18. Efek Samping
Mata Bandi sudah membesar tepat ketika ia melihat Velly yang melangkah masuk ke dalam rumah ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Dan mata pria paruh baya yang sudah membesar itu, semakin melotot ketika dilihatnya Velly yang melenggang melewati dirinya. Membuat ia syok dan langsung membalikkan badan. Meraih tas ransel yang disandang oleh Velly, menahannya. Sontak saja membuat langkah kaki Velly terhenti.
"Eh eh eh ...."
Velly tergugu. Tampak bingung kenapa langkah kakinya bisa berhenti. Lebih dari itu, ada satu suara berat yang terdengar membeo lirihannya tadi.
"Eh eh eh?"
Tentu saja dengan nada yang berbeda. Yang satu itu terdengar seperti tengah memberikan peringatan untuk Velly. Dan itulah yang dirasakan gadis itu ketika pelan-pelan membalikkan badan.
Velly membesarkan mata. Syok.
"Papa?"
Bandi semakin melotot. Mencondongkan wajahnya yang tampak mengerikan. "Papa?" ulangnya lagi. "Papa segini gede nggak keliatan dari tadi? Pulang-pulang langsung nyelonong kayak anak nggak diajarin sopan santun?"
Velly meringis. Meraih tangan Bandi. Menciumnya.
"Aku balik, Pa."
Bandi masih melotot. "Ya Papa tau kamu udah balik," katanya. "Kenapa balik malam?"
"Itu ... abis jalan-jalan sama Eshika, Pa. Biasa, belanja keperluan cewek."
Kali ini, pelototan Bandi berubah tatapan menyipit yang menyelidik. Seperti berusaha mencari kebohongan di wajah putrinya itu. Tapi, beberapa kantung belanjaan yang Velly ancungkan di depannya membuktikan bahwa perkataannya adalah suatu kebenaran.
"Bukan pacaran?"
Velly cemberut. "Ya bukanlah. Tanyain aja sama Eshika kalau nggak percaya."
"Ehm ...." Bandi manggut-manggut. "Balik sama siapa? Sama Reki?"
"Iiih .... Ngapain balik sama Reki? Kan aku perginya nggak sama dia."
Bandi kembali manggut-manggut. Dan Velly yang mendapati bahwa ayahnya tidak berkomentar apa-apa lagi, kembali bersuara.
"Udah, Pa? Kalau udah tolong dong ini tas aku dilepas. Aku mau ke kamar."
Perkataan Velly seketika membuat Bandi melihat pada tangan kirinya yang masih menahan tas ransel putrinya itu. Langsung melepasnya dan mengangguk.
"Langsung mandi."
Kepala Velly mengangguk. "Iya, Pa."
Dengan langkah gontai yang membuat Bandi mengerutkan dahi, Velly beranjak dari sana. Menuju ke kamar dengan mempersiapkan hatinya. Karena kalau adik-adiknya sampai lagi-lagi memeriahkan suasana kamarnya, mungkin Velly akan meledak.
"Kreeek."
Bola mata Velly bergerak dengan penuh irama. Melirik ke kanan, melirik ke kiri, melirik ke depan.
Aman.
Tak ada suara. Tak ada keriuhan. Dan tak ada manusia di dalam sana selain dirinya.
Fyuh.
Velly segera masuk dan mengunci pintu kamarnya. Mungkin adik-adiknya itu sedang mengerjakan tugas sekolahnya sehingga tidak bermain di sana.
Meletakkan tasnya di atas meja belajar, Velly langsung membawa kantung belanjaannya tadi ke atas tempat tidur. Ingin mengecek kembali barang-barang yang sudah ia beli.
Hal pertama yang paling menarik minat Velly adalah lipstik. Maka tak heran bila cewek itu langsung bangkit menuju ke meja riasnya. Sekadar untuk menyapukan warna oranye itu ke bibirnya dua kali. Lalu ia pun meratakannya.
"Ehm ...."
