Chapter 7 [Jayden Wilder]
Selamat datang di chapter 7
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
“Keep your friends close.
But keep your enemies closer.”
—Michael Corleone (The Godfather)
____________________________________________________
Musim panas
Summertown, 17 Juni
Pukul 10.03
Meggy dan Diana tidak bisa dibiarkan bebas. Aku khawatir orang-orang seperti mereka akan mengungkapkan bagaimana caraku menyeret keduanya menjadi staf rumah sakit Melody. Sehingga, sepulang dari rumah sakit tempo hari, aku segera menugaskan beberapa anggota di bawah pimpinan Nicolo untuk mengawasi gerak-gerik mereka.
Sejak saat itu, pikiranku agak rileks dan bisa berkonsentrasi penuh pada hal semula. Seperti sekarang. Ketika aku kembali bertemu Tito di kantor The Black Casino and Pub. Pria itu pun bertanya, “Bos, kapan lo bisa balik ke Indonesia nemenin kami ke Kalimantan? Lo kagak lupa masalah HTI yang lagi bentrok sama penduduk sana, kan? Soalnya kalau cuma gue, Yang Mulia Ratu Jameka, sama Pak Zafi, gue yakin kagak bakal bisa negosiasi sama penduduk sana. Prosesnya alot.”
Aku berpikir sebentar. HTI alias Hutan Tanaman Industri milik perusahaan Heratl yang ditanami pohon balangeran sebagai bahan baku pembuat produk smart furniture memang bermasalah sejak beberapa bulan lalu. Sebelum Papa pensiun dan memintaku serta Kakak perempuanku mengambil alih perusahaan beliau tersebut, pemimpin terdahulu seenak jidatnya main gusur hutan leluhur penduduk asli sana untuk dijadikan HTI.
Pada waktu itu, Heratl memang memberikan ganti rugi. Sayangnya, berkat pungutan-pungutan liar yang buruknya kini dinormalisasikan, dana yang tersalur dari atasan ke penduduk menjadi tidak sepadan. Penduduk pun mulai ramai mengajukan protes. Sampai-sampai pernah merusak alat berat berupa truk yang hendak mengangkut pohon hasil panen sebab Heratl mematikan fungsi pancaindra untuk mereka.
Dari aksi protes itu, Heratl dengan bekal kekuasaan akhirnya menindaklanjuti dengan menuntut balik orang-orang tersebut. Sehingga, mengakibatkan penduduk semakin geram, tetapi tidak lagi melawan dengan cara merusak fasilitas Heratl. Melainkan dengan cara primitif. Yakni sengaja meletakkan batang-batang kayu besar di tengah jalan menuju HTI Heratl sebagai penghalang agar tidak bisa ke sana. Kerja Heratl jadi berlipat ganda dengan waktu lebih lama hanya untuk bisa pada tahap mengambil hasil panen. Secara praktis menghambat semuanya.
Di waktu yang sama, masalah internal terjadi. Dana pengadaan bahan baku dan pembukaan lini di Inggris digerogoti untuk keperluan pribadi. Secara harfiah, dana itu digunakan untuk bersenang-senang bersama ketua yardies[6] klan Fayard yang kini menjadi teman klan Davidde. Maka, jadilah Heratl di ambang kebangkrutan dan masalah HTI pun terbengkalai.
Aku memang pernah menjabat sebagai CEO Heratl untuk menaikkan provit perusahaan sebagai syarat menikahi Melody. Tepatnya sebelum jabatan itu kuserahkan pada kakak perempuanku sekarang. Meski demikian, tidak lantas membuatku lepas tangan begitu saja. Singkat kata, aku tetap membantu, kendati hanya berperan sebagai konsultan tidak resmi. Aku akan bertindak apabila memang diperlukan saja.
Atensiku yang semula mengarah pada berkas salah satu profil kandidat consigliere yang baru bisa lanjut kuperiksa pun beralih menatap pria bertato itu.
