10. Informasi Dadakan

Di atas tempat tidurnya, Reki geleng-geleng kepala. Walau saat itu nyaris sudah tengah malam, tapi otaknya yang tak tau waktu justru memilih untuk bekerja saat itu. Dan apalagi yang ia pikirkan selain tentang perkataan Velly tadi?

"Ckckckck. Heran ya. Badan sekecil itu, tapi nyali dia ternyata emang bukan kaleng-kaleng."

Dan rasa takjub Reki menjelang tidur malam itu semakin menjadi-jadi di keesokan paginya. Ketika ia baru selangkah masuk ke dalam kelas, ia mendapati bagaimana Velly yang telah datang langsung menyerbu dirinya ke meja tempatnya duduk.

"Apaan sih?"

Reki meletakkan tas ranselnya ke meja, lalu duduk. Dengan ekspresi yang benar-benar takjub melihat pada cewek itu.

Mengabaikan beberapa pasang mata yang melihat pada mereka, Velly menarik kursi yang biasa ditempati oleh Tama. Duduk di sana.

"Yang malam tadi, Ki," jawab Velly kemudian. "Gimana?"

Reki geleng-geleng kepala.

"Mau?" desak Velly. "Mau kan?"

Reki mengangkat satu tangannya. Mendorong dahi Velly dengan telunjuknya ketika gadis itu kian lama kian condong pada dirinya.

"Mau mau mau." Reki memelototkan matanya, berpura-pura memasang ekspresi kesal. "Kamu ini beneran deh. Keponya udah nggak tertolong lagi."

"Ini bukan kepo. Tapi, ini namanya peduli."

Reki memutar-mutar bola matanya. Berdecak untuk beberapa saat. "Rasa peduli kamu ini bener-bener berbahaya buat kesehatan. Lama-lama malah ngebuat aku nggak sehat."

"Ck. Lagian kan Tama juga temen kamu, Ki. Kamu nggak penasaran gitu kenapa akhir-akhir ini Tama nggak ada deket sama cewek mana pun?"

"Wah!"

Kali ini Reki benar-benar menganga dengan ekspresi takjub yang begitu natural. Hingga untuk beberapa detik lamanya, mata cowok itu membesar dengan mulut yang terbuka. Yang mana tentu saja hal itu membuat Velly menjadi kesal.

"Ki!"

Reki mengerjapkan matanya. Telunjuknya lagi-lagi terangkat. Walau kali ini bukan untuk mendorong dahi Velly, melainkan untuk menunjuk-nunjuk kepalanya.

"Otak kamu itu emang udah dipergunakan untuk memikirkan hal yang nggak penting banget."

Velly menyingkirkan telunjuk Reki. Mengabaikan ekspresi cowok itu, ia kembali mengeluarkan opininya.

"Padahal ya, Ki, sebangsa Tama kan biasa banget kalau udah putus langsung jadian lagi dengan yang lain. Ehm ... sedangkan ini? Setelah putus dari Laura, terhitung udah nyaris dua minggu ... dia belum ada jadian dengan siapa pun."

"Ampun, Maimunah!" geram Reki. Tangan cowok itu lantas pindah memegang perutnya. "Ngomong sama kamu buat aku laper."

"Eh?"

Reki lalu membuka tasnya. Mengeluarkan dompet dan menarik selembar uang lima puluh ribu. Langsung meletakkannya di tangan Velly.

"Gimana kalau kamu beliin aku sarapan dulu? Kalau udah kenyang, aku pasti bisa mikir bareng kamu."

Mata Velly melotot. "Eh? Eh? Eh?"

"Buruan," kata Reki. "Karena di kelas ini ... atau bahkan di sekolah ini, nggak ada yang lebih deket sama Tama, kecuali aku."

Mengatupkan mulutnya rapat-rapat mendengar perkataan itu, Velly meremas uang di tangannya. Tampak tidak akan beranjak dalam waktu dekat. Dan karena itulah mengapa Reki kembali berkata.

"Jangankan masalah asmara dia, warna kolor yang dia pake aja aku bisa cari tau. Buruan ah, Munah."

Mendengus kesal, pada akhirnya Velly bangkit juga. Terlihat sekali raut kesal di wajahnya karena terpaksa membelikan cowok itu sarapan. Tapi, seakan itu belum cukup untuk membuat ia menahan emosinya, eh Reki kembali berkata.

"Teh tariknya jangan lupa, Vel. Yang anget-anget. Abang udah keseringan didinginin."

