2. Saat Bertemu
Satu hari di SMA Citra Buana.
Hari terakhir Masa Orientasi Siswa atau yang lebih dikenal dengan istilah MOS selalu menjadi hari yang paling melelahkan. Entah karena tubuh yang sudah terlalu letih setelah dua hari sebelumnya atau memang karena di hari terakhir itu panitia seperti sedang benar-benar mengerjai para siswa baru itu. Walau pada dasarnya hari itu panitia memang lebih banyak mengisi dengan kegiatan permainan, nyatanya kegiatan tersebut memang sangat melelahkan. Apalagi permainan mencari harta karun yang diselenggarakan menjelang siang hari itu. Para siswa baru diperintahkan untuk mendapatkan tujuh bola aneka warna yang sudah disembunyikan di beberapa tempat di sekeliling sekolah. Mereka yang belum terlalu mengenal lingkungan sekolah otomatis menjadi kebingungan karenanya. Siapa yang bisa menebak tujuh bola aneka warna itu tidak disimpan di toilet guru?
"Pokoknya kita harus menang di permainan terakhir ini."
"Hahaha. Santai aja. Cuma permainan kali."
"Bener-bener. Nggak usah dianggap serius."
"Buat capek badan aja sih."
"Kan kita harus berusaha dulu."
"Emangnya kamu nggak capek ya, Vel?"
"Harusnya badan sekecil Velly cepet ngerasain capek ya? Hihihi."
Velly cemberut. Lantas menurunkan wajah dan menatap dirinya sendiri. Pada kedua kakinya yang pendek hingga tak mengizinkan dirinya melewati angka seratus lima puluh dua sentimeter.
"Eh, tapi kecil-kecil gini, semangat dia yang paling besar loh."
Suara lembut itu membuat Velly menoleh. Pada seorang gadis berambut panjang sepunggung yang dikuncir kuda. Ia tersenyum hingga membuat Velly tersentuh.
"Makasih ya?" Velly menampilkan air wajah yang terlihat ingin menangis terharu. "Eshika ini emang beda banget sama yang lain. Hiks."
Lalu tawa meledak.
"Tapi, walau semangatnya besar, ternyata Velly punya hati yang mellow."
Celetukan itu membuat tawa semakin meledak. Hingga pada akhirnya seseorang bersuara.
"Jadi, gimana? Apa kita mencar aja biar bisa lebih cepat dapat bolanya?"
Velly menoleh pada Bima, ketua kelompok gugus MOS mereka. "Kayaknya ide kamu bagus deh, Bim. Lebih baik kita mencar aja."
Mereka pun memutuskan untuk berpencar. Memperbesar peluang bagi mereka untuk mendapatkan bola warna tersebut. Sementara teman-teman mereka langsung menyasar ke taman, halaman parkir, dan pos satpam, Velly justru pergi ke tempat yang sangat berbeda. Yaitu, ruang guru.
Para guru yang berada di sana saling pandang untuk beberapa saat hingga kemudian salah seorang di antara mereka bertanya pada Velly.
"Ngapain ke sini, Nak? Sakit? Kalau sakit ke UKS aja langsung."
Velly geleng-geleng kepala. "Bukan, Bu. Saya hanya mau nyari bola warna. Siapa tau ada di sini."
Dan tawa sontak pecah di ruang guru tersebut.
"Nggak ada, Nak. Mana boleh panitia melibatkan ruang guru untuk permainan MOS."
Velly garuk-garuk kepala. "Oh ..., maaf, Bu."
"Coba cari tempat lain."
Velly mengangguk. "Baik, Bu. Saya permisi."
Menahan malu dan wajah yang telah memerah, Velly keluar dari ruang guru tersebut. Sesampainya di luar, gadis itu mengusap-usap rambut pendek selehernya. Berpikir seraya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru sekolah. Pada kelas-kelas, lapangan basket, dan siswa-siswi senior yang hilir mudik seraya tertawa-tawa.
"Eh. Kamu ngapain di sini? Nggak nyari bola warna?"