Ketika Tito membuka lemari kaca berisi minuman-minuman keras koleksiku, aku pun berbalik tanya, “Masalah rapat ekspansi vertikal gimana? Udah beres belum itu? Kelarin itu dulu aja, baru gue bantu negosiasi sama orang sana. Lagian masih ada yang mesti gue urus juga di sini.”
Tanpa seizinku—memang sudah menjadi kebiasaan juga, Tito mengambil botol Jägermeister. Lalu memindah bobot tubuhnya ke meja bundar kecil tinggi di sebelah meja kerjaku. Sambil mengambil penjepit, ia mengorek es dari ember khusus es batu dan menaruhnya di gelas beurdex. Kemudian meraih gelas itu setelah diisi cairan cokelat hasil produksi Jerman tersebut dan dibawa ke sofa seberang mejaku.
“Sehari sebelum gue ke sini, Kakak lo ngadain rapat soal itu. Udah deal sama petinggi-petinggi internal. Rapat lanjutannya, sih, besok Senin. Tapi semuanya lancar, kok. Orang-orang juga udah masang iklan penjualan beberapa lini di Jakarta yang nggak produktif dengan harga miring di website Heratl.”
Paham dengan itu, aku kembali bertanya, “Masalah pegawai beberapa lini itu?”
Setelah menggelontorkan minuman tersebut ke tenggorokannya, Tito sedikit mengernyit dan menjawab lugas. “Terpaksa kita PHK sesuai usul mendiang Alfred beberapa bulan lalu. Tapi pesangonnya nunggu hasil jualan beberapa lini itu. Jadinya, terpaksa pakai obligasi bank dulu.” Ia memelankan suara ketika menyebut nama Alfred.
“Ck, tambah seret aja,” komentarku.
Tito pun melempar pendapat, “Ya mau gimana lagi? Daripada nunggu hasil produksi? Masih lama, Bos. Belum lagi entar ada aja ulah penduduk sana buat hambat itu. Maksud gue gini ..., gue mau di sini dulu bantuin urusan lo sampai kelar. Baru, deh, gue bawa lo ke Kalimantan. Nah, sekarang coba lo sebutin apa aja urusan lo. Kira-kira berapa lama lagi beresnya?”
Tanpa melihat Tito karena kembali memeriksa lembaran di tanganku, aku menjabarkan, “Pertama gue mau ngelarin masalah pendataan ulang anggota klan dulu. Untungnya, kurang dikit doang. Target gue, lusa udah kelar.”
“Oke, gue bisa bantu itu. Gampang.”
“Terus, nyari pengganti Alfred ini yang susah,” pungkasku sambil menenteng berkas yang kupegang untuk menunjukkannya pada Tito.
“Kalau itu, nanti gue coba kelayapan ke daerah-daerah sini. Kali aja nemu pengacara yang sat-set.”
“Thanks. Lanjut, lusa ada pembukaan bisnis properti gue. Terus tanggal 22 gue ada undangan nikahan ke New York. Kali ini lo harus ikut, To. Kapan hari lo udah gue kasih libur ke Jakarta.”
“Kagak ada gue emang nggak seru, sih.”
“Lebih ke nggak ada samsak yang bisa ditinju, sih. Kan, lo samsak gue.”
“Sialan! Kagak mau! Lo pergi berduaan aja sana! Tahu sendiri gue lagi jomlo. Lihat lo mesra-mesraan mulu sama bini lo lama-lama gue hancurin dunia ini!”
“Halah! Ngaku-ngaku jomlo. Biasanya juga tinggal nyomot. Udahlah! Gue lanjutin jadwal gue.” Tito mengangguk-angguk. Jadi, aku melanjutkan, “Oh ya, gue dapet info kalau si bedebah Cavez musuh bebuyutan kita itu udah hampir sembuh. Jadi gue sama Erlang mesti cepet-cepet ngumpulin bukti kecurangan klan mereka sebanyak-banyaknya biar bisa gue laporin ke polisi—”
“Bentar ..., bentar ...,” potong Tito sembari mengacungkan gelasnya. Telunjuknya pun mencuat. “Gue pikir masalah bedebah itu udah beres. Makanya gue berani ke sini. Lo tahu sendiri tangan gue udah gatel banget pengin ngebom kepala bedebah itu,” sungutnya, “eh, ternyata belum mati juga, tuh, kuman.”
