Chapter 4 [Berlian Melody]

Selamat datang di chapter 4

Tinggalkan jejak dengan vote, komen atau benerin typo-typo meresahkaeun

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you will love this story like I do

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Apa yang dianggap normal dalam keluarga mungkin saja bertentangan dengan hukum gravitasi 

—Tanpa Nama


____________________________________________________

Musim panas
Summertown, 12 Juni
Pukul 06.27

“Ini dia makananmu,” ucapku sambil mengusap-usap kepala Max. Tanpa ba-bi-bu, ia langsung menyerbu pakan basah rasa kalkun campur bluberi yang baru saja kuletakkan di depannya.

Dikastrasi beberapa tahun silam menjadikan nafsu makan Max mengalami peningkatkan. Sebenarnya aku senang anjingku bertambah gemuk beberapa waktu lalu. Melihatnya lahap makan secara otomatis bisa menarik garis bibirku ke atas; sedikit banyak terbukti ampuh mengurangi kemurunganku. Terutama pada pagi ini.

Sayangnya, veterinerian yang mengoperasi Max tidak setuju. Lebih-lebih umur Max yang sudah tidak muda lagi; 10 tahun lebih itu tergolong umur yang sangat tua bagi seekor anjing Alaskan Malamute. Katanya, seperti halnya manusia, hewan pun tidak dianjurkan memiliki kelebihan berat badan alias obesitas. Penyakit akan mudah menyerang. Sendi-sendi rawan bergeser dan tulang-tulang kaki rawan retak lantaran tidak kuat menyangga bobot tubuh. Pernapasan akan kurang lancar sebab salurannya dililit lemak. Begitu juga dengan jantung dan organ-organ atau bagian tubuh lainnya.

Jadi, dibantu sang ahli, Max diwajibkan diet. Harus dibiasakan makan dengan porsi tepat dan camilan sehat yang tidak banyak menaikkan berat badan. Boleh diberi pakan kering, boleh juga pakan basah. Tak lupa harus diajak exercise; kalau tidak bisa setiap hari minimal tiga kali seminggu.

Beberapa saat kemudian, aku dan Max kompak menoleh ke pintu utama lantaran mendengar bel berdentang.

“Siapa yang namu pagi-pagi gini?” Aku bergumam lalu berbicara dengan anjingku yang kembali berkutat dengan makanannya. “Aku cek dulu siapa yang dateng.”

Sekali lagi aku mengusap-usap kepala Max sebelum derap santai menjadi pilihanku menuju interkom di dapur yang terletak di dekat kandang Max. Dari layar selebar tablet yang menempel di dinding sebelah kulkas, aku melihat petugas keamanan gedung bernama Nicolo Rafaele menenteng boks besar. Dikarenakan kenal dengan pria berkebangsaan Italia itu, aku pun membukakan pintu.

“Ada paket untuk Anda, Ma’am,” katanya dalam bahasa Inggris berlogat Italia. Kedua tangannya mengulurkan boks itu kepadaku.

Sembari menerimanya, aku membalas dengan bahasa yang sama, tetapi dengan aksen British. “Sudah kukatakan berkali-kali, tidak perlu repot-repot mengantarnya. Biarkan saja orang pengirim paket yang ke sini.”

“Tidak apa-apa. Ini sudah menjadi prosedur keamanan penthouse, Ma’am,” bantah Nicolo.

Kedua alisku naik pertanda tidak ingin berdebat. Aku merakit senyum formal ketika mengatakan, “Baiklah. Bagaimanapun, berterima kasih.”

Nicolo juga menyunggingkan senyum sebagai balasan. Ia membantuku menutup pintu yang secara otomatis terkunci. Well, keamanan di sini kualitasnya bukan kaleng-kaleng sampai-sampai aku merasa semuanya terlalu jempolan.

Baru-baru ini aku menemukan sekitar tiga petugas keamanan berjaga di lantai ini. Entah suatu kebetulan belaka atau ada unsur kesengajaan, mereka semua keturunan Italia. Lalu setiap kali ada paket atau makanan yang kupesan datang, Nicolo atau petugas keamanan lain yang mengantarnya.

