30. Tak Waras
Deggeeerrr!
Velly melihat ke atas langit ketika mendengar suara petir yang menggelegar itu. Mengerjapkan matanya saat tepian helm yang ia kenakan sedikit mengganggu pandangan matanya, Velly menatap pada awan kelabu yang tampak berarak-arak itu.
Perasaan dari pagi tadi sering banget bunyi petir.
Ini mau hujan deh ya kayaknya.
Menyadari kemungkinan itu, Velly mengembuskan napasnya. Setidaknya ia lumayan cepat mendapatkan ojol siang itu. Tidak seperti hari-hari biasanya. Walau ....
Velly menundukkan pandangannya kembali. Melihat pada motor yang ia naiki itu. Dan lantas merasa sedikit gamang.
Ini beneran bakal sampe ke rumah dengan selamat sentosa nggak sih?
Dan rasa khawatir Velly itu bukannya tanpa alasan. Karena jelas saja, motor Supra yang tengah ia naiki berulang kali menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan dirinya. Contohnya ya saat itu ketika di perempatan tampak lampu lalu lintas berganti warna merah.
Melihat lampu yang mengintruksikan bagi pengguna jalan raya untuk berhenti maka Mas ojol itu pun bersiap untuk mengerem. Lalu Velly merasakan getaran-getaran aneh di motor itu.
"Drudut! Drudut! Drudut!"
Mata Velly membesar. Sontak mengangkat kedua tangannya saat mendapati bagaimana tubuhnya berulang kali terhentak ke depan ketika motor itu melaju dengan tersendat-sendat, mengantisipasi agar dirinya tidak sampai memeluk si Mas ojol. Lalu dua detik kemudian, motor pun berhenti.
Semula Velly pikir bahwa berhentinya motor itu adalah lantaran lampu merah. Tapi, sepertinya Velly kecele. Karena ketika lampu merah itu berubah menjadi hijau pun motor itu lantas tidak bergerak lagi.
Velly diam saja, walau jelas dahinya berkerut dengan ekspresi tidak nyaman. Sementara itu si Mas ojol menoleh.
"Maaf, Mbak. Bentar ya," katanya. "Emang biasa mogok."
What?!
Rasa-rasanya Velly ingin menjerit histeris kala itu. Untung saja sisa kewarasan di otaknya bisa menilai situasi dan kondisi. Ia tentu tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri lantaran menjerit di jalan raya. Tapi ....
Tadi aku ngerasa beruntung karena cepet dapat ojol.
Tapi, eh ....
Endingnya malah kayak gini?
Sekalinya dapat ojol yang cepat, malah motornya mogok di tengah jalan?
Buru-buru Velly memejamkan matanya. Lantas menarik napas sedalam yang ia bisa. Sekarang Velly merasakan bagaimana darah sang ayah yang mengalir di pembuluhnya bagai menggelegak.
Kemudian motor bergerak. Tapi, bukan karena mesinnya telah menyala. Sebaliknya, si Mas ojol dengan susah payah mendorong motornya ke tepi jalan.
"Bentar ya, Mbak."
Velly diam saja mendengar perkataan itu. Bukannya apa. Tapi, dalam situasi seperti itu Velly khawatir kalau ia membuka mulutnya, bisa saja api yang keluar dari dalam sana. Alih-alih ucapan basa-basi seperti yang sering diucapkan orang-orang pada umumnya.
Hiks.
Mengenaskan sebenarnya. Tapi, Velly tau bahwa dirinya bukanlah orang penyabar. Sepertinya darah mantan jawara kampung benar-benar mengalir di tubuhnya.
Tak mengharapkan balasan apa pun dari penumpangnya, Mas ojol pun langsung bertindak. Memutar kembali kontak motornya berulang kali. Mencoba menyalakannya, tapi tak bisa. Hingga kakinya pun bergerak dalam memberikan engkolan sekuat tenaga sepenuh hati. Dalam benaknya berdoa, semoga saja motornya bisa menyala kembali. Tapi, motor itu benar-benar bergeming.
Sabar ....
Sabar ....
Hingga pada akhirnya, Velly benar-benar nyaris meledak saat mendapati Mas ojol kembali berkata padanya. Kali ini dengan nada yang benar-benar merasa tidak enak padanya.
"Mbak, maaf. Ini kayaknya saya nggak bisa nganter sampe rumah. Motor saya mogok."
Akhirnya kabar yang paling tidak ingin Velly dengar datang juga. Tapi, gadis itu bisa apa selain turun dari motor tua itu dengan wajah yang tertekuk?
Setelah turun, Velly menyodorkan uang pada Mas ojol. Dan tentu saja itu membuat Mas ojol merasa tidak enak. Ingin menolaknya.
"Kan nggak sampe rumah, Mbak."