“To,” panggilku dengan suara rendah dan dalam. Tito pasti tahu dan hafal di luar kepala dengan arti dari panggilanku itu. “Gue tahu semua emosi soal dia. Apalagi nyangkut kematian Alfred yang dibunuh salah satu anak buahnya. Gue udah nyoba nyari keadilan buat Alfred. Gue udah bikin manipulasi yang gue pikir mateng-mateng bareng Liam, Spencter sama Dahlia di hotel Four Season London. Tapi nggak berjalan lancar. Sumpah, kalau Dahlia kagak ngingetin soal acara nikahan gue sama Mel, udah gue bunuh, tuh, bedebah sampah!”
“Dan lo bilang apa tadi? Mau ngelaporin bedebah itu ke polisi? Udah gila lo, ya! Ya, janganlah!” Lagi-lagi Tito bersungut-sungut tak sependapat, dengan tangan bebas bergerak-gerak di udara. “Gue tahu lo yang bikin hotel itu kebakaran dan beritanya kagak keangkat media gara-gara lo nyuap para wartawan. Gue juga tahu kalau lo, Liam, Spencter sama Dahlia udah bisa berkelit dari polisi yang interogasi insiden itu. Tapi, kalau ngelaporin bedebah itu ke polisi gara-gara bisnis lo dicurangin dia, gue rasa kagak perlu, Bos! Risikonya gede!”
Aku pun membantah, “To, kalau gue kagak ngelaporin bedebah itu, dari mana gue bisa dapet ganti rugi? Duit gue udah ludes buat Heratl doang, To. Gue harus bayar ulang bea cukai gara-gara dimanipulasi Cavez sialan itu! Belum lagi bayar pengadaan barang dari Heratl buat gedung-gedung apartemen dan hotel baru gue yang belum seratus persen jadi. Tinggal dikit lagi emang, tinggal hasil akhir sebelum gue resmiin. Tapi, kan, tetep aja. Pemasukan tambahan dari situ belum ada. Kalau pun udah dioperasiin, balik modalnya baru dua sampai tiga tahun lagi.”
Rasa-rasanya baru kali ini aku bicara panjang kali lebar sama dengan luas pada seseorang. Dengan harapan orang itu akan mengerti lalu mendukung sepenuhnya—yang sayangnya tidak kudapatkan. Tito masih kukuh dengan buah pikirannya.
“Tapi coba lo pikir dampak ke depannya, Bos. Gimana kalau polisi sampai nyerempet-nyerempet meriksa bisnis yang lain? Gedung-gedung apartemen, hotel, cottages, sama kelab-kelab malam lo emang legal, tapi perjudiannya? Suplai miras sama senjata lo? Kagak, kan? Makanya, jangan gila, dong! Bisa masuk penjara lo! Bisa makin rumit perkaranya!”
“Rencananya, gue mau nyuap Mahkamah Agung relasi kita,” akuku. “What we usually do.”
Dari gestur santai, Tito kembali tegak. “Nyuap? Duit lo bakalan keluar lagi, dong? Udah mikir duit yang lo pakai nyuap MA itu bakalan sebanding sama dapetnya ganti rugi kasus yang pastinya bakal lo menangin belum?”
Dengan jujur dan menyesal, aku menjawab, “Belum gue pikirin. Yang pasti harusnya dapet ganti ruginya lebih gede dari uang suap gue.”
“Nah!” tuding Tito menggunakan gelas minuman keras yang baru saja ditenggaknya dan membuatnya mengernyit. “Gue paham betul satu kelab malem lo bisa ngasih berjuta-juta dolar per bulan. Tapi sebanding nggak sama pengeluaran lo? Kantin gratis lo, contohnya. Tiap hari, loh, lo ngasih makan tunawisma. Nggak cuma di sini. Tapi di wilayah kekuasaan klan Davidde. Belum yang lain-lain.”
