguping percakapan Eshika dan Alex?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top