Aku membawa boks itu ke dapur. Kemudian meraba serta membaca kertas berisi informasi nama pengirim. Bibirku memang kembali melengkung ke atas, tetapi bukan membentuk senyum lebar. Melainkan senyum kaku; kadar kemurunganku kembali bertambah.

Pada waktu yang sama, dering ponselku di meja pantri membelai daun telingaku. Aku meraih dan membaca nama Mami sebelum menggeser layar untuk menerima panggilan video itu.

“Happy birthday to you …. Happy birthday to you …. Happy birthday, Dear Mel …. Happy birthday to you …. Yeey ….”

Tanganku yang bebas praktis menutupi mulut mengangaku sebab tidak menyangka keluarga besar Jakarta bernyanyi untukku sambil bertepuk tangan. Dari latar belakang kegelapan yang menggantung di langit dan bulan yang mengintip melalui celah pohon-pohon palem, Jakarta mengindikasikan malam.

Kuhitung tujuh jam ke belakang. Sedikit meleset dari dugaan, Jakarta rupanya sudah memasuki pukul setengah satu dini hari. Mereka belum tidur dan berebut posisi supaya muat di layar ponsel demi mengucapkan ulang tahun padaku. Bagaimana mungkin aku tidak terharu sampai berkaca-kaca?

Bisa jadi karena mendengar keributan, Max berlari ke dapur serta berputar-putar di sekitarku.

“Makasih semuanya,” balasku dengan senyum lebar.

“Sama-sama,” jawab mereka kompa dan meriah.

Max ikut berpartisipasi dengan mengeluarkan gonggongan seraya menjulur-julurkan lidah dan menggoyang-goyangkan ekor. Bahkan ia melompat-lompat girang. Aku pun menenangkannya dengan mengusap-usap kepalanya. Akhirnya ia duduk di sebelahku. Omong-omong beberapa tahun lalu Max pernah sekolah anjing dan bisa melakukan beberapa trik, seperti isyarat tangan agar ia duduk.

“Kadonya udah sampai, kan, Mel?” tanya Kak Bella. Ia mengelus perut buncitnya. Posisinya duduk di depan meja panjang. Kalau tidak salah mengenali, itu meja makan panjang di taman samping kolam renang mansion papa mertuaku.

Di sebelah Kak Bella, ada Mami, Kak Jameka, dan sahabat terbaikku. Siapa lagi kalau bukan Karina?

Para pria berdiri di belakang pasangan masing-masing, kecuali Kak Jameka yang memang kutahu masih lajang. Ada pula sebuah kue bundar putih dihiasi parutan cokelat yang ditancapi lilin-lilin di meja itu.

Aku mengarahkan ponsel ke boks di depanku sambil menepuk-nepuknya. “Ya, ini udah dateng. Ya ampun, makasih banget ....”

Kak Bella kembali berbicara, “Jangan dibuka dulu. Lo tiup lilin dulu. Berhubung lagi nggak di sini, lilin di kue ini lo tiup dari sana ya, Mel.”

“Oke,” jawabku lalu meletakkan ponsel yang kusandarkan di boks, mengarah padaku. Barulah aku pura-pura meniup lilin di layar ponsel.

Ketika membuka mata, aku melihat kakak laki-lakiku selesai mewakiliku meniup lilin di kue itu. Riuh tepuk tangan pun kembali memenuhi atmosfer dapur bersama gonggongan Max.

“Makasih semuanya …,” ucapku lagi tanpa mengurangi keceriaan yang kubangun dengan susah payah.

Aku tidak ingin memasang wajah kecewa di hari ulang tahunku. Terutama di depan keluarga besar. Apa kata mereka nanti kalau aku menangis? Umurku bertambah, seharusnya kedewasaanku juga bertambah, bukan malah menjadi cengeng.

“Laki lo mana?” tanya kakak perempuan Jayden dengan nada datar.

