3. Terasa Beda
Waktu memang adalah hal yang paling ajaib. Terkadang benar-benar bisa berlalu tanpa sempat kita menduga: wah, ternyata secepat itu ya?
Salah satu dari sekian banyak orang yang merasakan hal itu adalah Velly.
Sepertinya baru saja kemaren dirinya merasakan MOS saat masuk SMA. Dikerjai oleh senior yang merasa lucu dengan tubuhnya yang mungil, hingga ada satu dua insiden yang benar-benar membuat ia murka. Tapi, lihatlah sekarang. Waktu telah berlalu. Velly tidak lagi menjadi anak baru yang menjadi pusat perhatian senior. Kali ini ia justru mendapat tatapan sopan para junior.
"Hai, Mbak Velly."
"Siang, Mbak Velly."
Itu contohnya.
Teguran sopan beberapa orang junior kelas 10 yang kebetulan berpapasan dengan dirinya di koridor. Dan Velly pun membalasnya dengan senyuman ramah di wajah.
"Hai juga."
"Siang juga."
Ugh!
Tidak terkira betapa bahagianya perasaan Velly.
Mungkin sedikit norak. Tapi, bagi Velly yang bertubuh mungil, senioritas mungkin adalah satu-satunya hal yang bisa memberikan peluang bagi dirinya untuk bisa mendapatkan sedikit penghormatan. Bukannya apa, tapi postur tubuhnya benar-benar menjadikan dirinya seringkali dipandang sebelah mata. Bahkan salah-salah kadang ia malah dipanggil 'Dek' oleh junior kelas 11 yang tidak mengenal dirinya. Menyedihkan dan sekaligus memalukan untuk dirinya. Apalagi kalau ia dipanggil seperti itu di hadapan teman-temannya. Bisa dibayangkan akan menjadi riuh seperti apa tawa yang meledak.
"Ehem! Mbak Velly."
Langkah kaki Velly berhenti spontan. Sekejap ia mengerjap sebelum kepalanya berpaling ke sebelah, bersiap untuk membalas sapaan itu dengan senyumannya. Dan lalu, tatapan matanya justru melihat dada seseorang.
"Seeet."
Velly mengangkat wajahnya demi bisa melihat sepasang mata pemilik suara yang menyapa dirinya tadi. Semula gadis itu berpikir bahwa yang memanggilnya adalah junior lainnya. Tapi, ia kecele. Ternyata cowok itu adalah teman sekelasnya sendiri. Dan sudah barang tentu, sapaan tadi adalah satu bentuk keusilan Reki.
Mengembuskan napasnya perlahan, Velly mendapati Reki yang menatap pada dirinya. Perbedaan tinggi antara dirinya dan Reki benar-benar membuat ia tak memiliki pilihan lain, kecuali benar-benar mendongakkan wajahnya.
Reki mengulum senyum geli. Lalu menekuk sedikit kakinya demi merendahkan tinggi tubuhnya. Hal yang terang saja justru membuat bibir Velly mengerucut cemberut. Tanpa kata-kata, Velly lantas segera melangkahkan kakinya kembali.
"Eh?"
Reki melotot tak percaya melihat kepergian cewek itu. Nyaris syok dengan wajah menganga. Bahkan tanpa sadar tangannya terangkat menunjuk Velly yang semakin tampak mengecil di matanya.
"Dia ngacangin aku?"
*
Velly merasakan kepalanya berdenyut. Lehernya terasa sedikit pegal saat fokus matanya berpindah-pindah dari tadi.
Pertama pada sahabatnya, Eshika. Lalu bergantian pada seorang cowok yang merupakan idola satu sekolah, Tama. Berpaling lagi pada cowok lainnya yang merupakan mantan ketua OSIS yang bernama Alex. Dan wajah terakhir yang ia lihat adalah cowok yang seringkali membuat ia sebal. Yaitu Reki.
Velly geleng-geleng kepala. Tepat ketika tatapan matanya beradu pada Reki dan cowok itu hanya mengangkat kedua bahunya sekilas.
Ugh!
Velly meraba lehernya. Benar-benar melelahkan bagi gadis itu untuk melihat orang-orang tinggi berbicara. Hiks. Rasa-rasanya ia ingin naik ke kursi agar tidak lelah seperti itu.
Dan kalau mau Velly tambahkan bumbu hiperbola di sana, maka sebenarnya ia menganggap keempat orang temannya itu cenderung sedang berdebat ketimbang dikatakan melakukan perbincangan.
Kenapa perkara mau ke Gramedia bisa jadi hal menegangkan kayak gini sih?
Rasa-rasanya Velly menyesal juga berkeras untuk mengajak Eshika pergi ke Gramedia pulang sekolah itu. Karena mau bagaimanapun juga, lantaran idenya sehingga suasana tegang itu tercipta.
Ini kenapa berasa kayak Tama yang lagi berusaha mencegah Alex buat bareng sama Eshika sih?