Ekspresi wajah Velly memang terlihat sedang kesal. Tapi, cewek itu tetap berkata.
"Ya kalau nggak saya bayar Masnya bakal rugi dua kali. Udahlah motor mogok, nggak dapat duit lagi."
Mas ojol merasa semakin salah tingkah. "Tapi, Mbak---"
Tak memedulikan Mas ojol, Velly pun langsung memutar tubuhnya. Beranjak dari pinggir jalan itu. Mengabaikan ucapan terima kasih dan permintaan maaf Mas ojol, Velly berencana untuk mencari tempat untuk berteduh sejenak. Ya paling tidak jangan di tempat ia diturunkan oleh Mas ojol itu. Malu sih ....
Ketika kaki Velly melangkah beberapa meter, gadis itu langsung mengeluarkan ponselnya. Ingin memesan ojol lainnya ketika mendengar suara gas motor yang menderu di dekatnya.
"Bruuum! Bruuum! Bruuum!"
Sebenarnya tubuh Velly refleks ingin bergerak merespon. Paling tidak menoleh untuk melihat pada motor itu. Tapi, secepat kilat pemikiran di benaknya muncul.
Itu pasti Reki.
Maka dari itu Velly tidak menoleh. Tetap saja jalan lurus. Hingga pada akhirnya, ciiittt!
Langkah kaki Velly spontan berhenti. Bagaimanapun juga ia ingin mengabaikan Reki, tapi ia tidak ingin sampai menabrak motor besar itu. Reki mengadang jalannya.
Ketika motornya sudah menghalangi jalan Velly, Reki tak membuang waktu. Langsung melepaskan helmnya. Meletakkan di tangki motor sementara ia bertanya dengan ekspresi sok polos.
"Loh, Vel. Kamu balik bukannya naik ojol ya? Kok ini malah jalan kaki?"
Padahal sih ya. Itu benar-benar pertanyaan basi sekali. Soalnya bukan apa, tapi dari tadi motor Reki itu berada tidak jauh di belakang ojol yang Velly naiki. Bahkan ketika Mas ojol berulang kali mengengkol motornya, jujur saja, Reki tertawa terbahak-bahak!
Velly memasang ekspresi malas seraya memegang kedua tali tas ranselnya. Bola matanya bergerak abstrak seraya menukas.
"Bukan urusan kamu, Ki."
Ho ho.
Mata Reki menyipit. Lalu ia pun memilih untuk tidak menghiraukan perkataan jutek itu. Alih-alih, ia menyodorkan helm pada Velly.
"Ayo balik!" katanya. "Aku antar." Reki melirik ke atas langit sekilas. "Ini kayaknya mau ujan deh bentar lagi."
Velly melihat pada helm itu sekilas, tapi tak memberikan tanggapan apa pun padanya. Hanya mengembuskan napas panjang.
"Nggak usah," katanya kemudian. "Aku bisa balik naik ojol lainnya. Bentar lagi aku pesan."
"Ehm .... Udah deh. Ketimbang naik ojol lainnya dan mogok juga, mending sama aku aja. Yang pasti-pasti aja deh."
"Nggak."
Lalu Reki diam untuk beberapa saat sebelum pada akhirnya ia menarik tangannya yang menyodorkan helm itu. Bukannya apa, tapi pegal juga sih ya. Hihihihi.
"Kamu sekarang bukannya lagi mau keluyuran kan ya?"
Kali ini, ekspresi wajah Reki berubah. Sorot matanya tampak menyiratkan rasa penasaran dengan raut menyelidik.
"Keluyuran?" tanya Velly menganga. "Yang mau keluyuran siapa heh?"
Tampak kepolosan yang benar-benar natural ketika Reki mengerjapkan matanya dan menjawab dengan santai.
"Kamu. Soalnya kalau kamu nggak mau keluyuran, ya ... kamu pasti mau dong balik bareng aku."
Velly mengembuskan napas panjangnya. Dalam hati mulai bertanya-tanya.
Ini kenapa mendadak menjelang sore gini aku berasa kayak dapat ujian kesabaran ya?
Dari yang ojol mogok di tengah jalan, eh ... sekarang justru berdebat dengan makhluk semacam Reki di pinggir jalan.
Selanjutnya apa?
Jangan-jangan mendadak ada meteor jatuh di depan muka aku lagi!
"Ki ...," lirih Velly kemudian setelah memejamkan matanya untuk beberapa detik. "Please .... Aku beneran nggak mau berdebat kali ini. Aku berasa capek dan---"
Tak menghiraukan perkataan Velly, mendadak saja Reki turun dari motornya. Dengan serta merta langsung memasangkan helm di kepala Velly. Lantas jarinya naik, mendorong dagu Velly untuk terangkat agar dirinya bisa mengunci helm tersebut.
