25. Perlahan Terbiasa
"Elah .... Ampun dah. Lagi perkara seloyang lapis legit aja bisa seheboh itu."
Reki gelen-geleng kepala. Seraya membawa piring menuju ke kamarnya, ia tidak lupa mengambil segelas air putih pula. Ih! Malas sekali Reki harus naik turun tangga kalau sudah nyaman di atas tempat tidurnya. Apalagi sekarang? Kalau ia turun sementara aura pembicaraan antara kebaikan, teman, dan seloyang lapis legit masih hangat, bisa-bisa ia digoda lagi.
Masuk ke kamarnya, Reki masih meneruskan rutukannya.
"Untung aja di rumah tinggal Kak Nora lagi. Kebayang kalau Kak Gigi dan Kak Isna masih ada di rumah. Iiih!"
Reki bergidik. Menutup pintu dan langsung meletakkan piring di atas tempat tidurnya, sementara gelasnya di nakas.
"Semoga aja Kak Nora nikah dalam waktu dekat. Biar cepat minggat kan dari rumah."
Reki meraih ponselnya. Berencana untuk mengajak Tama main, tapi mendadak saja ia terpikir sesuatu ketika melihat lapis legit di kasurnya itu. Reki duduk dan teringat perkataan Velly tadi.
"Ini lapis legit loyang dua puluh. Kira-kira aja harganya berapa kalau dimasak sama Mama aku."
Belum lagi dengan perkataan Nora tadi.
"Ckckckck. Cuma temenan doang udah kasih makanan gini, gimana kalau lebih dari temen coba?"
Maka dengan dahi berkerut-kerut, Reki meraih sepotong lapis legit itu. Mengamatinya dari sudut yang berbeda untuk beberapa kali dengan ekspresi penasaran.
"Kue ini emang enak sih ya," lirihnya kemudian. "Tapi, apa nggak berlebihan ya?"
Mata Reki berkedip-kedip. Lalu, tatapan matanya tertuju ke langit-langit kamar. Tampak berpikir.
"Sweet Bakery kan namanya?"
Reki sedikit ragu apa benar itu nama toko kue orang tua Velly atau tidak. Tapi, berbekal ingatan yang meragukan, iseng saja lantas Reki berselancar di Instagram. Mengetik nama usaha itu dan mencarinya.
"Nah, ini. Bener-bener."
Reki menekan satu akun Instagram yang diyakininya itu adalah Sweet Bakery yang ia maksud. Dan ketika melihat fotonya, Reki yakin ia tak salah lagi. Maka tidak heran bila selanjutnya iseng saja ia melihat satu sorotan di sana. Yaitu mengenai harga produk yang ditawarkan.
Satu persatu foto kue beserta harganya Reki lihat. Sambil manggut-manggut pastinya. Hingga kemudian ia menemukan kue yang ia cari.
"Lapis legit ukuran 20 harganya tujuh ratus lima puluh ribu?"
Reki melongo.
Mengerjap-ngerjapkan matanya dengan syok. Ia bahkan mengucek-ucek matanya berulang kali sebelum melihat lagi harga yang tertera. Namun, deretan angka itu tidak berubah sama sekali.
"Wah! Kue yang baru aku makan harganya nyaris satu jatu."
Reki meletakkan sejenak ponselnya. Lantas justru meraih piring itu. Melihat kue lapis legit itu dengan sorot horor.
"Kalau kayak gini," katanya kemudian. "Wajar aja Kak Nora sampe ngira Velly itu pacar aku. Ckckckckck. Ya kali hubungan pertemanan kami sebaik itu sampe Velly ngasih kue seharga segitu."
Lalu mata Reki mengerjap-ngerjap.
"Yah ... turunan mantan jawara kampung kayaknya baik hati juga sih."
*
Seperti yang diultimatumkan Velly pada Reki tadi sebelum cowok itu pulang, yaitu ia ingin balas dendam untuk tidur yang tidak ia dapatkan semalam. Maka mengingat saat itu malam Minggu, terang saja Velly sudah membaringkan tubuh di tempat tidur ketika beberapa menit setelah ia menikmati makan malam.
Ehm ... tidak sehat sebenarnya, tapi menurut Velly lebih tidak sehat lagi kalau ia menahan kantuk berlama-lama. Jadi tidak mengherankan sama sekali kalau sebelum jam delapan malam, kamar Velly sudah gelap. Gadis itu sudah melepaskan kesadarannya dan hanyut dalam lautan mimpi yang membuai. Hingga kemudian, ketika jam menunjukkan jam satu dini hari, desakan ke toilet membuat Velly mau tidak mau bangun juga dari tidurnya.
Velly ke toilet. Menunaikan panggilan alam dan berencana untuk langsung tidur kembali di saat justru mendapatkan dorongan untuk melihat ponselnya sejenak.
