Chapter 5 [Jayden Wilder]

Selamat datang di chapter 5

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do

❤️❤️❤️

____________________________________________________

“Age is a case of mind over matter. If you don’t mind, it doesn’t matter.”

Shatcel Paige

____________________________________________________


Musim panas
Clifton Hampden, 12 Juni
Pukul 06.45

Sewaktu Nicolo melapor ada paket dari keluarga Jakarta datang dan memeriksanya atas seizinku, aku bergegas kembali ke penthouse. Lalu betapa jantungku terguncang hebat kala melihat tatapan Melody terpaku pada laci kecil di dapur yang terbuka. Badanku yang tadinya limbung lantaran belum tidur semalaman—secangkir kopi pekat sama sekali tak membantu—jadi segar kembali.

Melody memang pernah melihatku memegang serta mengarahkan revolver pada seseorang. Pasca-menggagalkan niatanku meledakkan kepala orang itu, ia memang menanyakan nasib orang tersebut dan aku jelas tidak menjawabnya. Lebih memilih mengalihkan pikirannya seperti yang biasa kulakukan. Namun, ia tidak pernah menanyakan bagaimana aku bisa memiliki senjata itu.

Jadi, untuk menghindari interogasi dan segala bentuk protes Melody, aku mengungkapkan alasan yang sejujurnya tadi. Ketika ia membahas lebih lanjut, aku pun berusaha mengalihkan pikirannya dengan menggigit pipinya. Syukurlah cara itu efektif sekali.

Selama menunggu Melody bersiap-siap, aku segera menyimpan benda ilegal itu ke tempat lebih aman. Sekaligus memperingatkan diri sendiri jangan sampai teledor lagi menaruh atau menyimpan benda-benda semacam itu sembarangan. Terutama di laci dapur yang terlihat dan mudah dijangkau. Kendati Melody tidak memasak, yang artinya jarang memiliki kepentingan di sana, hal-hal kecil seperti itu juga harusnya tidak luput kuperhitungkan. Demi kelangsungan hubunganku dengannya.

Secara perlahan, aku melepas napas berat untuk membuang pikiran itu dan kembali fokus menyetir. Setelah beberapa menit berkendara, mobil berhenti di lampu merah. Kugunakan kesempatan itu untuk menoleh istriku dan keheranan pun menyerangku.

“Ngapain senyum-senyum kayak gitu?” tanyaku di antara lagu Numbers milik grup musik Sky Etas Airplane yang kusetel akrab dengan pendengaran. Aku sungguh penasaran dengan isi dalam batok kepala istriku.

Garis bibir Melody ditarik lebih lebar saat menjawab, “Cuma inget momen kamu lagi ngelamar aku di pinggir kolam renang rumah Papa.”

“Oh ....” Kejadian langka bin absurd itu rupanya yang dipikirkannya. Sungguh ironi. “Terus, enakan mana? Makan mie ayamnya Pak Man atau ngemil kuku?” tanyaku dengan wajah datar.

“Ha? Apa hubungannya lamaran sama mie ayamnya Pak Man atau ngemil kuku?”

Kepalaku praktis menggeleng-geleng sambil meringis. “Oneng ..., Oneng ..., tangan yang satunya udah disita. Tangan yang lainnya masih ngasah kemampuan gigi najemin kuku. Padahal enakan makan mie ayamnya Pak Man.”

Sepertinya Melody baru menyadari hal itu karena pada detik di mana aku menjawabnya, ia seperti refleks menurunkan jari dari mulutnya.

Kepala Melody lantas sedikit meneleng ke arahku sebelum membalas perkataanku. “Maaf, kebiasaan. Omong-omong, kamu mau ngasih kejutan bawa Pak Man ke sinikah? Kok, bahas-bahas Pak Man?” tebaknya.

Aku bergumam sebentar untuk mempekerjakan otak sembari kembali menjalankan mobil. Setelah melaju melewati beberapa bangunan dan mendapatkan hasil dari buah pemikiran, aku mengungkapkanya. “Bisa jadi. Kalau Pak Man mau pindah ngetem di sini. Yah, lain kalilah itu. Bisa diatur. Siapa tahu orang sini suka mie ayam dan baksonya Pak Man.”

