1. Kala Itu
Satu hari di Taman Kanak-Kanak Kasih Ibu.
Di saat beberapa anak yang berusia sekitar lima hingga enam tahun itu bermain dengan teman sebayanya atau menikmati bekal mereka di dalam kelas atau justru bercengkerama dengan guru-guru mereka, ada sepasang anak yang terlihat sedang beradu pendapat. Di sisi gedung sekolah, lepas dari hiruk pikuk tawa teman-teman mereka lainnya, mereka tampak saling memegang teguh pemikiran masing-masing. Terlihat tak ada yang ingin mengalah. Sama keras kepalanya.
"Kamu mau jajan di luar ya? Ibu guru kan bilang nggak boleh. Harus makan bekal yang sudah disiapkan Mama kita."
Seorang anak laki-laki terlihat berkata memperingatkan seorang teman sepermainannya, seorang anak perempuan yang rambut pendeknya nyaris tidak benar-benar bisa dikuncir dua. Gadis kecil itu melotot dengan bibir yang mengerucut kesal.
"Kamu mau ngomong ke Ibu Guru hah? Mau laporin aku?"
Si bocah laki-laki menggeleng. "Nggak. Tapi, itu nggak boleh, Vel. Walau Ibu Guru nggak tau, tapi tetap aja nggak boleh bohong."
"Cerewet, Ki! Cuma jajan sebentar. Nggak bakal dosa kok."
"Ya ampun, Velly ..., nggak boleh. Kita nggak boleh ngelakuin yang nggak disuruh sama Bu Guru. Jajan di luar banyak debunya, Vel. Nanti kamu sakit."
"Ya kan kalau sakit ya aku dong yang bakal sakit. Bukan kamu. Ngapain kamu repot?"
"Kamu mau lihat Mama kamu repot ngurusin kamu?"
"Aku nggak bakal sakit."
"Kalau sakit?"
Velly melotot. Semakin membuat mata besarnya terlihat menakutkan ketika ia mendapati rok yang ia kenakan ditahan oleh tangan bocah laki-laki itu.
"Reki!" geram Velly. "Mau lepasin rok aku nggak?"
"Nggak mau." Reki menggeleng. "Kamu mau manjat pagar kan?" tanyanya. "Nggak boleh. Banyak tanamannya."
Velly berusaha melepas tangan Reki yang menahan roknya. Tapi, tangan Reki menggenggam dengan begitu erat. Hingga hal tersebut membuat Velly kesal.
"Nanti keburu disuruh masuk kelas lagi, Ki. Lepasin."
"Nggak mau. Kamu ini cewek, masa manjat pagar?"
"Aku manjat pohon jambu aja bisa."
Velly mendengus. Dan karena ia sudah terlalu kesal mendapati Reki yang tak melepaskan roknya, gadis kecil itu pada akhirnya menyeret langkah kakinya. Reki yang menarik rok Velly, melotot. Mau tak mau justru membawa langkah kakinya untuk mengikuti langkah kaki Velly.
Velly menoleh tanpa menghentikan langkah kakinya. Sedikit menundukkan wajahnya ketika melihat Reki yang masih mengikuti dirinya.
"Dasar pendek!" ejek Velly. "Sok mau melarang aku."
Reki cemberut. Menengadahkan wajahnya saat melihat Velly yang mencemooh dirinya yang pendek. Kesal, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap menahan rok Velly. Pun ketika gadis kecil itu tetap berjalan melewati pohon-pohon tanaman hias di dekat pagar, ia tetap mengikutinya. Masih berusaha untuk menahan kemauan keras temannya itu.
"Vel, jangan."
Velly mengeraskan wajahnya. Tak menghiraukan larangan Reki dan justru mengangkat kedua tangannya. Meraih besi-besi pagar yang berdiri kokoh di depannya.
"Vel."
"Diam! Nanti Bu Guru dengar!" geram Velly.
Lalu mata Reki melotot. Melihat bagaimana satu kaki Velly sudah naik ke salah satu besi pagar. Gadis kecil itu terlihat akan mengambil ancang-ancang untuk menaikkan satu kakinya yang masih berpijak di tanah.
"Ya Tuhan," desis Reki tak percaya. Takjub melihat ada seorang gadis kecil yang nekat ingin memanjat pagar demi bisa beli jajanan di luar.