Mau tak mau, aku jadi berpikir omongan Tito. Dan kepalaku makin bertambah pusing. Seandainya ada Alfred. Pasti semua urusan ini akan terarah bin terorganisir dengan baik.
“Sementara ini, gue jalanin yang lagi jalan dulu aja. Sambil mikir, gue pengin ke Alfred. Kali aja dapet wangsit,” selorohku asal.
Namun, rupanya ditanggapi serius oleh Tito yang biasanya pecicilan. “Gue juga ikut.”
“Ok. Gue ngajak bini gue juga.”
•••
Musim panas
Billing Road Cemetery, Northampon
20 Juni, Pukul 08.03
Berkat bantuan dari Tito, urusan pendataan ulang anggota klan Devidde selesai lebih cepat daripada target awal. Liam dan Spencter juga tidak lagi menyembunyikan diri setelahnya. Mereka pun kembali ke kelab malam di daerah yang menjadi tanggung jawab mereka masing-masing selayaknya tugas inti sebagai anggota klan. Sedangkan sebagai seorang informan, Dahlia tetap menjadi bunglon dengan identitas beragam. Kami akan tetap bisa memanggil wanita itu serta memberinya tugas kapan saja ketika diperlukan.
Pembukaan bisnis propertiku juga berjalan dengan baik dan aku amat berterima kasih kepada Melody karena telah mencetuskan ide itu. Ia senang sekali kuajak keliling ke wilayah-wilayah bisnis tersebut didirikan. Yah, paling tidak, dengan properti-properti ini, aku berharap perekonomianku akan menanjak lagi.
Beberapa masalah kuanggap teratasi. Tinggal menyelesaikan masalah lain. Oleh sebab itulah, aku, Melody, Tito, dan beberapa orang klan pergi mengunjungi Alfred seperti perkataanku tempo hari. Bukan benar-benar untuk mencari wangsit, melainkan menyembuhkan kerinduan kami terhadap sahabat yang sudah kami anggap sebagai keluarga.
Dalam kemurungan yang membungkam mulut, kami membeli beberapa buket bunga krisan di toko bunga yang searah ke Northampton. Jujur saja, sampai sekarang pun, aku masih begitu emosional ketika mengingat Alfred. Pasalnya, akulah yang menyaksikan sendiri bagaimana pria itu meregang nyawa saat aku dan Spencter membawanya ke rumah sakit. Bahkan aku yang menutup mata beriris cokelat gelap Alfred menggunakan tanganku yang bergetar kala pria itu tak lagi mengembuskan napas.
Aku lantas memukuli jok mobil keras-keras untuk menyalurkan emosi sambil bersumpah akan membunuh Cavez waktu itu. Kala kini menyadari sumpahku belum terlaksana, pikiranku diserbu niat melunasi utang itu untuk Alfred. Ya, Tito benar. Melibatkan kepolisian untuk memenjarakan Cavez bukan tindakan tepat. Sebaiknya kuhabisi saja pria itu dengan tanganku sendiri.
Kurasakan kuku-kukuku menancap di tanganku yang mengepal. Sayangnya, aku tidak boleh gegabah. Berkaca dari pengalaman kemarin, aku harus belajar menyusun rencana selicin belut agar bebas dari incaran polisi maupun dari orang-orang yang tidak bersangkutan atau berkepentingan. Aku juga harus membuat catatan tambahan untuk tidak melibatkan tempat-tempat umum terkenal seperti hotel Four Season London. Kebakaran besar yang kubuat di hotel tersebut waktu itu terlalu mencolok.
Kurasakan kuku-kukuku menancap lebih dalam saat melirik Tito yang bermuram durja sedari berangkat hingga kami tiba Billing Road Cemetery. Melody pun kerap kali bertanya, “Are you okay, Baby?”
Aku ingin menjawab tidak, tetapi ini merupakan urusanku. Jadi, aku juga tidak ingin melibatkan istriku. Aku pun tidak bercerita tentang hal yang sebenarnya soal kematian Alfred, bahwa pria itu dibunuh. Aku mengarang bebas dengan hal paling masuk akal tentang kematian Alfred kepada Melody. Bahwa Alfred kecelakaan tragis.