Seraya melangkah menuju ke pintu, Velly mendelik. "Bawel!"

Dan sementara Reki tertawa-tawa di kursinya, Velly dengan misuh-misuh keluar dari kelas. Menyusuri koridor dengan wajah yang tertekuk kesal.

Ck.

Kalau nggak mikir dia emang satu-satunya orang yang paling deket sama Tama, euh!

Males juga aku jadi tukang suruh dia.

Langkah kaki Velly berbelok ketika di ujung koridor. Melewati satu aula, lalu ruang BK, dan Velly bisa melihat keberadaan kantin yang tampak telah ramai di pagi hari. Terbukti, orang-orang lebih memilih kelaparan ketimbang datang terlambat ke sekolah.

Velly langsung menuju ke satu tempat. Yaitu seorang bibi kantin yang menjual aneka gorengan. Meraih kantong plastik, Velly sedang berpikir gorengan mana yang akan ia ambil ketika suara-suara itu menghampiri indra pendengarannya.

"Bener bener. Aku ngeliat sendiri pake mata aku. Eshika bareng Tama ke sekolah."

What?!

Tahu isi yang sudah Velly ambil dengan penjepit gorengan, jatuh lagi. Matanya membesar mendengar informasi tersebut.

"Kebayang kan? Selama ini Tama mana pernah gitu yang jemput ceweknya?"

"Jadi, mereka beneran udah jadian gitu?"

"Atau gimana?"

"Ck. Kata anak-anak di kelas mereka sih, nggak. Tapi, ya kali kan?"

"Dan tau? Nggak cuma berangkat bareng loh."

"Aku tau banget. Itu Eshika pake jaket Tama."

"Ya ampun. Nggak mau sih ngomongnya, tapi ... mereka berdua keliatan yang beda gitu."

"Mereka nggak mungkin deh nggak ada apa-apa."

Wajah Velly berubah menjadi serius. Berusaha mempertajam pendengarannya. Tak ingin kehilangan satu informasi sedikit pun yang mungkin saja akan berguna untuk dirinya nanti. Informasi yang---

"Dek, jadi beli gorengnya nggak? Itu yang lain nungguin penjepitnya loh."

Velly mengerjap. Spontan menoleh dan mendapati bahwa ada beberapa orang siswa tampak menunggu di belakangnya. Sontak saja membuat dirinya cengar-cengir dengan salah tingkah.

"Bentar ya."

Dengan terburu-buru Velly langsung mengambil beberapa gorengan. Tidak lagi peduli dengan gorengan apa saja yang ia masukkan ke kantung plastik transparan itu. Entah bakwan, tahu isi, pisang goreng, singkong goreng, ubi jalar goreng, hingga perkedel jagung ia masukkan semua. Setelahnya ia memasukkan cabai rawit ke dalamnya.

"Ini, Bu."

Velly menyerahkan uang dan menunggu beberapa saat untuk kembaliannya. Setelahnya ia pun beranjak untuk membeli teh tarik.

Ketika Velly meninggalkan kantin dengan langkah setengah terburu-buru, benaknya memikirkan sesuatu.

Kalau level ibu-ibu dapat informasi adalah Kang Sayur yang biasa mangkal di simpang gang, maka level remaja buat dapat informasi adalah kantin.

Ehm ....

Ini semakin menarik.

Masuk ke dalam kelas, Velly celingak-celinguk ketika mencari keberadaan Eshika yang belum terlihat. Padahal jelas sekali tadi ia mendengar bahwa temannya itu sampai.

"Nih!"

Velly meletakkan jajanan itu di atas meja Reki. Masih dengan mata yang berkeliling. Hingga kemudian Reki berkata seraya meraih teh tariknya.

"Eshika kayaknya keluar. Ke toilet apa."

Velly menoleh. "Ehm .... Aku nggak nanya."

Tangan Reki menunjuk Velly dengan sepotong singkong goreng. "Nggak perlu ngeles. Tampang kamu itu beneran nggak bisa nipu." Ia menikmati gigitan pertamanya. "Saran aku, Vel. Kamu jangan sampe nyoba ikut judi main kartu. Beneran bakal kalah kamu mah."

Velly mencibir. Sesuatu melintas di benaknya.

Kenapa Tama juga nggak ada?

Dia nggak mungkin ikut Eshika ke toilet kan?

Dan seperti mengerti isi pikiran cewek itu, kali ini Reki melirik ke kursi sebelahnya. Menarik napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan yang Velly pikirkan.

