Chapter 6 [Berlian Melody]
Selamat datang di chapter 6
Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun
Thanks
Happy reading everybody
Hopefully you will love this story like I do
❤️❤️❤️
____________________________________________________
“Jika kamu tidak mengganggu saudara perempuanmu tanpa alasan yang jelas dari waktu ke waktu, dia pikir kamu tidak mencintainya lagi.”
—Pearl Cleage
____________________________________________________
M
usim panas
Summertown, 12 Juni
Pukul 14.40
Rumah sakit itu luar biasa. Rahangku hampir jatuh ke lantai setiap kali melihat ruangan demi ruangan yang ditunjukkan Jayden. Menurutku peralatannya lengkap, malah kupikir melebihi standar rumah sakit di Inggris.
Benakku mengira-ngira pria bersetelan jas hitam dengan tatanan rambut klimis tadi sempat melupakan hari ulang tahunku dan terlambat mengucapkannya. Rupanya semua beralasan. Pembangunan rumah sakit tentu membutuhkan waktu sangat lama. Jadi, kesimpulanku ia sudah mempersiapkan kado itu jauh-jauh hari sampai melebihi target seharusnya. Yakni melewati tengah malam hingga pagi menjelang, di hari lahirku ke dunia.
Bukankah artinya Jayden sangat mengingat ulang tahunku?
Oh Tuhan .... Bolehkah aku terus-menerus jatuh cinta pada Jayden seperti ini?
“Kapan kamu nyiapin semua kejutan ini?” tanyaku masih tak percaya kado ulang tahunku merupakan sesuatu yang sangat berharga serta bermanfaat. Tidak hanya bagiku, melainkan juga bagi orang-orang.
Selain bisa mengoptimalkan membantu menyembuhkan orang sakit, secara tidak langsung Jayden membuka lapangan pekerjaan dalam berbagai bidang—khususnya medis. Kendati sejujurnya aku penasaran setengah mati kenapa nyaris seluruh staf keturunan Italia. Apakah itu sebuah kebetulan belaka atau Jayden memang pilih-pilih?
Eh, tunggu dulu. Apakah Jayden sendiri yang merekrut staf-staf itu?
Dan, setelah kupikir-pikir lagi, apakah ini serupa dengan Nicolo dan para petugas keamanan gedung tempat tinggal kami yang semuanya keturunan Italia? Namun, bukankah ini tidak ada sangkut pautnya dengan Jayden kecuali pemilik sah salah satu unitnya? Tidak mungkin suamiku ikut memilih siapa yang ditugaskan sebagai keamanan, bukan? Pasti pemilik gedung yang merekrut karyawan-karyawannya. Jadi, kurasa semuanya memang tidak disengaja.
Meski demikian, tetap saja aku penasaran.
Dengan mata setengah terpejam, Jayden menyibak rambutku yang acak-acakan dan menjuntai hampir mengenai wajahnya. Lalu ia membawanya ke belakang telingaku, dengan posisiku yang kini tiduran di atas tubuhnya. Kami membiarkan pendingin udara menyejukkan tubuh polos kami yang mengilat oleh keringat setelah bergulat panas beberapa saat lalu.
“Rahasia,” balas suamiku singkat lalu memejamkan mata. Senyum miring yang menjadi andalan pria beraroma min ini seolah-olah menekankan bahwa dirinya keren.
Well, harus kuakui Jayden memang keren. Bukan karena aku istrinya. Melainkan karena itu fakta. Sesuai dengan pengalamanku; setiap kali kami berjalan berdua di tempat umum, para wanita selalu melihatnya dua kali. Lalu bisik-bisik. Banyak pula yang dengan lantang mengatakan tentang betapa cool-nya Jayden. Bukankah artinya suamiku keren?
Pengecualian untuk ini. Kuanggap Jayden sedang narsis.
“Baby, I want to know. Can you tell me? Please ...,” mohonku dengan suara yang sengaja kubuat semanja mungkin. Aku menjatuhkan dagu di atas dada bidangnya, tepat sebelah bekas luka tusuknya yang agak berkeloid. Tanganku pun ikut andil menowel-nowel pipinya.
Masih sambil memejam, Jayden bergumam, “Kalau kukasih tahu, entar aku nggak keren lagi.”
Aku sontak mengangkat kepala dan menowel pipinya lebih keras. Lalu menghardik, “Ih! Dasar narsis! Heran aja. Kok, bisa semua staf rumah sakitku orang Italia kayak di penthouse? Kamu ikutan merekrut—oh!”
