19. Detik Penghakiman

Mungkin satu kebiasaan Reki yang sedikit unik dari kebanyakan siswa lainnya adalah cenderung menunggu beberapa saat setelah bel pulang berbunyi, barulah ia beranjak. Tidak langsung menghambur pulang seperti teman-temannya. Ehm bisa dikatakan bahwa Reki memilih agar suasana lumayan sepi terlebih dahulu baru kemudian ia keluar dari kelas. Tidak suka berdesak-desakan kali.

Sama persis seperti siang itu. Reki menunggu sejenak. Membiarkan Tama yang memilih untuk langsung keluar. Pun dengan teman-temannya yang lain. Dan ketika dilihatnya kelasnya mulai sepi, barulah Reki meraih tas ranselnya. Seraya bangkit dari duduknya.

Namun, belum sempat Reki menyandang tas itu dengan benar di pundaknya, ia lantas langsung mengambil langkah. Menghampiri Velly yang tampak berdiri pula dari kursinya.

"Bol, udah mau balik?"

Velly menoleh. Lalu acuh tak acuh berjalan menuju keluar kelas. Tentu saja, dengan diikuti oleh Reki di belakangnya.

"Yeee .... Ditanyain malah dikacangin. Emang ya kamu ini. Kayak yang nggak tau sopan santun aja."

Mengembuskan napasnya, Velly melirik pada Reki yang telah mengambi tempat di sebelahnya. Tak mengherankan sama sekali. Toh perbedaan langkah kaki keduanya jelas berbeda. Velly telah berjalan dua langkah, eh Reki hanya butuh selangkah. Hiks. Menyedihkan sekali.

"Lah emang kamu tau sopan santun?" balas Velly bertanya. "Nggak ada angin nggak ada hujan. Nggak pake permisi juga, eh ... langsung aja gitu yang manggil aku Bol."

Reki terkekeh.

"Emang itu bentuk sopan santun gitu?"

"Aduh. Si Eneng ngambek dah," kata Reki geli. "Maaf maaf. Lagian kan itu cuma semacam ... yah! Panggilan akrab gitu."

Kali ini lirikan mata Velly terlihat menajam. "Kayak yang kita akrab aja."

"Wah!" Reki terkesiap tak percaya. "Setelah kejadian kita di semak-sem---"

Tak membiarkan Reki untuk mengatakannya, Velly langsung meraih tangan Reki. Menariknya hingga mau tak mau cowok itu menunduk. Dan di saat itulah tangan Velly langsung menutup mulut Reki. Memutus perkataannya.

Velly melotot. "Mau buat masalah heh?!"

"Huft! Huft! Huft!"

Reki tak bisa mengatakan apa-apa selain menggeleng-geleng. Lalu berusaha meyakinkan Velly melalui sorot mata. Ditambah dengan anggukan-anggukan. Tak lupa dengan tangannya yang bebas bergerak naik, memberikan simbol V pada sang gadis. Bersumpah.

Mata Velly menyipit dengan sorot mengancam. Tapi, walau demikian Reki bisa merasakan bahwa dekapan tangan Velly di mulutnya sudah mulai mengendur.

"Kamu ngomong aneh-aneh lagi," ancam Velly kemudian. "Awas aja."

Reki mengangguk-angguk lagi. Berusaha meyakinkan Velly untuk yang kesekian kalinya. Dan berhasil. Sedetik kemudian, Velly telah melepaskan kedua tangannya dari Reki. Yaitu dari tangannya dan juga mulutnya.

Fyuuuh!

Mengabaikan Reki yang menarik napas dalam-dalam, Velly memilih untuk melanjutkan lagi langkah kakinya. Bagaimanapun juga, gadis itu yakin. Bahwa Reki akan kembali menyusul dirinya. Dan terbukti. Cuma butuh dua detik untuk telinganya kembali mendengar suara cowok itu.