Aku menelan ludah untuk membasahi tenggorokanku yang sekering padang pasir. “Lagi sibuk. Tapi udah ngucapin duluan, kok, Kak Jame. Terus udah ngasih kado juga.”

Bohong. Jangankan memberi kado, mengucapkan selamat ulang tahun saja belum. Inilah yang tidak ingin kupikirkan sejak semalam sampai-sampai membuatku sulit berlayar ke pulau mimpi.

Maksudku hari ini tidak terjadi setiap hari. Hanya ada sekali dalam setahun. Apakah Jayden tidak berniat cuti di hari ulang tahunku? Apabila ia sudah pikun, kenapa tidak menyetel pengingat di ponselnya supaya tidak lupa?

Komentar lain terlontar dari Kak Brian yang berdiri di belakang Kak Bella. “Nggak usah kasih jatah laki macem gitu. Ya kali di hari ulang tahun lo sibuk mulu, Dek. Masa lebih cinta kerjaannya daripada lo? Bilangin, kawin aja sama kerjaan!”

“Kan, gue udah bilang Jayden udah kasih kejutan tadi malem. Emang lagi rada ada kendala di kerjaannya. Makanya pagi-pagi buru-buru ngecek. Itu juga penting buat kasih makan gue sama kebutuhan kami kali ...,” sangkalku lagi dengan harapan mereka tidak mempertanyakan soal ketidakhadiran Jayden.

Namun, salah besar bila aku berpikir demikian. Pada kenyataanya, semakin beralasan, mereka kian mengejarku. Salah satunya pertanyaan dari papa mertuaku. “Kendala apa, Nak?”

“Mel kurang tahu, Pa. Jayden nggak pernah cerita soal kendala kerjaannya. Katanya itu urusan cowok. Dari dulu emang kayak gitu, kan, Pa? Kak Brian juga biasanya gitu. Tiap Mel mau tahu urusannya selalu dijawab itu urusan cowok. Cewek nggak usah ikut-ikutan.” Kuharap suaraku jernih, tidak gelagapan waktu mengatakan itu.

“Tapi sekarang beda, Mel. Laki gue kalau kerjaannya lagi nggak beres atau lagi gimana-gimana pasti cerita gue,” bantah Kak Bella, membela kakakku. Tidak heran. Sudah secara naluriah seorang istri pasti akan membela suaminya. Sama halnya seperti yang kulakukan sekarang; membela Jayden.

“Kak Brian bukan Jayden, Kak Bel,” sanggahku.

“Daddy sama Mami juga gitu, kok,” sahut Mami.

Karina ikut-ikut. “Gue juga, Mel. Kayaknya semuanya gitu, deh.”

“Betul. Istri itu tempat cerita apa aja termasuk masalah kerjaan walaupun nggak ahli di bidang saya. Walau dia dengerin sambil pakai masker bengkoang atau apalah itu,” timpal suami Karina sambil mengusap-usap lengan istrinya yang tersipu malu.

Aku tertohok. Bila bisa digambarkan, mereka seolah-olah baru saja melempariku dengan segenggam pasir fakta. Mungkin bagi sebagian orang tidak penting, tetapi ketika dibahas bersama serta menemukan kesamaan, kesannya orang yang mendapat perlakuan berbeda itu salah.

Rumah tanggaku dan Jayden berbeda. Jadi, apakah kami salah? Apakah itu menjadi semacam tantangan tersendiri bagi pernikahan kami yang masih tergolong baru? Yang baik aku maupun Jayden masih berusaha menyesuaikan diri?

Kukuku mulai beradu dengan gigi saat papa mertuaku tak mau kalah. “Papa juga gitu, Nak. Dulu kalau kerjaan lagi ada kendala walaupun kecil, pasti ngadunya ke istri. Itu kayak naluri gitu. Jadi lebih lega setelah cerita.”

Jayden bukan tipe pria yang akan mengakui kendala pekerjaannya atau apa yang menjadi beban pikirannya. Hal itu sudah kubuktikan beberapa kali. Sudah sepatutnya aku tidak perlu merasa iri dengan para wanita yang menyandang gelar istri di keluarga besar Jakarta, bukan?

