Chapter 8 [Berlian Melody]
Selamat datang di chapter 8
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
“Loyalty is expensive gift
Don’t expect it from cheap people”
—Don Vito Corleone (The Godfather)
____________________________________________________
Musim panas
Summertown, 20 Juli
Pukul 15.40
Sembari menyampirkan tas ransel di lengan kiri dan menenteng beberapa buku, aku memasang Air Pods ke di telinga kanan dan kiri. Dengan sabar aku menunggu Meggy Force mengangkat teleponku. Pada dering kelima, ia baru menerimanya.
“Halo, Meg. Maaf mengganggu. Kuharap kau sedang tidak sibuk.”
“Sebenarnya aku baru saja bangun tidur. Sif tadi malam lumayan menguras tenaga,” jawab Meggy dengan suara serak khas orang bangun tidur. Lalu ia menguap. Kedua komponen itu secara tersirat membuktikan ucapannya.
Aku pun menjadi tidak enak. “Oh, maaf. Kalau begitu aku akan menutup teleponnya.”
Meggy buru-buru mencegah, “It’s okay, Mel. Kau tidak menggangguku. Ada apa?”
Sambil berjalan menuju tempat parkir sepeda, aku menjawab Meggy. “Sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu.”
“Bantuan? Apa ini soal suamimu?” tebak Meggy tampak ragu-ragu.
“Sedikit ada unsur suamiku. Aku ingin ditemani belanja gaun untuk pesta pernikahan temannya di New York. Acaranya lusa. Maksudku kalau kau tidak sibuk, aku ingin kau membantuku mencari gaun besok.”
Meggy langsung menolak, “Maaf, aku tidak bisa, Mel.”
Sejujurnya aku sedih, tetapi mana mungkin merengek kepada Meggy? Iya, kan?
Apa boleh buat. Aku memang harus menelepon Karina untuk membantuku memilih gaun. Semoga kami bisa mencocokkan waktu antara Jakarta dan Summmertown.
“Tidak apa-apa, Meg. Aku mengerti,” balasku. Meski Meggy tidak dapat melihat, aku mencoba tersenyum yang hasilnya sekaku kanebo kering.
“Apa kau sudah menghubungi Diana?”
“Sudah. Tapi tidak bisa juga,” balasku berusaha bernada normal. Ketika tiba di parkiran sepeda, mataku pun beralih mencari-cari sepeda yang kusewa.
“Kenapa kau tidak meminta suamimu mengantarmu?”
“Sedang di luar kota sampai besok.” Lagi pula aku butuh teman wanita untuk menilai gaunku nanti. Kalau Jayden yang melakukannya ... yah, sama saja. Ia pasti akan mengatakan semua gaun yang kukenakan bagus, asal tidak terbuka.
“Sedang di luar kota?” sambar Meggy dengan kecepatan berlipat ganda.
“Ya. Setelah dia pulang, rencananya kami akan langsung berangkat ke New York. Karena itu aku ingin mencari gaunnya paling lambat besok.”
“Well, bagaimana kalau malam ini? Sekalian kita makan malam,” usul Meggy yang tiba-tiba berubah pikiran.
Meski janggal dengan itu, tetapi semangatku muncul kembali. Sehingga tidak ingin mempermasalahkannya. “Setuju! Terima kasih, Meg.”
“Di mana kau sekarang?”
“Masih di kampus. Baru mau mengembalikan sepeda.” Aku meletakkan buku-buku di keranjang sepeda.
“Nah, bagaimana kalau kita ke Westgate saja supaya dekat?”
“Ide bagus. Sekali lagi, terima kasih, Meg. Kau yang terbaik!”
“Ya. Aku akan menemuimu di sana sejam lagi.”
Jadi, setelah mengembalikan sepeda yang kusewa, sambil menenteng buku-buku besar, aku berjalan menuju Westgate dengan hati riang gembira.
Sejujurnya aku punya banyak gaun. Namun, yang masuk kriteria Jayden tidak ada. Gaun-gaunku pun sudah lama, dari zaman masih kuliah prodi pendidikan dokter dulu. Aku ragu bahannya masih bagus, tidak mudah robek lantaran harganya yang tidak seberapa. Sejak kuliah di sini, aku menerapkan sistem hemat serta berusaha untuk semandiri mungkin. Daddy sudah banyak mengeluarkan biaya untuk kuliahku—yang sekarang telah resmi diambil alih Jayden.