Terlihat sangat pas untuk Velly. Aura ceria gadis itu seperti langsung menguar seketika. Tapi, ketika ia melihat pantulan wajahnya beberapa kali di cermin, entah mengapa ia jadi teringat dengan pembicaraannya dengan Eshika tadi. Hanya untuk melirihkan satu kesimpulan.
"Ternyata bener dugaan aku. Eshika dan Tama emang ada sesuatu gitu."
Velly meletakkan lipstik di meja itu. Memilih untuk kembali duduk di tepi tempat tidur. Sekarang ia tampak tak bersemangat melihat celana dalam yang masih tertempel label harganya itu. Yang ada ia justru meremas celana dalam-celana dalam tersebut.
"Dasar, Reki. Aku yakin banget dia udah tau soal mereka."
Velly mendengus. Kali ini otaknya mendadak ingat dengan persis perkataan Reki tempo hari pada dirinya.
"Entah kenapa aku ngerasa kalau dalam waktu dekat, Eshika bakal punya pacar. Dan itu artinya bentar lagi kamu bakal sendirian."
Velly mencibir. Lalu berdecak.
"Ck. Mentang-mentang Tama temen dia, jadi dia yang pura-pura nggak tau gitu."
Tapi, terlepas dari kemungkinan bahwa selama ini Reki telah membohongi dirinya, Velly justru terpikir hal lainnya. Hingga membuat ia tanpa sadar beringsut menjatuhkan diri di tempat tidur. Meraih bantal dan merebahkan kepalanya di sana.
"Cuma ya ... yang dibilang Reki bener juga. Kalau Eshika pacaran sama Tama, ehm ... pasti aku bakal sendirian beneran. Persis kayak yang Reki omong."
Lantas Velly membuka ponselnya. Melihat pada pesannya pada Putra yang ternyata masih bewarna abu-abu dua centangnya.
*
"Yo, Maimunah!"
Ada Reki yang dengan langkah kaki besarnya itu langsung bisa menghampiri meja Velly. Dari pintu ke sana, hanya butuh tiga langkah bagi seorang Reki. Velly sampai geleng-geleng kepala karenanya.
Reki menekan meja Velly dengan kedua tangannya. Melihat pada gadis itu hanya untuk melongo sejenak. Ekspresi kegembiraan Reki tatkala masuk ke dalam kelas langsung menguap seketika saat mendapati raut lesu di wajah Velly.
Kenapa ini cewek?
Mendapati kedatangan Reki, Velly memberikan respon yang teramat datar. Hanya melirik sekilas melalui ekor matanya. Lalu, dengan menopang wajahnya menggunakan kedua tangannya, gadis itu memandang papan tulis dengan tatapan kosong.
Tak mendapatkan respon seperti biasanya kalau ia menggoda gadis itu, membuat Reki heran. Niatan awalnya yang hanya ingin menyapa dan langsung menuju ke mejanya sendiri, sirna. Tergantikan oleh niatan lainnya.
Reki menarik kursi Eshika yang masih kosong. Duduk di sana.
"Oi, Bol. Kamu kenapa?" tanya Reki kemudian. "Sakit? Atau abis ditagih debt collector?"
Sreeettt!
Kepala Velly menoleh dengan sorot mata yang tampak berbeda dari biasanya. Membuat Reki mengerjap-ngerjap karenanya.
"A-a-apa?"
Reki sedikit menarik tubuhnya. Jaga-jaga agar dirinya berada dalam jarak yang aman dari jangkauan tangan Velly. Bukannya apa, tapi Reki tidak ingin mengambil risiko lehernya mendadak dipiting lagi oleh cewek itu. Apalagi sekarang. Mereka kan lagi di kelas tuh. Apa tidak jatuh harga diri Reki kalau sampai dipiting oleh cewek semungil Velly? Ehm ... mungil ya, bukan kecil. Hihihihi.
Mengantisipasi serangan Velly, nyatanya Reki hanya mendapati embusan panjang napas gadis itu. Lantas ia menggeleng.
"Eh?"
Bohong dong.
Jelas bohong.