Kalimatku terputus akibat tanpa aba-aba Jayden membalik posisinya menjadi menjulang di atasku. Tidak menunggu barang sedetik pun kekagetanku sirna, ia membungkam mulutku yang hendak merajuk menggunakan bibir sensual merah gelapnya.
Rasa manis dari nikotin yang dibagi Jayden menyelimuti rongga mulutku. Menggoda serta meleburkan segala hal yang membuatku penasaran. Tangan besar dan hangat pria itu bergerak ke betisku. Kemudian merangkak naik dan tak tanggung-tanggung bekerja menyulut badai gairah di antara pangkal pahaku yang kembali berdenyut mendamba. Sementara itu, bibir, indra pengecap, dan giginya berpesta pora di leher serta dadaku.
“Do you like it, Baby?” tanya Jayden sehabis melepas mulutnya dari puncak dadaku yang meruncing keras.
“Are you kidding me? I love it, Baby,” jawabku terbata di tengah erangan erotis yang nyaris tak bisa kukendalikan.
Aku mencakar punggung lebar pria itu sementara punggungku melengkung. Kedua pupil mataku ke atas selaras dengan wajahku. Napasku terengah-engah kala Jayden kembali mengkombinasikan mulut dan giginya di puncak dadaku. Dua jarinya di inti lipatan tubuhku begitu terampil; hilang timbul lebih cepat sehingga membuatku memejam, menegang sesaat lalu menjeritkan namanya.
Dengan satu lengan menumpu tubuhnya, Jayden kembali membuat mahakarya warna merah keunguan di sekujur tubuhku. Erangan erotis demi erangan erotis tak dapat kutahan kemunculannya. Satu-satunya yang dapat kuingat saat ini ialah cara memanggil Jayden di tengah gelombang tak asing yang mendatangiku lagi. Menerbangkan jutaan kupu-kupu dalam perutku ke sana-kemari lagi.
Di tengah napasku yang menderu, Jayden bangkit dan membalik tubuhku. Kedua tangannya mengangkat lalu memegangi pinggulku.
“Jayden!” Aku tersentak saat ia mengisi dan mengosongkan diriku berkali-kali. Kepalaku tak sanggup menengadah. Berkebalikan dengan itu, kedua tanganku mencengkram seprai.
Jayden membersihkan seluruh rambut dari wajahku. Ia juga mengambil kedua tanganku dan dibawanya ke punggungku, ke atas pinggulku. Gerakannya melambat, tetapi rasanya Jayden tenggelam lebih dalam. Kemudian berhenti.
Aku hampir protes sebab merasa hampa dengan kekosongan itu. Namun, aku terburu merinding dan gairahku makin tersulut saat hangat napas Jayden membelai daun telingaku kala ia berbisik, “You’re gorgeous, My Wife.”
Aku merasa istimewa. Perasaanku pun membuncah. Metabolisme tubuhku meningkatkan kinerjanya untuk membakar kalori dan menghasilkan keringat lebih banyak.
Jayden kembali bergerak seduktif seraya menggigit daun telingaku. Gerakannya lebih cepat, lebih keras, dan lebih dalam. Sampai-sampai aku tak tahu lagi siapa diriku.
Dengan gaya-gaya berbeda yang baru diajarkannya, Jayden membuatku mabuk kepayang. Setiap kali kami melakukan kegiatan ini, ia seolah-olah mengajakku terbang mengarungi luar angkasa bersama-sama hingga ledakan-ledakan nikmat itu kembali kami raih.
“I love you, Jayden Wilder. I do love you, My Husband,” bisikku di tengah napas kami yang memburu dan bertabrakan di udara. Suaraku serak akibat terlalu lama berteriak. Namun, aku tak peduli.
“I love you more,” balas Jayden sebelum mendaratkan satu kecupan di keningku dan ambruk di sebelahku.
•••
Musim panas
Summertown, 15 Juni
Pukul 21.40
“Gimana, Mel? Udah lo buka belum kado dari kami?” tanya Karina di ujung sambungan telepon saat aku baru saja mengantar Jayden ke depan pintu utama. Suamiku itu hendak pergi bekerja mengecek kelab malamnya seperti biasa.
“Astaga, Kar ..., gue hampir lupa,” pungkasku sambil menepuk jidat.
“Ya elah ..., padahal gue udah penasaran setengah mampus gimana reaksi lo ngelihat hadiah kami,” cerca Karina agak lebay. “Udah hampir tiga hari loh ini.”
“Ya udah tunggu bentar. Gue ambil dulu terus gue bawa ke kamar. Kalau buka di lantai bawah entar takut ganggu Max lagi tidur. Soalnya kalau kita udah ngobrol begini pasti selalu rame.”
“Iya, gue tungguin sambil gosok daki, ya?”
