15. Tanya Dan Jawab

Bagaimana bisa Velly duduk dengan tenang di kursinya kalau ia mendadak saja mendengar suara Tama yang bertanya.

"Ngomong-ngomong. Kamu sama Velly pergi ke semak-semak ya?"

Sudah barang tentu Velly seketika membeku. Bahkan tanpa sadar napasnya jadi tertahan di dada. Lebih dari itu, ia pun seperti abai ketika Eshika datang dan melambaikan satu tangan di wajahnya yang menegang.

"Vel?"

Velly mengabaikan panggilan sahabatnya itu. Di dalam hati, ia hanya bisa menjeritkan satu nama. Merutuk.

Rekiii!!!

Sontak saja Velly langsung menoleh ke belakang. Dengan mata tajam, ia mengamati bagaimana Reki dan Tama yang tampak berbincang-bincang. Sayangnya, perbicaraan yang diselingi oleh beberapa kali gelak tawa itu justru membuat Velly semakin merasa tubuhnya mendingin.

Reki nggak mungkin ngoceh yang nggak-nggak sama Tama kan?

Nggak mungkin kan?

Berbagai pikiran buruk berputar-putar di kepala Velly. Hingga ia tak sadar bagaimana Eshika yang tampak penasaran dengan gelagat dirinya. Turut menoleh. Mencoba mengira-ngira ke mana arah pandang Velly. Dan dahi Eshika seketika berkerut tatkala mendapati kenyataan bahwa ternyata mata sahabatnya itu tertuju pada Reki. Membuat ia manggut-manggut seraya kembali membawa tatapannya ke depan.

Sementara itu, Velly tetap memusatkan perhatiannya pada Reki. Melihat dengan jelas bagaimana berulang kali Reki mengepalkan tinjunya pada Tama. Tampak seperti penonton yang tengah memberikan dukungan semangat untuk tim jagoannya. Hingga kemudian, pada satu momen yang tepat, terlihat Reki sedikit mengubah posisi duduknya. Membuat tatapan cowok itu lantas bertemu dengan tatapan Velly.

Reki tampak kaget sekilas. Terbukti dari maniknya yang tampak membesar. Tapi, sedetik kemudian Velly melihat bagaimana mulut Reki yang bergerak. Berbicara tanpa suara pada dirinya.

'Mau ke semak-semak lagi ntar balik sekolah?'

Kalau tadi mata Reki yang membesar, maka sekarang sebaliknya. Velly merasa matanya mungkin akan meloncat seketika dari rongganya karena pertanyaan itu. Maka ia pun buru-buru membuang wajah. Memilih untuk melihat papan tulis saja ketimbang bertambah emosi lantaran pertanyaan dari Reki.

Dan hal itu tidak luput dari perhatian sahabatnya. Hingga membuat Eshika pun menjadi heran. Lantas gadis itu bertanya.

"Lagi ada masalah dengan Reki?"

Velly menggeleng. "Nggak ah, nggak."

"Ehm ...." Eshika tersenyum. "Kalian nggak kayak yang lagi deket or something gitu kan?'

"Eh?" Velly terkesiap. "Aku? Sama cowok gitu?" Dia geleng-geleng kepala. "Nggak mungkin."

Eshika tak mampu menahan dirinya untuk tidak terkekeh pelan. Hingga membuat Velly menarik napas dalam-dalam. Memanfaatkan situasi, ia pun kemudian mencoba untuk membelokkan topik pembicaraan.

"Daripada ngomongi itu," kata Velly kemudian. "Aku justru punya sesuatu untuk aku tanyain ke kamu deh, Esh."

Kekehan Eshika terhenti. Matanya tampak mengerjap beberapa kali. "Apa? Tanyain aja."

"Tapi, jujur ya bakal jawab?" tanya Velly dengan mata yang menyipit misterius.

Eshika mendehem pelan dengan penuh irama. "Ehm ...."

Mendapati deheman itu, Velly merasa di atas angin. Walau Eshika tidak benar-benar mengatakan 'ya', tapi setidaknya dari jawaban itu Velly sudah bisa sedikit berharap. Eshika akan menjawab pertanyaannya. Yah ... walau mungkin tidak seluruhnya.

Maka Velly pun tampak mendekati Eshika. Pun menahan tangan sahabatnya itu. Lalu barulah ia bertanya.

"Kamu lagi ada sesuatu sama Tama?"

Semula Velly mengira Eshika mungkin akan mengelak. Tapi, satu respon kaget Eshika membuat Velly menjadi berambisi.

"Eh?"

Ah, ternyata bener.

Pasti Eshika ada sesuatu sama Tama.

Velly semakin menyipitkan matanya. Semakin melayangkan ekspresi penuh selidik pada Eshika. Hingga membuat Eshika mengerutkan dahinya membentuk empat lipatan. Dan spontan saja bersuara.

"Maksudnya?"