Maka, kurakit senyum senatural mungkin dan kuregangkan kepalan tanganku agar ia tidak curiga. Kemudian aku menggenggam tangannya dengan harapan itu dapat membuat ketenanganku bertambah kala menjawab, “You’re here. So, actually I’m doing great.”
Dari luar pagar, Billing Road Cemetery tidak begitu ramai. Beberapa mobil terparkir di sebelah mobil kami. Ada juga yang baru datang, mengindikasikan orang berkunjung ke pemakaman yang bersangkutan dengan mereka. Ada juga yang hendak pergi.
Kami melewati jalan setapak beberapa meter menuju nisan Alfred. Yang tak disangka-sangka, ketika kami tiba di depan nisan berpatung malaikat yang khusus kupesan untuk Alfred, ada dua wanita dan seorang balita yang menabur bunga di sana. Dilihat dari warna rambutnya yang putih, salah satu dari kedua wanita itu usianya sudah tidak muda lagi. Berbeda dengan wanita satunya yang terlihat jauh lebih muda. Kira-kira berumur empat puluhan tahun.
Tito dan Melody menatapku seolah-olah bertanya lewat pandangan mata tersebut. Kemudian secara perlahan aku menyapa wanita paruh baya yang memegangi balita itu. “Mrs. Grisham?”
Mereka menoleh kami serempak dan terkejut. “Mr. Wilder?” gumam ibunya mendiang Alfred Grisham bernama Lyn Grisham.
Cepat-cepat wanita paruh baya itu menyerahkan balita tersebut ke sang pengasuh yang kupekerjakan. Aku terpaksa melepas rengkuhanku pada Melody.
Bersama Tito, aku membantu Lyn berdiri lantaran melihat gerakannya yang terbata-bata akibat faktor usia. Wanita tua renta itu sontak merangkulku dan menggelontorkan air matanya. Emosional itu menular padaku sampai-sampai dadaku sesak. Kepingan-kepingan memori tentang bagaimana Alfred meninggal kembali menyulut dendam dalam diriku kepada Cavez Donzalo sang MOB BOSS Klan Donzalo.
Terlebih, saat aku tidak sengaja menyasarkan pandangan ke balita itu. Bocah yang memegangi sekuntum mawar putih tersebut mengingatkanku pada Alfred; matanya, hidungnya, bibirnya, bahkan gesturnya, sebelas dua belas dengan Alfred.
Maka, otakku menyuruhku agar cepat-cepat menyusun rencana sematang mungkin untuk balas dendam. Bedebah Cavez itu harus dihilangkan dari muka bumi. Tidak cukup puas rasanya kalau pria itu hanya kubuat babak belur atau misalnya dipenjara.
“Apa kabar, Mr. Wilder?” tanya Lyn dengan raut pucat setelah tangisnya reda dan tubuhnya yang gemetar menjadi tenang.
Aku memperhatikan tubuh Lyn yang rasa-rasanya menjadi lebih kurus daripada terakhir kali kami bertemu di hari Alfred dimakamkan. Ubannya pun semakin memenuhi kepalanya. Dulu masih ada sedikit rambutnya yang berwarna pirang. Sekarang sudah tidak ada. Garis-garis di wajahnya pun makin jelas.
“Seperti yang Anda lihat,” jawabku diplomatis menggunakan bahasa Inggris beraksen British seperti Lyn. “Oh ya, ini istriku. Namanya Melody. Yang ini sahabatku dan Alfred, namanya Tito.”
Sambil menunjuk Tito, aku kembali merangkul Melody untuk mengenalkan istri serta sahabatku itu pada Lyn. Kemudian ke pengasuh balita itu bernama Jaclyn. Dan, pada balita itu sendiri yang notabenenya putra kandung Alfred bernama Ace Grisham.
Selepas kami takzim menabur bunga serta berdiam sejenak untuk mendoakan Alfred, Lyn menawari kami mampir ke rumahnya. Kami menyetujuinya dengan senang hati.