“Lagi mandi lo, Kar?”
“Baru nyemplung bathtub, sih. Biasa, persiapan buat nyambut kepulangan suami tercinta. Meski nggak protes tampilan gue kucel, tapi gue pengin cantik dan wangi. Biar laki gue lengket terus. Biar kagak jajan di luar.” Suara Karina yang bergema menegaskan di mana dirinya berada.
Aku tertawa kecil menyetujui pendapatnya. Malah aku baru sadar mengangguk-angguk. Padahal Karina tidak dapat melihatku. “Terus bocil lo ke mana?” tanyaku yang sudah tiba di depan boks kado keluarga Jakarta di ruang tengah.
“Lagi sama susnya. Tadi barusan gue suapin makan sore.”
Ponsel yang masih tersambung dengan Karina kuletakkan di atas boks bersama gunting yang kutemukan di laci. Namun, mataku terpaku pada laci kecil itu. Penasaran, kubuka laci kecil tersebut yang rupanya sudah kosong. Mungkin, Jayden sudah menyimpan pistol berserta kaliber-kalibernya ke tempat yang jauh lebih aman.
Mengabaikan itu, aku membawa semua barang tersebut menaiki tangga ke lantai dua di mana kamarku dan Jayden terletak. Aku membuka pintu kamar menggunakan salah satu siku lalu menaruh boks itu di karpet. Aku sengaja tidak meletakkannya di kasur karena malas bersih-bersih berlebihan.
“Yup! Sekarang nyalain panggilan videonya, Kar,” pintaku pada Karina setelah meletakkan ponsel di nakas dan menatanya agar ia bisa melihatku serta boks kado itu.
Sahabatku itu langsung mengabulkan permintaanku dan yang pertama kali terucap di bibirnya ialah cibiran. “Hm ... pengantin baru lehernya banyak ikan cupang ya, Mel .... Pantes aja kadonya kagak dibuka-buka. Ternyata yang dikado lagi di-unboxing.”
Aku menggigit kuku telunjuk seraya membuat diriku nyaman duduk bersila di lantai. “Kayak lo kagak pernah aja, Kar,” ledekku guna menutupi diriku yang rikuh. Selain itu aku berusaha melenyapkan bayanganku dan Jayden di hotel.
Rampung tur keliling rumah sakit kadoku, Jayden memberi bonus dengan tidak langsung pulang. Melainkan membelokkan mobilnya ke Old Parsonage Hotel. Seharian kami tidak keluar kamar gedung bergaya Victoria itu karena sibuk menghasilkan keringat. Kami pun memesan layanan makan malam dan sarapan di kamar. Barulah check out tadi siang.
Setibanya di rumah, Jayden izin melanjutkan tidur. Katanya ia sangat lelah sebab sehari sebelum ulang tahunku belum tidur semalaman. Itu terbukti dari dengkurannya yang agak keras. Anehnya, ia selalu berstamina penuh saat menjalankan tugas suami. Sementara ia tidur, aku pergi ke perpustakaan kampus untuk lanjut menulis hasil penelitianku.
Malamnya Jayden mengajakku ke New York untuk menemui rekan bisnisnya. Oh! Aku senang sekali. Akhirnya aku merasakan apa yang para wanita di keluarga Jakarta rasakan; tahu tentang pekerjaan suaminya. Kendati aku cukup bingung sebab kami pergi ke makam kakak dari rekan bisnis Jayden dan sama sekali tidak membahas bisnis. Lalu pria bernama Horizon Devoss itu mengundang kami hadir ke pernikahannya yang akan diadakan di akhir Juni. Kurasa itu lebih bisa disebut mengunjungi teman.
Omong-omong, setelah berhasil membuka boks kado itu, aku mengambil kado dari Daddy, Mami, dan Papa lebih dulu. “Ya ampun, tiket berpesiar kapal Royal Caribbean, Kar.”
“Pikiran mereka emang sama kayak gue, Kak Jame, Kak Bella, dan Kak Brian. Sama-sama pengin lo cepet-cepet hamil,” komentar Karina sambil cekikikan.
Kulihat ibu muda satu ini di layar ponsel. Hanya bagian kepalanya yang diperlihatkan, berlatar belakang dinding marmer krem dan lukisan abstrak warna-warni. Senyumku masam. Ingin sekali kukatakan padanya tentang rencana penundaan memiliki momongan. Namun, aku tidak tega melihat wajah berseri-seri Karina akan jadi redup jikalau mendengar itu.
Jadi, aku menyimpan tiket pesiar itu di laci nakas. Selanjutnya aku mengambil kado dari Karina, Kak Jameka, dan Kak Bella. “Oh my God .... Persis kayak yang barusan lo bilang, Kar,” cakapku antusias.