Dan, beberapa gaun layak yang kupakai ke acara ulang tahunku serta peresmian properti Jayden malah disobeknya karena tak sabar ingin segera menjalankan tugas suami sekaligus mencoba salah satu kamar terbaik di cottage atau hotel yang baru saja resmi dibuka. Jadi, aku benar-benar terpaksa harus membeli gaun lagi. Setidaknya satu gaun formal dan beberapa yang semi formal.
Sekitar satu jam kemudian, aku sudah bersama Meggy. Kami makan dulu untuk mengisi tenaga. Barulah menjelajahi toko demi toko dan mencoba beberapa gaun yang cocok buatku.
“Yang tidak terbuka, lengan panjang, dan minimal panjangnya di bawah lutut, tidak ada belahan dada, punggung, atau apa pun itu. Tidak juga yang memamerkan kulit terlalu banyak,” ulang Meggy sembari menghitung dengan jari. Dari mulutnya yang mencebik, ia jelas kelihatan heran sekaligus geram.
“Ya, begitulah syarat gaunku menurut suamiku,” jawabku dengan ringisan kaku.
“Kau sungguh tahan dengan pria yang mengekangmu seperti itu?” tanya Meggy yang kemudian memilah-milah gaun di deretan rak depannya.
Aku yang berdiri di depan rak sebelahnya pun menjawab, “Itu tergantung sudut pandang seseorang, Meg. Kalau dari sudut pandangku, aku merasa dia tidak mengekangku. Justru berusaha melindungiku.”
Tangan Meggy yang membelah gaun pun bertahan seperti itu. Kepalanya meneleng untuk menolehku. “Mohon maaf, melindungimu dari apa? Alien yang datang dari planet lain atau dari zombie?” Nadanya naik. Ia bahkan agak tergelak saat mengatakan itu.
Dari Meggy, aku kembali pada kegiatanku menyibak-nyibak gaun dan menanggapi dengan santai. “Mata para pria. Dan aku mengerti hal itu.”
Desahan keras keluar dari mulut Meggy. Ia menghentikan kegiatannya untuk menghadapku sepenuhnya. “Mel, dengarkan aku. Aku yakin seribu persen tidak akan ada pria yang berani melihatmu saat kau bersama suamimu. Bahkan saat kau tidak berbusana sekalipun,” tekannya.
“Iyuh! Itu menjijikkan. Tapi mana mungkin aku akan begitu, kan?”
“Aku tahu. Tapi tetap saja. Syaratnya terlalu banyak.”
“Tapi aku tidak ingin mengambil risiko Jayden akan berkelahi dengan pria mana pun. Kau tahu, kan .... Kadang dia .... Yah, kau tahu sendiri bagaimana dia. Kau sudah lihat dia mengamuk di rumah sakit waktu itu. Nah! Aku tidak ingin mengambil risiko seperti itu lagi,” paparku. Lagi-lagi menghadap Meggy.
Meggy mengangguk-angguk dengan wajah berubah muram. “Aku ingat betul waktu itu aku yang mengomati bibir sobekmu gara-gara dia meninjumu.”
“Tidak, Meg. Pukulannya hanya tidak sengaja mengenaiku,” bantahku. Bukannya aku membela Jayden. Melainkan memang benar demikian. Waktu itu Jayden memang tidak sengaja meninju bibirku lantaran aku tanpa tedeng aling-aling menyelinap di antara ia dan Umar. Refleks itu kulakukan agar bisa melerai mereka yang sedang berkelahi. Tepatnya, Jayden yang brutal menghajar Umar.
Meggy berkata, “Itulah yang membuatku tidak habis pikir, Mel. Kenapa kau mau menikah dengan pria seperti dia? Apa kurangnya Umar?”
Aku mendesah agak panjang sebelum menanggapi, “It’s a long ... long ... story. Yang jelas aku mencintai Jayden. Dan Umar .... Sudah kubilang kami sepakat berpisah. Kami sudah menyelesaikan urusan itu bersama-sama. Tidak hanya kami berdua. Tapi dengan seluruh keluarga kami. Mereka mengerti. Aku juga mengerti dan tidak akan menyalahkanmu yang membenci Jayden. Tapi dengan Jayden yang berhasil membujukmu sampai mau memberiku kejutan di hari ulang tahunku, kupikir kau sudah bisa sedikit mau berteman dengannya.”
