11. Insiden Pengintaian
Ketika bel pulang sekolah telah berbunyi, Velly dengan segera merapikan buku pelajarannya. Dengan gesit, gadis itu lantas mengetik pesan di ponselnya. Tak perlu ditanya lagi. Tentu saja Reki orang yang ia kirimi pesan itu.
[ P. Reki F. ]
[ Buruan keluar. ]
[ Aku tunggu di taman belakang. ]
[ Dekat parkiran mobil. ]
[ Yang ada semak-semak itu. ]
Tak butuh waktu lama, balasan pesan itu pun datang. Dan Velly langsung membacanya. Dengan sembunyi-sembunyi tentunya. Agar Eshika tidak mengetahui rencana yang sudah ia susun.
[ P. Reki F. ]
[ Astaga, Cebol. ]
[ Ngapain kamu ngajakin aku ke semak-semak heh? ]
[ Mana masih terang kayak gini lagi. ]
Velly terpaksa harus mengatupkan mulutnya rapat-rapat lantaran mendadak emosi. Balasan pesan itu membuat ia seolah-olah seperti cewek mesum saja.
[ P. Reki F. ]
[ Nggak usah GR kali, Ki. ]
[ Aku cuma mau ngajak kamu buat memantau teman kita. ]
[ Udah. ]
[ Pokoknya aku tunggu di sana. ]
[ Ini aku pergi duluan. ]
Tak menunggu balasan pesan itu, Velly langsung memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku seragam yang ia kenakan. Bersiap untuk langsung berpamitan dengan Eshika dan berencana langsung keluar untuk mendapatkan tempat yang strategis dalam pengintaian yang akan ia lakukan, namun satu suara membuat ia terpaksa mengurungkan semua niatannya.
"Bentar, Guys. Aku ada pengumuman bentar."
Bima, sang ketua kelas tampak menutup pintu kelas. Cukup menjadi tanda bahwa tak ada seorang pun yang boleh keluar kala itu. Ada sesuatu yang akan ia sampaikan. Hal yang terang saja menyulut penghuni kelas.
"Apaan sih, Bim?"
"Payah nih Ketua Kelas. Masa ngasih pengumuman pas mau balik sih?"
Bima berdecak. Memukul-mukul meja guru. "Bentar-bentar. Cuma bentar doang kok. Dan ini juga demi kesenangan kita bersama."
"Wiiih!"
Penjelasan singkat Bima lantas membuat kelas menjadi ramai. Tampak bertanya-tanya maksud dari perkataan Bima tersebut.
"Apaan?"
Bima memamerkan senyum ala pasta giginya. "Bentar lagi kita kan mau ujian semesteran nih. Nah, jadi ... sesuai dengan tradisi kita, ya kita bakal jalan-jalan bentar dong ya. Merilekskan otak sebelum dipaksa buat mikir ntar."
Keramaian di dalam kelas semakin menjadi-jadi. Tampak bersemangat. Tapi, entah mengapa. Ketika mendengar hal tersebut, Velly justru mengerutkan dahi. Benaknya berpikir.
Kok perasaan aku nggak enak gini ya?
"Kali ini mau jalan ke mana, Bim?"
Jawaban dari Bima lantas membuat kerutan di dahi Velly menghilang. Digantikan ekspresi manggut-manggut yang tampak tak habis pikir.
"Nah ... kali ini kita harus ngucapin makasih buat Alex," kata Bima.
Ehm ....
Ternyata itu maksud dia kemaren nanya soal jalan-jalan kelas sama aku.
Dan kalaupun ada sedikit keraguan di benak Velly, maka hal yang ia lihat ketika ia menoleh ke belakang adalah jawabannya. Alex tampak berdiri. Memberikan beberapa kali lambaian tangannya sementara seisi kelas bersorak.
Ups.
Nggak semua orang seneng nih kayaknya.
Mata Velly menyipit ke satu arah. Pada Tama yang ekspresi wajahnya terlihat kesal. Dan kalau Velly tidak salah menduga, Tama tadi mendengus dengan mimik jijik.
Ehm ....
Semakin menarik.
Sementara Velly sibuk dengan pikirannya, di depan kelas Bima kembali berkata.
"Karena Alex bersedia menyediakan villa keluarganya di Puncak buat kita nginap dua malam di sana."
"Widih!"
"Mantap! Mantap!"
"Keren ini mah!"
Velly kembali memandang ke depan. Pada Bima dengan pertanyaan di benaknya.
Dua malam?