Reki bisa melihat bahwa Velly seperti tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Hal yang membuat ia penasaran.
"Apaan sih, Cel?" tanya Reki lagi. "Beneran nggak kayak biasanya kamu pagi ini. Padahal kan kemaren kamu baru aja abis jalan-jalan sama Eshika. Shopping gitu. Harusnya kamu kan jadi seger dan---"
Reki menghentikan perkataannya. Lalu ia justru terkesiap dan menutup mulutnya dengan satu tangan.
"Shit! Jangan ngomong duit kamu abis dan kamu justru belanja pake duit SPP. Makanya kamu kayak yang pusing gini ya?"
Maimunah.
Cebol.
Boncel.
Astaga! Mungkin setiap hari akan ada panggilan-panggilan baru yang Reki berikan padanya.
"Ki, please," lirih Velly. "Aku lagi nggak mood banget pagi ini buat ngeladenin kamu."
"Eh?"
Reki mengerjapkan matanya. Lantas ekspresi usil di wajahnya menghilang. Tergantikan oleh raut simpatik. Maka cowok itu pun bertanya.
"Nggak mood kenapa? Beneran lagi ada masalah nih kayaknya."
Velly mengembuskan napas panjang. Alih-alih menjawab, ia malah merebahkan kepalanya di atas meja. Memejamkam mata.
"Udah ah. Aku nggak mau ngomong lagi. Pasokan tenaga aku hari ini terbatas."
Mendapat jawaban seperti itu, Reki hanya bisa melongo. Benar-benar tak percaya bahwa gadis yang kerap kali memiliki semangat 45 yang membara, bisa lesu juga.
Hal yang membuat Reki penasaran. Hingga tanpa sadar membuat ia mengangkat satu tangannya. Meraba dahi di balik poni Velly. Mencoba merasai suhu tubuh gadis itu.
Dan ketika Reki meraba dahi Velly, satu kenyataan lain melintas di benaknya.
Dia nggak marah?
Pasrah aja?
Padahal kan biasanya ....
Bayangan Velly yang mencak-mencak, tidak suka kalau dirinya dipegang sembarangan, berputar di kepala Reki. Berbanding terbalik sekali dengan situasi saat ini. Velly malah seperti yang tak peduli dengan apa yang dilakukan olehnya.
Dan walau tak ada suhu tinggi yang dirasakan oleh tangan Reki, tetap saja cowok itu bertanya.
"Kamu sakit, Vel?"
Velly diam.
"Kalau sakit, ke UKS aja yuk."
Velly masih diam.
"Aku temenin juga nggak apa-apa. Sekalian biar aku bisa bolos."
Mata Velly melirik dengan gerakan yang membuat Reki kecut seketika. Belum lagi dengan perkataann Velly selanjutnya. Sontak membuat Reki menarik tangannya dari dahi gadis itu.
"Kalau mau bolos, ya bolos aja. Jangan jadiin aku tameng, Ki," lirih Velly lesu. "Lagian kamu nggak malu? Masa cowok segede kamu mau berlindung di balik cewek sekecil aku?"
Ah ....
Ini bener-bener nggak seperti biasanya.
Reki melihat Velly yang lantas memejamkan matanya. Memang bukan untuk tidur pastinya. Tapi, lebih tepat kalau dibilang itu adalah cara untuk menghindari Reki. Yah ... semacam pengusiran secara halus.
Hanya saja masalahnya satu. Reki diusir dengan cara kasar saja kadang tidak mau pergi, apalagi dengan cara halus? Yang terjadi malah sebaliknya.
"Ini kamu pasti balik kemalaman deh abis jalan. Ckckckck. Semacam ibu-ibu anak lima yang nggak bisa kena angin malam ternyata kamu mah. Jadi nggak enak kan badannya?"
Velly berusaha sekuat tenaga untuk tidak membuka matanya. Dan itu sulit sekali. Apalagi karena Velly tau bahwa Reki masih ada di kursi Eshika.
Aduh.
Ini Eshika ke mana coba?