Gantian Meggy yang mendesah panjang. Ia mengangguk-angguk sedikit dengan mata melirik-lirik sekitar, seperti berpikir sejenak sebelum berkata, “Mel, perlu kau tahu. Soal kejutan ulang tahunmu itu, sebenarnya suamimu—aduh!”
Belum sempat Meggy menyelesaikan perkataannya, seorang wanita menabraknya sampai beberapa rak di sebelah kami roboh.
“Maaf, aku tidak sengaja. Maafkan aku,” ucap wanita berambut merah muda sebahu yang kelihatan panik dan buru-buru mendirikan rak-rak.
“Meg, are you okey?” tanyaku kepada Meggy yang masih menatap wanita tadi dengan heran. Ia juga menggosok-gosok lengannya.
“Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit sakit. Perlu dikompres es agar tidak memar.”
Aku pun mengikuti pandangan Meggy yang masih tertuju pada wanita tadi. Para pramuniaga kini datang dan membantunya membereskan gaun-gaun yang berserakan di lantai.
“Kalau begitu, ayo kita beli es batu sekarang,” ajakku.
“Tapi bagaimana dengan gaunmu?”
“Lukamu yang lebih penting. Setelah dikompres dan kau merasa lebih baik, kita bisa menjelajah lagi. Atau aku bisa mencari gaun-gaun lamaku.”
“Tidak perlu mencari gaun lama. Mari kita beli es dan lihat hasilnya. Lagi pula, ini hanya terbentur sedikit.”
Kami membeli es batu di gelas platik di salah satu kafe. Sambil duduk, Meggy mengompres dirinya sendiri. Sekitar sepuluh menit kemudian, ketika ia merasa lebih baik, kami melanjutkan berburu gaun. Aku mencoba beberapa sampai mataku tiba-tiba tertuju pada satu butik yang memajang baju-baju khas Indonesia.
Oh! Aku bersyukur sekali. “Aku mau yang ini, Meg. Ini benar-benar aku. Sangat mencerminkan diriku,” yakinku yang kemudian mencoba kebaya klasik emas yang kucoba bersama jarik Prada modern hitam dengan aksen ukiran emas. “Meg, what do you think?” tanyaku di depan cermin ganti. Dari refleksi cermin itu, aku bisa melihat Meggy celingukan dengan alis berkerut seperti berpikir. “Meg?” panggilku lagi. “Ada apa?”
“Tidak, aku hanya merasa orang yang menabrakku tadi mengikuti kita.”
“Ha?” Aku ikut celingukan dan menemukan wanita tadi sedang menjajal batik khas Bali. “Kau yakin? Mungkin dia memang sedang mencari gaun dan menemukan butik ini?” tanggapku yang berusaha berpikir positif.
Meggy menggeleng-geleng. “Ya, mungkin hanya perasaanku saja.” Ia lantas beralih padaku dan memindai dari ujung kepala sampai ujung kakiku. “Nah! Yang ini memang sangat memenuhi syarat. Dan sangat cantik, sangat cocok denganmu,” komentarnya.
Bagai menemukan jarum di tumpukan jerami. Aku segera membeli kebaya tersebut lengkap dengan aksesorisnya. Dikarenakan sudah menemukan yang cocok, kami pun pulang. Ketika kami berjalan menuju stasiun bawah tanah, aku yang teringat kata-kata Meggy sebelum insiden kecerobohan salah satu pengunjung yang menabrak Meggy tadi, mulai mempertanyakannya lagi.
“Jadi, apa yang akan kau katakan tadi?”
Meggy berbalik tanya, “Yang mana?”
“Sebelum wanita tadi tidak sengaja menabrakmu.”
“Oh ....” Meggy tidak langsung menjawab. Tatapannya kosong selama beberapa saat. Kemudian ia mengembuskan napas sebelum membuka suara lagi. “Bukan apa-apa. Hanya .... Suamimu menawariku gaji lebih baik. Apalagi yang bisa kulakukan? Memang tidak banyak orang yang memiliki jiwa kemanusiaan dan jiwa ingin menolong yang tinggi layaknya dokter seperti kita. Tapi semua orang membutuhkan uang, bukan?”