"By the way," kata Reki. "Kok perasaan aku hari ini kamu agak yang beda ya, Vel?"

Vel?

Dahi Velly berkerut. Lalu menoleh ke samping.

"Kamu manggil aku Vel?" tanyanya meyakinkan.

Reki terkekeh. "Aku panggil Bol kamu nggak mau. Sekarang aku panggil nama kamu, eh ... kamu malah nanya. Hehehehehe. Sebenarnya kamu ini mau dipanggil apa sih?"

Velly mencibir.

"Kamu bukannya mau dipanggil Sayang atau semacamnya kan?"

"Sembarangan," tukas Velly. "Panggil Velly aja."

Reki kembali terkekeh. Tapi, kekehannya tak bertahan lama lantaran matanya yang melihat bagaimana langkah kaki Velly yang terus saja berjalan lurus, tidak berbelok seperti yang seharusnya. Dan karena itu, Reki lantas memegang tas ransel yang disandang Velly. Sontak membuat gadis itu tidak bisa meneruskan langkah kakinya.

"Eh?"

Velly melirik ke belakang. Pada tas ranselnya yang sedikit terangkat lantaran dipegang oleh Reki.

"Kamu ngapain sih, Ki?"

Mata Reki mengerjap sekali. "Kamu yang ngapain?" balik bertanya cowok itu. "Parkiran motor bukan di depan. Ngapain kamu jalan lurus?" Mata Reki melirik pada koridor yang ia maksud. "Harusnya belok sini."

"Ehm ...," dehem Velly dengan mata menyipit. Mengabaikan tangan Reki yang masih memegang tasnya –cenderung mengangkatnya malah, ia mendekat. "Kamu mau nganter aku balik?"

Reki mengerjap-ngerjapkan matanya. Lalu bola matanya bergerak-gerak abstrak tak tentu arah. Bergumam kecil.

"Ehm ... ya kalau kamu mau sih. Aku juga nggak maksa."

Berkacak pinggang, Velly mengangkat wajahnya. Tampak menatap lurus pada mata Reki.

"Apa?" tanya Reki.

"Ehm ...." Velly menyipitkan matanya. "Kita pergi makan dulu yuk sebelum balik."

"Makan?"

Velly mengangguk. "Tenang. Kali ini kamu yang traktir."

Sedetik, Reki terbengong. Tapi, kemudian ia malah tertawa. Menyadari dengan baik perkataan Velly tadi.

"Apa? Nggak mau?"

Tawa Reki berubah jadi senyuman. "Oke. Aku memang harus sering-sering sedekah sih. Biar makin cakep."

"Ewww!" Velly mencibir. "Tapi, ya ini tangan kamu lepasin dulu dong dari tas aku. Emang sih aku pendek, tapi nggak juga harus diginiin terus."

"Ups!"

Reki melepaskan tas ransel Velly dan gadis itu pun langsung berjalan. Kali ini melewati koridor yang berbelok. Menuju ke parkiran motor yang mulai tampak sepi.

"Eh, tapi seingat aku ... baru tadi deh aku megangin tas kamu kayak tadi. Kenapa kamu bilang diginiin terus?"

Velly mengembuskan napasnya sekilas. "Kemaren Papa juga gituin aku," jawabnya seraya melirik. Mendapati geli di wajah Reki. "Ya aku tau aku pendek, tapi masa digituin sih."

Keduanya berhenti di dekat motor Reki yang terparkir. Cowok itu tampak menyerahkan helm pada Velly. Baru meraih helm lainnya untuk dirinya sendiri.

"Ah, Om ini nggak bener. Masa sama anak sendiri juga digituin sih."

Memang, Reki mengatakannya dengan ekspresi yang tampak serius. Tapi, Velly tidak akan salah menangkap geli di sudut bibir cowok itu.

Dasar!

Reki justru menggodanya.