Respon alamiah Eshika membuat Velly menjadi bersemangat. Hingga tanpa tedeng aling-aling, ia pun menuntaskan semua rasa penasarannya dalam bentuk satu pertanyaan pamungkas.

"Cowok yang kamu bilang dulu ... yang kamu bilang kamu lagi naksir seseorang," kata Velly. "Itu Tama kan?"

"What?!"

Kesiap kaget Eshika seketika saja menjadi pusat perhatian seisi kelas. Hal yang benar-benar di luar dugaan Velly. Ia tak mengira bahwa Eshika akan seekspresif itu. Bahkan sekarang, tanpa menunggu jawaban Eshika pun Velly bisa menebak.

Sial!

Ternyata Eshika beneran ada apa-apa dengan Tama.

Tapi, Velly sekarang memasang mode menunggu. Tidak ingin semakin mendesak. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin mempermalukan sahabatnya sendiri di kelas. Lagipula ... mana ada cewek yang mau ketahuan isi hatinya di tempat seumum itu? Tidak mungkin ada.

Maka dari pada terus mendesak, Velly justru memaku mata Eshika dengan lekat. Hingga Eshika terlihat gelisah karenanya. Dan hal itu tentu saja tidak melunturkan semangat Velly. Ia tetap bersikukuh untuk menunggu jawabannya. Ia tidak akan menyerah sampai Eshika memberikan dirinya jawaban yang memuaskannya.

Sumpah!

Eshika beneran harus jawab.

Aku nggak mau harus narik Reki ke semak-semak lagi.

Cuma buat mata-matain Eshika dan Tama.

Ewww!

Keenakan Reki mah.

Tapi, semakin lama Velly menunggu, tak tampak tanda-tanda bahwa Eshika akan menjawab pertanyaannya. Lebih dari itu, mata Velly menangkap gelagat seperti Eshika yang sedang mencoba mencari jalan untuk lepas dari pertanyaannya.

Dan mungkin sepertinya takdir kali ini tidak berpihak pada kegigihan Velly. Itu adalah karena pada akhirnya guru yang akan mengajar mata pelajaran pertama hari itu telah datang. Dengan suaranya yang berat terdengar menyapa seisi kelas.

"Selamat pagi semuanya."

Seorang guru yang bernama Seno melangkah masuk. Yang tentu saja membuat Velly menjadi misuh-misuh tanpa suara.

Masuk nggak tepat waktu ih si Bapak.

Begitulah kira-kira rutukan Velly di dalam hati. Melihat bagaimana Pak Seno yang melenggang dengan gestur santai. Meletakkan buku ajarnya di atas meja seraya berkata.

"Maaf, tadi Bapak pikir Bapak ngajar di sebelah pagi ini."

Perkataan itu otomatis membuat gelak tawa menjadi membahana. Terutama karena semua siswa tau dengan jelas. Pak Seno memang terkenal sebagai guru yang sering keliru jadwal mengajar. Jadi, salah masuk kelas itu adalah hal yang seringkali beliau lakukan. Menggelikan sebenarnya.

Hanya saja, Velly yang memang sudah terlalu terlilit rasa penasaran, bertekad untuk tidak melepaskan Eshika begitu saja. Maka ketika Pak Seno masih sibuk menyiapkan buku dan perlengkapan mengajarnya di atas meja, Velly meraih tangan Eshika.

Velly mendelikkan matanya. "Belum jawab pertanyaan aku."

Eshika mengerjap sekali. "Kita udah mau belajar coba. Nanti kita dimarah Pak Seno. Mau kamu kalau kita dihukum disuruh berdiri di depan kelas?" tanya Eshika. "Kalau aku sih ogah, Vel. Cukup sekali nama aku tercoreng sampai ke ruang BK. Aku nggak mau buat masalah sama Pak Seno juga."

"Ehm ...." Velly bersidekap di depan dada, mau tak mau menyetujui perkataan Eshika yang satu itu. Bagaimana pun juga, Velly juga tidak ingin dihukum Pak Seno hanya gara-gara berbicara selama kelas tengah berlangsung. "Oke. Kalau gitu kita ngobrolnya ntar pas udah pulang sekolah aja."

"Pulang sekolah ntar, Vel?"

"Iya ...." Velly menjawab seraya membuka buku pelajarannya dan kembali berkata. "Kita kayaknya udah lama nggak girl talk gitu kan."

"Girl talk?"

Kepala Velly kembali mengangguk berulang kali tanpa melihat pada Eshika. "Ntar balik kita mampir dulu ke mana gitu. Jajan cemilan terus kita ke rumah kamu."

"Ke ... ke rumah aku?" tanya Eshika dengan suara sedikit terbata.

"Iya dong. Kan nggak mungkin banget mau girl talk-an di rumah aku yang rame kayak pasar gitu. Mana bisa. Yang ada malah kita ntar kena ganggu sama adik-adik aku lagi."