"Kita bakal jalan-jalannya tanggal 30 Oktober dan balik tanggal 1 November."
Mata Velly mengerjap-ngerjap. Merasakan sesuatu yang terasa familiar di sana.
Kok tanggal itu kayak yang nggak asing ya?
Dan sedetik kemudian mata Velly membesar.
Tanggal tiga puluh satu Oktober ....
Hari ulang tahun Eshika.
Wah!
Alex bener-bener mau buat serangan nih kayaknya.
Ckckckckck.
"Bim!"
Velly dan beberapa orang –termasuk Eshika- tampak menoleh ke sumber suara. Pada Tama yang tampak mengangkat tangannya ketika memanggil nama Ketua Kelasnya itu.
"Ya, Tam?"
"Bisa ganti tempat?"
"Eh???"
Ketika kelas riuh karena pertanyaan Tama, Velly justru sebaliknya. Memasang wajah serius dengan manggut-manggut.
Nggak salah lagi ini mah.
Memang ada perang terselubung antara Alex dan Tama.
Dan pemicunya ...?
Mata Velly pelan-pelan melirik pada sahabat di sampingnya. Eshika. Dan ia angguk-angguk kepala. Menyetujui pemikirannya itu.
Berusaha menenangkan keriuhan kelasnya, Bima lantas bertanya pada Tama.
"Emangnya kenapa? Kapan lagi coba kita bisa dapat sponsor gini?"
"Puncak itu dingin, by the way," jawab Tama santai.
"Eh?"
Orang-orang bengong akan jawaban sederhana Tama. Puncak itu dingin.
"Maksud aku," lanjut Tama. "Ada beberapa teman kita yang mungkin rentan sama cuaca dingin."
Velly mengerutkan dahinya.
Eshika ....
"Ya ...." Bima memandangi seisi kelas. "Siapa di sini yang keberatan ke Puncak?"
Velly bertanya-tanya, apa Eshika akan mengangkat tangannya atau tidak. Namun, untuk beberapa saat tak terlihat tanda-tanda bahwa gadis itu akan membenarkan perkataan Tama.
Apa kalau dengan begini aku bisa narik kesimpulan kalau Eshika lebih milih Alex?
Ah ....
Masa?
"See?" tanya Bima setelah melihat teman mereka satu per satu dan memastikan bahwa tidak ada yang mengangkat tangan. "Nggak ada yang keberatan, Tam."
Tapi, sedetik setelah Bima dan Velly menarik kesimpulannya masing-masing, di laur perkiraan, Eshika justru bersuara dengan mengangkat satu tangannya.
"Aku, Bim."
Jadi ....
Kesimpulannya, Eshika lebih milih Tama?
Bima mengerjap pada Eshika. "Benar kata Tama? Kamu rentan dingin?"
Ragu, tapi Eshika terlihat mengangguk.
"Ya elah. Masa cuma karena seorang kita batal ke Puncak sih?"
"Yang bener aja."
Velly membesarkan mata melihat keadaan riuh itu. Tapi, belum lagi ia akan bicara, Eshika justru kembali berkata.
"Aku nggak ikut nggak apa-apa kok, Bim. Kalian bisa tetap pergi ke Puncak."
Velly tidak akan membiarkan momen itu lewat dari sepasang mata pengintainya. Ia dengan cepat mengamati ekspresi Tama dan juga Alex. Ada Tama yang tampak menyeringai. Dan cowok itu dengan jelas menoleh ke belakang. Terlihat seperti tengah menyulut Alex dengan senyuman mengejek di wajahnya. Jadi, Velly tidak heran sama sekali bila di detik selanjutnya cowok itu berdiri dan bersuara.
"Ya nggak seru dong kalau ada teman kita yang nggak ikut. Lagipula, kita udah kelas 12. Sebentar lagi kita tamat dan pisah. Kapan lagi kita mau happy-happyan bareng-bareng kalau bukan sekarang?"
"Ehm ...." Bima mendehem. "Bener juga sih. Sayang juga kalau kamu nggak ikut, Esh. Secara kamu berjasa banget dalam menyelamatkan tugas-tugas kami," kata Bima sok bersimpatik.
Lalu terdengarlah suara-suara bujukan yang merayu Eshika. Membuat Velly jadi celingak-celinguk ke berbagai sisi. Dan di saat itulah sesuatu melintas di benak Velly.
Apa aku harus ikut ngomporin juga ya?
Kali aja abis dari Puncak, perseteruan antara mereka bertiga bisa selesai.
Ehm ....