Velly mengangkat tangannya. Memberikan satu tepukan pelan di tangan Reki. Bermaksud menyuruh cowok itu untuk menghentikan gurauannya. Tapi, sejurus kemudian matanya justru melihat pada seorang cewek yang tampak melintas di sana.

Velly lantas melirik pada Reki. Sedikit berbisik.

"Ada mantan kamu."

Reki yang semula akan naik ke motornya tampak melirik pula ke arah di mana mata Velly memandang. Pada seorang gadis yang bernama Jessica.

"Oh ...."

Velly melirik pada kedua remaja itu. Bergantian. Mengira bakal ada saling sapa, tapi ternyata tidak ada. Hingga membuat Velly terpikir untuk balas menggoda Reki.

"Cie cie cie .... Ada mantan eh ... jadi mendadak kalem si turunan burung murai."

"Turunan burung murai?" balas Reki. "Beneran mau liat turunan burung murai yang aku punya heh?"

Tukasan Reki seketika membuat mata Velly membesar. Pun dengan pipinya yang langsung memerah.

"Kamu ini beneran ya jadi cowok. Omongannya bener-bener yang nge---"

"Mau balik nggak?" tanya Reki memotong ucapan Velly. Tangannya tampak memutar kunci motornya. "Atau aku ajak Jessi aja nih?"

Tawa Velly berderai, tapi buru-buru menahan Reki. Isyarat meminta pertolongan untuk bisa naik ke motor Reki. Dan cowok itu membantunya.

"Cie ... ngambek," kekeh Velly. "Padahal kalian berdua cocok loh, Ki. Kenapa bisa putus?"

Velly membuka percakapan ketika motor yang Reki tunggangi mulai bergerak meninggalkan tempat parkir. Perlahan meluncur di jalanan. Berbaur dengan kendaraan lainnya.

Reki melirik melalui spion motornya. Mendapati sorot penasaran di mata Velly yang membuat dirinya geleng-geleng kepala. Berdecak dengan sarkasme rasa kagum.

"Wah! Wah! Wah! Jangan ngomong kalau sekarang kamu udah nggak kepo sama Eshika dan Tama lagi, Vel. Melainkan kepo sama aku?"

"Hahahahaha."

Dan tawa itu membuat Reki bergidik. Hingga dahi di balik helm itu berkerut dengan kemungkinan tersebut.

"Please, Vel. Kamu nggak perlu mata-matain aku atau kayak gimana. Mending kamu nanya langsung aja deh. Pasti bakal aku jawab."

"Ih, GR!" tukas Velly. "Lagian, kayak yang aku kurang kerjaan aja sampe mau mata-matain kamu. Iiih! Mending aku ngerjain PR aja."

Mata Reki kembali melirik. "Kayaknya berapa hari ini kam kamu emang kurang kerjaan sih. Hobinya ngurusin urusan orang aja. Ehm ...."

"Sembarangan aja. Aku tuh bukannya hobi ngurusin urusan orang ya. Tapi, aku itu peduli. Perhatian. You know? Orang-orang ngomongnya care."

Mendengar alasan Velly, spontan saja Reki tertawa.

"Sumpah, Vel. Aku harap kamu nggak perhatian sama aku. Hahahahaha."

Velly mencibir. "Aku juga nggak mau perhatian sama kamu kok. Tenang aja."

"Eh?" Mata Reki menyipit. "Tadi kamu sibuk nanyain soal hubungan aku sama Jessi loh ya. Hahahahaha. Apa itu nggak perhatian? Yah ... kalau menurut omongan orang-orang, bisa dibilang kamu care gitu sama aku."

"Dasar!" rutuk Velly. "Aku bukannya perhatian, tapi cuma penasaran."

"Oooh ...."

Ada irama yang berbeda dari lirihan Reki. Begitu pula dengan lirikan matanya yang terpantul di kaca spion. Rasa-rasanya seperti mencemooh Velly. Membuat cewek itu mencibir dan merutuk.

"Tapi, Ki ...."

Suara Velly membuat senyum geli Reki memudar. "Apa?"