“Bagus, tuh. Warnannya gonjreng tapi kagak norak,” tanggap Karina. “Itu yang dipakai Candice Swanepoel.”
“Makasih, loh .... Gue suka banget. Kebetulan gue belum punya yang warna ini. Kan, ini warna kesukaan gue,” balasku, menenteng serta mendekatkan pakaian dalam seksi kuning neon yang menyilaukan mata ke layar ponsel.
“Omong-omong, Kak Jay ngado apaan selain nanem benih di rahim lo, Mel?”
“Ada, deh. Kepo lo, Kar!” kelitku sembari mencoba pakaian dalam itu dengan menempelkannya dari luar.
“Kalau kado dari Kak Brian, gue kagak bakalan kepo. Kalau dari Kak Jay gue selalu kepo.”
“Oh ya! Kak Brian, kok, kagak ngado gue? Wah, harus gue cerca, nih! Gue tutup dulu ya, Kar. Bye! Love you!”
•••
Musim panas
Summertown, 16 Juni
Pukul 06.15
Member Duo Jahilun 1:
Apaan? Semalem gue udah tidur. Belakang ini tidur gue kurang gegara bini suka kebangun malem-malem terus ngidam ayam krispi. Kagak usah telepon-telepon gue.
Membaca pesan dari kakak laki-lakiku itu membuatku menyiuk. Baiklah, apa boleh buat? Kali ini aku akan membiarkannya hidup tenang, tentram, aman, dan nyaman. Memangnya berapa umurku masih suka protes terhadap Kak Brian seperti ini? Toh, tahun-tahun sebelumnya ia tidak memberiku kado. Yah, setidaknya calon bapak satu itu sudah mengucapkan selamat ulang tahun padaku.
“Kagak, cuma kangen aja,” balasku dalam bentuk rekaman suara.
Kak Brian pun membalas dengan cara serupa. Katanya, “Najis.”
“Ih! Dari orok, nih, orang emang udah nyebelin lahir batin! Untung lo Kakak kandung gue! Kalau kagak, udah gue jadiin sarden kaleng lo!”
“Kenapa kamu marahin HP kayak gitu?” tanya Jayden yang melintas di belakangku.
Aku pun meletakkan ponsel di pantri dan membuka kulkas. Lalu mengambil susu tinggi protein yang rendah lemak dari Heaven Field serta jus jeruk kotak kesukaan Jayden. “Enggak. Ini, loh, Member Duo Jahilun Satu.”
“Si jelmaan serigala?”
Kedua alisku berkerut. Gerakanku memutar tutup kotak susu pun berhenti untuk melihat Jayden. “Jelmaan serigala? Siapa?”
“Brian. Siapa lagi?” jawabnya enteng tanpa melihatku sebab ia sibuk mengambil menjepit di laci kabinet bawah kompor.
Aku tertawa kecil, tetapi berubah agak sebal kembali saat mengingat pesan suara dari Kak Brian.
“Masa aku bilang kangen, dijawab najis? Dasar emang jelmaan serigala itu!” gerutuku ikut-ikut Jayden. Aku menuang susu ke gelas yang baru saja kuambil.
“Ternyata di mana-mana saudara selalu kayak gini, ya?” gumam Jayden yang memasukkan roti ke alat pemanggang. “Hari ini jadi ketemu Meggy sama Diana?”
Aku memperhatikan Jayden menurunkan alat pemanggang sehingga dua roti tawarnya ikut turun. Lalu ia meraih jus jeruk, menancapkan sedotan, dan meminumnya.
“Jadi. Soalnya aku butuh beberapa data buat menunjang teori hasil penelitianku,” jawabku yang kemudian minum susu.
Jayden meletakkan jus jeruknya di meja. “Kenapa nggak kirim email aja?”
“File-nya lumayan banyak. Udah lama nggak ngobrol sama mereka juga. Kangen.”
“Aku anter.”
“Nggak usah, Baby. Kamu, kan, mau ketemu Tito. Mumpung dia lagi berkunjung ke sini. Katanya mau ada yang kalian diskusiin?” tolakku secara halus. Aku benar-benar tidak ingin menjadi istri manja yang ke-mana-mana harus diantar jemput suami. Terutama kalau suamiku sedang sibuk mengurus sesuatu yang penting. Aku harus pengertian.
Sayangnya, sepertinya itu justru disalahartikan Jayden sebagai bentuk rajukanku. Sehingga ia ngotot, “Tito bisa nunggu.”