•••
Musim panas
New York, 22 Juni
Pukul 07.30
“Udah siap?”
“Sebentar lagi,” jawabku agak berteriak sembari menyemprot hair spray ke rambutku yang kusanggul. “Yap! Beres,” gumamku yang kemudian berdiri, mengambil tas tangan kecil dan menyusul Jayden ke ruang tamu president suite hotel yang kami sewa.
Begitu melihatku, Jayden sontak menurunkan satu kaki yang diletakkan di kaki lainnya dan berhenti mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan sofa. Mulut pria itu menganga sedikit dengan mata melebar.
“What do you think?” tanyaku yang tiba-tiba rikuh ditatap seintens ini oleh suamiku.
“Aku sampai lupa masih di bumi,” jawabnya gombal yang bisa menarik sudut-sudut bibirku ke atas. Pria bersetelan jas hitam formal itu lantas berdiri dan mengecup pipiku. “Kadang aku sampai lupa kamu udah dewasa. Biasanya tampil imut-imut, ini tampil elegan banget pakai kebaya.”
“Aku nggak imut,” tolakku yang mendaratkan satu pukulan pelan di lengannya yang melingkari pinggangku. “Omong-omong, kamu keren.”
“Perasaan tiap hari bajuku gini-gini aja,” balas Jayden yang mengajakku keluar kamar.
“Berarti tiap hari kamu keren.”
Kami berkendara selama beberapa menit menuju tempat pesta pernikahan temannya diselenggarakan. Semua orang di pesta itu kenal Jayden. Mereka menjabat tangan Jayden begitu tegas. Suamiku juga mengenalkanku pada mereka dan tidak ada yang berlebihan memandangku. Mereka hanya menatap, bicara, tersenyum, dan berjabat tangan denganku secara formal serta seperlunya.
Bukannya ingin menyombongkan diri atau terlalu percaya diri. Namun, aku hanya ingin mengurai fakta sebelum menyimpulkan sesuatu. Bahwasanya kalau aku biasanya berjalan sendirian di tempat umum, banyak pasang mata yang melihatku, terutama pemuda. Mereka mengira aku masih sekolah dan beberapa dari pemuda itu mengajakku berkenalan serta menanyakan di mana aku bersekolah. Saat kuacungkan jari manis yang dilingkari cincin pernikahanku, mereka lantas pergi. Kali ini, tidak ada satu pun pria dari rekan Jayden yang menolehku dua kali. Mau tak mau, aku jadi ingat kata-kata Meggy.
Ini pasti karena mereka sangat menghormati Jayden. Mungkin juga ini efek dari kebaya yang membuatku terlihat jauh lebih dewasa dan elegan. Oh! Aku sangat bangga bisa memakai kebaya sederhana nan elegan ini. Tidak menonjol, tetapi sangat patut dipakai. Pengantinnya tetap bersinar sebagaimana mestinya.
Setelah acara pengucapan janji pernikahan, pengantin wanita bernyanyi. Ia sangat cantik dan setinggi Umar—jauh lebih pendek sedikit daripada Jayden. Gaun pengantin yang dikenakannya sangat elegan dan tak lekang oleh waktu. Suaranya pun amat merdu serta khas penyanyi rock. Aku malah berpikir seperti tidak asing dengan suara itu lantaran teringat salah satu kelompok musik rock yang sedang naik daun bernama The Black Skull. Suara vokalisnya sama persis dengan warna suara sang pengantin.
Omong-omong, warna suara Jayden juga seperti itu. Maka, iseng-iseng aku meminta, “Can you sing for me, please?”
“Aku nggak mau ngerusak acara mereka,” tanggap Jayden.
“Satu lagu aja, please …. Aku kangen denger kamu nyanyi. Udah jarang banget kamu nyanyiin aku.”
Jayden menunjuk-nunjuk pipi kirinya dan Tito yang berada di sebelahnya praktis mendengkus. “Anjir! Jangan sampai gue balik-balik meja kudapan ini, ya!” geram Tito saat aku membubuhkan bibir ke pipi suamiku.
Aku hanya tertawa kecil sambil menutupi mulut. Sedangkan Jayden malah menukas, “Inget tugas lo di sini apa, To.”