Hanya dengan membayangkan serbuan adik-adiknya saja saat melihat makanan sudah membuat ia merinding, apalagi kalau benar-benar kejadian. Ck. Velly tidak berani mengambil risiko itu. Alih-alih girl talk, mungkin yang terjadi justru girl fight.

Tapi, berbeda dengan dirinya yang terlahir dengan tiga orang adik perempuan yang super aktif, Eshika sebaliknya. Sahabatnya itu anak tunggal. Otomatis memiliki rumah yang dikaruniai ketenangan yang tidak ia miliki. Sontak saja membuat ia semringah dengan teramat lebar.

"Mami ada di rumah ntar sore?" tanya Velly seraya menoleh. Membayangkan girl talk di rumah Eshika, mau tak mau Velly teringat pada ibu Eshika. Dan mereka pun akrab layaknya ibu dan anak kandung. "Aku juga udah lama nggak ketemu Mami. Kangen sih. Mami apa kabar?"

Mata Velly berkedip-kedip. Menunggu jawaban Eshika untuk rentetan pertanyaan yang ia berikan. Hingga kemudian terdengar suara Pak Seno berkata.

"Velly, kalau kamu mau begosip, di luar aja."

Velly seketika membeku. Dengan kaku membawa tubuhnya untuk kembali melihat ke depan seraya berkata.

"Ma-ma-maaf, Pak."

Dan untuk ucapan maafnya itu, Velly mengernyitkan dahi saat mendengar satu kekehan samar. Amat sangat samar. Tapi, telinga Velly tidak akan salah mendengar. Dan karena itulah Velly menoleh ke belakang. Pada Reki yang menutup mulutnya dengan ekspresi geli.

Dasar!

*

Sepanjang penjelasan Pak Seno di depan kelas, Reki tidak benar-benar memerhatikan. Yang pada dasarnya, ia memang tidak pernah mendengarkan penjelasan guru sih. Hanya saja, sedikit berbeda dengan hari-hari biasanya. Kali ini alasan Reki tidak memerhatikan bukanlah karena tidak ingin belajar, melainkan gara-gara melihat Velly.

Duduk di kursi bagian depan, meja Velly dan Eshika berada dalam garis lurus arah pandang Reki menuju ke papan tulis. Entah melihat papan tulis atau melihat Velly, tak ada orang yang bisa membedakannya.

Ckckckck.

Cewek itu bener-bener deh ya.

Badan boleh kecil.

Tapi, semangat keponya luar biasa.

Tentu saja, itulah yang membuat dirinya menjadi mengulum senyum geli dari tadi. Tepat setelah Velly ditegur oleh Pak Seno pastinya.

Sekitar setengah jam kemudian, ketika penjelasan Pak Seno berakhir dan diikuti oleh sepuluh soal latihan, Reki meminta izin untuk pergi ke toilet.

Bersenandung kecil, Reki menyusuri koridor. Melewati tiap kelas. Hingga kemudian ia sampai di toilet. Hanya untuk buang air kecil sejenak. Lalu sibuk becermin. Memalingkan wajah ke kanan ke kiri berulang kali seraya menyugar rambutnya dengan kesepuluh jari tangannya yang telah ia basahkan sebelumnya.

Seraya bersiul, Reki memeriksa keadaan rambut hitamnya sejenak. Tampak puas dengan tampilan acak-acakan menggemaskan versi dirinya.

"Hahahahaha."

Reki tertawa sendiri dengan pemikirannya itu. Berpikir sekilas bahwa sudah saatnya ia kembali ke kelas. Sebelum Pak Seno memutuskan untuk mencari keberadaannya di toilet. Terkadang, Pak Seno sebegitu menakutkannya.

Reki memastikan kran telah berhenti mengalirkan airnya. Lalu barulah ia benar-benar keluar dari toilet.

Seraya bersiul, kaki Reki melangkah. Ia tampak begitu santai. Hingga nyaris saja Reki merasakan jantungnya akan copot ketika mendapati ada sepasang tangan yang tiba-tiba muncul. Meraih kerah seragamnya. Mendorong tubuhnya tanpa aba-aba. Hingga punggungnya menabrak dinding di belakangnya. Beruntung kepalanya tidak benar-benar terantuk.

Tapi, walau bagaimanapun juga, kepalanya yang tidak terantuk tidak menjadikan kekagetan Reki mereda. Yang ada justru semakin menjadi-jadi ketika ia melihat siapa adanya orang yang menyerang dirinya di toilet.

Mata Reki melotot dengan kedua tangan yang spontan naik dan memegang tangan penyerangnya itu. Ekspresi wajahnya terlihat amat syok. Hingga tanpa sadar ia bertanya lirih.

"Jadi sekarang profesi kamu jadi stalker cowok di toilet ..." Reki meneguk ludahnya. "..., Vel?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top