Berdasarkan pemikiran itulah, mengapa pada akhirnya Velly beringsut pada Eshika. Mengeluarkan sikap manjanya dan merayu.
"Ayohlah, Esh. Kapan lagi coba kita nginap bareng di Puncak?"
Velly meraih tangan Eshika. Mencoba merayu untuk kesekian kalinya. Hingga kemudian, cewek itu tampak luluh juga. Memberikan satu kali anggukan kepalanya.
"Yeeesss!!!"
Seisi kelas pecah oleh teriakan kegembiraan. Hal yang disadari pula oleh Velly. Bagaimana Tama yang langsung menoleh ke belakang dan gantian. Alex yang melayangkan senyuman mengejek padanya.
Selanjutnya Velly tak lagi menghiraukan perkataan Bima di depan kelas. Yang pastinya ia hanya mengamati sikap Eshika, Tama, dan juga Alex. Hingga satu getaran di skau seragamnya membuat perhatiannya teralihkan. Ada pesan dari Reki yang masuk.
[ P. Reki F. ]
[ Ampun dah, Vel. ]
[ Kamu nggak bisa gitu yang duduk dengan tenang? ]
[ Mbok ya Bima di depan itu diliatin. ]
[ Ini sibuk aja ngeliatin yang lain. ]
[ Jadi cewek kok mata jelalatan sih? ]
Velly geleng-geleng kepala membaca pesan itu.
Aku beneran takjub dengan perbendaharaan kosakata dia.
Jelalatan?
Aku nggak ngira kalau dia tau kata yang satu itu.
Ck.
Kedua ibu jari Velly sudah bersiap akan mengetik balasan pesan itu, tepat ketika di depan kelas Bima terdengar berkata.
"Oke. Jadi hari ini sampai di sini dulu. Ntar aku bakal diskusi lagi sama Alex untuk gimana-gimana ke depannya. Thanks!"
Semua siswa tampak membubarkan diri ketika pada akhirnya Bima membuka kembali pintu kelas. Dan Velly pun langsung membalas pesan Reki.
[ P. Reki F. ]
[ Cerewet, Ki. ]
[ Buruan. ]
[ Aku tungguin di semak-semak belakang. ]
Velly memasukkan ponselnya. Lalu meraih tangan Eshika sekilas seraya berkata dengan menampilkan ekspresi tak enak hatinya.
"Esh, aku balik duluan ya? Ini Mama nge-chat. Aku disuruh bantuin ngadon kue."
Eshika mengangguk. "Oh ..., nggak apa-apa kok. Hati-hati, Vel."
"Kamu juga hati-hati. Istirahat yang cukup dan cepet sembuh."
Setelah mengatakan itu, Velly langsung bangkit. Seraya beranjak dari sana, ia melirik Reki dengan sorot tajam. Lantas segera keluar dari kelas.
Berusaha tiba dengan cepat di tempat yang ia tuju, memaksa Velly untuk berulang kali mengucapkan permisinya. Berupaya membelah lautan manusia yang memenuhi koridor menuju ke parkiran mobil.
Velly menghentikan langkah kakinya. Mengintai keadaan dan memastikan bahwa tidak ada yang melihat ketika dirinya beringsut mendekati tanaman di taman itu. Menyelinap ke rumpunnya yang rimbun.
[ P. Reki F. ]
[ Buruan, Ki. ]
Velly meremas ponselnya. Selagi ia menunggu, ia pun menatap lurus pada mobil Tama yang terparkir. Lalu ponselnya bergetar. Tepat ketika ia melihat sepasang kaki tampak mondar-mandir di depan tanaman tempat ia bersembunyi,
[ P. Reki F. ]
[ Bol, kamu di mana? ]
Jangan ngomong kalau 'Bol' ini artinya cebol.
Dasar, Reki!
Tak membalas pesan itu, Velly lantas sedikit bangkit. Tangannya terulur dan dengan tiba-tiba menarik Reki.
"Eh?!"
Sontak saja Reki kaget. Berusaha untuk melepaskan diri ketika tubuhnya nyaris terjungkang di semak-semak itu, ia justru mendapati satu mulut dengan cepat membekap mulutnya. Membuat ia melotot sebesar-besarnya.
Reki menarik lepas tangan Velly. Tampak syok.
"Kamu ternyata ada bakat jadi penculik cowok cakep, Vel," katanya dengan decak tak percaya. "Kamu kayak yang udah pro gitu. Atau ... kamu emang maniak ya?"
Pelototan mata Reki mendapatkan balasan yang serupa dari Velly. "Maniak maniak. Nggak lagi main kita ini."