“Yang jelas bukan jadi obat nyamuk kalian!” tandas Tito sambil meneguk minumannya sampai habis.
“Nggak usah iri. Biasanya juga comot sana-sini.”
Tito membantah Jayden. “Dibilang gue udah tobat, kok.”
Jayden tidak peduli dan memindah bobot tubuhnya ke panggung kecil tempat para pemain musik berada. Tito lantas pamit, “Minggir, Mel.”
“Mau ke mana, To?”
“Mau ngelipet bumi ini.”
“Ngaco banget lo.”
“Biarin. Yang penting kagak lihat kalian mesra-mesraan di depan mata gue!”
“Pasti mau berburu, ya?” tebakku.
“Kagak, Mel. Sumpah gue udah beneran tobat.”
“Tobat sambel ya, To?”
“Ya udahlah, terserah. Mau percaya atau enggak. Yang jelas, bumi ini milik kalian berdua, gue mau ngontrak ke Mars dulu.”
Tito menjauh dan aku hanya mengangkat bahu. Lalu aku memperhatikan Jayden sedang bicara kepada para pemain musik. Tidak selang lama, ia mulai berkata, “Aku akan menyanyikan lagu ini untuk istriku.”
Jayden menunjukku dan orang-orang yang melihatku pun bertepuk tangan. Tidak sedikit juga yang bersiul. Aku rikuh sekali, tetapi cukup senang saat suamiku menyanyikan lagu Bon Jovi berjudul Always dengan suara khasnya yang serak, berat, dan dalam. Aku hanyut dalam alunan itu sampai tak sadar ada sebuah pesan masuk.
Ketika tiba di hotel dan mengemasi barang untuk pulang ke Summmertown, aku baru membuka pesan tersebut yang berasal dari nomor tak dikenal. Dilihat dari angka awal, nomornya dari Amerika. Namun, aku tahu persis siapa itu.
Umar Al-Khareem.
+1XXXXXXXXXXXX
Lagi di New York?
Aku penasaran, dari mana ia tahu aku ada di New York? Apakah Meggy yang memberitahunya? Jika memang benar demikian, kenapa Meggy harus melakukan itu? Bukankah sudah kukatakan padanya bahwa aku dan Umar sudah selesai? Aku istri Jayden Wilder. Sebagai sahabat, bukankah seharusnya Meggy bisa menghargai keputusanku untuk menikahi orang yang menawarkan gaji lebih tinggi padanya?
“Baby, tolong handuknya. Aku lupa ngambil,” teriak Jayden dari balik kamar mandi yang nyaris membuat jantungku lepas ke perut lantaran saking kagetnya.
“Ya, tunggu bentar,” balasku agak berteriak. Lalu tanpa ba-bi-bu menghapus pesan tersebut.
Aku tidak ingin Jayden ngamuk.
•••
Musim panas
Summertown, 10 September
Pukul 10.04
“Gunting, batu, kertas,” ucapku bersama Jayden selaras dengan gerakan tangan kami yang beradu suit Jepang.
“Yah, kalah lagi,” gumamku kemudian menepis jari-jari Jayden yang membentuk gunting menggunakan tanganku yang membentuk kertas.
“Maaf,” bisik Jayden. “Kamu tahu aturan mainnya,” ingatnya kemudian.
Suit Jepang dengan aturan apabila aku menang boleh ikut Jayden ke Kalimantan rupanya merupakan ide terburuk sepanjang sejarah bahtera rumah tangga kami. Alam semesta jelas lebih berpihak pada suamiku dengan memberi keberuntungan menang berturut-turut, ketimbang berpihak padaku yang jelas-jelas kini menjadi istri paling bersedih di muka bumi.
Padahal, segala daya upaya kulakoni sekuat tenaga demi mengubah pendapat Jayden. Mulai dari menggosok badanku sampai licin dan wangi. Lalu memakai baju dinas istri paling seksi seantero jagat raya—hasil perburuan Kak Jameka, Kak Bella, dan Karina yang mereka berikan sebagai kado ulang tahunku—di malam hari.
Aku juga menggalakkan aksi mogok makan kukuku selama seminggu. Lanjut membeli remot untuk robot vacum cleaner yang baru sempat kulakukan lantaran sibuk. Hingga adu suit Jepang barusan.