"Kalau Tama lagi keluar. Disuruh mindahin mobil dia di parkiran."

"Oh ...." Velly manggut-manggut. "Eh!" Dia baru sadar. "Aku nggak nanyain dia, by the way."

Reki mencibir. "Kamu itu beneran nggak bisa berpura-pura, Vel."

Mengabaikan cibiran itu, Velly mengambil tahu isi dan dua buah cabai rawit. Memakannya tanpa menghiraukan sorot mata Reki yang tidak terima karena tahu isi itu dimakan Velly. Lantas gadis itu kembali ke kursinya sendiri. Meninggalkan Reki yang memilih untuk lanjut menikmati pisang goreng.

Menunggu kedatangan Eshika, Velly bertekad bahwa dirinya akan menanyai kebenaran desas-desus yang ia dengar di kantin tadi. Semacam klarifikasi. Tapi, ketika Eshika tiba, Velly malah lupa. Mereka justru membicarakan drama Korea terbaru. Hingga kemudian, ketika hari telah beranjak siang, di saat mereka mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, suara Reki yang memanggil nama Eshika membuat Velly ikut-ikutan menoleh ke belakang.

Ck.

Tipikal siswa kalau ditinggal guru, pasti jadi ribut.

Siswa pendiam aja bisa jadi ribut kalau nggak ada guru.

Apalagi semacam Reki yang emang hobi ngoceh?

"Esh .... Eshika ...."

Di sebelahnya, Eshika pun turut menoleh pada Reki. Dan ketika cewek itu bertanya pada Reki, Velly justru sebaliknya. Matanya menyipit melihat ekspresi Tama yang tampak panik.

Ehm ....

"Kenapa, Ki?"

Pertanyaan Eshika menimbulkan raut geli Reki. Cowok itu tampak melirik pada Tama.

"Aku mau ngomong sesuatu nih."

Velly sama sekali tidak peduli dengan Reki. Lagi, ia hanya fokus pada Tama. Cowok itu sekarang terlihat memelototkan matanya. Tampak berbisik di telinga Reki. Hal yang semakin membuat Velly penasaran.

"Ngomong sesuatu?" tanya Eshika. Suaranya menyiratkan rasa bingung. "Apa?"

Terpisah jarak, Velly semakin bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya antara Reki dan Tama. Karena terlihat sekali raut panik Tama sementara Reki memegang perutnya menahan geli. Berusaha mengabaikan tangan Tama yang menarik-narik dirinya. Ia berkata lagi pada Eshika.

"Kamu tau nggak kalau ..." Reki sedikit menjeda ucapannya. Matanya tampak melirik lagi pada Tama. " ... aku nggak tau rumus soal empat." Lalu cowok itu pun terpingkal-pingkal.

Ehm ....

Aneh.

Mata Velly tentu tak salah menangkap bagaimana Tama yang mengembuskan napas lega tadi. Walau jelas, ekspresi kesal masih tersisa di wajahnya.

"Eh?"

Eshika terkesiap. Bingung. Dan hal itu wajar saja. Velly sendiri menyadari bahwa hanya orang gila yang tidak akan heran dengan perilaku Reki.

Orang waras ya pasti bingunglah.

Dia nggak tau rumus eh ... dia malah ketawa.

Lucunya di mana?

Reki kemudian membawa buku tugasnya. Beranjak mendatangi meja Velly dan Eshika. Berusaha mengabaikan tatapan Velly yang terasa menyelidik, Reki menunjukkan bukunya pada Eshika.

"Pakai rumus mana, Esh?"

Eshika melihat buku Reki. Lalu menjelaskan pengerjaan soal itu sementara Velly bolak-balik memandang ke belakang dan depan secara bergantian. Memerhatikan ekspresi Tama dan Reki berulang kali.

Ehm ....

Ini pasti ada sesuatu.

Dan tepat ketika Reki pada akhirnya kembali lagi ke mejanya, Velly tak mampu menahan desakan dirinya sendiri. Ia pun menyikut Eshika.

"Kenapa?"

Velly memikirkan beberapa pilihan yang ia miliki. Dan memutuskan memulai perbincangan itu dengan satu topik yang ia dengar di kantin.

"Ehm ... cuma mau klarifikasi aja sih. Soalnya seharian ini mau nanya kelupaan terus, tapi tadi di kantin aku jadi dengar berita ini lagi."

Acuh tak acuh, seraya mengerjakan tugasnya, Eshika bertanya. "Berita apa?"

