20. Yang Hidup

Menurut kepercayaan yang beredar di negeri Sakura, Shinigami adalah Dewa Kematian. Bagi Reki yang kerap memeriahkan harinya dengan game dan anime, jelas istilah itu tidak asing lagi. Sebut saja ada Ryuk, Shinigami yang terkenal dari manga dan anime 'Death Note'. Dan berhubungan dengan Dewa Kematian, tentu saja ujungnya hanya satu. Yaitu, kematian.

Maka dari itu, tidak heran sama sekali kalau Reki justru tidak bernafsu untuk makan bakso yang tersaji di hadapannya menjelang sore itu. Tapi, sebaliknya dengan Velly. Layaknya orang yang tidak berperasaan, gadis itu justru dengan lahap memakan bakso miliknya.

Reki meneguk ludah. Meletakkan sendok dan garpunya. Alih-alih makan, cowok itu justru menarik lengan seragam Velly.

"Vel ...."

Tak menghentikan makannya, Velly melirik. "Ehm?"

"Aku ada salah ya?"

Memasukkan satu pentol bakso ke mulutnya, Velly memilih untuk mengunyah makanan itu terlebih dahulu ketimbang langsung menjawab pertanyaan Reki. Seolah sedang mengulur waktu agar cowok itu semakin menduga-duga di dalam pikirannya.

"Beneran nggak enak perasaan aku, Vel," kata Reki lagi. "Kalau kamu mau ngapa-ngapain aku, mending langsung aja deh. Berasa kayak apa aku diulur-ulur kayak gini."

Kletang!

Mata Reki membesar. Melihat bagaimana Velly yang menusukkan garpu di pentol baksonya yang berukuran besar dengan kuat. Hingga menimbulkan suara beradu antara garpu dan mangkok kaca itu. Sejenak membuat Reki berpikir bahwa mangkok itu bisa saja pecah.

Seeettt!

Velly mengangkat pentol bakso itu. Menggigitnya dengan gerakan slow motion. Seraya melayangkan tatapannya pada Reki yang duduk tepat di hadapannya.

"Beneran kamu mau tau?"

Meneguk ludah, Reki mengangguk. "Ketimbang aku nggak nafsu makan bakso ini, ya ... mending kamu ngomong dulu deh. Apa salah aku sampe tingkah kamu kayak gini?"

Praaang!

Sendok dan garpu di tangan Velly lepas. Setengah dibanting oleh cewek itu sementara matanya tetap menatap lurus pada Reki. Mengembuskan napas panjang, Velly bertanya dengan nada rendah.

"Tempo hari, kamu ingat kan pernah ngomong gini ke aku?" Vely mendehem sejenak. Seolah ingin menyamakan suaranya dengan suara Reki. "Entah kenapa aku ngerasa kalau dalam waktu dekat, Eshika bakal punya pacar. Dan itu artinya bentar lagi kamu bakal sendirian."

Mata Reki mengerjap. "Wah! Ternyata daya ingat kamu tajam juga ya, Vel."

"Eh?" longo Velly untuk beberapa detik sebelum tersadar. "Bukan masalah daya ingat aku yang tajam. Tapi, kamu ingat kan pernah ngomong gitu?"

Entah mengapa, tapi kalau melihat Velly berbicara dengan nada tinggi seperti itu lebih menenangkan untuk Reki. Jauh lebih bagus ketimbang Velly yang cenderung diam. Maka tak heran sama sekali kalau Reki spontan rileks kembali.

Reki angguk-angguk kepala. Bersedekap.

"Iya iya iya. Aku ingat kok," jawabnya. "Emangnya kenapa?"

"Nah!"

Tanpa tedeng aling-aling, Velly mengangkat tangannya. Menunjuk pada Reki.

"Jujur deh ke aku, kamu ngomong kayak gitu karena kamu udah tau kalau Eshika dan Tama ada something gitu kan?"

"Eh?"

Mata Velly melotot. "Kamu udah tau kalau mereka sama-sama saling suka, makanya kamu ngasih peringatan ke aku. Iya kan?"

"Ehm ...."

"Jujur nggak heh?" desak Velly. "Iya kan? Selama ini kamu tau dan kamu malah pura-pura nggak tau kan?"

O oh!