Kok belum datang?
Aku lagi nggak punya tenaga beneran deh buat ngeladeni cowok semacam Reki.
Sementara itu, berbeda dengan yang Velly pikirkan di benaknya, Reki justru mengambil kesimpulan yang lain.
"Makanya, Vel. Kalau jalan itu ingat waktu. Kan jadi sakit gini. Kalau kamu nambah kecil gimana coba? Lagi kamu sehat aja pertumbuhan kamu terganggu, apalagi kalau sakit? Aku khawatir kamu beneran menciut bentar lagi."
Ya Tuhan.
Sungguh sulit sekali untuk Velly tidak membuka matanya. Apalagi ketika ia merasakan ada tangan besar Reki yang mengusap-usap kepalanya.
"Ya udah, Mut. Bobok aja. Ntar balik biar bareng aku. Ketimbang kamu pingsan di tengah jalan."
Astaga naga.
Mungkin Velly akan mengumpati cowok itu atau apalah. Tapi, tepat setelah mengatakan itu, belaian di kepalanya terasa menghilang. Lantas disusul oleh bunyi gesekan kursi.
Reki pergi.
Maka dengan takut-takut, Velly membuka matanya sedikit. Mencoba mengintip. Hanya untuk mendapati satu sapaan dari suara yang berbeda.
"Pagi, Vel."
Velly sontak membuka mata. Rasanya sedikit gemas karena Eshika justru datang setelah Reki pergi dengan inisiatifnya sendiri.
"Kamu lama banget sih datangnya, Esh."
Eshika duduk seraya meletakkan tas ranselnya. "Eh?"
"Gara-gara kamu datang lama, Reki jadi kelamaan di sini."
"Ehm .... Emangnya ada apa dengan dia?"
Mengembuskan napasnya, Velly menggeleng. Memilih untuk tidak membicarakannya.
"Nggak ada sih."
Tapi, tentu saja itu membuat Eshika bingung. Karena jelas sekali wajah Velly saat itu terkekuk, seperti tengah kesal. Maka wajar sekali kalau pada akhirnya Eshika memutar tubuh. Melihat ke belakang, pada Reki yang tampak bertopang dagu dengan satu siku di atas meja belajarnya. Dan kebetulan sekali. Karena saat itu Reki pun tengah melihat ke arah dirinya.
Ehm ....
Atau ke arah Velly ya sebenarnya?
Tak memedulikan hal itu, Eshika justru melayangkan kode-kode pada Reki. Sebagai ganti pertanyaan: kenapa Velly, Ki?
Mengerti isyarat itu, Reki mengangkat bahunya sekilas. Lalu membawa satu telapak tangannya ke atas dahinya. Memberi kode: tau deh, tapi kayaknya dia lagi sakit.
Eshika manggut-manggut. Mengerti. Tapi, baru saja sedetik ia memahami situasi kala itu, eh mendadak saja Eshika mendengar sesuatu yang membuat ia nyaris terlonjak kaget dari duduknya. Yaitu suara kursi Velly yang bergeser dengan kuat ketika pemiliknya tampak bangkit dengan tiba-tiba.
"Ah. Ketimbang aku kayak gini, mending aku ke kantin aja."
Beberapa orang teman mereka di kelas tampak tak peduli, tapi tentu saja tidak berlaku untuk Reki dan Eshika. Bagaimanapun juga, kedua remaja itu justru terbengong-bengong melihat Velly. Bingung dengan perubahan Velly yang teramat mendadak itu. Terutama ketika Velly bertanya.
"Esh, mau nitip?"
Lantas ia menoleh pada Reki di belakang sana. Mengangkat tangannya dan berkata.
"Sorry, aku nggak nawarin kamu, Ki."
Eshika melongo.
Begitupun dengan Reki.
Hingga ketika Velly berlalu keluar dari kelas seraya mengibaskan rambut selehernya dengan gaya pongah, Reki justru geleng-geleng kepala.
"Aku nggak ngira efek keabisan duit bisa buat dia gila kayak gini."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top