Ehm ....
Otak Velly berputar dengan cepat. Ingat dengan jelas bahwa beberapa waktu yang lalu sahabatnya itu dimarahi oleh ibunya lantaran pulang terlambat setelah diajak menonton film oleh Alex. Hasilnya hukuman yang ia terima adalah hanya bisa pergi ke mana-mana bila Tama ikut serta. Menyedihkan sebenarnya mengingat bahwa Tama yang merupakan musuh bebuyutan Eshika justru anak dari sahabat orang tuanya. Praktis ibu Eshika sangat mempercayai cowok itu. Dan tentu saja hal itu melukai harga diri Alex karena ia sudah menyukai sahabatnya itu dari lama. Sekarang ... kepala Velly terasa berdenyut-denyut merasakan atmosfer yang memanas di antara ketiga orang temannya itu.
Ckckckck.
"Ah! Intinya, terserah kalian bertiga gimana rundingannya. Vel, anggap aja ini kehormatan buat kamu milih di antara dua cowok."
Suara Tama terdengar. Membuat lamunan Velly buyar. Dan ia melongo. Sejenak bingung dengan maksud perkataan itu.
"Eh?" Velly menganga tak percaya.
Di saat ia yang masih merasa perlu untuk meraba situasi, ia justru melihat bagaimana Tama meraih tangan Eshika. Tanpa berbasa-basi mengajak gadis itu beranjak seraya berkata.
"Ayoh. Kita ketemuan di Gramedia. Hati-hati di jalan."
Terang saja hal itu membuat Alex seketika gusar, Reki mengernyir bingung, dan Velly merasa serba salah. Setidaknya Velly masih ingat bahwa Alex ingin memanfaatkan momen itu untuk mendekati sahabatnya itu. Tapi, yang terjadi justru di luar dugaan. Tokoh utama wanitanya dibawa oleh peran antagonis lainnya!
Ya ampun ....
Tapi, ketimbang memikirkan hal itu, Velly justru bingung akan hal lainnya. Yaitu bagaimana caranya menghadapi dua orang cowok itu. Teringat perkataan Tama tadi ....
Milih di antara dua cowok?
Glek.
Velly melihat wajah Alex yang jelas sekali memerah karena menahan kesal pada Tama. Lalu tatapan matanya berpaling pada Reki di momen yang pas. Tepat sekali ketika cowok itu juga menatap pada dirinya.
"Kamu mau bareng aku atau Alex?"
Pertanyaan yang menyelamatkan Velly. Tentu saja ia lebih memilih untuk pergi dengan Reki ketimbang Alex. Tapi, bukan berarti Velly akan langsung memilih Reki. Alih-alih, ia bertanya balik.
"Kamu bawa helm cadangan kan?"
Reki mengangguk. "Bawa. Kalau nggak ya ngapain aku nawarin kamu. Jadi, bareng aku?"
Velly menarik napas dalam-dalam. Menyadari kalau sebenarnya Reki terkesan selalu mengakhiri percakapan dengan kalimat tanya lainnya. Tapi, gadis itu manggut-manggut. Pelan-pelan beranjak dengan sikap kaku. Mengekori Reki yang langsung keluar dari kelas.
"Ki! Tungguin!"
Velly pikir hanya beberapa detik Reki keluar dari kelas lebih dulu dari dirinya. Tapi, ketika Velly di luar kelas, ia sudah mendapati bagaimana Reki telah berada di ujung koridor. Dan seruannya tadi bukannya menghentikan langkah kaki cowok itu, malah sebaliknya. Reki tampak justru mengangkat tangannya. Melambai tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.
"Mentang-mentang punya kaki lebar," geram Velly.
Hingga kemudian gadis itu memutuskan untuk berlari. Menyusuri empat kelas di sepanjang koridor sebelum pada akhirnya berhasil menyusul Reki di area parkiran motor. Dari tempatnya, ia dan Reki bisa melihat bagaimana pelan-pelan mobil Tama bergerak keluar dari gerbang sekolah.
"Ehm ...."
Tanpa sadar, Velly mendehem dengan penuh irama melihat bagaimana mobil itu menghilang dari pandangannya. Hal yang mengundang kerutan di dahi Reki. Ketika cowok itu menyodorkan helm pada Velly, ia bertanya.
"Kenapa?"
Velly melirik pada helm bewarna putih itu. Mengambilnya. "Nggak apa-apa. Cuma sedikit berasa aneh gitu."
Reki mengeluarkan kontak motornya dari dalam saku celananya. Mengambil posisi di atas motor besarnya itu, Reki kembali bertanya.
"Berasa aneh apa?"
Belum mengenakan helm itu di kepalanya, Velly mendekati Reki. Raut wajahnya terlihat berubah serius.
"Aneh dengan Eshika dan Tama."
Reki mengerutkan dahinya. Menyalakan motornya setelah mengenakan helm di kepalanya.