Sedetik kemudian, Reki tersentak. Kepala bocah kecil itu langsung menoleh ke kanan dan ke kiri bergantian. Melihat apakah ada guru yang akan datang dan memergoki mereka berdua.
Reki menarik rok Velly.
"Vel ..., turun, Vel. Nanti dimarah Bu Guru."
"Huuup!"
Mengabaikan kalimat larangan Reki, Velly pada akhirnya benar-benar melompat hingga kedua kakinya saat itu sudah ganti berpijak pada besi pagar yang melintang. Gadis itu membuang napas lega.
Kali ini Velly kembali membawa satu kakinya naik kembali. Ke besi pagar yang berada di atas pijakannya saat itu.
Reki melotot. Melihat Velly yang semakin memanjat pagar itu.
"Reki!" geram Velly kemudian. "Lepasin rok aku!"
Velly melihat ke bawah dan menyadari bahwa ia tak bisa melintasi pagar itu kalau Reki masih memegang roknya. Tapi, Reki menggeleng.
"Nggak," kata Reki. "Kamu harus turun, Vel."
Velly mendelikkan matanya. Bertahan pada satu tangan di pagar itu, Velly mengulurkan tangannya yang satu lagi. Berusaha untuk menepis tangan Reki dari roknya.
"Kamu ini, Ki. Nggak boleh pegang rok anak cewek!"
Mata Reki mengerjap. "Anak cewek juga nggak boleh manjat, Vel."
"Kamu ...."
Velly mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Sebisa mungkin tetap berusaha untuk menarik roknya agar terlepas dari genggaman erat tangan Reki. Tapi, tetap tak berhasil. Reki begitu bersikukuh untuk menahan dirinya agar tidak bisa melakukan niatannya.
Hingga ketika Velly merasa semakin kesal dan Reki sudah mulai merasa lelah, mendadak saja terdengar suara seorang wanita yang berseru memanggil nama mereka berdua.
"Velly?"
"Reki?"
Velly dan Reki kompak melihat ke arah suara tersebut berasal. Mereka sama-sama membeku. Hingga membuat mereka sama-sama melirihkan satu kalimat yang sama dengan kompak.
"Aduh! Ada Bu Guru."
Lalu, mereka berdua sama-sama kembali menoleh. Melihat pada mata satu sama lain. Dengan keadaan yang sama-sama melotot. Lebih dari cukup untuk menyiratkan bahwa mereka berdua saat ini saling menyalahkan.
"Tuh kan!" geram Velly. "Gara-gara kamu semua. Bu Guru keburu datang.."
"Enak saja," balas Reki. "Ini gara-gara kamu. Harusnya kamu senang karena Bu Guru datang sebelum kamu meloncat pagar.."
Velly semakin menggeram. Terlihat seperti memikirkan balasan untuk kata-kata Reki sebelum pada akhirnya bocah itu kembali berkata dengan menarik rok Velly.
"Ayoh! Buruan turun sebelum Bu Guru datang ke sini! Kamu nggak mau ketahuan sama Bu Guru kan?"
Mata Velly mengerjap. Mau bagaimanapun juga ia tau apa yang dikatakan Reki benar. Maka ia pun tak mengatakan apa pun lagi selain melihat ke bawah. Bersiap untuk turun. Namun, sayang. Diam Velly dianggap oleh Reki sebagai bentuk penolakan. Membuat bocah itu semakin bersemangat menarik rok Velly.
"Turun, Vel. Nanti kamu dimarah Bu Guru. Nanti kamu dihukum."
"Eh?"
Reki menarik rok Velly, sementara satu tangan Velly yang memegang besi pagar terasa pegal dan licin. Hingga pada satu detik yang pas, Reki menyentak rok itu dan Velly pun kehilangan pegangannya. Tangannya tergelincir dari pagar tersebut.
"Aaaah!"
Reki melotot. Melihat tubuh Velly terjatuh ke arahnya. Dan ia tak punya kesempatan untuk mengelak.
"Buuuk!"
"Auuu!"
Reki memejamkan matanya. Sontak meraba belakang kepalanya yang membentur tanah. Rasanya membuat kepalanya pusing seketika.
Sementara Velly, gadis kecil itu merintih sakit di atas tubuh Reki.
"Aduuh ...."