Sewaktu kutoleh sebentar, bibir Melody mengerucut mirip paruh bebek. Kupikir ia menyerah dan pasrah mengikuti permainanku. Rupanya sangkaanku keliru. Melody ternyata tidak putus asa untuk mencoba menggali informasi tentang kejutan yang ingin kuberikan padanya dengan menuntut, “Kalau bukan Pak Man, terus apa, dong?”

“Oneng kepo,” jawabku ringkas. Lanjut bersiul mengikuti alunan lagu.

Melody pun meledek, “Jayden pelit.”

“Biarin.”

Sepuluh menit kemudian, kumatikan musik aliran hardcore yang menemani sepanjang kurang-lebih dua puluh menit perjalanan kami. Berikutnya, giliran pendingin udara yang mengalami kondisi serupa. Gerungan mesin Rubicon dobel kabin ini pun memelan, selaras dengan gerakannya yang melambat sampai berhenti total.

“Udah sampaikah?” tanya istriku yang kembali bersemangat sewaktu aku menarik rem tangan dan membuka seatbelt-ku.

“Ya. Are you ready?”

Never more prepared than this. I’m super ready and excited!” seru Melody. Tangannya meraba-raba pembuka seatbelt-nya. Aku pun membantu melepaskannya. Namun, aku tidak langsung kembali di posisiku lantaran merasakan tarikan magnet sangat kuat dari diri Melody. Melihat matanya tertutup kain hitam dan terlihat menunggu membuatku meneguk ludah.

Sialan, istriku memang seksi di segala tempat dan situasi, Cuy!

Bidang pandangku tertuju pada bibir merah muda Melody yang begitu menggoda. Menawarkan rasa manis yang pasti seolah-olah aku akan menyesal seumur hidup bila tak mencicipinya.

Imanku pun goyah seketika. Secara perlahan aku mendekatkan wajah ke wajahnya. Sementara tanganku meraih dagu istriku, bibirku menyapu bibirnya. Mulanya Melody sedikit kaget, tetapi segera membalasku dengan perlakuan serupa.

Akibat tangan Melody ikut andil menelusuri pipi dan rambutku secara lembut, tetapi kuat, aku lantas memperdalam ciuman kami.

“Inikah tujuan kamu ngotot pengin ngajak aku pergi? Mau nyium aku di mobil sampai pakai acara nutupin mata segala?” bisik istriku di sela-sela kegiatan kami.

Diingatkan tentang itu, aku terpaksa menjauh dan mengusap bibirnya menggunakan ibu jariku. “Enggak. Maaf, aku tergoda.”

“Dasar!” hardik Melody sambil tertawa kecil.

Saat aku membukakan pintu dan berniat menuntun Melody keluar, tangannya yang kembali meraba-raba mengenai dadaku. Secara spontan, aku mencegahnya.

“Loh, jangan grepe-grepe di sini, Baby. Entar banyak yang ngiri,” dustaku. Padahal aku senang Melody melakukannya. Apabila tidak baru saja diingatkan tujuanku mengajaknya kemari, aku pasti akan memasukkannya ke mobil kembali lalu menuntaskan tugas mulia seorang suami. Aku yakin seribu persen kesejahteraan Jayjun akan terjamin. Ehehe ....

“Siapa yang grepe-grepe, sih? Aku cuma refleks nyari lehermu buat pegangan biar nggak jatuh,” sangkal Melody. Ia menambahkan hadiah kecil dengan memukul lenganku.

Kendati kadar keinginanku menguyel-nguyelnya jadi bertambah, aku harus tetap bersahaja di tengah era gempuran sifat menggemaskan istriku ini.

Jadi, dengan suara berat dan datar khas, aku menjawab sambil mengusap-ngusap kedua pundak istriku. Berbanding terbalik dengan kata-kataku yang justru menyulut ke arah sana.