Satu pertanyaan yang Velly yakini bahwa itu ditujukan untuk dirinya membuat ia menoleh ke sebelah. Pada seorang cowok berkacamata yang mengenakan seragam sekolah putih abu-abu tanpa ada atribut sedikit pun di sana. Jauh berbeda dengan seragam sekolah yang Velly kenakan, penuh dengan atribut perlengkapan MOS. Dan hal itu sudah cukup menjadi tanda bahwa yang bertanya pada dirinya adalah seorang senior. Tapi, melihat pada pita merah yang tersemat di lengan kiri seragam yang dikenakannya, jelas saja bahwa cowok itu bukan senior biasa. Lebih tepatnya adalah salah satu panitia MOS. Dan Velly mengenal dirinya.
"Kak Putra ...." Velly melirihkan nama itu. Matanya mengerjap ketika mendapati Putra yang melangkah mendekati dirinya. "Ehm, aku emang lagi nyari bola warna."
Putra terlihat mengerutkan sedikit dahinya. "Nyari bola warnanya di ruang guru?" tanya Putra seraya melirik ke ruang guru di belakang Velly.
"Itu ...." Velly menggaruk kepalanya yang tidak gatal sebenarnya. "Aku cuma kepikiran siapa tau panitia iseng gitu, Kak. Jadi ngumpetin bolanya di ruang guru."
"Hahahaha." Putra tertawa. "Astaga! Kamu ini bener-bener deh. Siapa sih nama kamu?"
Velly mengangkat kertas karton yang menggantung di lehernya. Kertas identitas dirinya. Putra membaca nama yang tertulis di sana.
"Velly?"
Velly mengangguk.
Lalu, Putra tertawa lagi.
"Walaupun panitia itu iseng, tapi isengnya nggak sampe melibatkan ruang guru kali, Vel," kata Putra kemudian. "Kalau kami sampe nyimpan bola warna itu di ruang guru, bisa-bisa panitia yang kena MOS lagi sama para guru."
"Oh ...." Kepala Velly mengangguk-angguk. "Bener juga sih. Kok aku begok banget ya?" Velly tersenyum geli.
"Terus ... kamu kok nyari bolanya sendirian?" tanya Putra lagi. "Teman-teman kamu yang lainnya mana? Kamu bukannya disuruh-suruh sama teman-teman kamu kan?"
Kedua tangan Velly langsung naik saat ia menggeleng dengan cepat berulang kali. "Nggak kok, Kak. Cuma tadi kami emang sepakat buat berpencar. Biar lebih cepat dapatnya."
"Oh .... Jadi, kamu udah dapat belum?"
Tangan Velly turun kembali. "Belum, Kak." Wajahnya terlihat manyun. "Memangnya disimpan di mana sih, Kak, bolanya?"
"Eh? Kok malah nanya ke aku sih?" Putra terkekeh.
"Kak, please. Satu aja," pinta Velly seraya memasang tampang memelas. "Kelompok kami belum ada menang satu permainan pun."
"Hehehehe."
"Ayohlah, Kak. Satu aja."
Putra masih terkekeh untuk beberapa saat seraya melihat mata Velly yang besar tampak menatap dirinya dengan sorot permohonan. Mengiba.
"Tapi, nggak gratis loh."
Mata Velly mengerjap polos. "Kakak mau imbalan apa?"
"Traktir bakso kantin aja deh," kata Putra tersenyum.
Bibir Velly tampak mengerucut sejenak saat dirinya berpikir. Hingga ia mendapatkan keputusannya. Kepalanya mengangguk.
"Oke, Kak," jawabnya mantap. "Jadi, di mana disembunyikan, Kak?"
Putra sedikit memutar tubuh. Mengambil posisi yang sama dengan Velly. Tangannya kemudian terangkat. Menunjuk pada satu titik di seberang sana.
"Di belakang perpustakaan, itu kayak ada taman gitu kan?"
Velly mengangguk. "Tapi, bukannya di sana sering sepi, Kak?"
Putra bersedekap. Mengangguk. "Karena sepi makanya ada yang disembunyikan di sana."
"Di mananya, Kak?" tanya Velly seraya menoleh.
"Hehehehe. Kalau untuk yang satu itu, ya kamu harus berusaha sendiri dong nyarinya. Aku kan cuma nunjukin tempatnya aja, bukan nunjukin persisnya di mana."
"Eh? Kakak curang."