Jarak antara rumah Lyn dan pusara ini tidak jauh. Bisa ditempuh hanya dengan beberapa menit menggunakan mobil. Setelah mempersilakan kami duduk, Jaclyn membawakan kami minuman sesuai titah Lyn.
“Teh lemon segar. Silakan diminum,” suguh Jaclyn.
Kami tersenyum pada wanita itu yang kemudian membawa nampan kosong ke dapur. Setelahnya, ia mengambil alih Ace dari pangkuan Lyn. Kemudian kami terlibat obrolan santai. Mereka meminta kami menceritakan pernikahan kami di Jakarta. Melody yang kuberi kesempatan mewakili kami untuk menceritakannya. Raut wajah wanita tua renta tersebut tampak lebih baik, lebih berbinar-binar.
Beberapa menit berlalu. Melody meminta izin padaku untuk bermain dengan Ace bersama Lyn di karpet ruang tengah depan TV. Sedangkan aku izin merokok di halaman depan bersama Tito.
Sembari membagi asap nikotin ke udara luar, pandanganku menyisik ke jendela. Meski tidak seutuhnya, tetapi aku bisa melihat istriku dari sela-sela gorden yang tersibak. Ia begitu ceria menggendong Ace. Auranya menghangatkan hatiku dan mampu menularkannya kepada Lyn serta Ace. Aku pun membayangkan Melody menggendong anak kami nanti. Pasti aku tak akan bosan melihatnya seperti itu. Hm ... jadi tidak sabar menjalankan program beranak pinak. Ehe ....
Sayangnya, bayangan itu pun harus buyar ketika tiba-tiba Jaclyn muncul dari arah dapur dan menghampiriku. Ia memilin-milin tangannya sambil berkata, “Mr. Wilder, ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Ia lalu menatap Tito dan kembali menatapku lagi. “Empat mata, ini sangat penting,” bisiknya.
Sejujurnya aku waswas, tetapi berusaha bersikap normal. Kendati benakku sibuk bertanya-tanya kira-kira hal penting apa yang ingin dibicarakan Jaclyn sampai harus berdua saja? Apa mungkin ia ingin berhenti bekerja? Ataukah ia menuntut gaji lebih tinggi?
Daripada hanya menebak-nebak, lebih baik aku mengangguk untuk memberi kode Tito. Pria itu paham dan langsung menyingkir entah ke mana. Yang jelas bukan bergabung dengan Melody, Lyn, dan Ace. Melody sudah memperingatkan siapa pun yang habis merokok untuk tidak berdekatan dengan bayi dulu. Nikotin bisa menempel di permukaan kain atau baju yang dikenakan. Bila dihirup bayi—atau siapa pun, tentunya bisa menimbulkan dampak tidak baik bagi paru-paru.
“Ada apa?” tanyaku pada Jaclyn setelah memastikan Tito tidak bersama kami.
“Lyn sedang tidak sehat, Mr. Wilder. Beberapa waktu lalu aku menemukannya pingsan di dapur. Aku panik. Sambil menggendong Ace, aku memanggil ambulans dan dokter yang memeriksanya mengatakan ginjalnya agak bermasalah.”
“Bermasalah bagaimana?”
“Aku kurang paham. Waktu itu Ace rewel, jadi aku agak setengah-setengah menangkap maksud dokter. Tapi yang jelas, aku khawatir. Maksudku usianya sudah senja. Penyembuhannya pasti lambat dan .... Oh Tuhan ..., aku tidak sanggup mengatakannya.”
“Aku paham. Jangan khawatir, aku akan mengurusnya. Dan terima kasih sudah mau membantu menjaga mereka.”
_______________
[6] Sekelompok bandit atau anggota kejahatan dari Jamaika yang membentuk geng di Inggris. Biasanya juga disebut mafia Inggris.
___________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun
Kelen luar biasa
Bonus foto My lovey dovey
Buat temen-temen yang suka AU bisa banget loh follow medsos saya lainnya
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
Rabu, 27 Juli 2022
Remake: 24 Desember 2022
Repost: 7 September 2023
Repost: Kamis, 10 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top