“Aku tahu, kok, kamu hafal banget tombol nyalanya. Tapi sabar, ya? Entar kalau udah di rumah kamu bisa ngapa-ngapain aku. Bisa mengasah ketrampilan tangan dan keterampilanmu yang lain-lain sepuasnya. Atau kamu mau di mobil aja sekarang? Kalau aku, sih, sekarang juga nggak apa-apa. Selalu siap kapan pun dan di mana pun.”

“Ih! Apaan, sih, Jayden! Omes!” pekik Melody yang lagi-lagi melayangkan tinju-tinju. Seberuntung itu, aku berhasil menghindar.

Kemudian dengan santainya, aku membalas, “Omes sama istri itu wajib hukumnya.”

“Astaga .... Perasaan sebelum jadi istri juga kamu udah omes. Kayak waktu aku nanganin luka tembakmu di punggung. Inget nggak, kamu bilang apa waktu itu?”

“Oh, yang kamu bukain bajuku itu?” Melody menjawab dengan gumaman sehingga aku melanjutkan, “Aku bayangin kamu buka bajuku tapi di situasi lain.”

“Tuh, kan ... omes, kan .... Kita lagi musuhan juga waktu itu.”

“Musuh tapi mesra.”

“Ih! Dasar!” Melody berusaha meninju lenganku. Sayangnya ia harus kembali kecewa dengan meninju udara.

“Abisnya kamu seksi banget kalau lagi bau keringet kayak gitu.”

“Kamu ngeledek atau muji, sih? Kok, aku sebel, ya?”

“Muji, kok. Maksudku, aku berfantasi kamu keringetan waktu kita nananina. Jadinya seksi.”

“Jayden! Tolong mulutnya dikondisiin, dong! Itu dibahas kalau pillow talk aja,” omelnya.

Seraya berusaha menyembunyikan senyum puas karena telah sukses menggoda Melody, aku menuruti perkataannya. Walau begitu sulit, tetapi aku harus mengingat kalau di tempat umum—lebih-lebih bila ada anak buahku, aku harus bersahaja. Tidak boleh tampak bobrok atau mereka tidak akan menghormatiku sebagai pemimpin.

Aku lantas kembali menuntun Melody berjalan seperti menuntun nenek-nenek hendak menyeberang. Namun, baru saja aku berhasil menggelontor pikiranku sampai bersih dan kinclong dari hal-hal berbau nananina, ide lain timbul.

“Awas ada sungai! Lompat!” titahku tanpa tedeng aling-aling.

“Ha? Sungai? Selebar apa? Emang bisa sampai seberang kalau cuma lompat doang? Kok, sempit banget sungainya? Parit atau sungai, sih?” Dengan kepanikan yang melandanya, Melody spontan berhenti. Lalu mundur-mundur sampai tubuhnya menubruk dadaku.

Astaga! Tidak bisa! Ini terlalu menggemaskan sehingga menyebabkan diriku tidak tahan lagi dengan semua ini. Jadi, yang kulakukan berikutnya adalah membungkus tubuh Melody menggunakan lengan-lenganku. Semoga ia tidak mendengar suara tawa yang masih berupaya kutahan mati-matian demi menampilkan sikap pria paling bersahaja di muka bumi.

Namun, aku tahu itu mustahil. Ketahananku agar tidak menggetarkan tubuh setipis tisu yang dibelah menjadi dua. Hasilnya, Melody sukses mendeteksi kelakuan isengku. la lantas mendaratkan satu pukulan pelan pada lenganku yang melingkari perutnya. “Ih! Kamu ngerjain aku, kan?” tuduhnya.

“Salah sendiri gemesin.” Selepas berhasil meredakan tawa, aku menjatuhkan bibir di puncak kepalanya sebelum lanjut menuntunnya. Namun, baru lima langkah, aku kembali berseru, “Awas hati-hati, ada batu. Lompat!”

“Kamu pasti mau ngerja—aduh!”

Melody tersandung, Gaeeess ....

Untungnya, aku ini suami siaga yang dengan sigap meraih tubuhnya sehingga Melody tak sampai terjerembab.