Reki melirih lagi. Lalu ia terbatuk-batuk dan membuka matanya. Bertepatan dengan Velly yang kemudian melihat pada dirinya. Wajah Reki terlihat meringis menahan rasa sakit.
"Vel ..., kamu berat."
Rintihan Reki menyadarkan gadis kecil itu. Membuat dirinya langsung bangkit dari tubuh Reki. Ia pun dengan segera membersihkan tubuhnya dari daun-daun yang menempel.
Mendapati Velly yang telah bangkit dari tubuhnya, Reki pun berusaha berdiri. Pandangannya sedikit terasa berkunang-kunang. Tapi, ia masih bisa melihat Velly yang menatap pada dirinya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya gadis kecil itu. "Ada yang luka nggak?"
Reki menarik napas dalam-dalam. Berusaha merasakan tubuhnya sendiri dan lalu menggeleng.
"Nggak ada yang luka."
Velly menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan melangkahkan kakinya. Mendekati Reki yang sedang membersihkan tanah dan kotoran dari seragamnya.
Mulanya Reki berpikir bahwa Velly akan membantu dirinya –seharusnya sih memang begitu mengingat insiden itu terjadi karena ulah Velly-, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Velly melakukan hal yang membuat Reki menjadi sesak napas.
Velly mengulurkan tangannya. Tanpa peringatan langsung mengapit leher Reki di bawah ketiaknya.
"Aaak! Vel!"
"Lihat kan?! Gara-gara kamu, aku nggak jadi jajan dan malah jatuh!"
Reki mengap-mengap. Berusaha melepaskan lehernya dari jepitan tangan Velly. Tapi, benar-benar kuat.
"Vel ..., huk! Le ... pas."
Velly mendelik. Berbisik dengan nada ancaman di telinga Reki. "Kamu ngadu sama Bu Guru, awas aja!"
Reki geleng-geleng kepala. "Ng ... nggak. Aku ng ... nggak bakal ... ngadu, Vel. Nggak ... bakal."
"Janji?"
Reki angguk-angguk kepala. "I ... ya. Aku ... janji ...."
Menggeram, Velly akhirnya melepaskan tangannya dari leher Reki. Bocah itu dengan segera menarik napas dalam-dalam. Terengah-engah.
"Velly? Reki?"
Kedua anak itu langsung menoleh. Mendapati guru mereka yang menghampiri keduanya.
"Kalian kok main di sini sampai bajunya kotor? Ehm ..., ayoh! Kita masuk. Sebentar lagi kita belajar mewarnai. Kalian suka mewarnai kan?"
Velly dan Reki mengangguk. Membiarkan tangan mereka dipegang oleh guru tersebut. Lalu mereka bertiga pun beranjak dari sana.
Sepanjang perjalanan, Velly sesekali melirik pada Reki. Dahinya sedikit berkerut. Benaknya mmpertanyakan apakah Reki benar-benar akan memegang janjinya tadi? Apa Reki tidak akan mengadukan hal tersebut pada guru?
Pada kenyatannya, sampai mereka pulang ternyata Reki benar-benar tidak melaporkan dirinya pada guru. Hal yang membuat Velly merasa lega, tapi tak urung juga tetap merasa cemas. Mungkin saja Reki akan melaporkannya besok pagi.
Namun, keesokan harinya Velly mendapati kursi Reki kosong. Di saat Velly bertanya-tanya kemungkinan Reki yang jatuh sakit karena terjatuh kemaren, Bu Guru justru memberikan pengumuman di depan kelas.
"Mulai hari ini Reki nggak main sama kita lagi."
Velly mengerjapkan matanya. Sontak bertanya. "Reki sakit, Bu?"
Dan diam-diam, saat itu Velly menjadi terpikir sesuatu. Mungkin saja Reki tidak masuk karena sakit lantaran kemaren terjatuh tertimpa dirinya. Tapi, sepertinya bukan itu yang terjadi. Karena di detik selanjutnya senyum Bu Guru terkembang menanggapi pertanyaan Velly. Diiringi oleh gelengan singkat.
"Bukan. Tapi, Reki harus pindah karena orang tuanya pindah kerja."
Velly diam.
Pada akhirnya ia tak perlu lagi khawatir bahwa Reki akan mengadukan perbuatan dirinya pada guru. Tentu saja rahasia mereka berdua akan aman sepanjang masa.
Wajar saja dia bisa berjanji. Ternyata dia mau pergi.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top