Seraya membaringkan kembali tubuhnya di atas kasur, Velly membuka ponselnya. Ada beberapa pemberitahuan pesan yang masuk dan ia pun langsung membuka aplikasi Whatsapp itu.
Memeriksa pesan dari yang paling bawah, Velly tidak mendapati pesan yang ia tunggu.
"Udah berapa lama sih Kak Putra nggak ngubungi aku?"
Mengembuskan napas panjang, ibu jari Velly kembali bergulir di layar sentuh itu. Kali ini melihat pada pesan grup kelas. Memeriksanya sebentar dan memastikan bahwa tidak ada yang penting. Tapi, ketika ia baru saja akan keluar dari aplikasi itu, mendadak saja satu pesan masuk. Membuat ia urung untuk meletakkan kembali ponselnya di nakas. Terutama karena pesan yang masuk dengan tiba-tiba itu tidak sengaja dibuka olehnya.
Mau ngasih alasan apa coba?
[ P. Reki F. ]
[ Vel ...? ]
Velly mengembuskan napas panjang. Sedikit beringsut di atas bantal yang menopang kepalanya. Berusaha mencari posisi yang nyaman untuk membalas pesan Reki.
[ P. Reki F. ]
[ Ya? ]
[ Kenapa? ]
Setelah mengirimkan balasan itu, mata Velly mengerjap. Melihat bagaimana ada pemberitahuan di atas kolom pesan itu. Yaitu, P. Reki F. sedang mengetik pesan.
Velly menguap panjang. Matanya berkedip lagi. Tapi, sayangnya tidak membuka lagi.
[ P. Reki F. ]
[ Kamu nggak jadi mau tidur? ]
Itu adalah balasan pesan yang kemudian masuk ke ponsel Velly. Lantas, ponsel pun menggelap. Lantaran tak ada sentuhan dalam tiga puluh detik. Hingga beberapa detik kemudian, lampu pemberitahuan kembali berkedip. Tanda bahwa ada pesan lainnya yang masuk ke ponsel gadis itu.
Yang mana sebenarnya, tentu saja lampu pemberitahuan itu kembali berkedip karena Reki lagi-lagi mengirimi Velly pesan. Dan di kamarnya, Reki tampak duduk bersila menunggu balasan pesan Velly.
Tadi, setelah ia menghabiskan nyaris tiga jam untuk bermain Mobile Legend, Reki merasakan matanya lelah juga. Karena itu ia iseng melihat sosial media di ponselnya. Dan bertepatan dengan itu, ketika ia membuka aplikasi Whatsapp, ia iseng saja membuka kolom pesan Velly. Beruntung atau apalah istilahnya, yang pasti adalah di saat itu Velly sedang dalam posisi daring.
Tak perlu berpikir dua kali, Reki langsung saja mengirimkan pesan pada gadis itu. Mulanya hanya ingin memastikan, apa Velly saat itu memang tengah terjaga atau sebaliknya. Ternyata ... pesan pertamanya dibalas. Tapi, sekarang ....
"Ehm ...."
Reki mendehem dengan penuh irama. Menunggu balasan pesan keduanya, namun tak kunjung masuk.
"Apa dia tidur lagi?" tanya Reki pada dirinya sendiri dengan dahi berkerut. "Soalnya nggak mungkin banget kan kalau dia malam Mingguan jam segini?"
Bertaruh pada keberuntungannya, Reki mengirimi pesan lagi untuk cewek itu.
[ Velly ]
[ Atau kamu udah tidur lagi sekarang? ]
Cowok itu menunggu lagi hanya untuk mendapati bahwa pesannya tidak dibalas walaupun sudah dibaca. Hal itu jelas dibuktikan oleh dua centang bewarna biru. Tapi, Reki hanya tersenyum kecil.
"Pasti udah ketiduran lagi dia mah."
Walau bisa menebak hal itu yang tengah terjadi, entah mengapa Reki masih saja mengirimi pesan untuk Velly. Hanya saja memang tidak sampai tiga puluh pesan seperti di sekolah tadi. Hanya satu.
[ Velly ]
[ Bobok yang nyenyak, Vel. ]
Sementara itu, untuk Reki sendiri, setelah ia mengirimi pesan terakhir untuk Velly di malam itu, ia pun beranjak. Memadamkan lampu utamanya, lalu merebahkan tubuh di kasur dengan nyaman. Pun mulai perlahan-lahan melepaskan kesadarannya.
Keesokan harinya, ketika Reki bangun tidur, ia mendapati ada satu pesan masuk ke ponselnya. Dan tebakannya benar. Itu pesan dari Velly.
[ Velly ]
[ Bener deh. ]
[ Tanpa telepon dari kamu, aku tidur dengan amat sangat nyenyak sekali. ]
Bisa membayangkan ekspresi Velly kalau mengatakan itu secara langsung pada dirinya, Reki pun tak mampu menahan senyum gelinya untuk mengembang. Lantas ia pun meletakkan kembali ponselnya di nakas tanpa membalas pesan itu. Beranjak untuk meraih sepatunya. Berencana untuk lari pagi. Kebiasaan kecil yang selalu ia lakukan di Minggu pagi.