Ternyata ini maksud Velly dengan Shinigami yang bakal menghakimi aku sore ini.

Dengan ekspresi mesem-mesem, Reki mengangkat satu tangannya. Menggaruk kepalanya yang sebenarnya sama sekali tidak gatal. Tapi, mau bagaimana lagi. Sorot Velly ketika memandang dirinya seperti menghadirkan ketombe dadakan di kulit kepalanya.

"Ehm ... itu ...."

Velly menunggu, tapi Reki justru seperti mengulur waktu. Dan Velly cukup bisa menebak apa yang akan dijawab oleh cowok itu.

"Dasar kamu, Ki!" dengus Velly. "Tega banget sih bohongin aku selama ini."

"Eh?" Mata Reki mengerjap-ngerjap. "Bohongin kamu?"

"Kalau bukan bohongin, apa coba namanya? Jelas-jelas kamu tau gimana aku belakangan ini nyari tau tentang Eshika dan Tama. Tapi, eh ... kamu malah nggak ngomong ke aku. Malah sok nggak tau lagi."

"Ih, nggak gitu juga kali, Vel."

Velly mengembuskan napas panjangnya. Menyingkirkan mangkok bakso dari hadapannya.

"Terus?"

Reki mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Kamu emang sengaja mau ngeliat aku yang kayak orang begok gitu ya? Sok-sok nyari tau, sementara kamu udah tau. Pasti kamu ngetawain aku selama ini."

Buru-buru Reki menggeleng. "Sumpah deh! Bakal susah jodoh aku kalau aku sampe ngetawain kamu, Vel. Beneran!" Tangan Reki terangkat. Menunjukkan gestur V. "Sekali pun, sedikit pun, aku nggak pernah ngetawain kamu soal Eshika dan Tama. Suwer sampe kolor aku teklewer-klewer deh."

"Teklewer-klewer? Bahasa apaan itu?" gidik Velly.

"Ehm ... nggak tau juga sih itu bahasa apaan. Bahasa pra sejarah kali," kata Reki salah tingkah. Tapi, ia buru-buru kembali bicara sebelum didahului oleh Velly. "Intinya adalah ... aku minta maaf. Aku emang tau soal Eshika dan Tama, tapi aku berani bersumpah demi Tuhan. Sama sekali aku nggak pernah ngetawain kamu atau apalah itu."

Velly sih tidak ingin, tapi melihat ekspresi Reki kali ini, mau tak mau ia menjadi menghirup napas dalam-dalam. Lalu ekspresi keras di wajahnya ... lenyap. Tergantikan oleh gerakan tangannya yang menarik kembali mangkok baksonya. Langsung mengambil garpunya yang masih menancap di pentol besar.

Namun, Reki benar-benar tidak suka kalau justru menghadapi Velly yang pasrah. Memangnya darah turunan mantan jawara kampung yang mengalir di tubuh gadis itu mendadak berganti dengan darah turunan mantan Putri Indonesia gitu?

Yang benar saja.

Kali ini Reki yang menyisihkan mangkok baksonya. Tangannya terulur menyeberangi meja. Menggamit tangan Velly.

"Vel ...."

Velly menggigiti bakso berukuran besar itu sedikit demi sedikit. "Apa?"

"Kamu masih marah?"

Dahi Velly berkerut. "Nggak."

"Beneran?"

"Beneran," angguk Velly. "Lagian kayak yang aku punya banyak energi aja buat marahin kamu. Mending aku pake energinya buat yang lain."

Masih menggamit tangan Velly, Reki kembali bertanya.

"Tapi, tadi katanya ada Shinigami yang bakal menghakimi aku. Nggak jadi?"

Velly menyempatkan diri untuk kembali menggigit baksonya. "Itu kalau kamu nggak jujur dan minta maaf sih. Yah ... bakal beneran aku hadirkan Shinigami di sini. Kalaupun nggak ada, aku sendiri yang bakal jadi Shinigami-nya." Velly mengangkat garpunya. "Aku tancapin garpu ini di bola mata kamu."

Gamitan tangan Reki langsung terlepas. Cowok itu seketika bergidik.

Siapa tadi yang ngira darah turunan mantan jawara kampung berganti dengan darah turunan mantan Putri Indonesia heh?

Putri Indonesia semacam ini, bisa hancur dunia.

Udahlah pendek.