Putra tertawa. "Loh? Yang curang siapa coba? Pake acara nyuap panitia lagi."
Velly ingin membantah, tapi yang dikatakan Putra benar adanya. Kan yang curang memang dirinya.
"Hahahaha. Sudah. Buruan sana, periksa sendiri. Ntar keburu gugus lain yang nemukan bolanya."
Mengembuskan napasnya dengan sedikit kesal, Velly mengangguk singkat. "Aku pergi dulu, Kak."
"Semoga berhasil."
Membalas senyum Putra dengan lengkungan bibir yang sama persis, Velly kemudian beranjak dari sana. Sedikit berlari di saat ia benar-benar merasa dirinya sudah begitu penasaran dengan bola warna itu.
Sekitar lima menit kemudian, Velly berada di sudut taman sepi itu. Ia melihat ke berbagai penjuru. Menyibak beberapa tanaman semak yang menghiasi taman itu. Berharap untuk mendapatkan bola yang ia incar, namun tak ada.
"Ehm ...."
Velly bergumam. Melihat ke dalam parit. Lalu beranjak lagi ke tempat lainnya, namun masih nihil. Hingga kemudian Velly tertarik pada satu pohon cemara kipas yang rimbun di sudut taman.
Dahi gadis itu berkerut. Menyipitkan matanya. Memfokuskan tatapannya dan menyadari ada warna ungu yang nyaris tertutupi oleh rimbunnya daun hijau pohon cemara kipas itu.
Velly melotot. Tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia nyaris saja berseru kegirangan, andai saat itu tidak terdengar seruan lainnya.
"Yes! Ketemu yang ungu!"
Velly menoleh. Mendapati seorang cowok tinggi terlihat berkacak pinggang dengan sumringah melihat ke atas pohon cemara kipas itu. Di kedua tangannya, tergenggam dua bola warna lainnya. Merah dan biru.
Ketika cowok itu melangkah ingin mendekati pohon cemara, Velly langsung saja berlari seraya berseru.
"Berenti!"
Langkah kaki cowok itu terhenti seketika. Melihat pada Velly yang menghampiri dirinya.
Velly mengangkat wajahnya. Berusaha untuk menatap mata cowok itu ketika tangannya terangkat dan menunjuk ke atas.
"Itu bola ungu punya aku."
Cowok itu mengerjapkan matanya. "Eh? Sejak kapan?"
"Sejak tadi," jawab Velly. "Jangan pernah mikir buat ngambil bola aku."
Cibiran adalah hal yang Velly dapatkan.
"Kalau belum kamu ambil, itu artinya siapa saja masih boleh ngambil."
Mulut Velly seketika mengerut karena kesal. Tatapan matanya turun sejenak. Membaca nama yang tertulis di sana.
"Eh, Pramudya Reki Firmansyah ..." Tatapan Velly naik lagi. "... dari tadi aku udah mau ngambil itu bola."
"Reki," koreksi cowok itu.
"Whatever," geram Velly. "Pokoknya itu bola punya aku."
Kali ini gantian Reki yang menurunkan tatapan matanya. "Selagi belum diambil, Vellyanti Anggraini ..." Reki lalu membalas tatapan mata Velly. "... itu berarti masih hak bersama."
"Just Velly." Velly melotot. "Dan by the way ... kamu udah punya dua bola, masa masih mau ngambil yang ini sih?"
"Emangnya ada larangan yang nggak memperbolehkan peserta dapat bola sebanyak-banyaknya?"
"Kamu ..." Velly menggeram. " ... rakus."
"Hahahaha. Ini bukan rakus, tapi termotivasi." Reki tertawa. "Lagipula, kamu mau ngambil itu bola gimana? Orang bolanya tinggi gitu."
Velly selalu benci terhadap orang yang mencemooh keadaan dirinya yang kecil dan pendek. Terutama dicemooh oleh orang yang baru ia kenal beberapa menit.
Tidak bisa dimaafkan.
"Mentang-mentang aku kecil dan pendek gini," kata Velly melotot. "Kamu pikir aku nggak bisa ngambil itu bola?"
Senyum geli terbit di bibir Reki. "Untung deh nyadar diri."
Pelototan mata Velly semakin membesar. "Kamu ...."