Reki telah siap. Mengenakan satu celana training panjang dan kaos yang nyaman dengan sepasang sepatu di kakinya. Tak membuang waktu, tepat ketika jam di dinding menunjukkan jam setengah enam pagi, cowok itu keluar dari kamarnya.
Reki menyempatkan waktu sejenak untuk mampir ke dapur. Sekadar untuk membasahi tenggorokannya dengan segelas air hangat hanya untuk mendapati Nora yang tengah mencuci piring seraya bersenandung kecil.
"Kayaknya ada yang lagi seneng nih."
Reki meletakkan gelasnya di wastafel. Dan benda itu langsung disambut oleh Nora. Tak butuh waktu lama, gelas itu pun berbalut busa-busa sabun pencuci piring sekarang.
Nora menoleh. "Mobil Kakak hari ini dianter."
"Aaah ...."
Reki manggut-manggut. Teringat bahwa dari dua bulan yang lalu Nora memang sedang berencana untuk membeli mobil mengingat pekerjaannya yang sering bepergian ke luar kota. Selama ini Nora selalu menggunakan mobil orang tuanya, tapi tentu saja Nora memiliki keinginan untuk membeli kendaraan beroda empat itu dengan uangnya sendiri. Sementara Reki, sudah rahasia umum kan kenapa justru ia bisa dengan mudah mendapatkan motornya walau belum bekerja?
Ups!
Bukan karena orang tuanya sih. Bagaimanapun juga, Laras dan suaminya, Rustam, bukan tipe orang tua yang suka melihat anaknya bermewah-mewah ria. Tapi, karena Reki adalah anak cowok satu-satunya, walau ia sering diusili oleh para kakaknya, tetap saja. Reki adalah adik kesayangan Gigi, Isna, dan Nora.
Ehm ... keuntungan jadi adik cowok satu-satunya yang memiliki kakak-kakak yang sudah mapan kan?
"Ntar aku test drive-in deh ya, Kak," seloroh Reki seraya terkekeh pelan. "Buat muter-muter Monas."
Gerakan tangan Nora yang sedang berkecimpung dengan busa, spon, dan perkakas dapur, terhenti. Alih-alih terus menggosok satu wajan, Nora memilih untuk memutar tubuh. Melihat pada Reki yang mulai berjalan meninggalkan dirinya sendiri di sana. Ia pun menukas.
"Ogah banget Kakak. Masa mobil Kakak yang baru justru di-test drive-in sama kamu. Ewww!"
Reki makin terkekeh, tapi tidak membalas perkataan Nora. Alih-alih melakukan niatannya tadi. Yaitu, lari pagi.
Rute yang biasa Reki ambil hanya seputaran kompleksnya saja. Berlari-lari kecil hingga beberapa putaran. Seraya bertukar sapa dengan beberapa orang tetangga yang kebetulan ia temui di sepanjang jalan. Tidak bermaksud sombong, tapi siapa sih yang tidak mengenal Reki di kompleks? Lantaran sifatnya yang ramah, semua orang pasti tau dengan dirinya. Bahkan bayi berumur sebulan pun mungkin sudah mengenal dirinya.
Setelah nyaris lima kali putaran kompleks yang membutuhkan waktu yang tak sedikit, Reki memutuskan untuk langsung pulang. Bermaksud untuk langsung mandi, ia justru tertarik pada lampu pemberitahuan ponselnya yang berkedip-kedip. Penasaran siapa yang menghubungi dirinya di Minggu pagi, ia pun segera membuka pesan itu.
Ehm ....
Dari Velly.
[ Velly ]
[ Ki, aku mau nanya. ]
[ Kamu cowok kan ya? ]
Untuk pesan yang tak terduga isinya itu, Reki memikirkan beberapa pilihan yang ia punya sebagai balasannya.
Tangan Reki naik, meraba pada dagunya. Di mana ada beberapa helai rambut yang dikenal dengan nama janggut tampak mulai menunjukkan dirinya.
Pap janggut?
Kalau itu kurang meyakinkan, maka tangan Reki turun lagi ke bawah. Mendarat pada lehernya dan meraba satu tonjolan khas cowok di sana.
Pap jakun?
Tapi, kalau itu juga masih kurang meyakinkan, tangan Reki pun lantas turun lagi ke bawah. Kali ini mendarat pada sesuatu di selangkangannya. Pada satu hal yang benar-benar tidak bisa disangkal lagi bentuk dan fungsinya.
Nggak mungkin pap nuklir aku kan ya?
Lantas secepat kilat Reki pun mengetik balasannya.
[ Velly ]
[ Tidur kelamaan buat otak kamu eror ya? ]
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top