Mainnya main otot lagi.

Lah kalau cewek lain melambai anggun dengan satu tangan, ya kali Velly melambai ngeri dengan satu parang.

Iiih!!!

"Yah ... mau gimanapun juga ..."

Suara Velly kembali menyadarkan Reki dari alam pikirannya sendiri.

"... aku cukup nyadar sih. Kamu pasti nggak mau ngasih tau soal itu gara-gara Tama itu temen kamu." Velly manggut-manggut. "Kamu punya temen yang harus kamu hargai, aku tau itu."

Tapi, kali ini pemikiran menakutkan Reki lenyap seketika.

Cuma entah kenapa darah mantan jawara kampung ini kadang-kadang bisa bijak kayak darah turunan Mahatma Gandhi ya?

"Lagipula ... seenggaknya sekarang aku nggak perlu khawatir lagi sama Eshika," lirih Velly sambil menggigit lagi sedikit baksonya. "Kayaknya dia dan Tama emang udah yang jatuh cinta."

Wah!

Kalau ingin menuruti kemauan hatinya, Reki ingin memberikan tepuk tangan yang meriah untuk gadis itu.

"Ngeliatnya ya juga buat aku seneng."

Velly meletakkan garpunya yang ternyata telah kosong. Bakso tadi telah habis tanda disadari oleh Reki. Lantas ... cewek itu tersenyum.

*

Di atas tempat tidurnya, malam itu, Reki menjadi resah sendiri. Kejadian tadi sore di gerobak bakso membayang di pelupuk matanya.

Berguling-guling seraya memeluk guling, Reki berulang kali mengubah posisi tubuhnya di atas kasur. Namun, ia menyerah. Pada akhirnya ia bangkit. Mengenyahkan guling dan justru mengacak-acak rambutnya dengan kesal.

"Argh! Kenapa aku jadi ngerasa bersalah gini sama itu Cebol?"

Reki mendesah. Berdecak. Juga geleng-geleng kepala.

"Beneran deh. Kalau dia mode Shinigami, aku bakal lebih legowo. Tapi, eh ini dia malah pake mode Mahatma Gandhi. Kayak yang dia lagi mengampuni pejahat tak berperasaan yang bernama Reki."

Reki lantas mengusap-usap wajahnya. Semakin ia memikirkannya, semakin besar pula rasa bersalah yang menggerogoti perasaannya.

Sebenarnya yang dikatakan oleh Velly tadi memang benar. Reki jelas tidak mengatakan hal yang ia ketahui tentang kedua temannya itu gara-gara persahabatannya dengan Tama. Jelas dong. Jaga rahasia. Tapi, entah mengapa ia merasa sikap penerimaan Velly akan alasannya justru membuat ia tak nyaman.

"Padahal selama ini dia maksa aku buat ngintai Eshika dan Tama gara-gara yakin aku juga nggak tau apa-apa. Ehm ... ternyata kan nggak."

Tak bisa menahan rasa itu lebih lama lagi, pada akhirnya membuat Reki beranjak. Mengambil ponsel yang tadi ia sambungkan ke pengisi daya di atas meja belajarnya. Seraya kembali duduk ke tempat tidur, ia menekan kontak Velly. Menelepon gadis itu.

Sambungan pertama tidak diangkat. Dan menimbang beberapa saat, Reki memutuskan untuk kembali menghubungi. Hingga pada akhirnya, terdengar suara Velly di telinganya.

"Ki ...?"

Suara Velly terdengar ragu. Mungkin tak percaya bahwa ada Reki yang menghubungi dirinya selarut itu.

Eh?

Reki melotot.

Jam dua belas kurang lima menit?

Ini aku nelepon bukan buat ngucapin selamat ulang tahun gitu kan?

"Kamu nelepon aku?"

Suara Velly seolah menyadarkan dirinya. Membuat Reki langsung buru-buru bicara.

"Lah iya. Masa aku nelepon Tama. Kan jelas-jelas kamu yang ngangkat."

"Ehm .... Ngapain kamu nelepon aku semalam ini?"

Mata Reki mengerjap-ngerjap. "Kamu belum tidur?"

"Ya kalau aku udah tidur, masa aku bisa teleponan sama kamu. Kan jelas-jelas aku angkat telepon kamu."