Bicara memang gampang, berpikir pun terkadang gampang. Namun, bila menyangkut urusan hati selalu sulit direalisasikan. Dengan jujur aku mengakui iri pada mereka. Untungnya, Daddy segera mengalihkan topik itu.

“Udah ..., udah .... Kasihan putriku. Dia pengantin baru. Jadi, mungkin mereka masih menyesuaikan. Lagian, daripada debat soal itu, lebih baik putriku suruh buka kadonya.”

Diam-diam aku berterima kasih pada Daddy paling top itu karena sudah membelaku.

“Thanks, Dad,” kataku tanpa suara. Dikarenakan tertular semangat Daddy, aku berseru, “Bentar ambil gunting dulu.”

Usai meletakkan ponsel bersandar di boks, aku memutari meja pantri untuk mencari gunting dari kabinet atas, tengah, hingga bawah, tetapi belum menemukannya.

Ketika hendak berdiri tegak, sikuku tak sengaja menyenggol laci paling kecil di sebelahku. Kecepatan laci yang terbuka secara otomatis mengejutkanku saat melihat isi laci itu berupa senjata api lengkap dengan kaliber-kalibernya.

Saking tercengangnya, aku sampai tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya mampu menganga sambil bertanya-tanya kenapa ada pistol di dapur? Siapa yang meletakkannya di sini? Apakah Jayden?

Baru satu detik aku memikirkan Jayden, pada detik yang lain gonggongan Max mengambil alih atensiku. Secara otomatis netraku mengikuti anjingku berlari menyambut suamiku yang tahu-tahu muncul serta berdiri di depanku; meja patri menjadi penghalang kami. Dalam waktu singkat lain, sembari mengelus-elus kepala Max, Jayden meraih ponselku dan berkata pada keluarga Jakarta. “Tutup dulu, ya? Mau monopoli istri. Bye.”

“Nggak seru lo, Jay,” celetuk Kak Brian.

“Nah, tuh, lakinya dateng,” sahut Karina.

“Dari mana aja, Nak?” sambung Papa.

Kak Jameka ikut berkomentar, “Pasti mau bercocok tanam. Biarin ajalah.”

Suara Papa kembali terdengar. “Istri lagi—”

Suara-suara lain yang kembali protes segera berhenti lantaran panggilan videonya sudah diputus Jayden.

Alisku berkerut, bingung. Sementara dengan tenang, Jayden berjalan mengitari pantri untuk berdiri tepat di belakangku. Tangan kanannya terulur guna menutup laci kecil berisi pistol beserta kaliber-kaliber misterius itu.

Sebelum aku bertanya bagaimana bisa senjata api yang ilegal dimiliki warga Britania Raya tersebut ada di sana, Jayden lebih dulu menjelaskan, “Buat jaga-jaga.”

Kerutan di alisku bertambah. “Jaga-jaga dari apa? Itu, kan, ilegal.”

“Kamu nggak perlu tahu. Itu urusanku,” jawab Jayden yang lantas mendaratkan satu kecupan di keningku dan melingkarkan lengan-lengannya di tubuhku.

“That’s ridiculous. You have a revolver too.”

“Mana? Enggak,” bantah Jayden yang meletakkan kepalanya di pundak kananku.

Maksudnya apa bermanja-manja seperti ini? Mau mengalihkan pikiranku? Iya?

Sialanya, perlakuan Jayden berdampak pada napasku yang mulai memberat. Aku mereguk ludah sekali. “Yang di kantor Papa dulu itu kamu—aw! Kenapa kamu gigit pipiku?!” omelku yang langsung mengusap-usap pipi bekas gigitan Jayden setelah memukul lengannya.

Jayden malah memegang rahangku sampai bibirku monyong-monyong. “Kamu gemesin.” Bibirnya mendarat di bibirku berkali-kali. “Gemes.” Sekali lagi ia mendaratkan bibirnya di bibirku berkali-kali.

“Joyodon borhotya!”