Namun, semua yang telah kulakukan seolah-oleh tampak fiktif belaka di mata Jayden. Pria bertato sayap malaikat di punggungnya itu tetap kukuh dengan ideologinya tentang seorang istri tidak seharusnya ikut campur urusan pekerjaan suami.
Kalau sudah begini, haruskah aku menggunakan cara paling klise? Yaitu dengan ngereog alias menangis tersedu-sedu sambil mencak-mencak? Ataukah aku harus membuntutinya ke Kalimantan? Ataukah aku harus menyewa dukun sakti untuk membelokkan pikiran Jayden yang lurus itu?
Aku menggeleng untuk menendang pemikiran-pemikiran ngawur itu ke tepi.
Well, bukannya aku sedang berperan menjadi istri tidak pengertian. Namun, belakangan ini Jayden terlalu sering bepergian sehingga kami jarang bertemu dan menghabiskan waktu berduaan.
Sehari setelah kami pulang dari New York, Jayden bersama Tito pergi ke Brooklyn selama seminggu. Pada pertengahan musim panas, Jayden bersama rekan-rekannya pergi ke Shanghai selama hampir dua minggu. Waktu Kak Bella lahiran di bulan Agustus, aku harus ke Jakarta sendirian dan meminta maaf serta memberikan tiket Royal Carribean kepada siapa pun yang ingin pergi di bulan tersebut, supaya tidak hangus. Belum lagi, nyaris setiap malam Jayden ke kelabnya. Dan, sore ini ia harus terbang menggunakan burung besi ke Kalimantan.
Aku sedikit kesepian meski ditemani setumpuk jurnal-jurnal kedokteran yang siap membuatku lancar mengerjakan tugas akhir. Aku ingin sekali diajak pergi dan mengamati bagaimana suamiku bekerja kendati itu hanya sekali. Seperti lumrahnya istri-istri dari pasutri-pasutri lainnya di planet ini.
Apakah keinginanku itu tergolong tindakan yang egois dan kekanakan?
Di saat keputusasaan dan kepasrahan yang menyelimuti diriku terasa sudah di ujung tanduk, sekonyong-konyong sebuah bola lampu menyala terang di atas kepalaku pertanda sebuah ide melesak ke dalam benakku mirip di film-film kartun. Buah pikiran itu pun secara praktis membentuk senyum tipis di wajahku yang menunduk.
Dengan semangat mulai berkobar dalam dada, aku mengawali aksiku dengan memanyunkan mulut sambil menengadah ke wajah Jayden yang datar mirip papan setrika. Aku melengkapi gerakanku dengan menyentuh-nyentuhkan jari-jari telunjukku di depan mukaku. Dahiku pasti berkerut sampai keriting. Namun, apabila itu bisa membelokkan keputusan Jayden, kenapa tidak kulakukan?
Supaya lebih dramatis lagi, aku melebarkan kedua netra menyerupai puppy eyes dengan wajah memelas bak orang tidak makan seribu tahun lamanya. Meski sangat membenci julukan imut, kini aku justru berharap demikian. “Ajak aku, please ...,” pintaku dengan suara manja bin menye-menye.
Semoga aku imut betulan di mata Jayden ketimbang kelihatan lebih mirip Max yang duduk sambil menjulurkan lidah karena menunggu seseorang memberinya tulang untuk mempertajam serta membersihkan karang giginya.
Sayang seribu sayang, harapanku tidak terkabul. Tidak ada tanda-tanda Jayden akan luluh dengan rayuan konyol itu. Yang ada, pria itu malah memundurkan jidatku menggunakan tulunjuknya yang didorong pelan, tetapi dengan tenaga yang tak bisa kulawan. “Don’t give me that face, Baby.”
“What kind of face?” balasku pura-pura oon sambil mengusap keningku bekas telunjuk Jayden yang berbudi luhur.
Jayden berkacak pinggang sambil menatapku sejurus. “Maaf, Baby. Nggak bisa. Aku di sana kerja, bukan main-main.”
___________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun
Kelen luar biasa
Bonus foto My twin
Buat temen-temen yang suka cerita lebih ringan, lebih cute, lebih sweet tentang Jayden dan Melody bisa banget follow sosmed saya lainnya
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
Kamis, 28 Juli 2022
Repost: Jumat, 11 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top