"Ayo, balik. Ntar beneran keujanan di jalan kita, Vel."
Setelah mengatakan itu, Reki langsung kembali menaiki motornya. Mengenakan helmnya, memutar kunci dan suara gas yang menderu pun langsung terdengar berulang kali.
Mata Reki melirik melalui spion. Tak tampak oleh Velly lantaran kaca di helm yang Reki kenakan bewarna gelap. Dan Reki melihat bagaimana ekspresi Velly terlihat bimbang. Yang mana pada akhirnya Velly beranjak pula.
Reki berusaha untuk tidak mengulum senyum –bahkan berupaya agar bibirnya bahkan untuk tidak bergerak satu sentimeter pun- ketika melihat pada akhirnya Velly yang luluh juga. Lebih dari itu, Reki pun merasakan bagaimana tangan Velly berpegang padanya. Satu kebiasaan gadis itu ketika berusaha untuk naik dan duduk di atas motornya.
Reki merasakan sedikit pergerakan di motornya ketika Velly telah mendaratkan bokongnya. Kali ini Reki mengangkat sedikit kaca helmnya. Bertanya dengan sok-sok cool begitu sih.
"Udah?"
Velly mengangguk kecil. "Udah."
Ugh!
Di saat itu jiwa usil Reki sebenarnya meronta-ronta. Rasanya ingin sekali iamenyeletuk begini.
"Kalau udah ya turun dong."
Ckckckck.
Tapi, Reki menepis jauh-jauh ide itu dari benaknya. Karena bagaimanapun juga, cowok itu masih waras untuk tidak semakin menambah bahan bakar dalam gelora api kemarahan Velly yang masih menyala.
Sejurus kemudian, Reki pun langsung melajukan kembali motornya. Dan begitu kedua ban kendaraannya berputar di atas aspal, iseng saja Reki bertanya.
"Mau mampir makan pangsit atau bakso dulu, Vel?"
Seraya bertanya, mata Reki kembali melirik pada spion. Tindakan alamiah saat dirinya bertanya pada Velly selama di perjalanan.
Reki melihat bagaimana Velly yang bersedekap, memasang tampang serius seolah dirinya adalah pendekar sakti di film-film kolosal yang tengah bertapa.
"Nggak."
Reki sih sama sekali tidak terkejut kalau jawaban bernada ketus itu yang ia dapatkan. Ia maklum. Toh Velly pasti nggak semudah itu memaafkan dirinya. Tapi, Reki kembali mencoba.
"Beneran nggak mau?" tanya Reki lagi. "Atau kali ini mau nyoba makanan lain?" Reki berpikir dengan cepat. "Tahu gejrot? Empek-empek kapal selam? Atau kerak telor?"
Tapi, ekspresi wajah Velly benar-benar tak berubah meski Reki menyebutkan nama-nama makanan super nikmati itu. Ehm ....
"Nggak perlu."
Reki menarik napas sekali. Mencoba berpikir positif.
Kali dia udah bosan makan makanan lokal.
Bisa aja dia lagi mau makan interlokal kan?
Maksudnya makanan internasional gitu.
Reki lantas melirik lagi melalui spion.
"Atau kamu nyoba makanan luar, Vel?" tanya Reki lagi. "Pizza? Burger? Atau---"
"Ya Tuhan!"
Kali ini Velly tak peduli mereka ada di mana, nyatanya gadis itu tak kuasa juga untuk menahan jeritan kesalnya. Bahkan tangannya yang tadi bersedekap, sekarang tampak terurai dan membentuk kepalan. Tak hanya itu, Velly pun lantas berkata dengan penuh penekanan.
"Tadi kamu bilang mau cepet balik karena takut ujan. Ini malah mau ngajak aku makan ke mana-mana?!"
Ups!
Reki menutup mulutnya dengan sedikit mengerucutkan bibirnya. Sementara itu Velly kembali bertanya dengan nada kesal.
"Kamu ini jadi cowok bener-bener hobi buat kesal ya?!"
Lantas Reki mengembuskan napas panjang. Berkata dengan santai saja.
"Bukan mau buat kamu kesal, Vel. Malah sebaliknya. Kalau kita kehujanan pas udah makan kan kita nggak mudah masuk angin."
Velly melongo. "Kamu mikir gitu?" tanyanya tercengang. "Nggak mikir untuk buru-buru aja biar bisa sampe rumah tanpa kehujanan gitu?"
Ups!
"Yaaah ...," desah Velly. "Orang waras kan mikirnya pasti kayak aku. Kalau kamu mah wajar aja."
Reki mengulum senyum gelinya. Menyadari kebenaran dari perkataan Velly. Terutama ketika gadis itu menuntaskan semuanya dengan satu kalimat.
"Kamu kan emang nggak waras!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top