"Aku dengar katanya kamu tadi pagi berangkat bareng dengan Tama ya?"

Velly memerhatikan bagaimana pena di tangan Eshika berhenti bergerak. Membuat ia yakin bahwa pertanyaannya tepat sasaran.

"Emang sih."

Tapi, tetap saja. Jawaban Eshika berhasil membuat Velly terkesiap tak percaya.

"Aku nggak percaya sampe kamu benar-benar ngomong ke aku pake mulut kamu sendiri, Esh.Kenapa bisa? Maksud aku, kok kamu bisa sampe berangkat bareng dia? Rumah kalian kan beda jalur. Ibarat kata rumah kamu di Utara, eh rumah dia di Selatan. Terus kalian bisa berangkat bareng?" Sesuatu melintas di benaknya hingga membuat mata Velly melotot. "Tama jemput kamu di rumah?"

Eshika menarik napas dalam-dalam. Mengembuskannya secara perlahan. "Ya nggak usah heboh gitu, Vel. Soalnya tadi pagi Mami aku nelepon Tama. Mami khawatir kalau hari ini aku naik ojol. Kalau aku kenapa-napa di jalan gimana coba?"

Velly memikirkan jawaban itu, manggut-manggut.

"Ya karena itu deh. Jadi hari ini aku pergi dan pulang sekolah ntar bareng Tama. Biar Mami juga nggak perlu cemasin aku."

"Oh .... Ternyata begitu."

Hanya saja tidak sampai di sana interogasi yang Velly lakukan. Nyatanya ia kembali bicara.

"Tapi, Esh ...."

Eshika menarik napas. "Kenapa lagi, Vel?"

Kali ini mata Velly terlihat menyipit. Raut wajahnya terlihat lebih serius. "Kayaknya orang-orang banyak yang ngira lebih dari itu deh."

"Ehm?"

"Soalnya kamu juga pake jaket Tama kan?" tanya Velly dengan tatapan menyelidik pada jaket yang Eshika kenakan. "Aku denger di kantin. Orang-orang bilang kamu make jaket Tama."

Bola mata Eshika berputar. "Emang sih ini jaket Tama. Soalnya jaket aku rada tipis gitu bahannya. Makanya tadi eh kebetulan banget Tama bawa jaket cadangan di mobilnya. Ya udah deh. Aku pinjem aja."

Mata Velly semakin menyipit. Lebih dari itu, tanpa sadar ia pun lantas mencondongkan tubuhnya ke arah Eshika.

"Kamu berinisiatif buat minjam jaket Tama?"

"Er ... itu .... Ya ...." Eshika berusaha untuk menyengir, walau kaku. "Gimana lagi dong, Vel? Daripada aku mendadak kedinginan gitu."

Ehm ....

Eshika keliatan gugupnya.

Dan beberapa kali berusaha menghindari mata aku.

Ehm ..., semakin mencurigakan.

Lantas, Velly sedikit menarik tubuhnya. "Kamu tau nggak?"

Eshika menarik napas dalam-dalam. Tetap tersenyum.

"Apa?"

Kali ini Velly memasang wajah yang teramat serius. Hingga membuat Eshika mengerutkan dahi. Seperti mengantisipasi setiap kemungkinan perkataan Velly.

"Aku perhatiin ...." Mata Velly kembali menyipit. "Dari tadi Tama ngeliatin kamu terus loh."

Eshika seketika melotot.

"Ehm ... ng-ng-nggak mungkin, Vel," kata Eshika tampak salah tingkah. "Nggak mungkin Tama ngeliatin aku."

"Eh?"

Velly kembali menoleh ke belakang. Pada meja Tama. Walau di luar dugaan, ia justru mendapati Reki yang mencibir padanya. Membuat ia buru-buru kembali pada posisinya semula. Tepat ketika ia mendengar suara Eshika.

"Tama paling lagi ngeliat papan tulis."

Memutar-mutar pena di tangannya sejenak, Velly memilih untuk kembali melihat pada buku tugasnya. Tapi, tetap saja ia tak mampu menahan dirinya ketika ia bergumam rendah.

"Tama? Ngeliatin papan tulis? Yang kayak dia udah nggak minat ngeliatin cewek aja."

Dan suara batuk Eshika membuat Velly mengeluarkan ekspresi misteriusnya. Tak terlihat oleh sahabatnya itu, ia pun lantas mengirimkan pesan pada Reki.

[ P. Reki F. ]

[ Balik ntar jangan langsung balik. ]

[ Kita punya urusan. ]

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top