"Lagian kamu ...." Reki mengerjap-ngerjap. "Wah!" Ia berusaha untuk memperbaiki posisi jongkoknya di sana. "Kamu narik aku ke semak-semak kali, Vel!"
"Ssst!!!"
Velly meletakkan satu jari telunjuknya di depan bibir. Dahinya mengerut dan matanya nyaris tertutup.
"Ngomongnya jangan keras-keras. Nanti ada yang mergoki kita. Jadi gagal pengintaian kita."
Untuk beberapa saat lamanya, Reki tak mengatakan apa-apa. Ia hanya bisa melongo. Benar-benar tidak habis pikir bahwa Velly benar-benar serius dengan perkataannya tadi. Yaitu melakukan pengintaian terhadap kedua orang teman mereka. Eshika dan Tama.
"Kamu ini ... wah! Astaga."
Mungkin untuk pertama kali di dalam hidupnya Reki mendapatkan momen itu. Situasi di mana ia yang seringkali mengoceh panjang lebar –hingga kerap kali dijuluki cerewet oleh beberapa orang yang dekat di sekitarnya- justru menjadi tidak bisa mengatakan apa-apa. Itu bukan lagi syok, kaget, atau tak habis pikir. Itu lebih ke 'oh-ya-ampun-kok-Tuhan-sampe-punya-ide-buat-ciptain-makhluk-kayak-gini-sih?'.
Velly benar-benar berhasil membuat Reki kehilangan semua stok perbendaharaan kata yang sudah ia himpun sejak dulu. Sekarang, otaknya seperti tidak bisa menemukan satu kata yang tepat untuk menggambarkan Velly.
"Ssst!"
Velly kembali mendesis seraya beringsut. Tangannya kembali naik ke mulut Reki. Menutupnya. Mengantisipasi agar cowok itu tak bersuara lagi.
Tapi, Reki sudah terlalu takjub dengan semuanya. Dan mendapati Velly menutup kembali mulutnya, membuat ia geregetan. Lagipula ia seperti merasakan sesuatu yang asing di telapak tangan Velly.
"Ini apaan sih di tangan kamu?" tanya Reki seraya meraih pergelangan tangan Velly. "Kok kayak pedes gitu?" Mata Reki membesar. "Ini minyak kayu putih?"
"Eh?"
Velly ingat kalau tadi ia membantu Eshika mengusapkan minyak kayu putih di tekuk cewek itu. Agar Eshika tidak kedinginan. Dan rasa pedas itulah yang menyapu bibir Reki. Membuat cowok itu mengernyit tidak suka. Berusaha untuk menyingkirkan tangan Velly dari bibirnya.
"Diem, Ki. Diem," kata Velly dengan suara rendah dan penuh penekanan.
Tapi, Reki bukan sebangsa cowok yang suka rasa pedas minyak kayu putih. Lagipula ... memangnya ada yang suka rasa itu? Ck.
Intinya adalah Reki kemudian berusaha untuk benar-benar menyingkirkan telapak tangan Velly dari bibirnya. Tapi, Velly bersikukuh untuk tetap membekap mulut Reki. Karena cewek itu pun sadar bagaimana mulut Reki yan seringkali berulah tidak tau tempat dan waktu itu. Hingga kemudian, ketika mereka saling berusaha mempertahankan niat masing-masing, Reki bergerak dengan lepas kendali. Seolah mengabaikan bahwa ada perbedaan kekuatan antara dirinya dan Velly.
Reki meraih pergelangan tangan Velly. Menariknya untuk lepas dari bibirnya. Dan ketika tangannya menepis tangan Velly ke samping, maka di saat itu pula Velly kehilangan keseimbangannya. Membuat tumpuan gadis itu kacau dan lantas ia tertarik oleh gaya gravitasi.
"Bruuukkk!"
"Aduh!"
Reki mengeluh tepat ketika mendapati tubuh Velly terjatuh menimpa dirinya. Membuat ia mendarat pula di atas tanah.
"Kamu ini hobi banget sih jatuh nimpukin aku."
"Ya salah kamu, Ki."
Reki berusaha bangkit. Begitupun dengan Velly. Tapi, sejurus kemudian di saat kedua mata mereka bertemu, mendadak saja mereka sama-sama terdiam. Itu adalah ketika tanpa sadar satu tangan Velly bertahan di dada Reki, sementara satu tangan Reki menahan pinggang Velly.
Keheningan mendadak saja menyelimuti keduanya.
Deg!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top