Tawa geli keluar dari mulut suamiku. Ia membalik tubuhku agar mengahdapnya. “Ngomong apa, sih? Kalau ngomong itu yang bener.”

“Dawsar jawil!”

“Oh, ya. Hari ini nggak usah ke perpus kampus. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat,” cetusnya yang sudah melepaskanku dan berjalan menjauhiku.

Ia melepas jas hitam yang semalam kusiapkan untuknya. Jas yang terpotong menyesuaikan bentuk tubuh dempal Jayden itu sudah tidak rapi. Seolah-olah ia habis melakukan pekerjaan fisik. Padahal ia hanya mengecek kelab malamnya—sebagaimana asumsiku: sebagai seorang bos, “mengecek” berarti hanya berkeliling, melihat-lihat, lalu nongkrong di ruang kerjanya.

Ataukah ada job desk lain?

Sumpah, berhubung tidak tahu, aku jadi jengkel sekali. Padahal sebelumnya agak luluh. Ini pasti akibat akumulasi kekesalanku. Mulai dari Jayden yang melupakan hari ulang tahunku, komentar para istri keluarga Jakarta mengenai pekerjaan suami mereka masing-masing yang selalu diceritakan bagaimanapun kondisinya, hingga pernyataan Jayden barusan.

Aku pun impulsif bertanya, “Really? Are you serious right now?”

Setelah tidak pulang semalaman, datang-datang langsung mengambil alih ponselku serta mematikan panggilan video dari keluarga besar kami—yang effort masih melek pada pukul setengah satu dini hari demi mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Belum lagi ia menggigit pipiku—walau tidak seberapa sakit. Dan sekarang ia ingin aku ikut dengannya? Yang benar saja!

Pria itu menyampirkan jas di lengan sofa ruang keluarga yang menyatu dengan dapur. Ia mendaratkan tubuhnya dan bersandar. Tangannya melonggarkan dasi dengan tatapan mengarah padaku. “Ya. Ayo kuajak ke suatu tempat. Aku selonjoran bentar sambil nunggu kamu ganti baju. Masa pakai kausku gitu? Mana sudi aku bagi-bagi pemandangan indah istriku ke orang-orang?” jawabnya yang kemudian mengangkat kaki ke meja.

Loh .... Loh .... Loh …. Kenapa pipiku jadi naik, sih?

Aku berdeham untuk kembali fokus ngambek. Bukan waktunya tersipu malu begini. “Ke mana? Bukannya kamu sibuk? Maksudku, kita sama-sama sibuk belakangan ini. Kalau aku nggak ke perpus, entar tesisku nggak kelar-kelar. Aku nggak mau kuliahku molor-molor terus,” jawabku tanpa menatap Jayden. Jariku masuk mulut untuk menggigiti kuku.

“Ngambek, ya?”

“Nggak.”

“Kayaknya ngambek, deh.”

“Dibilang enggak.”

“Terus kenapa nggak mau ikut?”

“Ya, kan, kamu sibuk. Ralat, kita sama-sama sibuk.”

Jayden menegakkan tubuh dan menurunkan kaki dari meja. Ia pun mengamatiku secara saksama. “Ngambek ini pasti. Kenapa, sih?”

Kenapa? Ia tanya kenapa? Memangnya ia tidak lihat siapa dan dalam rangka apa boks besar di meja ini dikirim untukku? Ggrrrr! Ngajak perang, nih, human!

“Nggak ada apa-apa!” jawabku.

“Kok, jawabnya ketus gitu?” tanya Jayden sambil meringis.

Menurut lo? Kenapa gue ketus wahai Bapak Jayden Wilder?

“Enggak, kok. Perasaanmu aja.”

“Max, come here,” titah Jayden. Anjing kami langsung melompat ke sofa sebelah Jayden duduk. Max mengibas-ngibaskan ekor sambil menjulurkan lidah seakan-akan menunggu titah Yang Mulai Baginda Raja Jayden Wilder. “Bisa tolong kasih tahu istriku kalau aku cinta dia? Terus tanyain, mau aku kasih lihat punggungku, nggak?”