“Dibilangin ada batu. Ngeyel,” tukasku lagi.

Melody malah protes, “Kirain kamu ngerjain aku lagi .... Soalnya tadi kamu bilang ada sungai terus suruh lompat-lompat juga. Eh, ternyata nggak ada.”

Aku setengah mendengkus dan setengah menahan tawa lagi. “Emang. Padahal ada jalan mulus lain yang bisa dilewatin. Tapi aku iseng.”

“Jayden! Kalau aku kesandung terus jatuh beneran gimana?” rengek Melody yang jelas tanpa repot-repot menyembunyikan kekesalannya.

“Maaf. Jangan marah,” bujukku dengan menawarkan sesuatu yang bagus. “Entar aku kasih senyum eksklusif. Sama kamu boleh megang punggungku sepuasnya. Punggung favoritmu, kan, itu?”

“Dasar!”

Kuajak Melody melangkah lagi. Kali ini aku tidak mengerjainya sebab tak sampai sepuluh langkah, kejutan yang kupersiapkan semalaman sudah terpampang nyata di hadapan kami.

“Berhenti di sini,” titahku sembari memberhentikan laju jalan Melody.

“Udah sampaikah?” tanyanya.

Aku tidak menjawab secara verbal, melainkan dengan tindakan. Dari kedua pundaknya, tanganku beralih mengurai ikatan kain yang menutupi kedua netra istriku hingga terlepas.

Melody sontak membuka mata dan berkedip beberapa kali yang kuyakini untuk mengadaptasikan cahaya mentari pagi musim panas yang mungkin begitu menyengat matanya.

Berikutnya ia menutupi mulut menggunakan kedua tangan sewaktu orang-orang yang berdiri membelakangi papan putih polos setinggi dua meter mirip dinding yang sementara kami dirikan, kompak berteriak, “Surprise ....”

Kubiarkan Melody mengamati sekitar. Melihat-lihat seluruh papan yang mengelilingi kami. Bentuknya kubus tanpa atap dan beralas aspal. Pemandangan langit cerah menjadi bonusnya.

Setelahnya, aku dan orang-orang menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun dalam bahasa Inggris.

Aku memperhatikan Melody menipiskan bibir saat bergantian menatap Tito si kadal buntung yang menguap lebar sambil membawa konfeti, Meggy Force, dan Diana Rose. Omong-omong, kedua wanita yang notabene sahabat Melody di Inggris itu membawa kue ulang tahun berbentuk stetoskop dan jarum suntik.

Meski sudah kenal sejak tahun lalu, Meggy dan Diana tidak akrab denganku. Mereka bahkan terang-terangan menunjukkan sikap tidak suka kepadaku. Alasannya sudah jelas; tahun lalu aku mengacau di halaman parkir rumah sakit tempat mereka bekerja dulu. Demi merusak hubungan Melody dengan Zain Malik KW 60 yang mereka sebut-sebut sebagai model empirik pasangan ideal dunia nyata.

Ckckck, kasihan. Disebabkan ketidakpedulianku, mereka harus kecewa melihatku melenyapkan impian mereka dengan menyegel takdir Melody—hanya—untukku.

Now she’s mine. Only mine. All reserved and forever. Rasanya itu sudah cukup dan hanya dengan dirinyalah aku bisa hidup. Aku tak butuh apa pun lagi kecuali Berlian Melody Wilder-ku.

Jadi, apa kau bertanya-tanya bagaimana mungkin dua orang yang membenciku berhasil kuseret kemari?

Well, bisa dibilang aku mencari kelemahan mereka masing-masing yang lantas kugunakan sebagai senjata ampuh untuk membombardir pikiran mereka. Mendesak situasi mereka hingga mereka tak punya pilihan lain selain menerima tawaranku. Namun, perlu kau ketahui bahwa aku sama sekali tak mengancam mereka. Aku hanya mengarahkan benak mereka untuk berpikir seribu kali saat hendak menolak permintaanku yang satu ini. Lalu mereka pun berdalih melakukannya demi Melody. Bukan demi aku. Yah, aku memang melakukan ini demi istriku. Tak masalah. Yang penting mereka bersedia, bukan?