"Anehnya di mana?"
Tuh kan?
Bola mata Velly berputar-putar.
Reki selalu cenderung memberikan pertanyaan setelah pertanyaan.
Ini cowok kayaknya emang punya hobi ngoceh.
"Ehm ...," dehem Velly lagi. "Emangnya kamu nggak ngerasa ada yang beda gitu sama mereka berdua? Kayak yang tadi?" Velly bertanya dengan suara rendah. "Nggak ngerasa kayak yang Tama ngebet banget mau pergi sama Eshika? Padahal kan selama ini mereka sering berantem gitu."
"Eh?" Mata Reki mengerjap. "Ngebet? Kamu ngomong Tama ngebet mau pergi sama Eshika? Ck." Ia berdecak sekilas. "Kamu lupa insiden kemaren? Kan Tama cuma menjalankan amanah Mami Eshika. Yang ada sebenarnya Tama pasti bukan ngebet, tapi yang ada malah ngerasa nggak ada pilihan lain."
Mata Velly menyipit. Tapi, ia tidak berhenti.
"Beneran? Kamu nggak ngerasa ada aura yang beda gitu di antara mereka?"
Reki geleng-geleng kepala seraya berdecak beberapa kali. Lalu tangannya terulur. Mengambil kembali helm di tangan Velly. Tanpa mengatakan apa-apa, Reki lantas mendaratkan helm itu di kepala Velly. Sedikit menghenyakkannya sehingga membuat mata Velly tenggelam di dalam helm itu.
"Reki!"
Menjeritkan nama cowok itu dengan geram, Velly melayangkan tangannya dengan asal. Berusaha memukul Reki, tapi cowok itu dengan cepat menarik tangannya. Ia tertawa-tawa sementara melihat Velly yang berusaha memperbaiki letak helm di kepalanya.
"Kamu ini bener-bener ya jadi cowok. Nggak ada sopan santunnya dikit pun ke cewek."
Memukul-mukul tangki motor dengan kedua tangannya, Reki berkata.
"Lagian sih kamu ngapain pake acara ngurusin Eshika dan Tama. Mau ke Gramedia sekarang atau tahun depan heh?"
"Kalau tingkah laku kamu kayak gini," kata Velly kemudian. "Aku yakin banget kalau kamu nggak bakal hidup sampe tahun depan."
Reki terkekeh. Tak membalas perkataan Velly melainkan membawa pandangan matanya pada spion tepat ketika gadis itu beranjak ke motornya.
Reki menunggu. Mengamati bagaimana Velly yang tampak memainkan mulutnya saat melihat pada pijakan motornya. Lalu berpindah pada joknya yang memiliki posisi sedikit menukik.
"Nunggu apa lagi, Vel?" tanya Reki. "Kata sambutan?"
"Ckckckck." Velly berdecak. "Omongan kamu itu emang bener-bener deh, Ki," desahnya dengan tatapan yang tertuju ke bawah.
Hal yang kemudian disadari oleh Reki. Maka cowok itu terkekeh geli. Berpaling ke belakang, melihat melalui pundaknya.
"Tenang aja. Nyampe kok nyampe, Vel."
Perkataan itu bukannya melegakan Velly, justru sebaliknya. Membuat ia merasa geram. Terutama karena Reki terkekeh pelan saat mengatakan itu.
Tapi, sejurus kemudian ketika Velly belum sempat membalas kata-kata Reki, ia justru mendapati cowok itu mengulurkan satu tangannya.
"Sini. Pegangan biar nggak jatuh."
Sejenak melihat pada tangan Reki, Velly lantas mengangkat lagi wajahnya. Kali ini ia meneliti ekspresi wajah cowok itu. Berusaha mendapati sedikit saja tanda-tanda kejahilan Reki. Tapi, sepertinya kali itu Reki memang serius. Hal yang kemudian mendorong Velly untuk meraih tangan itu.
Bertahan pada kekuatan Reki, kaki Velly mengambil tempat di pijakan motor itu. Bersamaan dengan Velly yang melompat ke atas, Reki mendorong tangannya. Membantu gadis itu untuk mampu naik dan mendarat tanpa cela di atas jok motornya.
Memberikan waktu beberapa saat untuk Velly mendapatkan posisi nyamannya –mengingat gadis itu mengenakan rok-, Reki lantas bertanya.
"Kita berangkat sekarang? Atau nunggu dulu sampai Pemilu selanjutnya?"
Satu cubitan mendarat di perut Reki sebagai jawaban Velly. Hal yang spontan membuat Reki menjerit. Lebih dari itu, Reki bahkan mengaduh-aduh perih seraya mengusap bagian perutnya yang baru saja mendapatkan serangan mematikan itu.
"Kenapa kamu nggak pergi bareng Alex aja sih?!"
Dan untuk pertama kalinya sejak tadi, Velly pun tertawa.
"Hahahaha."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top