Aaah ....

Reki meringis mendengar balasan perkataan Velly.

"Maksud aku," ralat Reki. "Tadi kamu udah tidur?"

"Ampun deh, Ki!"

Jelas sekali Velly tengah menggeram di seberang sana. Seperti yang ingin meremas Reki layaknya cucian.

"Kamu kok ya yang jadi peduli sama jam tidur aku sih? Kenapa? Kamu mau tau kapan aku tidur biar bisa masuk ke dalam mimpi aku gitu?"

Reki melotot. "Eh?"

"Kalau iya, please. Jangan. Soalnya bukan apa. Malam ini giliran Justin Bieber yang muncul. Kalau kamu mau masuk ke mimpi aku, ambil dulu nomor antrian di teller."

"Eh, Si Boncel belum minum obat," celetuk Reki. "Kamu tuh malam-malam makin teler kayaknya."

"Lagian kamu juga. Semalam ini nelepon aku buat apa? Bantuin jaga lilin atau gimana?"

"Ya, Maimunah, malah modus mau jagain lilin di kamar aku."

"Sembarangan ya. Yang bener aja deh, Ki. Nelepon jam segini cuma mau ngajak aku perang mulut."

"Ah ...."

Reki baru sadar.

Dia kan menghubungi Velly bukan buat perang mulut.

"Sorry sorry. Aku bukannya mau ngajak perang mulut," kata Reki kemudian. "Aku juga ngerasa nggak nyaman malam ini."

"Eh? Kamu nggak nyaman, terus nelepon aku? Biar kita ribut, terus perasaan kamu bisa nyaman lagi?"

"Ya nggak gitu juga kesimpulannya, Vel," bantah Reki. Ia mengembuskan napas. Merasa nyaris frutrasi ketika mencoba untuk kembali bicara. "Soal Eshika dan Tama ..., aku benar-benar minta maaf."

Hening.

"Aku beneran ngerasa nggak enak sama kamu. Ini beneran. Dari hati aku yang paling dalam, aku minta maaf."

Terdengar Velly mendehem sejenak. "Emang sedalam apa coba hati kamu? Hati itu, by the way, tebalnya paling sekitar dua belas sentimeter."

"Ya, Vel. Malah ngajak aku belajar Biologi semalam ini. Mana bagian organ dalam lagi. Kenapa nggak bahas organ reproduksi aja?"

"Hah?"

Reki buru-buru minta maaf. "Sorry. Aku nggak maksud. Spontan, Vel, spontan."

"Dasar cowok. Otak blue!"

"Yeee ... namanya juga tugas mulia untuk melestarikan Homo sapiens."

"Ck. Udah deh. Jadi, kamu cuma mau minta maaf soal Eshika dan Tama kan?"

Reki angguk-angguk kepala. "Kamu maafin?"

"Gunanya apa kalau aku nggak maafin? Lagian kan tadi di gerobak bakso aku juga udah maafin. Kamu mau maaf aku sebanyak apa?"

Wah!

Mungkin saja sebenarnya Velly adalah turunan Mahatma Gandhi dan juga titisan Bunda Teressa.

"Udah ah. Nggak usah mikir itu lagi. Nggak guna juga."

"Oh ... ah ...."

"Dah! Aku mau tidur. Bye!"

Dan tepat setelah mengatakan itu, sambungan telepon langsung diputuskan sebelah pihak oleh Velly. Membuat Reki mengembuskan napas panjang. Langsung merebahkan tubuh di atas tempat tidur.

Memandangi langit-langit kamar, Reki jadi seolah melihat pantulan wajah Velly di sana.

"Pake poni, pendek lagi. Untung aja dia nggak gemuk. Kalau gemuk, udah aku panggil Dora juga itu cewek. Tinggal aku kasih peta aja di tas ranselnya."

Reki terkekeh pelan membayangkan Velly yang berjalan dengan lompat-lompat kecil sambil berseru: "Peta! Peta! Peta!"

"Hahahahahaha."

Lalu bayangan itu berlanjut.

"Apa kalian melihat Reki? Apa kalian melihat Reki? Apa kalian melihat Reki?"

Alhasil, sepertinya malam itu yang seharusnya minum obat adalah Reki. Dia seolah menjadi tidak waras hanya karena satu telepon di malam hari.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top