"Ngomong-ngomong soal penasaran," lanjut Velly kemudian. "Ada sesuatu yang mau aku tanyain ke kamu deh."

"Tanyain?"

Velly mengangguk. "Sekalian minta pertanggungjawaban kamu sih sebenarnya."

"Pertanggungjawaban?"

Kali ini, irama menggoda di suara Reki tergantikan oleh aura horor. Begitupun dengan sorot matanya yang tampak berubah ngeri.

"Pertanggungjawaban apa, Maimunah? Kamu jangan sekate-kate ye. Ngomong kok nakutin gitu."

Tangan Velly menepuk punggung Reki sementara matanya menatap lurus ke depan. "Tuh. Gerobak bakso kemaren. Kita mampir ke sana aja."

Mengalihkan pembicaraan dengan begitu tajam, mau tak mau Reki melihat pula pada gerobak bakso yang dimaksudkan oleh Velly. Tempat di mana ia makan beberapa hari yang lalu.

"Kita ngomong di sana aja," kata Velly kemudian. "Soalnya aku khawatir. Kalau kita ngomong di atas motor, bisa-bisa kita kecelakaan."

Ya salam.

Sekilas, Reki langsung meraba lehernya.

Bayangan Velly yang kembali memiting lehernya melintas di benaknya. Membuat ia meneguk ludah. Tapi, untuk di saat itu entah mengapa ia menyadari sesuatu.

Wah ....

Ini kok nyaris aku lewatkan sih?

Wajar kan ya kalau Velly ini dikit-dikit main fisik?

Lah bapaknya semacam mantan jawara kampung.

Mata Reki membesar. Melihat pada Velly melalui kaca spion. Tampak gadis itu yang duduk di belakangnya dengan tangan yang bersedekap di depan dada. Wajahnya tampak sedikit terangkat, seolah sedang menantang angin. Hingga rambutnya yang mulai memanjang itu beterbangan.

Ckckckck.

Pasti emang udah turunan mah.

Dan menyadari bahwa tak ada balasan Reki untuk perkataannya, membuat Velly melirik. Pandangan keduanya bertemu dan gadis itu mendelik.

"Eh, itu gerobaknya di depan."

Tangan Velly memukul punggung Reki.

"Awww!"

Reki mengaduh sakit. Tapi, tetap saja cowok itu refleks menepikan motornya di tempat yang dituju. Hebat, tanpa silap sedikit pun.

Reki mungkin baru saja akan menggerutu akibat tindakan Velly yang sebenarnya bisa berbahaya bagi mereka berdua. Tapi, tau-tau tangan Velly sudah memegang pundaknya. Bertahan di sana sementara dirinya mencoba untuk turun.

Ketika Velly menyerahkan helm pada Reki, gadis itu berkata.

"Yok, kita makan dulu. Saran aku sih kamu makan kayak dua porsi gitu."

Melepas helm miliknya sendiri, Reki sontak bingung dengan perkataan Velly. "Maksud kamu? Kenapa aku harus makan dua porsi?"

"Ck." Tangan Velly melambai sekali di depan wajahnya. "Soalnya orang-orang sering ngomong kalau terdakwa hukuman mati itu dikasih makan enak dan banyak dulu sebelum dieksekusi."

Perkataan Velly membuat mata Reki membesar. Kali ini benar-benar memegang lehernya dengan kedua tangan.

"Eh? Maksud kamu?"

Untuk pertanyaan itu, Velly justru memberikan reaksi yang sangat tidak terduga oleh Reki. Yaitu, Velly mengibaskan sekilas rambutnya. Memberikan satu senyuman yang tampak berbeda. Diikuti oleh gerlingan matanya.

"Kamu nggak ngerasa kalau sekarang ini Shinigami lagi muter-muter di atas kepala kamu gitu?"

Ya salam.

Fix ini fix.

Tewas beneran deh aku sama si Boncel.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top