Syukurlah istriku kelihatan senang dengan kehadiran Meggy dan Diana. Kendati sedetik kemudian keningnya membentuk lipatan-lipatan halus ketika menatap dua puluh orang Italia yang ikut mensukseskan acara ini.

Orang-orang Italia itu imigran yang mendapatkan perlindungan klan Davidde agar bisa bertahan hidup di negara ini. Semuanya berlisensi khusus yang menjelaskan secara sah keahlian masing-masing; ada yang dokter, perawat, dan ahli medis lainnya.

Lagu selesai. Sebagian dari mereka mengarahkan konfeti ke Melody yang terbengong-bengong. Aku pun menuntunnya mendekati Meggy dan Diana. Posisi mereka dan Tito berdiri di depan para imigran yang berjajar membentuk huruf U tak beraturan. Kemudian kami meminta istriku membuat permohonan sebelum meniup lilin-lilin di atas kue tersebut.

“Potongan kue pertamanya buat kamu,” pungkas Melody.

“Makasih,” balasku. Setidaknya merasa sangat spesial karena diberi potongan pertama kue itu dan disuapi Melody.

Di sela-sela tepuk tangan, aku memberi perintah, “Apri per favore[5].”

Kedua bola mata Melody membola ketika Tito dan pria-pria imigran itu merobohkan papan putih yang mengelilingi kami.

“Ini kadomu. Selamat ulang tahun, istriku,” ucapku sembari membubuhkan bibir di puncak kepala Melody. “Maaf telat, ya?”

Melody tidak mengacuhkanku sebab kelihatan sibuk takjub. “Oh My God ..., kamu ngasih rumah sakit ini buat aku, Baby?” tanyanya kala menatap fasad gedung bertingkat banyak di hadapan kami. Ada pita besar dililitkan di pilar sebelah kiri dan kanan yang menopang bagian lobi. Sedangkan kami masih di halaman parkir rumah sakit. Dengan beberapa ambulans yang tertata rapi.

“Belum dikasih nama. Tapi semoga kamu suka.”

Melody memekik, “Kamu bercanda, ya? Aku bukan cuma suka, tapi suka banget. Makasih, Baby.”

Syukurlah. Dengan demikian usahaku menyiapkan gedung istimewa ini bersama mendiang Alfred dan lainnya, plus merecoki Tito sampai tak tidur semalaman terbayar dengan binar bahagia di wajah istriku.

“Kapan pun kamu siap, kamu boleh ngeresmiin rumah sakit ini. Kabar baiknya, Dokter Meggy,  Suster Diana sama semua orang di sini, kecuali si kadal buntung yang lagi nyengir itu, bakal nemenin kamu di rumah sakit ini. Semuanya staf. Termasuk dokter dan perawat,” paparku.

Melody malah menunduk dan menumpu lengan-lengannya di lutut. “Aku nggak nyangka kamu bakal ngasih aku rumah sakit beserta stafnya. Padahal dulu aku cuma ngado kamu main soda dikasih permen min sama kembang api di rooftop rumah sakit. Bener-bener nggak sebanding.”

“Ngomong apa sih, Oneng?” tanggapku sambil mengusap puncak kepalanya. “No matter what happens, please stand by my side. I think, that will be such a best present for me.”

Dengan mata berkaca-kaca, Melody berdiri tegak yang selanjutnya memelukku erat-erat. Aroma vanila khas Melody sontak menyusup ke indra pembauku. “I love you to the moon and back, my husband, Jayden Wilder.”

“I love you to the moon and back too, Baby. Bay the way, ayo, kuajak kamu keliling rumah sakit ini.”

_______________

[5] Tolong buka: Italia

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun

Kelen luar biasa

Bonus foto Jayden Wilder

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Nobili
👻👻👻

Selasa, 19 Juli 2022
Remake: Kamis, 15 Desember 2023
Repost: Rabu, 9 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top