Aku menganga. “Apa, sih? Nggak jelas banget! Jayden nyebelin!”

Bisa-bisanya Max benar-benar menghampiri dan menggonggongiku seperti paham betul perintah Jayden. Di waktu yang sama, Jayden melepas kemejanya dan memamerkan punggungnya padaku. “Coba lihat, ini punggung kesukaanmu, loh, Baby.”

“Nggak tergoda!” pekikku.

“Yakin?” tanya Jayden sambil menggoyang-goyangkan badannya, menunjuk-nunjuk punggung yang mulai menggoyahkan imanku itu.

Aku membuang muka. “Yakin!”

“Ya udah. Aku pakai lagi kemejaku.”

“Eh! Jangan, dong!” sergahku. Saat sadar, aku memelotot dan buru-buru meralat, “Maksudku terserah.”

Sambil mengancingkan kemeja, Jayden menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk senyum geli. “Jadi gimana? Mau ikut aku nggak? Bonusnya punggungku ini. Bebas dilihat. Dipegang juga boleh. Syukur-syukur dipijitin.”

“Terserah, deh. Terserah!”

“Ok. Give me an hour. Just that.”

Aku mendengkus lantaran miris dengan diri sendiri. Kubawa tubuhku duduk di sebelah Jayden. “Mau ke mana, sih?” tanyaku yang tiba-tiba mengubah pendapatku tentang kengototan Jayden mengajakku pergi. Mungkinkah ia berusaha menebus kekecewaanku dengan menguasaiku?

“Kamu bakal tahu kalau ikut. Gimana?”

Aku memaksakan bibir membentuk senyum kaku. Sekali lagi, merasa miris dengan diri sendiri. Lalu aku mengeluh, “Emang kapan aku bisa nolak kamu?”

“Ya udah, aku tunggu kamu siap-siap. Saranku, pakai gaun.”

“Gaun?”

“Iya.”

Tidak sampai setengah jam kemudian, Jayden membawaku keluar penthouse. Kami menyapa Nicolo yang berjaga di lantai unit kami sebelum turun ke basemen dan naik Rubicon dobel kabin Jayden.

Selama beberapa menit berkendara, Jayden menepikan mobilnya di jalanan sepi dan jarang bangunan. Hanya ada pepohonan di kanan dan kiri yang mengapit jalan.

“Udah sampaikah?” tanyaku.

Jayden menggeleng dan mengeluarkan seutas kain sebagai jawaban.

“Tumben kamu pakai acara nutupin mataku segala?”

Jayden menjawab, “Biar romantis kayak orang-orang.”

Tawaku akhirnya pecah. Entahlah. Aku selalu merasa Jayden memanfaatkan segala kecerdasan dan kecerdikan yang dimilikinya secara maksimal untuk mengejutkanku.

“Tapi aku nggak mau kamu kayak orang-orang. Aku maunya ya kamu, Jayden. All of yours. Just be yourself. I do love that.”

“Makasih,” jawabnya dengan suara serak. Kemudian aku merasakan mobil bergerak.

Selama sisa perjalanan, aku menyibukkan diri dengan mengira-ngira kejutan apa yang akan diberikan suamiku?

Apakah sebuah kencan khusus yang harus mengenakan kode pakaian gaun dan jas? Mungkinkah Jayden mengajakku sarapan yang dimasakkan langsung oleh koki di taman bunga, di bawah siraman cahaya mentari pagi, komplit dengan orang-orang bermain biola? Mungkinkah ia akan mengajakku berdansa dengan alunan musik klasik romantis setelahnya?

Ataukah Jayden akan mengajakku ke luar angkasa dan mengambilkan benda-benda langit untuk mengejutkanku?

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, atau benerin typo-typo meresahkaeun

Kelen luar biasa gaeess

Bonus foto kembaran saya

Btw adakah yang suka AU? Kalau ada jangan sungkan-sungkan follow medsos saya yang lain ya.

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Wilder
👻👻👻

Kamis, 14 Juli 2022

Remake: 14 November 2022

Repost: 4 September 2023

Repost: Rabu, 9 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top