“Tapi—”
“Pilih bawa Black Cayman-ku atau kuanter?” sela Jayden. Nada berat dan dalamnya secara tersirat memaksaku.
Entah kenapa aku merasa terjebak pada atmosfer kami yang mendadak berubah jadi serius. Aku pernah mengatakan pada Jayden tentang alasanku sangat malas menyetir ke kampus, karena menurutku itu membuang-buang waktu. Kalau naik kereta bawah tanah, aku bisa sambil membaca literatur selama perjalanan.
Aku seperti tidak diberi pilihan atas itu. Lalu pada akhirnya, setelah sarapan—tepat sif malam Diana dan Meggy rampung—aku membiarkan Jayden mengantarku ke rumah sakit tempat mereka masih bekerja, yang dulunya pernah menjadi tempatku internship dan volunteer. Rumah sakitku belum beroperasi sebab kami masih akan mengadakan pelatihan-pelatihan dulu agar lebih mendalami bidang masing-masing, selagi menungguku lulus.
Well, kedua sahabatku itu menyambut kedatanganku dengan senyum hangat. Namun, mereka langsung terdiam saat melihat Jayden di belakangku. Sedangkan suamiku sendiri tampak tidak peduli.
“Tunggu di sini dulu, ya, Baby. Aku masuk ke ruangan dulu,” pintaku pada Jayden. Ia hanya mengangguk dan duduk di deretan kursi depan ruang dokter jaga. Sedangkan Diana ikut masuk ruangan Maggy.
“Omong-omong, bagaimana kabarmu, Melody?” tanya Meggy dalam bahasa Inggris beraksen British di sela waktu menunggu data yang kuminta dari laptop Meggy tersalin ke flashdisk-ku.
“Sebenarnya aku merasa luar biasa,” jawabku tanpa bisa menyembunyikan senyum. “Bagaimana dengan kalian?”
“Seperti yang kau lihat,” jawab Meggy asal-asalan.
Diana mengangguk menyetujui Meggy. Berikutnya wanita bergincu merah mentereng itu menunjuk cincin pernikahan di jari manis tangan kananku. “Kau menikah dengan Jayden Wilder. Katakan padaku sejujurnya, apa dia memaksamu?”
“Apa?” tanyaku tak percaya, secara bergantian menatap Meggy dan Diana. Kemudian aku menyangkal, “Tidak. Tentu saja sama sekali tidak. Aku mencintainya.” Selain itu, aku juga cepat mencerca, “Aku mengundang kalian, tapi kalian tidak datang. Sayang sekali tiket dari Heathrow ke Jakarta jadi hangus.”
“Maafkan aku, Mel. Ada pasien yang harus kutangani waktu itu,” jawab Meggy.
Diana menyeletuk, “Iya, aku juga.”
“Tapi kupikir kalian akan mengambil cuti,” pungkasku heran.
Diana cepat-cepat mengalihkan pembicaraan dengan berkata, “Oh ya, Dokter Umar Al-Khareem meminta alamat pernikahanmu padaku.”
“Oh My God ..., ternyata kau yang memberinya. Pantas saja.” Pertanyaan yang selama ini bercokol dalam benakku akhirnya terjawab.
“Apa dia datang?” Dahlia memelotot. Sementara Meggy seperti turut prihatin.
“Tidak, tapi dia mengirimi kami kado.”
“Kupikir dia akan datang,” gumam Diana.
Meggy menyeletuk, “Bagaimana mungkin, Di? Apa dia ingin bunuh diri? Apa kau lupa dia pernah dihajar suami Melody di parkiran depan?”
“Benar juga,” jawab Diana loyo.
Ingin menyudahi obrolan tentang Umar, aku mengganti topik. “Sudahlah, lupakan saja soal itu. Oh ya, aku ingin tahu bagaimana bisa kalian ikut memberi kejutan untukku kemarin? Bagaiamana caranya Jayden bisa meyakinkan kalian?” desakku antusias. Maksudku, mereka tak tampak dekat dengan Jayden. Maka dari itu aku penasaran sekali.
Meggy dan Diana sontak saling bersitatap seolah-olah berbicara lewat kontak mata seperti itu. Reaksi mereka justru agak berlebihan. Terutama saat Meggy yang biasanya selalu bersikap tenang, bisa gagap saat membalas, “Oh, i-itu—”
“Kenapa lama sekali, Baby?” potong Jayden yang masuk begitu saja ke ruangan Meggy tanpa mengetuk pintu.
___________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun
Kelen luar biasa
Bonus foto My twin
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻
Jumat, 22 Juli 2022
Remake: Jumat, 23 Desember 2022
Repost: 6 September 2023
Repost: Kamis, 10 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top