Reki melihat bagaimana kedua tangan Velly terkepal dengan kuat hingga ia mendapati gadis itu mendengus kesal pada dirinya.
"Aku kasih tau ya. Walaupun aku kecil dan pendek kayak gini, bukan berarti aku nggak bisa ngambil itu bola."
"Ups!" Reki mengulum senyumnya. "Terus kamu mau ngambilnya gimana?" tanya Reki menggoda. "Pake galah?" Lalu kepala cowok itu celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan berulang kali, mengabaikan wajah Velly yang sudah memerah hingga ke telinga. "Di mana galahnya? Kok aku nggak ngeliat ada galah ya?"
Kepalan tangan Velly semakin menguat. Dirinya benar-benar merasa begitu emosi dicemooh sedemikian rupa. Hingga kemudian Velly beranjak. Dengan begitu sengaja mendorong tubuh Reki yang tinggi menjulang.
"Nggak pake galah juga aku bisa kok," kata Velly geram seraya menuju ke pohon cemara kipas itu. Kedua tangannya terulur. Meraba permukaan pohon yang kasar itu.
Mata Reki membesar. "Eh?" Ia mendekati Velly. "Kamu mau ngapain?"
Melihat ke belakang pada Reki melalui bahunya, Velly menjawab ketus. "Ya mau manjat dong. Mau ngambil itu bola."
"Gila!" tukas Reki. "Kamu mau manjat?"
Velly mengangguk. Dan tepat setelah anggukannya, ia mendapati satu tangan Reki sudah menahan dirinya dengan cara mencubit lengan seragamnya.
"Eh? Kamu ngapain?" tanya Velly bingung. "Lepasin."
Reki mendelik. "Nggak mau. Kamu ini cewek, masa manjat pohon cemara kipas?"
"Aku manjat pohon jambu aja bisa."
Velly mendengus. Lalu ia mengerjapkan mata. Sesaat ia justru kembali menatap pada Reki yang terlihat mengerutkan dahinya.
Cowok itu bergumam.
"Kayak de javu."
Velly menelengkan wajahnya ke satu sisi. "Berasa familiar," lirihnya. Tapi, sejurus kemudian ia menggeleng sekali. "Pokoknya, lepasin aku."
"Nggak mau," keukeuh Reki. "Nanti kalau kamu jatuh gimana? Bisa remuk tulang-tulang kamu. Orang pendek juga sok buat ulah."
"Pendek pendek pendek pendek," geram Velly. "Tau deh yang punya badan tinggi."
Reki menyeringai. "Makanya, sadar diri. Nggak usah buat ulah."
Tapi, bukan Velly namanya kalau semangatnya tidak besar. Alih-alih mengurungkan niatnya, ia justru dengan geram menarik tangan Reki lepas dari seragamnya.
"Aku bukan buat ulah. Ini namanya berusaha."
"Kamu nggak serius kan?" tanya Reki. Matanya menatap ke bawah. "Kamu pake rok loh."
"Dan aku pake celana di dalam."
"Ya iya dong kamu pake celana dalam. Masa nggak?"
Wajah Velly memerah. "Celana di dalam, bukan celana dalam!"
"Hahahaha." Tawa Reki pecah. "Celana di dalam apa namanya kalau bukan celana dalam? Masa celana luar?"
Velly membuang muka, memutuskan tak ingin memperpanjang perdebatan dengan Reki. Dibandingkan dengan menghiraukan Reki, Velly justru terlihat mengambil ancang-ancang untuk benar-benar memanjat pohon cemara kipas tersebut.
Menghentikan tawanya, di detik selanjutnya Reki justru menganga melihat bagaimana Velly yang mengangkat satu kakinya. Bertahan pada pohon tersebut.
"Eh? Eh ..., kamu?"
Mata Reki benar-benar nyaris ingin copot saat melihat bagaimana Velly yang benar-benar memanjat pohon itu.
"Ya Tuhan ...."
Reki tercengang. Bagaimana bisa seorang cewek memanjat pohon dengan menggunakan rok?
Cowok itu benar-benar tak percaya dengan apa yang matanya lihat saat itu. Tepat ketika dilihatnya bagaimana Velly semakin ke atas dan ---
Sial!
Bersamaan ketika Reki mengumpat di dalam hati, di saat itu pula terdengar hardikan dari atas.
"Kamu ngintip aku?!"
Reki tersadar. Lalu ia menggeleng. "Nggak!"
Di atas sana, Velly melotot. "Kalau nggak, ngapain kamu di bawah sana?"
"Terus kamu mau aku nyusul kamu gitu? Manjat juga?" balas bertanya Reki.
Velly menutup mulutnya. "Jangan lihat ke atas! Aku mau ambil bolanya!"
"Ya ambil sana. Nggak ada urusan sama aku!"
"Ada! Kamu mau ngintip aku!" seru Velly seraya menggeser sedikit kakinya yang berpijak pada cabang di sana. "Dasar otak mesum!"
Wajah Reki memilih. "Kan kamu pake celana dalam, untuk apa masih takut diintip!"
Velly cemberut. "Cerewet, Ki!"
Mata Reki mengerjap lagi. Dahinya kembali berkerut. Mendapati nada suara Velly yang berkata seperti itu entah mengapa rasa-rasanya tak asing di telinganya.
Sementara itu, Velly pun kemudian mengedip-ngedipkan matanya berulang kali. Mendadak saja merasa seperti familiar dengan situasi kala itu. Tapi, Velly mengabaikannya. Ia justru memanfaatkan waktu itu untuk bergerak perlahan. Berusaha untuk meraih bola ungu itu.
"Yes!"
Reki melihat lagi ke atas. Pada bola ungu yang telah berada di dalam genggaman tangan Velly. Gadis itu terlihat begitu kegirangan seraya mencibir pada dirinya.
"Ungu punya aku," ejek Velly pada Reki.
Reki geleng-geleng kepala. "Iya iya. Mending sekarang kamu turun sebelum ketahuan guru kalau kamu manjat pake rok."
Velly masih mencibirkan bibirnya, namun tak urung juga mulai beranjak dari tempatnya berdiri.
Terlalu senang dengan bola ungu di tangannya membuat Velly abai dengan cabang yang menjadi tempat kakinya berpijak. Ada satu bagian yang licin. Kulit kayunya mengelupas. Dan kaki Velly yang masih bersepatu berpijak di sana.
"Eh?"
Velly membeku. Merasakan kakinya tergelincir.
"Vel!"
Di bawah Reki berseru panik melihat tubuh Velly yang bergoyang-goyang. Terlihat limbung. Dan di detik selanjutnya ---
"Aaah!"
Tubuh Velly benar-benar tergelincir. Terpeleset dari cabang licin itu.
"Vel!"
Reki berseru melepaskan kedua bola di tangannya dan langsung berlari. Menerobos tanaman semak di sekitaran pohon cemara kipas tanpa melepaskan tatapannya dari tubuh Velly yang melayang.
"Buuuk!"
"Auuu!"
Reki memejamkan matanya. Spontan saja tangannya naik dan meraba kepala belakangnya. Terasa sakit karena membentur tanah.
Sementara itu, Reki pun merasakan ada dua tangan yang menekan dadanya. Membuat cowok itu terbatuk seraya membuka matanya. Melihat Velly yang berada di atas tubuhnya dan berusaha untuk bangkit.
"Aduuuh ...."
Ringisan Reki membuat Velly tertegun. Ia menatap Reki. Tepat ketika Reki pun menatap dirinya.
"Kamu ini ...," geram Reki. "Kan udah dibilangin jangan manjat! Masih aja."
Velly menggigit bibir bawahnya. "Kamu nggak apa-apa?"
"Selain fakta kalau kepala aku rasanya pusing?" tanya Reki mendelik. "Aku bersyukur seenggaknya kamu mungil."
Velly terdiam.
"Soalnya bukan apa," sambung Reki. "Kok kamu yang kayak betah gitu sih di atas badan aku?"
"Eh?"
Velly mengerjapkan matanya sekali. Sepertinya memerlukan waktu beberapa detik untuk menyadari maksud pertanyaan Reki. Tapi, detik selanjutnya Reki justru membuat wajah Velly terasa panas hingga ke ubun-ubun dengan satu pertanyaan yang begitu terasa menyindir dirinya.
"Nggak berencana buat berdiri gitu?"
Velly memejamkan matanya.
Malu.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top